Lompat ke isi

Penyimpanan makanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lumbung padi masyarakat Toraja
Wadah penyimpanan makanan dari plastik

Penyimpanan makanan atau bahan makanan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mencegah pembusukan makanan sehingga dapat memperpanjang masa penyimpanan, menjaga kualitas dan ketersediaan makanan di sepanjang waktu. Berdasarkan ketahanannya, makanan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu makanan tahan lama, makanan semi-tahan lama dan makanan tidak tahan lama. Metode penyimpanan makanan telah dilakukan sejak masih berupa bahan makanan segar (hasil panen). Kemudian dilakukan pula saat pengolahan, pemrosesan, pengemasan hingga pendistribusian produk. Ada pun teknologi penyimpanan makanan yang sering dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan kimia dan mikroba (fermentasi), pengendalian kandungan air, struktur makanan (pengeringan, dehidrasi osmotik, aktivitas air dan penggunaan membran), penggunaan panas dan energi (pasteurisasi, pengalengan, pemasakan dan penggorengan, pembekuan-pencairan untuk makanan cair, pembekuan, oven gelombang mikro, ultrasound, energi cahaya matahari, iradiasi, pulsed electric field, pemrosesan dengan tekanan tinggi, magnetic field dan kombinasi di antaranya).[1]

Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama pada jasa boga dan katering, dapat membuat bahan makanan menjadi cepat rusak.[2] Tujuannya adalah untuk mencegah agar diri sendiri dan orang lain tidak terjangkit penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme, seperti Salmonella, E.coli O157:H7 dan C. botullinum yang dapat menyebabkan botulisme. Menjaga makanan tetap dingin pada suhu yang tepat dapat membantu mencegah atau memperlambat pertumbuhan bakteri ini.[3]

Keamanan makanan

Penyimpanan makanan meski bertujuan mencegah masuknya penyakit, tetapi juga dapat menimbulkan penyakit terutama jika tidak dilakukan secara higienis. Bakteri penyebab botulisme dapat berkembang dengan baik pada kondisi tanpa oksigen yang biasanya tercipta pada wadah yang tertutup rapat.[4]

Akses pada keamanan dan gizi makanan merupakan kunci dari hidup sehat dan keberlangsungan hidup. Makanan yang keamanannya tidak terjamin mengandung bakteri, virus, parasit atau zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan lebih dari 200 penyakit berbeda, mulai dari diare hingga kanker. Keamanan, gizi dan ketahanan pangan juga saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, ketidakamanan pangan menciptakan lingkaran setan penyakit dan malnutrisi yang khususnya dialami oleh bayi, anak-anak, lansia dan orang sakit.[5]

Makanan yang disimpan dalam kondisi beku dapat mencegah pertumbuhan bakteri, tetapi tidak membunuhnya. Sehingga makanan yang dikembalikan kondisinya dari pembekuan masih memiliki risiko pertumbuhan bakteri lebih besar dibandingkan sebelum dibekukan.[6] Menurut Marotz, 2008, makanan yang akan dikembalikan dari kondisi beku tidak boleh dilakukan pada kondisi temperatur ruang. Makanan tersebut harus dipanaskan dengan oven atau oven gelombang mikro, dimasak langsung, atau secara perlahan dari temperatur dingin.[4]

Lemak dan minyak nabati maupun hewani dapat menjadi rusak dengan cepat jika tidak disimpan dengan benar karena proses oksidasi. Semakin tinggi kadar lemak tak jenuh gandanya, semakin cepat oksidasi terjadi. Penyimpanan minyak dan lemak sebaiknya dilakukan dengan pendinginan segera setelah kemasan dibuka.[7]

Penyimpanan daging

Pendinginan pada suhu kulkas merupakan cara paling sederhana dan sering dilakukan untuk mengawetkan dan memperpanjang masa penyimpanan daging. Pendinginan dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri karena suhu dingin akan menurunkan energi kinetik semua molekul dalam sistem sehingga dapat menurunkan kecepatan reaksi kimia, termasuk aktivitas metabolisme sel bakteri. Meskipun pendinginan dapat menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi ada juga bakteri tertentu yang bisa hidup pada suhu dingin kulkas, misalnya kapang, bakteri psikrofilik dan beberapa bakteri penghancur racun. Kemudian lamanya penyimpanan daging juga berpengaruh besar terhadap pertumbuhan bakteri. Semakin lama daging disimpan pada suhu ruang, semakin banyak pula basa yang dihasilkan akibat peningkatan aktivitas mikroorganisme. Akibatnya terjadilah proses pembusukan yang diikuti dengan peningkatan pertumbuhan bakteri.[8]

Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba selama penyimpanan pada suhu ruang sehingga terjadi dekomposisi senyawa kimia dalam daging, terutama protein yang akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Apabila proses ini berlanjut terus, ia akan menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan, amin-amin dan hidrogen sulfida. Di antara senyawa-senyawa tersebut, hanya merkaptan dan hidrogen sulfida yang merupakan asam lemah, sedangkan yang lain merupakan basa dan basa kuat.[9]

Setiap budaya dan restoran memiliki cara tersendiri dalam menyimpan daging sehingga menghasilkan kualitas rasa yang diinginkan. Teknik ini disebut dengan beef aging, yaitu penyimpanan di dalam ruangan dengan kondisi iklim mikro (temperatur, kelembaban) yang telah ditentukan dalam waktu beberapa hari sehingga menghasilkan kualitas daging tertentu.[10][11] Termasuk juga untuk daging hewan buruan.[12]

Jika daging tidak ingin langsung diolah, daging segar dan produk olahan daging harus disimpan dalam kulkas agar awet. Lamanya penyimpanan di kulkas maupun freezer tergantung pada jenis dagingnya. Daging merah mentah, seperti daging sapi, kambing, domba dan babi, dapat bertahan selama 3-4 hari jika disimpan dalam kulkas, dan 4-12 bulan di dalam freezer, tergantung jenis dagingnya. Daging merah matang bisa disimpan selama 3-4 hari dan 2-6 bulan jika di freezer. Masa simpan daging unggas mentah adalah 1-2 hari di kulkas dan 9 tahun di dalam freezer. Daging unggas utuh bisa bertahan hingga 1 tahun jika dibekukan. Masa simpan daging unggas matang sama dengan daging merah matang, yaitu 3-4 hari di kulkas dan 2-6 bulan jika di freezer Daging giling, baik yang berasal dari daging sapi, domba atau ayam, bisa bertahan 1-2 hari di kulkas dan 3-4 bulan di freezer. Produk daging olahan, seperti sosis, kornet, sepek (bacon), ham, daging asap dan salami, bisa bertahan hingga 2 minggu dalam kulkas selama produk tersegel sempurna. Apabila bungkusnya sudah dibuka, daging olahan hanya bisa bertahan sekitar 5-7 hari dalam kulkas dan 1-2 bulan dalam freezer. Sementara untuk makanan laut, seperti ikan makarel, teri, salmon, sarden, yang tergolong ikan berlemak hanya boleh bertahan selama 2-3 bulan demi menjaga kualitasnya.[13]

Penyimpanan sayur dan buah

Kerusakan hortikultura (pada sayur dan buah) bisa terjadi lebih cepat jika penanganan selama dan setelah panen kurang baik. Sayuran bersifat mudah rusak sehingga lebih diutamakan untuk dikonsumsi dalam keadaan segar. Salah satu proses penting dalam penanganan pascapanen adalah penyimpanan. Penyimpanan produk sayuran segar bertujuan untuk memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu dapat memperbaiki mutu sayuran tersebut.[14]

Pendinginan sayur dan buah dimulai segera setelah dipanen dan dilanjutkan terus selama perjalanan, penggudangan, perdagangan, penyimpanan hingga konsumsi atau pengolahan lebih lanjut. Cara ini dilakukan untuk menahan atau mengurangi penyebab pembusukan, baik karena mikroba maupun kerusakan fisiologis yang berasal dari bahan dalam sayur dan buah tersebut. Ada pun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendinginan adalah kualitas bahan makanan yang hendak didinginkan, suhu ruang pendingin, kelembaban udara ruang pendingin, sirkulasi udara dan jarak tumpukan dalam ruang pendingin. Karakteristik penyimpanan sayur dan buah berbeda-beda tergantung jenisnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, cara budidaya tanaman, derajat kematangan dan cara penanganan yang dilakukan sebelum disimpan.[15]

Penyimpanan susu dan produk susu

Secara alamiah, susu mengandung bakteri yang bearsal dari puting, ambing dan rambut. Jika tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan bakteri dalam susu berkembang dengan cepat. Mikroorganisme lainnya bisa masuk ke dalam susu jika selama proses pemerahan, transportasi dan penyimpanan tidak menggunakan menggunakan peralatan yang bersih, terjaga dan steril. Di sisi lain, kandungan gizi yang lengkap menyebabkan susu sebagai media tumbuh yang paling baik bagi perkembangbiakkan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit bagi manusia.[16]

