Syech Jangkung
Syech Jangkung | |
---|---|
Lahir | Sayyid Raden Syarifuddin/Raden Saridin 1540an Masehi Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang dan Awal Kesultanan Mataram |
Meninggal | 15 Rojab 1563 Tahun Saka(Jawa) / 20 Oktober 1641 masehi |
Tempat tinggal | Pati, Jawa Tengah |
Nama lain | Saridin Syarifuddin |
Tempat kerja | Kerajaan Islam Demak |
Dikenal atas | Murid Sunan Kalijaga |
Gelar | Waliyyul Ilmi |
Saridin atau sering disebut Syeh Jangkung adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang terkenal di Karesidenan Pati. Selain terkenal di Pati, Jawa Tengah, Saridin atau Syech Jangkung ternyata juga diakui sebagai leluhur atau nenek moyang warga Dusun Dukuh yang terletak di Desa Glagah Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur serta di sejarah keturunan syech jangkung , keturunan syech jangkung pangreh praja di Karesidenan Pati menikah dengan trah Mataram,trah pangeran Kudus(Sarengat), trah citrasoma,trah condronegara bupati pati dan diantara keturunan Syech Jangkung yaitu ada Dr.Moewardi adalah Pahlawan Nasional Kemerdekaan Indonesia yang gugur sebagai pahlawan Kusuma bangsa yang masih keturunan langsung dari Syech Jangkung, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga dari Raden Bagus Momok Moekmin(Sigit Gus Momok Landoh)/Raden Tirtakusuma putra Syech Jangkung dan Raden Ayu Retno Jinoli Putri Sultan Mataram ke 2 Sultan Anyakrawati Raden Mas djolang dan Ratu Tulung Ayu, garis silsilah ayah Dr.Moewardi Yaitu Mas Sastrowardojo/Raden Sastrowardojo keturunan langsung dari Syech Jangkung dan Raden Ayu Retno Jinoli.[1]
Profil
Saridin tokoh spiritual yang dulu mendiami Kabupaten Pati, ada satu tokoh yang turut andil menyebarkan agama Islam bagi masyarakat setempat. Dia adalah Syekh Jangkung putra dari Sunan Muria, beliau dikenal warga sebagai ulama berkharisma dan ahli Tasawuf sekaligus murid dan cucu Sunan Kalijaga.
Konon, Syekh Jangkung diutus Sunan Kalijaga menyiarkan Islam pertama kali di sebuah desa bernama Desa Miyono.
Gelar dan Silsilah
Asal Usul Nama Syeh Jangkung[2] ialah untuk memudahkan dalam berucap kata Syarifuddin dalam logat jawa memang agak kesulitan, sehingga kata Syarifuddin berubah menjadi “Saridin”. Gelar “Syeh” bagi Saridin, beliau mendapatkannya dari negara Ngerum (Andalusia, saat itu sebagai pusat perawi Hadits dan pusat kerajaan Islam terbesar didunia). Adapun gelar “Syeh Jangkung” beliau dapat dari gurunya dan juga kakeknya yaitu Raden Syahid Sunan Kalijaga. Karena Saridin ini selalu dijangkung oleh gurunya. Makna kata di jankung menurut bahasa Indonesia dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungannya.
Silsilah Raden Saridin (Syech Jangkung) atau Sunan Landoh menurut Naskah Pustoko Darah Agung Rangkainya sebagai berikut (1) Abdul Muthalib (Adipati Mekah) (2) Sayyid Abbas bin Abdul-Muththalib (3) Sayyid Abdul Azhar (4) Syaikh Wais (5) Syaikh Mudzakir(6) Syaikh Abdullah (7) Syaikh Kurames(8) Syaikh Mubarak (9) Syaikh Abdullah (10) Syaikh Ma'ruf (11) Syaikh Arifin (12) Syaikh Hasanuddin(13) Syaikh Jamal(14) Syaikh Ahmad(15) Syaikh Abdullah(16) Syaikh Abbas (17) Syaikh Abdullah (18) Syaikh Kurames (Ulama di Mekah) (19) Abdur Rahman (Ario Teja, Bupati Tuban)(20) Ario Teja I (Bupati Tuban)(21) Ario Teja Laku (Tuban) (22) Ario Teja II (Bupati Tuban) (23) Raden Sahur Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) (24) Raden Mas Said(Sunan Kalijaga)(25) Raden Umar Said (Sunan Muria) (26) Raden Syarifuddin/Saridin (Syech Jangkung) Sunan Landoh.
Silsilah Raden Saridin (Syech Jangkung) atau Sunan Landoh dari jalur ibu Sayyidah Dewi Sujinah Rangkainya sebagai berikut (1)Nabi Muhammad Rasulullah SAW (2) Sayyidah Fatimah az-Zahra (RHA)(3) Al Imam Al Husain bin Ali As Syahid (RA) (4) Al Imam (Ali bin Husain) Ali Zainal Abidin (5) Al Imam Muhammad al-Baqir(6) Al Imam Ja'far ash-Shadiq (7) Al Imam Ali al-Uraidhi (8) Al Imam Muhammad an-Naqib (9) Al Imam Isa ar-Rumi (10) Al Imam Ahmad al-Muhajir (11) As Sayyid Ubaidillah bin Ahmad (12) As sayyid Alawi bin Ubaidillah Alawi Awwal (13) As Sayyid Muhammad Shahibus Shaumah (14) As Sayyid Alawi Ats Tsani (15) As Sayyid Ali Khali' Qasam (16) As Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (17) As Sayyid Alawi Ammil Faqih (18) As Sayyid Abdul Malik bin Alwi Azmatkhan (19) As Sayyid Amir Khan Abdullah (20) As Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin (21) As Sayyid Husain Jamaluddin Akbar al-Husaini (22) As Sayyid Syekh Ibrahim Zainuddin As'Samarqandi (gesikharjo Tuban) (23) As Sayyid Ali Murthada "Raden Santri Gresik" (24) As Sayyid Utsman Haji "Sunan Ngudung" (25) Sayyidah Dewi Sujinah (26) Raden Syarifuddin/Saridin (Syech Jangkung) Sunan Landoh.
Kemampuan
Saridin waktu kecilnya saat masih anak - anak menjadi santri di perguruan Sunan Kudus Kemampuannya di atas para santri yang merasa diri senior. tetapi juga Sunan Kudus merupakan paman Saridin dari (ibu "Sidin" panggilan kesayangan ibu syeh jangkung) dewi sujinah adalah adik Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan Kudus.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul. Akan tetapi santri murid-murid lain yang iri dan tidak suka hal tersebut menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Kerbau Landoh
Saridin membuka perguruan dengan nama Panembahan Landoh "Sigit Kalimosodo" di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Raden Bagus Momok Moekmin, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Raden Bagus Momok Moekmin memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.