Lompat ke isi

Telur sebagai makanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Infotaula de menjarTelur sebagai makanan
Asal
Keahlian memasakShakshouka, gado-gado, Quindim (en) Terjemahkan, Telur mata sapi dan Telur dadar Edit nilai pada Wikidata
ProdusenReptil, ikan, burung, Monotremata, Amfibia dan Invertebrata Edit nilai pada Wikidata
Rincian
Jenismakanan dan bahan makanan Edit nilai pada Wikidata
Bahan utamakuning telur dan putih telur Edit nilai pada Wikidata
Telur mata sapi dengan di atas roti panggang. Telur yang dimasak dengan teknik ini populer dimakan sebagai sarapan di Amerika

Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari jenis-jenis burung, seperti ayam, bebek, dan angsa, akan tetapi telur-telur yang lebih kecil seperti telur ikan kadang juga digunakan sebagai campuran dalam hidangan. Selain itu dikonsumsi pula juga telur yang berukuran besar seperti telur burung unta ataupun sedang, misalnya telur penyu. Sebagian besar produk telur ayam ditujukan untuk dikonsumsi orang tidak disterilkan, mengingat ayam petelur yang menghasilkannya tidak didampingi oleh ayam pejantan. Telur yang disterilkan dapat pula dipesan dan dimakan sebagaimana telur-telur yang tidak disterilkan, dengan sedikit perbedaan kandungan nutrisi. Telur yang disterilkan tidak akan mengandung embrio yang telah berkembang, sebagaimana lemari pendingin mencegah pertumbuhan sel-sel dalam telur.

Produksi

Pada 2020, produksi telur ayam dunia mencapai 77 juta ton. Tiongkok merupakan produsen telur terbesar saat itu, memproduksi sebanyak 35% produksi telur dunia, disusul oleh Amerika Serikat dengan (8%), India (7%), Meksiko (4%), Brazil (4%), Jepang (3%), Rusia (3%), dan Indonesia (2%).[1] Produsen besar telur umumnya memasok jutaan lusin telur tiap pekannya.[2]

Sebelum didistribusikan, telur biasanya dicek kualitasnya menggunakan cahaya. Menggunakan metode tersebut, ukuran kantung udara dan keberadaan embrio telur dapat diketahui.[3] Beberapa pemerintah di dunia juga mewajibkan telur untuk dicuci sebelum didistribusikan.[4]

Kuliner

Jenis hidangan

Telur mata sapi yang diolah dengan cara digoreng

Telur unggas dapat diolah menjadi hidangan asin dan manis dengan berbagai cara, antara lain diasinkan, direbus matang, digoreng, dan direbus setengah matang. Telur juga dapat dimakan mentah, meskipun hal ini tidak dianjurkan bagi orang-orang yang rentan terhadap bakteri Salmonella, seperti orang tua, orang sakit, maupun wanita hamil. Selain itu, protein dari telur yang matang lebih mudah dicerna oleh tubuh daripada telur mentah.[5]

Sebagai bahan makanan, bagian kuning telur merupakan pengemulsi penting dalam kegiatan memasak. Di sisi lain, bagian albumen (putih telur) dapat digunakan secara terpisah untuk membentuk busa pada hidangan-hidangan tertentu. Putih telur dapat diaerasi atau dikocok untuk mendapatkan tekstur yang empuk.

Memasak

Hidangan telur goreng setengah matang.

Telur mengandung beberapa protein yang memadat (menjadi gel) pada temperatur tertentu. Kuning telur menjadi memadat pada temperatur antara 61 dan 70 °C (142 dan 158 °F). Bagian putih telur memadat pada temperatur 60 hingga 73 °C (140 hingga 163 °F). Dalam beberapa proses memasak, bagian putih telur dimasak terlebih dahulu karena harus berada dalam temperatur tinggi dalam waktu yang lebih lama daripada kuning telur.[6]

Salmonella dapat mati pada temperatur 60 °C (140 °F) apabila dimasak selama 45 menit.[7] Untuk menghindari risiko Salmonella, telur dapat dipasteurisasi pada temperatur 57 °C (135 °F) selama 57,5 menit. Meskipun demikian, proses ini akan menyebabkan putih telur menjadi encer.[8]

