Lompat ke isi

Kebaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 Oktober 2021 21.03 oleh 60.52.93.98 (bicara)
Kebaya
Kebaya klasik mempunyai blus tipis yang halus dan dikenakan setelah kemben, pembungkus tubuh wanita berkain batik. Seperti yang diperlihatkan di sini, sebuah kebaya.
JenisPakaian blus tradisional

Kebaya (bahasa Jawa: ꦏꦼꦧꦪ; bahasa Sunda: ᮊᮨᮘᮚ; bahasa Bali: ᬓᭂᬩᬬ) adalah salah satu pakaian adat yang berasal dari budaya masyarakat bangsa Melayu. Selain di Indonesia, kebaya juga dikenakan oleh sebagian kecil masyarakat Jawa dan Melayu di Malaysia, Brunei dan juga dikenakan oleh masyarakat Tionghoa Peranakan di Singapura. Secara umum, kebaya digunakan dalam kegiatan sehari-hari, kegiatan peribadatan, atau di upacara adat oleh wanita dalam masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Kebaya biasanya terbuat dari bahan tipis yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian rajutan tradisional lainnya seperti songket dengan motif warna-warni.

Etimologi

Istilah "kebaya" diyakini berasal dari kata serapan Arab kaba atau qaba yang berarti "pakaian",[1][2] istilah ini mungkin berhubungan dengan kata Arab abaya (bahasa Arab: عباءة) yang berarti jubah atau garmen longgar. Istilah tersebut kemudian diperkenalkan ke Nusantara melalui kata serapan dari bahasa Portugis, cabaya.[1][3]

Sejarah

Kartini muda bersama keluarganya. Di sini kebaya dikenakan oleh perempuan bangsawan Jawa pada abad ke-19.

Di banyak buku tentang kebaya, seperti The Nyonya Kebaya, Kebaya Encim, sejarah kebaya hanya menjadi pengantar singkat. Dan hampir semua menuliskan bahwa kebaya berasal dari Bahasa Arab, Abaya, yang berarti tunik panjang. Sementara itu sumber yang lain menyebutnya habayayang artinya pakaian longgar dengan belahan di depan (kaftan). Nah, yang paling banyak dijadikan rujukan tentang asal kata kebaya dalam Bahasa Arab adalah Buku Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) karya Denys Lombard yang menuliskan bahwa Kebaya berasal dari bahasa Arab, Kaba yang artinya pakaian.

Sementara itu, Rens Heringa menulis dalam bukunya Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, 1996, bahwa kebaya berasal dari kata Cambaia, sebuah kota di India, yang mayoritas penduduknya menjadikan wastra sebagai penghidupan dan memperdagangkannya ke hamparan Samudera Hindia. Bahan yang mereka tawarkan adalah kain tipis bernama namsuk yang sesuai untuk daearah panas. Bahan ini kemudian disebut kain Cambaj/kambai (kain kapas bermotif bunga), yang biasanya dikenakan untuk blus longgar buka depan yang dipakai perempuan dan laki-laki pada abad ke-15. Sementara itu terdapat asumsi mengatakan pengaruh Cina pada kebaya dimulai saat imigran Cina pada abad ke-15 memperkenalkan baju longgar berlengan panjang buka depan yang dikatupkan pada tepi-tepinya mirip dengan baju Cina Beizi. Baju ini digunakan perempuan dari kalangan sosial bawah pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 hingga ke-17). Tetapi ada pula asumsi yang menyebutkan bahwa Kebaya merupakan warisan dari Tiongkok ketika terjadi migrasi besar-besaran warga Cina ke kawasan Asia Selatan dan Tenggara pada abad ke 13. Asumsi terakhir sangat lemah, karena pada abad ke-13 busana kain panjang masih mendominasi Indonesia. Bentuk Kebaya sebetulnya merupakan baju panjang atau disebut juga baju kurung yang kebanyakan dipakai oleh orang Sumatera, Palembang, Aceh dan dimodifikasi oleh perempuan Belanda karena disesuaikan dengan iklim yang ada di Batavia. Bentuk paling awal kebaya berasal dari istana Kerajaan Majapahit yang dikenakan para permaisuri atau selir raja, sebagai sarana untuk memadukan pakaian kemben perempuan yang sudah ada–yaitu kain pembebat dan penutup dada perempuan bangsawan–menjadi lebih sopan dan dapat diterima.[1] Sebelum adanya pengaruh Islam, masyarakat Jawa pada abad ke-9 telah mengenal beberapa istilah untuk mendeskripsikan jenis pakaian, seperti kulambi (bahasa Jawa: klambi, baju), sarwul (bahasa Jawa: sruwal, celana), dan ken (kain atau kain panjang yang dililit di pinggang).[1] Selama periode terakhir Kerajaan Majapahit, pengaruh Islam mulai berkembang di kota-kota pesisir utara Jawa sehingga perlu penyesuaian busana Jawa dengan agama Islam yang baru dipeluknya. Blus yang dirancang khusus, sering dibuat dari kain tipis yang halus, dikenakan setelah kemben untuk menutupi bagian belakang, bahu dan lengan, agar wanita istana terlihat lebih sopan. Adopsi busana yang lebih sopan dikaitkan dengan pengaruh Islam di Nusantara.[1] Aceh, Riau, Johor, dan Sumatra Utara mengadopsi gaya kebaya Jawa sebagai sarana ekspresi status sosial dengan penguasa Jawa yang lebih alus atau halus.[4]

Nama kebaya sebagai pakaian tertentu telah dicatat oleh Portugis saat mendarat di Indonesia. Kebaya dikaitkan dengan jenis blus yang dikenakan oleh wanita Indonesia di abad ke-15 atau 16. Sebelum tahun 1600, kebaya di pulau Jawa dianggap sebagai pakaian khusus yang hanya untuk dikenakan oleh keluarga kerajaan, bangsawan, dan priyayi.

