Lompat ke isi

Islam dan sekularisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 Maret 2022 13.50 oleh CricketXP (bicara | kontrib) (Negara Sekuler dengan Populasi Mayoritas Umat Muslim: Kata yang di revisi sebelumnya dihapus, sudah dibalikkan karena memiliki bukti yang kuat terkait ini.)


Definisi dan penerapan dari sekularisme, khususnya masalah keagamaan dalam masyarakat, sangat berbeda antara negara dengan muslim dan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.[1] Istilah sekularisme sering digunakan untuk menjelaskan pemisahan antara kehidupan bermasyarakat dan segala yang berhubungan dengan pemerintahan dari masalah keagamaan, atau secara sederhana sekularisme adalah pemisahan antara agama dan politik. Sekularisme dalam Islam sering diperbandingkan dengan Islamisme, dan para sekularis cenderung untuk mengambil sikap berlawanan dengan Islam dalam hal politik dan nilai sosial. Di antara sarjana barat dan intelektual muslim, ada beberapa perdebatan mengenai sekularisme termasuk di dalamnya mengenai pemahaman dalam kehidupan politik dan dan campur tangan agama dalam pemerintahan yang sah.

Konsep sekularisme memiliki pengertian yang berbeda di antara para sekularis muslim. Reaksi para intelektual muslim terhadap sekularisasi juga berbeda. Di sisi lain, sekularisme dianggap suatu keburukan oleh para intelektual muslim yang merasa bahwa keagamaan tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat.[2] Di sisi lain, sekularisme dianggap cocok dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, penyelidikan sekularisme telah menginspirasi beberapa sarjana Muslim yang memperdebatkan bahwa bentuk pemerintahan sekuler adalah jalan terbaik untuk menjalankan syariat Islam. Ditambah lagi, Beberapa sarjana berpendapat bahwa bentuk pemerintahan sekuler telah ada di dunia Islam sejak abad pertengahan.

Namun, sebagian negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim menyatakan negaranya sebagai negara sekuler, Dan sebagian lainnya memiliki dualisme sistem pemerintaha dimana umat muslim dapat melakukan kegiatan bermasyarakat di bawah undang-undang syariah. Bentuknya bisa berbeda-beda di tiap negara, tetapi biasanya mencangkup masalah pernikahan, perceraian, warisan dan perwalian anak..[3]

Definisi

Beberapa sarjana mengemukakan bahwa tidak ada istilah dalam bahasa Arab yang merujuk kepada kata sekuler dan sekularisme. Sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebagai "‘alamaniyah", yang berasal dari kata "‘alam(dunia atau universal)", atau "‘ilmaniyah", yang ditarik dari kata "‘ilm(sains atau ilmu pengetahuan)". Terminologi "‘alamaniyah" pertama kali muncul diakhir abad kesembilan belas di kamus Muhit al-Muhit[4] yang ditulis oleh seorang sarjana Kristen Lebanon bernama scholar Butrus al-Bustani. Beberapa sumber mengatakan bahwa sekularisme diambil dari kata "la diniyah(tidak beragama)", yang dinyatakan sebagai sesuatu yang diluar agama.[5][6]

Selain itu, beberapa merujuk ke kata "‘almaniyyah" yang ditarik dari kata "‘alam", dan beberapa orang merujuk ke kata "dunyawiyyah", yang ditarik dari kata "dunya(sementara)", berlawanan dari kata "dini(agama)". [butuh rujukan]

Tinjauan

Konsep sekularisme diimpor bersamaan dengan pemahaman pencerahan modern dari Eropa kedalam dunia Islam, yaitu di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di antara intelektual muslim, perdebatan awal terhadap sekularisme berpusat pada hubungan antara agama dan pemerintahan, dan bagaimana hubungan ini berkorelasi terhadap kesuksesan Eropa di bidang sains, teknologi dan pemerintahan.[5] In the debate on the relationship between religion and state, (in)separability of religious and political authorities in the Islamic world, or status of the Caliph, was one of the biggest issues.[7]

Negara Sekuler dengan Populasi Mayoritas Umat Muslim

Afrika

Asia

Eropa

Pergerakan Sekularisme

Turki

Templat:POV-section

Sekularisme di Turki terjadi secara dramatis dan mengisi kekosongan paska kejatuhan Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I. Ketika negara menuju kejatuhan, Mustafa Kemal Atatürk memimpn sebuah gerakan politik dan revolusi kebudayaan. "Turki modern mengambil bentuk dari pencampuran sistem pemerintahan Islam Ottoman dan adopsi dari pemerintahan modern barat."[22]

Kritik

Sekularisme dan Kediktatoran

Ada sebuah hubungan langsung antara sekularisme dan penindasan di Timur Tengah. Penyebaran Islamisme dan Gerakan Kebangkitan Islam membuat para pemimpin sekuler lebih bertindak otoriter dan menindas untuk melindungi paham sekularisme agar tidak punah. Di saat yang sama, semakin besar penindasan dari pemerintah membuat masyarakat semakin bersebrangan dengan sekularitas dan membuat gerakan Islamisme semakin mendapat hati di masyarakat Timur Tengah.[23]

Kediktatoran telah membuat masjid sebagai satu-satunya tempat untuk memukul balik pemerintah dan melakukan perlawanan politik..[24] SEorang sarjana seperti Vali Nasr berpendapat bahwa para elit sekuler di dunia muslim dibentuk oleh kekuatan kolonial untuk mempertahankan hegemoni mereka.[25]