Apabila telur direbus terlalu lama, sebuah cincin berwarna kehijauan seringkali muncul di sekitar bagian kuning telur. Hal ini terjadi karena terjadi perubahan pada senyawa besi dan sulfur dalam telur.[9] Memasak telur hingga terlalu matang juga dapat merusak kualitas proteinnya.[10] Mendinginkan telur yang terlalu matang dalam air dingin dapat mencegah terbentuknya cincin kehijauan di kuning telur.[11]

Penyimpanan

Penyimpanan telur yang akan dimakan sangatlah penting untuk mencegah kontaminasi bakteri Salmonella yang dapat menyebabkan keracunan parah. Telur juga dapat dibasuh terlebih dahulu untuk membersihkan cangkangnya.[12] USDA merekomendasikan penyimpanan telur dalam kulkas untuk mencegah pertumbuhan Salmonella.[13]

Pengawetan

Telur bebek asin

Metode paling sederhana untuk mengawetkan telur ialah pengasinan. Garam dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur.[14]:116 Di Tiongkok, telur asin umumnya dibuat dengan merendam telur bebek ke dalam air asin. Telur asin juga dapat dibuat dengan melapisinya menggunakan pasta garam dan lumpur atau lempung. Telur akan berhenti menyerap garam setelah satu bulan ketika mencapai kesetimbangan. Saat akhir proses pengasinan, bagian kuning telur menjadi berwarna jingga kemerahan dan menjadi padat. Meskipun demikian, bagian putih telur tetap cair dan umumnya harus direbus terlebih dahuku sebelum dikonsumsi.[14]:116

Acar telur yang diberi perwarna bit merah.

Metode pengawetan lain ialah dengan membuat acar telur. Telur yang dibuat acar harus direbus terlebih dahulu, kemudian direndam dalam cuka, garam, dan rempah-rempah (contohnya jahe). Sari bit merah sering digunakan untuk memberi warna merah pada telur.[14]:116 Ketika telur direndam dalam campuran tersebut selama beberapa pekan, cuka akan melarutkan sebagian kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang telur sehingga dapat masuk ke putih dan kuning telur dan menghambat pertumbuhan bakteri serta jamur. Telur yang diawetkan dengan metode ini dapat bertahan hingga satu tahun atau lebih tanpa dimasukkan kulkas.[14][15]

Telur bitan.

Telur bitan atau "telur seratus tahun" merupakan salah satu proses pengawetan telur dengan cara melumuri telur dengan campuran lempung, abu kayu, garam, jeruk nipis, dan sekam nasi beras selama beberapa pekan atau bulan, tergantung metode yang digunakan.[16] Setelah selesai dibuat, kuning telur akan berubah menjadi hijau gelap dan memiliki zat seperti krim yang kuat dari sulfur dan ammonia. Sementara itu, bagian putih telur menjadi jelly transparan berwarna coklat gelap dengan rasa yang tidak dominan. Perubahan pada telur bitan dipengaruhi oleh bahan alkalin yang meningkatkan pH secara perlahan.[17]

Nutrisi

Telur ayam
utuh, direbus
Nilai nutrisi per 100 g (3,5 oz)
Energi647 kJ (155 kcal)
1.12 g
10.6 g
12.6 g
Triptofan0.153 g
Treonina0.604 g
Isoleusina0.686 g
Leusina1.075 g
Lisina0.904 g
Metionina0.392 g
Sistina0.292 g
Fenilalanina0.668 g
Tirosina0.513 g
Valina0.767 g
Arginina0.755 g
Histidina0.298 g
Alanina0.700 g
Asam aspartat1.264 g
Asam glutamat1.644 g
Glisina0.423 g
Prolina0.501 g
Serina0.936 g
VitaminKuantitas
%AKG
Vitamin A equiv.
19%
149 μg
Tiamina (B1)
6%
0.066 mg
Riboflavin (B2)
42%
0.5 mg
Niasin (B3)
0%
0.064 mg
Asam pantotenat (B5)
28%
1.4 mg
Vitamin B6
9%
0.121 mg
Folat (B9)
11%
44 μg
Vitamin B12
46%
1.11 μg
Kolina
60%
294 mg
Vitamin D
15%
87 SI
Vitamin E
7%
1.03 mg
Vitamin K
0%
0.3 μg
MineralKuantitas
%AKG
Kalsium
5%
50 mg
Zat besi
9%
1.2 mg
Magnesium
3%
10 mg
Fosfor
25%
172 mg
Potasium
3%
126 mg
Sodium
8%
124 mg
Seng
11%
1.0 mg
Komponen lainnyaKuantitas
Air75 g
Kolesterol373 mg