Pada susu fermentasi, pertumbuhan bakteri asam laktat sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerja enzim laktase atau asam laktat telah terbentuk secara maksimal sehingga tidak terdapat peningkatan total asam tertitrasi dan penurunan pH yang membuat pertumbuhan bakteri terhambat. [17]

Rotasi makanan

Rotasi makanan adalah mengutamakan pengolahan, penyajian, dan konsumsi makanan yang telah berada di ruang penyimpanan makanan paling lama sehingga mencegah makanan menjadi tidak layak dan menjadi sampah makanan. Makanan yang terlalu lama berada di dalam penyimpanan berpotensi menjadi rusak kualitasnya dan tidak aman dikonsumsi sehingga kemungkinan besar akan terbuang. Pemberian label pada kemasan merupakan cara yang termudah untuk dilakukan.[18]

Beberapa bisnis, seperti katering, retail atau manufaktur, seringkali harus menangani persediaan makanan dalam jumlah besar. Para staf yang bekerja di industri ini harus melakukan rotasi persediaan yang tepat demi efisiensi dan menjaga keamanan makanan. Salah satu metode rotasi persediaan yang biasa digunakan dalam penyimpanan makanan adalah First-In-First-Out atau FIFO (masuk pertama keluar pertama). Caranya adalah dengan menempatkan produk-produk yang memiliki masa kadaluarsa paling cepat di bagian depan dan produk-produk yang memiliki masa kadaluarsa paling lama di bagian belakang. Dengan menerapkan metode FIFO, persediaan yang memiliki masa kadaluarsa paling cepat bisa terjual lebih dulu. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan kesegaran dan meminimalkan limbah.[19]

Kondisi darurat

Sebagai negara dengan kondisi geografis yang berada di dalam Cincin Api Pasifik, Indonesia termasuk negara yang rawan mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Selain menimbulkan korban jiwa dan berbagai kerusakan, bencana alam juga mengganggu ketersediaan pangan di daerah rawan bencana dan mengakibatkan kerawanan pangan. Ketersediaan beras dan mie instan sebagai cadangan makanan masih menjadi solusi atas masalah rawan pangan, termasuk kondisi tanggap darurat. Namun, hal ini tidak menyelesaikan masalah karena untuk mengolah beras atau mie instan agar menjadi makanan yang dapat dikonusmsi membutuhkan ketersediaan air bersih yang memadai. Sementara dalam keadaan darurat, ketersediaan, kuantitas dan kualitas air bersih sering menjadi kendala. Oleh karena itu, diperlukan konsep pangan darurat yang dapat dimanfaatkan jika sewaktu-waktu terjadi bencana.[20]

Pembuatan makanan darurat harus dapat memenuhi kebutuhan gizi dan energi harian. Produk makanan darurat hendaknya mengandung energi sebesar 2.150 kkal per hari yang setara dengan kebutuhan kalori orang dewasa. Ada pun syarat lain yang harus dipenuhi dari produk makanan darurat adalah dapat dikonsumsi tanpa perlu memasak, dapat diterima oleh semua etnis dan agama serta tidak menimbulkan bahan yang menimbulkan alergi, dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk, memiliki elemen gizi yang memadai (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan antioksidan) dan memiliki kestabilan dalam organoleptik dan mikrobiologis. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah teknik pengawetan yang dapat mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri patogen dalam waktu yang relatif lama.[21]

