Lompat ke isi

Deforestasi di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 Januari 2022 15.46 oleh Adi Culture (bicara | kontrib) (Menambahkan pranala dalam)
Deforestasi di Indragiri Hulu, Riau, Sumatra
Deforestasi dekat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh

Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan amfibi, 1.519 spesies burung, dan 25% dari spesies ikan. Sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%.[1]

Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun, dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektare hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan.[2]

Sejarah

Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7% dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di Pulau Jawa oleh pohon tinggal 4%. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.

Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah akan terganggu akibat terjadinya perusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak hutan, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan. Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Hal ini turut diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korupsi, di mana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan "banjir-kap", di mana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970, lalu dilanjutkan dengan keluarnya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri untuk melakukan tebang habis (land clearing) pada tahun 1990. Selain itu, area hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar dengan melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi, dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.

Pada tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama, juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa izin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat, dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.

Faktor penyebab deforestasi di Indonesia

Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya digunakan oleh rezim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan. Saat ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet, dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk lokal.

Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi saat ini memperparah kerusakan hutan dan berdampak langsung pada semakin berkurangnya habitat orangutan secara signifikan. Penyebab deforestasi di Indonesia, yaitu:

Hak penguasaan hutan

Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah, dan lama kelamaan banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30% dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.

Hutan tanaman industri

Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta hektare lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis, atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun, hanya sekitar 2 juta hektare yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta hektare menjadi lahan terbuka yang telantar dan tidak produktif.

Perkebunan

Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta hektare hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta hektare, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta hektare. Sisanya seluas 3 juta hektare lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan telantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, di mana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan, utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.

llegal logging (Penebangan ilegal)

Illegal logging adalah merupakan praktik langsung pada penebangan pohon di kawasan hutan negara secara illegal. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal logging terdiri dari: Rencana penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dari pembukaan akses ke dalam hutan negara, membawa alat-alat sarana dan prasarana untuk melakukan penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi kayu secara illegal. Penebangan pohon dalam makna sesunguhnya untuk tujuan eksploitasi kayu secara illegal. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalakan ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar, dan yang terorganisasi sekarang sudah merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70% pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta hektare hutan Indonesia.

Konversi lahan

Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subjek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20% hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta hektare antara tahun 1985 sampai 1997.

Program transmigrasi

Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960- 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta hektare selama keseluruhan periode tersebut. Di samping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.

Kebakaran hutan

Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnya belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta hektare hutan terbakar pada tahun 1994, dan 4,6 juta hektare hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-1998[butuh rujukan]. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif[butuh rujukan].

Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap, dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan, dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrem. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya dengan adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar.[3] Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat, dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan), dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ World Resource Institute. 1997 [1997]. 
  2. ^ Badan Planologi Dephut, 2003
  3. ^ JS, Pujiono. "Mengapa kebakaran lahan gambut sulit dipadamkan". Lokadata.ID. Diakses tanggal 2021-06-17.