Hanya mencakup bagian yang dapat dimakan.[a] Berat telur di atas tergolong sebagai telur dengan ukuran besar di Amerika Serikat, tetapi hanya tergolong sebagai ukuran sedang di Eropa dan berukuran standar di Selandia Baru.
Pranala sumber di situs web USDA
Persen AKG berdasarkan rekomendasi Amerika Serikat untuk orang dewasa.
Sumber: USDA FoodData Central

Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, telur sedang/besar seberat 50 gram mengandung sekitar 70 kilokalori (290 kJ) energi makanan dan 6 gram protein.[18]

Metode memasak dapat mempengaruhi nutrisi dan dampak kesehatan telur. Sebagai contoh, telur yang direbus cenderung mengandung protein yang lebih sedikit daripada telur yang digoreng.[19] Telur yang direbus dapat mengandung beberapa vitamin dan mineral, seperti vitamin A, riboflavin, asam pantotenat, vitamin B12, fosforus, dan selenium.[20] Telur masak lebih mudah dicerna oleh tubuh[21] serta memiliki risiko penularan salmonellosis lebih rendah daripada telur mentah.[22]

Kandungan nutrisi telur juga dipengaruhi oleh pakan ayam petelur. Sebagai contoh, ayam petelur dapat menghasilkan telur dengan kandungan asam lemak omega-3 tinggi apabila mendapatkan pakan yang mengandung lemak tak jenuh ganda, seperti minyak ikan, biji chia, atau biji flaks.[23] Ayam yang dibiakkan secara bebas di padang rumput juga menghasilkan telur dengan kandungan asam lemak omega-3 yang relatif lebih tinggi daripada ayam yang dibiakkan di kandang.[24]

Dampak terhadap kesehatan

Penelitian seputar dampak konsumsi telur terhadap kesehatan manusia menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini karena sebagian besar penelitian merupakan hasil pengamatan sehingga terdapat beberapa efek pengacau yang tidak dapat dikontrol.[25]

Kolesterol dan lemak

Lebih dari setengah kalori yang terkadung dalam telur berasal dari lemak dalam kuning telur. Telur berukuran besar mengandung kuning telur yang tersusun atas 58% (4,5 gram) lemak. Sebesar 35 persen lemak dalam telur merupakan lemak jenuh (asam palmitat, stearat, dan miristat).[26] Sementara itu, bagian putih telur tersusun atas air (sekitar 90 persen) dan protein (sekitar 10 persen), tanpa mengandung (atau sangat sedikit) kolesterol dan lemak.[27]

Terdapat perdebatan mengenai risiko kesehatan akibat konsumsi kuning telur. Sebuah penelitian menyatakan bahwa konsumsi kolesterol yang terkandung dalam telur dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL tubuh.[28] Sementara itu, penelitian lain menyatakan bahwa konsumsi telur satu kali sehari tidak tercatat meningkatkan risiko penyakit jantung bagi orang yang sehat.[29] Harold McGee berargumen bahwa peningkatan kadar kolesterol bukanlah akibat dari kolesterol dalam kuning telur, melainkan dampak dari lemak (terutama lemak jenuh) telur.[30]

Diabetes melitus tipe 2

Terdapat beberapa penelitian tentang dampak konsumsi telur terhadap risiko diabetes tipe 2 dengan hasil yang saling bertolak berlakang. Sebuah metaanalisis yang diterbitkan pada 2013 menemukan bahwa konsumsi empat telur per pekan dapat menyebabkan peningkatan risiko relatif diabetes sebesar 29%.[31] Metaanalisis lain yang diterbitkan pada 2013 juga menyatakan bahwa konsumsi telur meningkatkan risiko diabetes tipe dua.[32]