Kemudian, kebaya juga diadopsi oleh masyarakat umum, khususnya para petani wanita di Jawa. Hingga hari ini di desa-desa pertanian di Jawa, para petani wanita masih menggunakan kebaya sederhana, khususnya di kalangan wanita tua. Kebaya sehari-hari yang dikenakan oleh petani terbuat dari bahan sederhana dan dikancingkan dengan jarum sederhana atau peniti.[butuh rujukan]

Kebaya perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah tetangga melalui perdagangan, diplomasi, dan interaksi sosial ke Malaka, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kesultanan Sulu, dan Mindanao.[5][6][7] Kebaya Jawa seperti yang ada sekarang telah dicatat oleh Thomas Stamford Bingley Raffles pada tahun 1817, sebagai sutra, brokat dan beludru, dengan pembukaan pusat dari blus diikat oleh bros, bukan tombol dan tombol-lubang di atas batang tubuh bungkus kemben, kainnya — pembungkus tanpa jahitan yang panjangnya beberapa meter, keliru diberi istilah sarong di Inggris (sarung, aksen Malaysia: sarong) yang dijahit untuk membentuk tabung, seperti pakaian Barat.[8][9]

Bukti fotografi paling awal tentang kebaya yang dikenal saat ini berasal dari tahun 1857 yang bergaya Jawa, Peranakan, dan Oriental.[4] Pada kuartal terakhir abad ke-19, kebaya telah diadopsi sebagai busana yang disukai wanita di Hindia Belanda yang beriklim tropis, baik dikenakan oleh pribumi Jawa, kolonial Europa dan orang Indo, serta Tionghoa Peranakan.[10]

Variasi kebaya

Seorang nyonya Belanda berkebaya di Bogor pada tahun 1904.

Sekitar tahun 1500-1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang dikenakan keluarga kerajaan Jawa saja. Kebaya juga menjadi pakaian yang dikenakan keluarga Kesultanan Cirebon, Kesultanan Mataram dan penerusnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni.

Ada sebuah pakaian mirip kebaya, ini disebut "nyonya kebaya" dan awalnya pakaian ini diciptakan oleh orang-orang Peranakan dari Melaka. Mereka mengenakannya dengan sarung dan sepatu cantik bermanik-manik yang disebut "kasut manek". Kini, nyonya kebaya sedang mengalami pembaharuan, dan juga terkenal di antara wanita non-Asia. Variasi kebaya yang lain juga digunakan keturunan Tionghoa Indonesia di Cirebon, Pekalongan, Semarang, Lasem, Tuban dan Surabaya.

Kebaya dan politik

Penggunaan kebaya juga memainkan peran politik yang cukup penting. Kebaya telah dinyatakan sebagai busana nasional Indonesia[11] meskipun ada kritik bahwa kebaya hanya digunakan secara luas di Jawa dan Bali. Kebaya sebenarnya juga ditemukan di Sumatra, Sulawesi dan NTT dengan corak daerah. Tokoh politik seperti Kartini memakai kebaya. Dan peringatan hari Kartini dilakukan dengan menggunakan kebaya. Para istri Presiden RI mulai dari Soekarno dan Soeharto menggunakan kebaya di berbagai kesempatan.

Penggunaan kebaya masa kini

Kebaya pada masa sekarang telah mengalami berbagai perubahan desain. Pada umumnya Kebaya sering digunakan pada pesta perayaan tertentu. Dari mulai pesta formal dengan rekan bisnis,pernikahan, perayaan acara tradisional, hingga perayaan kelulusan sekolah seperti wisuda. Kebaya digunakan sebagai seragam resmi pramugari Singapore Airlines, Malaysia Airlines dan Garuda Indonesia.[12] Sejumlah perancang yang turut menciptakan desain baru kebaya diantaranya adalah Anne Avantie dan Adjie Notonegoro.

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e Triyanto (29 December 2010). "Kebaya Sebagai Trend Busana Wanita Indonesia dari Masa ke Masa" (PDF). 
  2. ^ Denys Lombard (1990). Le carrefour javanais: essai d'histoire globale. Civilisations et sociétés (dalam bahasa French). École des hautes études en sciences sociales. ISBN 2-7132-0949-8. 
  3. ^ Times, I. D. N.; Khalika, Nindias. "Sejarah Kebaya, Pakaian Perempuan Sejak Abad ke-16". IDN Times. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  4. ^ a b Maenmas Chavalit, Maneepin Phromsuthirak: Costumes in ASEAN: ASEAN Committee on Culture and Information: 2000: ISBN 974-7102-83-8, 293 pages
  5. ^ S. A. Niessen, Ann Marie Leshkowich, Carla Jones: Re-orienting Fashion: the globalization of Asian dress Berg Publishers: 2003: ISBN 978-1-85973-539-8, pp. 206-207
  6. ^ Cattoni Reading The Kebaya; paper was presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.
  7. ^ Michael Hitchcock Indonesian Textiles: HarperCollins, 1991
  8. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-08. Diakses tanggal 2014-01-08. 
  9. ^ http://www.tempo.co/read/news/2013/04/25/110475801/Kebaya-Sebuah-Catatan-Perjalanan//
  10. ^ "Sejarah Kebaya di Masa Kolonial: Busana Perempuan Tiga Etnis". tirto.id. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-10. Diakses tanggal 2014-01-08. 
  12. ^ http://female.kompas.com/read/2010/09/26/11502730/Terbang.Bersama.Kebaya//

Pranala luar