Makanan yang harus disimpan untuk bisa bertahan dalam kondisi darurat akibat bencana alam adalah makanan yang memiliki masa kadaluarsa lama, seperti makanan kemasan atau makanan kaleng.[22]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sari, Dessy Agustina; Hadiyanto, H. (2013). "Teknologi dan Metode Penyimpanan Makanan Sebagai Upaya Memperpanjang Shelf Life". Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2 (2): 52–59. 
  2. ^ Anonim TEP-45. "Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 6 prinsip higiene dan sanitasi makanan". HIMATETA IPB. Diakses tanggal 14 Januari 2021. 
  3. ^ Commissioner, Office of the (2021-12-02). "Are You Storing Food Safely?". FDA (dalam bahasa Inggris). 
  4. ^ a b Marotz, Lynn R. (2008). Health, Safety, and Nutrition for the Young Child. Wadsworth Publishing. ISBN 978-1-4283-2070-3. 
  5. ^ "Food Safety". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  6. ^ "Fact Sheet: Freezing and Food Safety". United States Department of Agriculture, Food Safety and Inspection Service. June 3, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-20. Diakses tanggal November 8, 2011. 
  7. ^ Mitchell, Deborah (2004). Safe foods: the A-to-Z guide to the most wholesome foods for you and your family. Penguin. hlm. Ch. 15. ISBN 978-1-101-21015-4. 
  8. ^ Edi, Syahmi; Rahmah, Roro Shofiyah Nur (2018). "PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING AYAM PADA SUHU RUANG DAN REFRIGERATOR TERHADAP ANGKA LEMPENG TOTAL BAKTERI DAN ADANYA BAKTERI Salmonella sp". JURNAL BIOSAINS. 4 (1): 23. doi:10.24114/jbio.v4i1.9452. ISSN 2460-6804. 
  9. ^ Suradi, Kusmajadi (2012). "Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Ruang Terhadap Perubahan Nilai pH, TVB dan Total Bakteri Daging Kerbau". Jurnal Ilmu Ternak Unpad. 12 (2): 9–12. 
  10. ^ Michael Richardson, Kim Matthews, Chris Lloyd, Katie Brian. Meat quality and shelf life. Better Returns Programme EBLEX Agriculture and Horticulture Development Board. brp_b_betterreturnsfrommeatmanual-meatqualityandshelflife.pdf [1] Diarsipkan 2012-10-15 di Wayback Machine.
  11. ^ Matthews, K. R. Review of published literature and unpublished research on factors influencing beef quality. EBLEX R&D UK Agriculture and Horticulture Development Board 2011 rd_qs_b_-_meatqualityreview2010-beef.pdf from [2] Diarsipkan 2013-03-24 di Wayback Machine.
  12. ^ Editors of Creative Publishing. Dressing & Cooking Wild Game. Publisher: Creative Publishing international 1999 ISBN 978-0865731080
  13. ^ "Berapa Lama Boleh Menyimpan Daging di Kulkas dan Freezer?". Hello Sehat. 18 Januari 2021. Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  14. ^ Arista, Noer Isnaeni Dwi (2021). "View of Penanganan Pasca Panen Sayuran Serta Strategi Sosialisasinya Kepada Masyarakat Ditengah Pandemi Covid-19". proceedings.polije.ac.id. doi:10.25047/agropross.2021.223. ISBN 978-623-94036-6-9. Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  15. ^ Wulantika, Trisia (2021). "KONDISI PENYIMPANAN BERBAGAI PRODUK HORTIKULTURA DENGAN PENDINGINAN". HORTUSCOLER. 2 (01): 20–25. doi:10.32530/jh.v2i01.384. ISSN 2775-9962. 
  16. ^ Budiyono, Haris (2009). "ANALISIS DAYA SIMPAN PRODUK SUSU PASTEURISASI BERDASARKAN KUALITAS BAHAN BAKU MUTU SUSU". Jurnal Paradigma. X (2): 198–211. 
  17. ^ Ayuti, Siti Rani; Nurliana, Nurliana; Yurliasni, Yurliasni; Sugito, Sugito; Darmawi, Darmawi (2016). "Dinamika Pertumbuhan Lactobacillus casei dan Karakteristik Susu Fermentasi Berdasarkan Suhu dan Lama Penyimpanan". Jurnal Agripet. 16 (1): 23–30. doi:10.24815/jn.v%vi%i.3476. ISSN 2460-4534. 
  18. ^ Food Storage Guidelines, Family Survival Planning, April 10, 2009.
  19. ^ Burton, Liz (19 Juli 2017). "Implementing a FIFO Food Storage System". The Hub | High Speed Training (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  20. ^ Maulana, Nirwan. "Pangan Darurat Siap Guna untuk Mempertahankan Status Gizi Anak di Daerah Terdampak Bencana - SDGs Center". http://sdgcenter.unpad.ac.id/ (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  21. ^ Sibuea, Posman (5 Oktober 2018). Adi, Tri, ed. "Merancang makanan darurat saat bencana - Page 2". kontan.co.id. Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  22. ^ Paramitha, Tasya; Puspitasari, Rintan (6 Agustus 2018). "Panduan Menyiapkan Persediaan Makanan untuk Kondisi Darurat". www.viva.co.id. Diakses tanggal 17 Januari 2022. 

Pranala luar