Sebuah metaanalisis yang diterbitkan pada 2016 menyimpulkan bahwa hubungan antara konsumsi telur dengan peningkatan risiko diabetes tipe dua mungkin hanya terbatas pada penelitian-penelitian di Amerika Serikat.[33] Sebuah metaanalisis yang diterbitkan pada 2020 menemukan bahwa secara umum, tidak ada hubungan antara konsumsi telur dan risiko diabetes tipe dua. Selain itu, risiko yang ditemukan dalam penelitian-penelitian di Amerika Serikat tidak ditemukan pada penelitian-penelitian serupa di Eropa dan Asia.[34]

Kanker

Sebuah metaanalisis yang terbit pada 2015 menemukan hubungan antara konsumsi tinggi telur (lima kali sepekan) dan peningkatan risiko kanker payudara.[35] Bertolak belakang dengan analisis tersebut, sebuah peninjauan yang dilakukan pada 2021 tidak menemukan hubungan antara konsumsi telur dan kanker payudara.[36]

Metaanalisis lain menemukan bahwa konsumsi telur juga mungkin meningkatkan risiko kanker ovarium.[37] Pada 2021, sebuah umbrella review juga menemukan bahwa konsumsi telur meningkatkan risiko kanker ovarium secara signifikan.[38] Metaanalisis yang terbit pada 2019 menemukan hubungan konsumsi tinggi telur dan risiko kanker sistem pernapasan atas.[39]

Risiko kardiovaskular

Telur merupakan salah satu penyumpang terbesar fosfatidil koline (lesitin) dalam makanan manusia.[40] Sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature menunjukkan bahwa fofatidil kolin dicerna oleh bakteri di usus dan diubah menjadi senyawa TMAO, sebuah senyawa yang sering dikaitkan dengan penyakit jantung.[41] Namun, penelitian lain menemukan bahwa diabetes melitus tipe dua dan penyakit ginjal juga menyebabkan kenaikan kadar TMAO sehingga hubungan antara TMAI dan penyakit kardiovaskular mungkin akibat dari keberadaan efek pengacau atau kesalah pahaman sebab akibat.[42]

Pada 2013, sebuah metanalisis menemukan bahwa tidak ada keterkaitan antara konsumsi telur dan penyakit jantung atau strok.[43] Penelitian sistematis dan metanalisis yang diterbikan pada 2013 menemukan tidak adanya keterkaitan antara konsumsi telur dan penyakit kardiovaskular, tetapi menemukan bahwa konsumsi telur lebih dari sekali sehari dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular pada penderita diabetes tipe dua sebesar 1,69 kali dibandingkan penderita diabetes melitus tipe dua yang tidak memakan telur lebih dari sekali sepekan.[32] Metanalisis lain yang terbit pada tahun yang sama menemukan bahwa konsumsi empat telur per pekan meningkatkan risiko penyakit kardivaskular sebesar enam persen.[44]

Pada 2018, sebuah metaanalisis berbasis uji klinis acak menemukan bahwa konsumsi telur dapat meningkatkan kolesterol total (TC), LDL-C, dan HDL-C dibandingkan tidak mengonsumsi telur sama sekali.[45] Pada 2020, dua metaanalisis tidak menemukan hubungan antara konsumsi telur sekali sehari dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.[46][47] Sebuah umbrella review yang diterbikan pada 2020 menyimpulkan bahwa peningkatan konsumsi telur tidak berkaitan dengan risiko penyakit kardivaskular pada sebagian populasi manusia.[48]

Pada 2021, sebuah penelitian juga tidak menunjukkan hubungan antara konsumsi tinggi telur (lebih dari satu per hari) dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Namun, penelitian tersebut menemukan hubungan konsunsi telur dengan peningkatan risiko penyakit arteri koroner.[49]

