Lompat ke isi

Leyand International

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
PT. Leyand International Tbk
Publik (IDX: LAPD)
IndustriInvestasi energi
Kantor pusatJakarta, Indonesia
Produkenergi
Karyawan
63 (2020)
Situs webleyand.co.id

PT Leyand International Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: LAPD) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik. Berkantor pusat di Panin Tower Senayan City, Jl. Asia Afrika, Jakarta Pusat,[1] perusahaan ini tercatat sempat beberapa kali mengganti nama dan usahanya sejak awal berdiri.

Manajemen

  • Presiden Komisaris: Bobby Alianto
  • Komisaris: Ferry Hadi Saputra
  • Direktur Utama: Risming Andyanto
  • Direktur: Djoko Purwanto
  • Direktur: Toto Iriyanto[2]

Kepemilikan

  • Laymand Holdings Pte. Ltd.: 30,26%
  • PT Intiputera Bumitirta: 19,17%
  • Keraton Investment Ltd.: 12,81%
  • Nany Indrawaty Sutanto: 8,13%
  • Leo Andyanto: 5,73%
  • Publik: 23,9%

Anak usaha

  • PT Asta Keramasan Energi: Mengoperasikan tiga pembangkit listrik, yaitu PLTD Sicanang dan PLTD Siantan sejak bulan Mei 2008 serta PLTG Palembang pada paruh awal 2010. Kini, hanya PLTD Sicanang yang aktif, dengan kapasitas 107,3v MW.
  • Sumatera Energy Capital Pte. Ltd.[1]

Sejarah

Produsen kantong plastik

Cikal-bakal dari perusahaan ini dapat ditarik pada sebuah perusahaan kantong plastik rumahan yang berada di Jakarta Barat, didirikan pada tahun 1969, yang berbahan dasar polipropilena (PP) dan LDPE khusus kebutuhan pengemasan bahan-bahan makanan seperti tepung dan gula.[3] Mulai 7 Juni 1990, bisnis ini ditransformasikan dalam sebuah perseroan terbatas bernama PT Lemahabang Perkasa, didirikan pada 7 Juni 1990 yang memiliki pabrik di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.[1][4][3] Perusahaan ini masih memproduksi plastik, namun kali ini menggunakan jenis HDPE yang berteknologi heat seal yang diklaim lebih kuat, praktis dan tipis. Sebagai salah satu penyedia pertama, produk PT Lemahabang kemudian mendapat respon yang positif di pasar lokal. PT Lemahabang kemudian memproduksi varian-varian seperti jas hujan, pembungkus roti dan makanan, pembungkus pakaian, kantong sampah, dan lainnya dan menargetkan pasar ekspor, seperti Jepang dan Amerika Serikat yang kemudian mencapai 30% dari penjualannya.[3]

Munculnya krisis moneter pada akhir 1990-an sendiri rupanya memberi peluang baru bagi perusahaan ini, seiring munculnya pemain ritel baru. Perusahaan memproduksi soft loof handle bags, patch handle bags, kantong roll, star sealed bags dan varian lainnya bagi kebutuhan ritel, baik itu toko serba ada, supermarket, restoran, dll. Beberapa konsumennya seperti Carrefour, Ramayana dan Hero.[5][6][3] Sejak 13 Maret 2001, nama perusahaan diganti menjadi PT Lapindo Packaging[7] (bisa diartikan Lemahabang Indonesia Packaging) dan 17 Juli 2001 telah melepas 60 juta sahamnya di Bursa Efek Jakarta dengan harga penawaran Rp 200/lembar. Kode sahamnya, LAPD berasal dari singkatan nama perusahaan saat itu.[8] Pasca-IPO, perusahaan mendapatkan penjualan Rp 21 miliar dan keuntungan Rp 1,13 miliar.[9] Kemudian, pada 22 November 2002, nama perusahaan berganti lagi menjadi PT Lapindo International Tbk.[7] Pada periode ini, perusahaan dibantu oleh sekitar 250 karyawan untuk memenuhi pasar lokal maupun ekspor.[3] Diperkirakan, pada Januari-September 2007, penjualan perusahaan mencapai Rp 40 miliar.[7]