Sekularisme juga biasanya diasosiasikan sebagai rezim militer, seperti yang terjadi di Turki dan Aljazair. Islamic Salvation Front (FIS) sukses memenangkan pemilu pada bulan Desember 1991 di Aljazair[26] dan Partai Sejahtera sukses memenangkan pemilu 1995 di Turki.[27] Kedua partai ini adala contoh partai politik Islam yang berlandaskan demokrasi. Akan tetapi, kedua partai tersebut dijatuhkan oleh kudeta militer untuk menyelamatkan paham sekularisme.[28] Partai Sejahtera di Turki dipaksa untuk turun dari pemerintahan oleh militer Turki pada bulan Februari 1997dalam operasi yang dinamakan "kudeta post modern",[29] FIS di Aljazair dijatuhkan oleh kudeta militer yang membawa negara tersebut kedalam perang saudara 1992.[28] Kekuatan militer di beberapa negara dapat digunakan sebagai cara yang jauh dari konsep demokrasi untuk tujuan melindungi sekularisme.

Di beberapa negara, ketakutan akan Islamisme membuat negara melakukan cara yang seolah dilakukan secara domokratis dengan menekan Partai Islam.[30] "Rezim Syria merasa takut dengan kekuatan Islamisme lalu menekan Persaudaraan Muslim Syria."[31] Ketika diplomat Amerika Serikat meminta Hosni Mubarak untuk memberikan hak kepada pers dan berhenti menangkap para intelektual, Mubarak menolaknya dan berkata, "Jika Saaya melakukan apa yang kau minta, para "fundamentalis" akan mengambil alih pemerintahan seperti di Mesir. Kau mau itu terjadi?" Atau ketika presiden Bill Clinton meminta Yasser Arafat untuk menegakkan demokrasi di Palestina pada 2001, Yasser Arafat juga menjawab hal yang sama. "Dia berkata bahwa dalam sebuah sistem demokrasi Islam, Hamas akan mengontrol pemerintahan di Palestina".[23] Sebagian otokrasi sekuler di Timur Tengah mengambil risiko melawan Islamisme untuk membenarkan otokrasi pemerintahan mereka di arena internasional.

Lihat Juga

Islamisme:

Referensi

  1. ^ Asad, Talal. Formation of Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford: Stanford University Press, 2003. 5-6.
  2. ^ From the article on secularism in Oxford Islamic Studies Online
  3. ^ "Islam: Governing Under Sharia" Diarsipkan 2015-05-03 di Wayback Machine., Author:Tony Johnson, November 10, 2010
  4. ^ Bustānī, Buṭrus ibn Būlus. Muḥīṭ al-Muḥīṭ:qāmūs muṭawwal al-lughah al-ʻArabīyah/taʼlīf Buṭrus al-Bustānī. Beirut:Maktabat Lubnān, 1977.
  5. ^ a b Tamimi, Azzam. "The Origins of Arab Secularism." In Islam and Secularism in the Middle East, edited by Espasito, Jon L. and Tamimi, Azzam. 13-28. New York: New York University Press, 2000. 17.
  6. ^ Keane, John. "The Limits of Secularism." In Islam and Secularism in the Middle East, edited by Espasito, Jon L. and Tamimi, Azzam. 29-37. New York: New York University Press, 2000. 35.
  7. ^ Ardic, Nurullah. Islam and the Politics of Secularism: The Caliphate and Middle Eastern modernization in the early 20th century. New York: Routledge, 2012. 8
  8. ^ [1] Article 31
  9. ^ a b [2] Article 1
  10. ^ [3] Article 1 (1)
  11. ^ [4] Article 25
  12. ^ [5] Article 1
  13. ^ [6] Article 1 (1)
  14. ^ "Article 1 (1)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-28. Diakses tanggal 2014-05-09. 
  15. ^ Characteristics of the Republic: Article 2, Provisions Relating to Political Parties: Article 68, Oath taking: Article 81, Oath: Article 103, Department of Religious Affairs: 136, Preservation of Reform Laws: 174
  16. ^ [7] Diarsipkan 2017-05-25 di Wayback Machine. Article 1
  17. ^ [8] Section 1: Foundations of the constitutional order, Article 1
  18. ^ [9] Diarsipkan 2013-05-12 di Wayback Machine. Constitution of Turkey Characteristics of the Republic: Article 2, Provisions Relating to Political Parties: Article 68, Oath taking: Article 81, Oath: Article 103, Department of Religious Affairs: 136, Preservation of Reform Laws: 174
  19. ^ Syria Country Report
  20. ^ Press Confrence by Maronite Patriarch about Religious Freedom in Middle East
  21. ^ [10] Diarsipkan 2017-06-12 di Wayback Machine. Article 7/Article 18
  22. ^ Alev Cinar, Modernity, Islam and Secularism in Turkey, p 14
  23. ^ a b Zakaria, F. 2007, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad. W Norton & Co Inc, New York.
  24. ^ Fred Halliday, Two Hours That Shook the World.
  25. ^ Esposito, J, "The Oxford History of Islam", Oxford University Press, 1999
  26. ^ http://www.binghamton.edu/cdp/era/elections/alg91par.html
  27. ^ Türkiye Seçimleri
  28. ^ a b Norton, A. R. (ed), 1996. Civil Society in the Middle East, 2nd volume. Brill, Leiden
  29. ^ Yavuz, M. H. (2006) The Emergence of a New Turkey: Democracy and the AK Parti. Utah: Utah University Pres
  30. ^ Garon2003
  31. ^ Nicola Pratt, Democracy and Authoritarianism in the Arab World, p. 137

Bacaan Selanjutnya