Alergi makanan

Salah satu alergi makanan yang paling sering ditemukan pada anak ialah alergi akibat telur.[50] Reaksi alergi tersebut lebih banyak diakibatkan oleh bagian putih telur daripada kuning telur.[51] Selain reaksi alergi, beberapa orang juga mengalami intoleransi makanan terhadap putih telur.[51] Negara-negara maju mulai memberi label peringatan pada makanan yang mengandung telur untuk mencegah terjadinya hal-hal seperti ini.[52]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Tidak termasuk 12% bagiannya (cangkang)

Referensi

  1. ^ "Document card | FAO | Food and Agriculture Organization of the United Nations". www.fao.org (dalam bahasa Inggris). doi:10.4060/cb1329en. Diakses tanggal 2022-01-07. 
  2. ^ Quito, Anne (11 Mei 2017). "Target used 16,000 eggs to decorate a dinner party, in a grand display of design's wastefulness". Quartz (publication). Diakses tanggal 6 Januari 2021. 
  3. ^ Arcuri, Lauren (2021-03-17). "Learn How to Candle an Egg". The Spruce (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-07. 
  4. ^ "9 CFR § 590.515 - Egg cleaning operations". LII / Legal Information Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-07. 
  5. ^ Evenepoel, P.; Geypens, B.; Luypaerts, A.; Hiele, M.; Ghoos, Y.; Rutgeerts, P. (1998). "Digestibility of Cooked and Raw Egg Protein in Humans as Assessed by Stable Isotope Techniques". The Journal of Nutrition. 128 (10): 1716–1722. doi:10.1093/jn/128.10.1716alt=Dapat diakses gratis. PMID 9772141. 
  6. ^ Vega, César; Mercadé-Prieto, Ruben (2011). "Culinary Biophysics: On the Nature of the 6X°C Egg" (PDF). Food Biophysics. 6 (1): 152–9. doi:10.1007/s11483-010-9200-1. 
  7. ^ Angelotti, Robert; Foter, Milton J.; Lewis, Keith H. (1961-07). "Time-Temperature Effects on Salmonellae and Staphylococci in Foods". Applied Microbiology. 9 (4): 308–315. ISSN 0003-6919. PMC 1057731alt=Dapat diakses gratis. PMID 13683564. 
  8. ^ Keener, Kevin M. (2017-01-01). Hester, Patricia Y., ed. Chapter 16 - Shell Egg Pasteurization (dalam bahasa Inggris). San Diego: Academic Press. hlm. 168. doi:10.1016/b978-0-12-800879-9.00016-0. ISBN 978-0-12-800879-9. 
  9. ^ Tinkler, Charles Kenneth; Soar, Marion Crossland (1920-04-01). "The Formation of Ferrous Sulphide in Eggs during Cooking". Biochemical Journal. 14 (2): 114–119. doi:10.1042/bj0140114. ISSN 0006-2936. PMC 1258902alt=Dapat diakses gratis. PMID 16742889. 
  10. ^ "overcooked eggs". Times of india. Times of India. 
  11. ^ Belt, Deb (2018-03-28). "How To Make Perfect Hard-Boiled Eggs With No Green Ring". Annapolis, MD Patch (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-08. 
  12. ^ Arumugam, Nadia (25 Oktober 2012). "Why American Eggs Would Be Illegal In A British Supermarket, And Vice Versa". Forbes. Diakses tanggal 9 Januari 2022. 
  13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama usda-eggs
  14. ^ a b c d McGee, Harold (2004). On Food and Cooking: The Science and Lore of the Kitchen. Scribner. hlm. 116. ISBN 978-0-684-80001-1. 
  15. ^ Hester, Patricia (2016-12-19). Egg Innovations and Strategies for Improvements (dalam bahasa Inggris). Academic Press. hlm. 405–413. ISBN 978-0-12-801151-5. 
  16. ^ Hou, H.C. (1981-04). "Hunger and Technology". Food and Nutrition Bulletin. 3 (2): 1–4. doi:10.1177/156482658100300209. ISSN 0379-5721. 