Perubahan nama dan pergantian usaha

Pada tahun 2006, muncul kasus lumpur panas di daerah Sidoarjo, Jawa Timur yang melibatkan perusahaan bernama sama (Lapindo Brantas Inc.). Walaupun Lapindo International dan Lapindo Brantas tidak berhubungan sama sekali, namun kekhawatiran akan citra buruk dari kasus tersebut membuat manajemen perusahaan ini mengganti nama dari PT Lapindo International Tbk menjadi PT Leyand International Tbk pada 20 November 2007.[7][10] Tidak lama setelah itu, pada 9 Mei 2008, dilakukan rights issue[8] yang mendilusi penguasaan kepemilikan dari sebelumnya oleh PT Intiputra Bumitirta (62%)[11] menjadi didominasi oleh Layman Holdings Pte. Ltd. (30%).[12] Rights isssue berharga Rp 407 miliar itu[13] kemudian diiringi akuisisi pada beberapa perusahaan pembangkit listrik, yaitu PT Aneka Kerasaman Energi dan Sumatera Energy Capital Pte. Ltd. yang memiliki pembangkit listrik di Medan, Palembang dan Pontianak.[12] Akuisisi ini diklaim dapat meningkatkan keuangan perseroan karena bisnisnya lebih prospektif.[7] Maka, kemudian juga dilakukan perubahan usaha menjadi ke bisnis energi dari sebelumnya produksi plastik.[14] Bisnis plastik perusahaan akhirnya dilepas, mulai dari pelepasan PT Buana Tirta Niaga (anak usaha yang bergerak pada perdagangan plastik) pada 31 Agustus 2007[7] dan pelepasan seluruh bisnis dan aset produksi plastik Leyand ke pihak ketiga sejak 31 Desember 2009,[12] yang berarti menyelesaikan proses backdoor listing di perusahaan ini.

Perusahaan ini dalam perkembangannya kemudian sempat berencana akan membeli PT Nusantara Infrastrucure Tbk dalam rights issue-nya senilai Rp 500 miliar yang dilakukan pada 2009, namun gagal karena kemudian tidak disetujui pemegang sahamnya. Kemudian, Shandong Machinery Corporation Pte. Ltd. masuk sebagai pemegang 13,4% saham di Leyand.[15][16] Lewat bisnis pembangkit listriknya, perusahaan sendiri menjual listriknya ke PLN di tiga daerah. Untuk menunjang operasionalnya, Leyand juga menargetkan pembangunan pembangkit listrik lagi di Pontianak, dengan target pendapatan pada 2012 mencapai Rp 400 miliar.[17][18] Akan tetapi, dalam periode yang hampir berdekatan (2012-2013), perusahaan melepas kepemilikan di PT Dharma Bumi Mekongga senilai Rp 4,8 miliar[19] dan PT Leyand Pontianak Power di tanggal 26 Maret 2013.[20]

Sayangnya, dalam perkembangannya bisnis LAPD cenderung stagnan, bahkan sejak 2014 mengalami penurunan pendapatan dan aset.[21] Malahan, belakangan ini ekuitasnya terus menunjukkan tanda negatif,[22] dan opini dari akuntan publik menyatakan disclaimer pada laporan keuangannya. Penurunan ini dikarenakan konsumen utamanya, PLN sudah menghentikan kontraknya dengan anak usaha PT Leyand International Tbk (PT Asta Keramasan Energi), sehingga perusahaan tidak mendapatkan pendapatan apapun. Akibatnya, perusahaan terpaksa menjual aset-asetnya seperti mesin dan peralatan pembangkit listrik untuk menutupi kesulitan keuangan.[23][24] PT Asta pun juga direncanakan akan mengubah bisnis ke bidang transportasi dan dilepas oleh LAPD. Hal ini belum ditambah hutang yang tidak terbayar, seperti ke Panin Bank. Sejak Juli 2020, saham LAPD sudah disuspensi perdagangannya dari Bursa Efek Indonesia, dan pada 2 Juli 2022 akan mencapai 2 tahun yang bermakna perusahaan ini dapat di-delisting (dihapus pencatatannya) dari BEI.[25][26][27]

Rujukan

Pranala luar