Lompat ke isi

Jainisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bendera kaum Jain


Jainisme (Sanskerta: जैनधर्म - Jainadharma, bahasa Tamil: சமணம் - Samaṇam) adalah sebuah agama dharma. Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibuat oleh Nataputta Vardhamana, hidup pada 559–527 SM yang beroleh panggilan Mahawira yang berarti pahlawan besar.

Agama Jaina lahir lebih dahulu daripada agama Buddha. Agama Buddha punya pengikut lebih luas di luar India, tetapi agama Jaina terbatas hanya di India saja. Kedua agama tersebut merupakan reaksi terhadap perikeadaan di dalam agama Hindu mengenai perkembangan ajarannya pada masa lampau.

Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.

Asal-usul

Istilah Jaina yang paling dekat dengan “kitab suci” adalah agama, “kedatangan” seperangkat doktrin melalui transmisi oleh paraguru otoritatif danbersilsilah jelas, yaitu orang-orang “tercerahkan” yang telah menemukan kebenaran ahimsa. Agama disimpulkan dalam sebuah pernyataan yang sering dikutip: “Sang Manusia yang Layak menurutkan makna, kemudian para murid menyusun sutta (teks suci), dan kemudian teks suci berlanjut demi kebaikan doktrin”. Inilah yang membuat makna sebuah teks terpisah dari kata-katanya. Terlebih lagi, sutta bermakna “indikasi” – sesuatu yang hanya mengisyaratkan atau menunjukkan kepada makna yang secara utuh hanya diterangkan oleh seorang guru yang mumpuni.

Melalui hal itulah, dapat disaksikan bahwa proses tiga lapis ini terjadi pula dalam kisah Mahavira. Setelah pencerahanya, diriwayatkan bahwa ia berkhotbah di kuil roh pohon di hadapan raja dan ratu Champa, serta sekerumunan besar asketik, dewa, orang awam, dan binatang. Para murid Mahavira yang menyimak khotbah tersebut kemudian menyampaikan pesannya secara lisan, sehingga menjadi sebuah sutta. Namun, ini hanya merupakan “indikasi” kata-kata Mahavira. Ia menuturkan kebenaran yang abadi dan tetap, yang seperti alam semesta itu sendiri, tak berawal dan telah disampaikan pula oleh para “manusia tercerahkan” pada era-era sebelumnya. Sutta tidak merekam kata-kata Mahavira sendiri, tetapi sebuah komentar semata terhadap pesannya.

Ini barangkali dapat menjelaskan keyakinan kuat umat Jaina bahwa kitab-kitab suci meraka tidak lengkap dan bahwa kebenaran-kebenaran penting telah hilang–sebuah tema yang kita jumpai pula dalam tradisi-tradisi lain. Ada pernyataan bahwa setiap dari 24 tithankara mengajarkan doktrin ahimsa kepada lingkaran muridnya, dan pada setiap masa para murid merekam ajaran-ajaran sang guru dalam empat belas kitab suci. Namun, tragisnya setelah kematian setiap tithankara, para murid yang bertanggung jawab menyampaikan ajarannya tewas dalam bencana kelaparan, sehingga sehingga ajaran-ajaran yang penting pun hilang. Oleh karenanya, setiap kali seorang tithankara wafat, umat Jaina selalu hanya mendapat kanon kitab suci yang tidak lengkap. Kitab-kitab suci yang tersisa sedikit itu hanya mengabadikan doktrin-doktrin yang kurang penting dan diperentukkan bagi perempuan dan anak-anak, karena hanya lelaki yang mampu memahami ajaran-ajaran yang lebih tinggi. Umat Jaina mencoba memperbaiki kelemahan metode pewarisan kitab suci mereka melalui serangkaian siding (vacana). Sidang pertama digelar pada pertengahan abad ke-3 SM di Pataliputra, dan sidang kedua serta ketiga digelar pada abad ke-4 dan ke-5 M. Terjemahan yang lebih akurat dari vacana adalah “wacana” atau “pembacaan”. Tidak ada debat intelektual dalam sidang-sidang ini; peserta menyimak para biarawan membacakan kitab-kitab suci yang mereka hafalkan.

Konsep pemahaman

Menurut Karen Armstrong, Jainisme memang sering dianggap ateistik. Ajaran ini tidak memiliki konsep seperti Tuhan versi Barat modern yang menganut kosmos; bagi Mahavira, deva adalah suatu makhluk yang mencapai keilahian dengan jalan menghormati esensi suci setiap makhluk lebih jauh, Mahavira percaya bahwa siapa pun yang mengikuti tuntunannya secara otomatis akan menyucikan kemanusiaannya dan menjadi “pahlawan agung”.