  17. ^ Teng, Fei; Bito, Tomohiro; Takenaka, Shigeo; Yabuta, Yukinori; Watanabe, Fumio (2016). "Yolk of the Century Egg (Pidan) Contains a Readily Digestible Form of Free Vitamin B12". Journal of Nutritional Science and Vitaminology. 62 (5): 366–371. doi:10.3177/jnsv.62.366. 
  18. ^ "Eggs, Grade A, Large, egg whole". U.S. Department of Agriculture: Agricultural Research Service. 2019-12-16. Diakses tanggal 2022-01-17. 
  19. ^ Tang, Dengyu; Wang, Rong; He, Xiaohua; Chen, Xuehan; Huo, Xingyu; Lü, Xin; Shan, Yuanyuan (2021-02-01). "Comparison of the edible quality of liquid egg with different cooking methods and their antioxidant activity after in vitro digestion". Food Research International (dalam bahasa Inggris). 140: 110013. doi:10.1016/j.foodres.2020.110013. ISSN 0963-9969. 
  20. ^ Berkheiser, Kaitlyn (2018-10-09). "Hard-Boiled Egg Nutrition Facts: Calories, Protein and More". Healthline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-07. 
  21. ^ Evenepoel, P; Geypens B; Luypaerts A; et al. (October 1998). "Digestibility of cooked and raw egg protein in humans as assessed by stable isotope techniques". The Journal of Nutrition. 128 (10): 1716–1722. doi:10.1093/jn/128.10.1716alt=Dapat diakses gratis. PMID 9772141. 
  22. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama cspinet
  23. ^ Coorey R, Novinda A, Williams H, Jayasena V (2015). "Omega-3 fatty acid profile of eggs from laying hens fed diets supplemented with chia, fish oil, and flaxseed". J Food Sci. 80 (1): S180–7. doi:10.1111/1750-3841.12735. PMID 25557903. 
  24. ^ Anderson KE (2011). "Comparison of fatty acid, cholesterol, and vitamin A and E composition in eggs from hens housed in conventional cage and range production facilities". Poultry Science. 90 (7): 1600–1608. doi:10.3382/ps.2010-01289alt=Dapat diakses gratis. PMID 21673178. 
  25. ^ Zhang X; Lv M; Luo X (2020). "Egg consumption and health outcomes: a global evidence mapping based on an overview of systematic reviews". Annals of Translational Medicine. 8 (21): 1343. doi:10.21037/atm-20-4243. PMC 7723562alt=Dapat diakses gratis. 
  26. ^ Bruso, Jessica (2018-11-27). "How Fatty Is an Egg Yolk?". Healthy Eating | SF Gate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-07. 
  27. ^ West, Helen (2018-12-13). "Egg Whites Nutrition: High in Protein, Low in Everything Else". Healthline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-07. 
  28. ^ Weggemans RM, Zock PL, Katan MB (2001). "Dietary cholesterol from eggs increases the ratio of total cholesterol to high-density lipoprotein cholesterol in humans: a meta-analysis". Am. J. Clin. Nutr. 73 (5): 885–91. doi:10.1093/ajcn/73.5.885alt=Dapat diakses gratis. PMID 11333841. 
  29. ^ Hu, Frank B.; Stampfer, Meir J.; Rimm, Eric B.; et all (1999-04-21). "A Prospective Study of Egg Consumption and Risk of Cardiovascular Disease in Men and Women". JAMA (dalam bahasa Inggris). 281 (15): 1387. doi:10.1001/jama.281.15.1387. ISSN 0098-7484. 
  30. ^ McGee, Harold (2007-03-20). On Food and Cooking: The Science and Lore of the Kitchen (dalam bahasa Inggris). Simon and Schuster. hlm. 79. ISBN 978-1-4165-5637-4. 
  31. ^ Li, Yuehua; Zhou, Chenghui; Zhou, Xianliang; Li, Lihuan (2013-08). "Egg consumption and risk of cardiovascular diseases and diabetes: A meta-analysis". Atherosclerosis (dalam bahasa Inggris). 229 (2): 524–530. doi:10.1016/j.atherosclerosis.2013.04.003. 