Belakangan, pengikut Jaina mengembangkan sebuah kosmologi pelik yang memandang karma sebagai materi halus, semacam debu, yang membebani roh. Mereka kemudian memandang bahwa Mahavira sebagai sekadar seorang tokoh dalam sederetan panjang tirthankara (penyelamat atau guru spiritual) yang telah berhasil menyebeerangi sungai dukkha dan mengajarkan ahimsa. Namun, teks-teks Jain paling awal tidak menunjukkan adanya doktrin-doktrin ini, meskipun memandang ada penyebutan mengenai “orang-orang pandai” yang menyerukan ahimsa pada masa lampau. Tampaknya bagi Mahavira, jalan menuju pencerahan adalah ahimsa tout court (semata).

Umat Jaina percaya bahwa mansia ditentukan bukan oleh kelas sosial berdasarkan Weda, melainkan oleh perbuatan mereka. Mereka tidak tertarik sedikit pun kepada Weda dan tidak menganggap kitab-kitab itu diilhami wahyu ilahi. Mereka mengecam ritualisme teks-teks Brahmana sebagai “ilmu kekejaman” – teks-teks dan mantra-mantra itu tidak bisa menetralisasi kekejaman pengorbanan ternak tak berdaya.

Mereka mengembangkan ritual tersendiri, yang jauh lebih penting daripada kitab suci. Hal ini dikarenakan ritual-ritual itu memungkinkan mereka mendapatkan kesadaran bahwa segala sesuatu di sekeliling mereka – bahkan benda-benda yang tampaknya tidak hidup memiliki jiva yang dapat merasakan penderitaan. Oleh karenanya, umat Jaina selalu berjalan dengan sangat hati-hati supaya tidak dengan ceroboh menginjak seekor serangga; mereka melatakkan barang dengan lembut dan tidak pernah bergerak dalam gelap untuk mencegah diri mereka secara tidak sengaja melindas sesama makhluk.

Seperti halnya semua penolak dunia, umat Jaina melaksanakan empat sumpah yang melarang pembunuhan, dusta, mencuri, dan hubungan kelamin. Namun, menambahkan unsur-unsur yang menumbuhkan kebiasaan empati. Seorang Jaina bukan hanya harus menahan diri dari berdusta, penganut laki-laki atau perempuan (Jaina mengizinkan perempuan menjadi anggota sangha mereka) harus tidak pernah berbicara kasar atau gusar. Tidak cukup hanya menahan diri tidak mencuri, seorang Jain juga dilarang memiliki apa pun karena setiap benda atau makhluk memiliki jiva yang berdaulat dan merdeka.

Lebih lanjut, umat Jaina lebih memilih mengembangkan bentuk meditasi mereka sendiri daripada menghabiskan waktu berlatih yoga, yaitu berdiri tidak bergerak dalam postur tithankara, tangan tergantung lurus di sisi badan mereka yang secara sistematis menekan semua pikiran dan dorongan jahat. Pada saat yang sama, mereka melakukan upaya sadar untuk mengisi pikiran dengan kasih dan kebaikan kepada semua makhluk.

Umat Jaina yang telah berpengalaman akan berupaya mencapai kondisi yang mereka sebut sebagai samakiya (ketenangan), yang di dalamnya mereka tahu bahwa semua benda, binatang, dan manusia berstatus setara pada semua level keberadaan mereka. Mereka juga menyadari tanggung jawab mereka kepada sembarang makhluk, serendah atau semenjijikkan apa pun itu.

Ritual Jaina begitu berat, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk mengkaji kitab suci. Umat Jaina tidak mengalami yang ilahi dalam teks-teks suci mereka, tetapi dengan menumbuhkan kesadaran tentang kesucian segala sesuatu. Selama berabad-abad kemudian, mereka mengembangkan sikap ambivalen terhadap kitab suci. Mereka sepakat bahwa kitab suci mungkin dapat membantu orang yang belum tercerahkan, dengan cara membuat mereka menyadari pentingnya ahimsa. Namun, ketika seseorang berkomitmen menempuh jalan Jaina, kitab suci tidak lagi berperan penting.

Kebanyakan penganut Jaina tidak terlalu berminat membaca kitab suci mereka, bahkan kitab suci bisa berbahaya bagi orang yang belum menjalani inisiasi. Sampai sekarang, sejumlah sekte Jaina tidak memperbolehkan orang awam membaca kitab-kitab suci mereka, bahkan para biarawati Jaina hanya boleh membaca kumpulan kutipan yang diseleksi secara ketat. Ada kekhawatiran mereka bahwa tiap orang akan merasa telah menguasai pesan Jaina hanya dengan memahaminya secara intelektual.

Kitab suci

Kitab suci di dalam agama Jaina adalah Siddhanta. Kitab ini terdiri atas beberapa himpunan. Himpunan pertama terdiri atas dua belas buah Angas atau bab, tetapi Angas keduabelas telah lenyap, tidak dijumpai sampai sekarang.

Referensi

  • Hume, Robert, "World's Living Religions", 1930.
  • Gaer, Joseph "How the Great Religions Began", 1960.