  32. ^ a b Shin, Jang Yel; Xun, Pengcheng; Nakamura, Yasuyuki; He, Ka (2013-7). "Egg consumption in relation to risk of cardiovascular disease and diabetes: a systematic review and meta-analysis123". The American Journal of Clinical Nutrition. 98 (1): 146–159. doi:10.3945/ajcn.112.051318. ISSN 0002-9165. PMC 3683816alt=Dapat diakses gratis. PMID 23676423. 
  33. ^ Tamez, Martha; Virtanen, Jyrki K.; Lajous, Martin (2016-06). "Egg consumption and risk of incident type 2 diabetes: a dose–response meta-analysis of prospective cohort studies". British Journal of Nutrition (dalam bahasa Inggris). 115 (12): 2212–2218. doi:10.1017/S000711451600146X. ISSN 0007-1145. 
  34. ^ Drouin-Chartier, Jean-Philippe; Schwab, Amanda L; Chen, Siyu; Li, Yanping; Sacks, Frank M; Rosner, Bernard; Manson, JoAnn E; Willett, Walter C; Stampfer, Meir J; Hu, Frank B; Bhupathiraju, Shilpa N (2020). "Egg consumption and risk of type 2 diabetes: findings from 3 large US cohort studies of men and women and a systematic review and meta-analysis of prospective cohort studies". The American Journal of Clinical Nutrition. 112 (3): 619–630. doi:10.1093/ajcn/nqaa115. PMC 7458776alt=Dapat diakses gratis. PMID 32453379. 
  35. ^ Keum, N.; Lee, D. H.; Marchand, N.; Oh, H.; Liu, H.; Aune, D.; Greenwood, D. C.; Giovannucci, E. L. (2015-10). "Egg intake and cancers of the breast, ovary and prostate: a dose–response meta-analysis of prospective observational studies". British Journal of Nutrition (dalam bahasa Inggris). 114 (7): 1099–1107. doi:10.1017/S0007114515002135. ISSN 0007-1145. 
  36. ^ Kazemi, Asma; Barati-Boldaji, Reza; Soltani, Sepideh; Mohammadipoor, Nazanin; Esmaeilinezhad, Zahra; Clark, Cian C T; Babajafari, Siavash; Akbarzadeh, Marzieh (2021-05-01). "Intake of Various Food Groups and Risk of Breast Cancer: A Systematic Review and Dose-Response Meta-Analysis of Prospective Studies". Advances in Nutrition. 12 (3): 809–849. doi:10.1093/advances/nmaa147. ISSN 2161-8313. PMC PMC8166564alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 33271590 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  37. ^ Zeng, Sai-tian; Guo, Liang; Liu, Shi-kai; Wang, Dong-hui; Xi, Jie; Huang, Ping; Liu, Dan-tong; Gao, Jie-fan; Feng, Jing (2015-08-01). "Egg consumption is associated with increased risk of ovarian cancer: Evidence from a meta-analysis of observational studies". Clinical Nutrition (dalam bahasa English). 34 (4): 635–641. doi:10.1016/j.clnu.2014.07.009. ISSN 0261-5614. PMID 25108572. 
  38. ^ Tanha, K., Mottaghi, A., Nojomi. (2021). "Investigation on factors associated with ovarian cancer: an umbrella review of systematic review and meta-analyses". Journal of Ovarian Research. 14 (1): 153. doi:10.1186/s13048-021-00911-z. PMC 8582179alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34758846 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  39. ^ Aminianfar, Azadeh; Fallah-Moshkani, Roohallah; Salari-Moghaddam, Asma; Saneei, Parvane; Larijani, Bagher; Esmaillzadeh, Ahmad (2019-7). "Egg Consumption and Risk of Upper Aero-Digestive Tract Cancers: A Systematic Review and Meta-Analysis of Observational Studies". Advances in Nutrition. 10 (4): 660–672. doi:10.1093/advances/nmz010. ISSN 2161-8313. PMC 6628841alt=Dapat diakses gratis. PMID 31041448. 
  40. ^ Patterson, Kristine. "USDA Database for the Choline Content of Common Foods" (PDF). U.S. Department of Agriculture. Diakses tanggal 9 Januari 2021. 
  41. ^ Wang, Zeneng (7 April 2011). "Gut flora metabolism of phosphatidylcholine promotes cardiovascular disease". Nature. 472 (7341): 57–65. Bibcode:2011Natur.472...57W. doi:10.1038/nature09922. PMC 3086762alt=Dapat diakses gratis. PMID 21475195. 
  42. ^ Jia, Jinzhu; Dou, Pan; Gao, Meng; Kong, Xuejun; Li, Changwei; Liu, Zhonghua; Huang, Tao (September 2019). "Assessment of Causal Direction Between Gut Microbiota–Dependent Metabolites and Cardiometabolic Health: A Bidirectional Mendelian Randomization Analysis". Diabetes. 68 (9): 1747–1755. doi:10.2337/db19-0153alt=Dapat diakses gratis. PMID 31167879. Diakses tanggal 9 Januari 2022. 
  43. ^ Rong, Ying; Chen, Li; Tingting, Zhu; Yadong, Song; Yu, Miao; Shan, Zhilei; Sands, Amanda; Hu, Frank B; et al. (2013). "Egg consumption and risk of coronary heart disease and stroke: dose-response meta-analysis of prospective cohort studies". British Medical Journal. 346 (e8539): e8539. doi:10.1136/bmj.e8539. PMC 3538567alt=Dapat diakses gratis. PMID 23295181. 
  44. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama ReferenceA
  45. ^ Rouhani, Mohammad Hossein; Rashidi-Pourfard, Nafiseh; Salehi-Abargouei, Amin; Karimi, Majid; Haghighatdoost, Fahimeh (2018). "Effects of Egg Consumption on Blood Lipids: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Clinical Trials". Journal of the American College of Nutrition. 37 (2): 99–110. doi:10.1080/07315724.2017.1366878. PMID 29111915. 
  46. ^ Drouin-Chartier JP, Chen S, Li Y. (2020). "Egg consumption and risk of cardiovascular disease: three large prospective US cohort studies, systematic review, and updated meta-analysis". The BMJ. 368: m513. doi:10.1136/bmj.m513. PMC 7190072alt=Dapat diakses gratis. PMID 32132002. 
  47. ^ Godos J, Micek A, Brzostek T, Toledo E, Iacoviello L, Astrup A, Franco OH, Galvano F, Martinez-Gonzalez MA, Grosso G. (2020). "Egg consumption and cardiovascular risk: a dose-response meta-analysis of prospective cohort studies". European Journal of Nutrition. 60 (4): 1833–1862. doi:10.1007/s00394-020-02345-7alt=Dapat diakses gratis. PMC 8137614alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 32865658. 
  48. ^ Mah E, Chen CO, Liska DJ (October 2019). "The effect of egg consumption on cardiometabolic health outcomes: an umbrella review". Public Health Nutr. 23 (5): 935–955. doi:10.1017/S1368980019002441. PMID 31599222. 
  49. ^ Krittanawong, Chayakrit; Narasimhan, Bharat; Wang, Zhen; Virk, Hafeez Ul Hassan; Farrell, Ann M.; Zhang, HongJu; Tang, W. H. Wilson (2021-01-01). "Association Between Egg Consumption and Risk of Cardiovascular Outcomes: A Systematic Review and Meta-Analysis". The American Journal of Medicine (dalam bahasa English). 134 (1): 76–83.e2. doi:10.1016/j.amjmed.2020.05.046. ISSN 0002-9343. PMID 32653422. 
  50. ^ Allen, Clare Wendy; Campbell, Dianne Elizabeth; Kemp, Andrew Stewart (2007). "Egg allergy: Are all childhood food allergies the same?". Journal of Paediatrics and Child Health (dalam bahasa Inggris). 43 (4): 214–218. doi:10.1111/j.1440-1754.2007.00996.x. ISSN 1440-1754. 
  51. ^ a b Cantani, Arnaldo (2008). Pediatric Allergy, Asthma and ImmunologyAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Berlin: Springer. hlm. 710–713. ISBN 978-3-540-20768-9. 
  52. ^ Food allergen labelling and information requirements under the EU Food Information for Consumers Regulation No. 1169/2011: Technical Guidance (PDF). Food Standards Agency. April 2015. 

Pranala luar