Lompat ke isi

Naga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi naga bersayap dan bernafaskan api oleh Friedrich Justin Bertuch dari 1806
Ukiran naga dalam mitologi Tiongkok di Dinding Sembilan Naga, Taman Beihai, Beijing
Moncong kapal Ystad (nama bahasa Swedia untuk kapal panjang bangsa Viking) yang berbentuk kepala naga

Naga merupakan salah satu makhluk legenda yang memiliki karakteristik serupa dengan reptil yang muncul dalam banyak cerita rakyat dalam berbagai budaya didunia. Kepercayaan terhadap naga berbeda-beda pada setiap daerah, teyapi naga dalam mitologi barat sejak Abad Pertengahan Atas dideskripsikan sebagai makhluk yang memiliki sayap, tanduk, Quadrupedalism|empat kaki]], dan dapat mengeluarkan nafas api. Sedanglan, dalam budaya timur, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk tak bersayap, memiliki empat kaki, memiliki bentuk seperti ular dengan kecerdasan yang diatas rata-rata. Selain itu, naga digambarkan memiliki sifat yang merupakan gabungan dari fitur dalam ras felin, aves, dan reptil. Para mahasiswa mempercayai bahwa naga kemungkinan besar merupakan gambaran dari buaya, khususnya dengan karakteristik tempat tinggalnya, yaitu di rawa-rawa ataupun hutam lebat, juga struktur tubuhnya, menjadikan hewan ini sebagai asal-usul penggambaran dri naga Oriental modern.[1][2]

Pandangan Terhadap Naga

Naga
Lukisan naga versi Eropa.

Naga, dalam berbagai peradaban dikenal dengan nama dragon (Inggris), draken (Skandinavia), Liong (Tiongkok), dikenal sebagai makhluk superior yang berwujud menyerupai ular, kadang bisa menyemburkan api, habitatnya di seluruh ruang (air, darat, udara). Meskipun penggambaran wujudnya berbeda-beda, tetapi secara umum spesifikasi makhluk tersebut digambarkan sebagai makhluk sakti.

Sosok naga di dunia barat digambarkan sebagai monster, cenderung merusak dan bersekutu dengan kekuatan gelap. Dicitrakan sebagai tokoh antagonis yang seharusnya dihancurkan. Seseorang bisa mendapat gelar pahlawan atau ksatria dengan membunuh naga. Pendek kata, naga adalah ancaman bagi manusia.

Tidak demikian halnya dengan citra naga di peradaban timur. Di Tiongkok, naga dianggap sebagai sosok yang bijaksana dan agung layaknya dewa. Naga adalah satu-satunya hewan mitos yang menjadi simbol Shio. Budaya Minangkabau mengenal dongeng Ngarai Sianok yang diciptakan oleh Sang Naga. Hiasan berbentuk naga juga sangat lekat dengan budaya Jawa, umumnya terdapat di gamelan, pintu candi dan gapura, sebagai lambang penjaga. Masyarakat Dayak juga menggambarkan Naga sebagai penguasa dunia bawah, dan Burung Enggang sebagai penguasa dunia atas. Naga di peradaban timur mendapat tempat terhormat, karena meskipun mempunyai kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan, tetapi tidak semena-mena dan bahkan bisa mengayomi.

Naga atau Ular menurut pandangan kebanyakan Orang Indonesia, dianggap sebagai lambang dunia bawah. Sebelum Zaman Hindu (Neolithicum), di Indonesia terdapat anggapan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dunia bawah dan dunia atas, dan masing-masing mempunyai sifat yang bertentangan. Dunia bawah antara lain dilambangkan dengan bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya. Sedangkan dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, kuda, rajawali.[3]

Pandangan semacam itu juga hampir merata di seluruh bangsa Asia. Dalam cerita Mahabarata maupun pandangan kebanyakan Orang Indonesia sendiri sebelum Zaman Hindu, naga atau ular selalu berhubungan dengan air, sedangkan air mutlak diperlukan sebagai sarana pertanian.

India

Pakhangba, adalah dewa naga ular purba dalam mitologi Meitei.

Istilah naga merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu nāga (Dewanagari: नााग) yang bermakna "ular". Dalam naskah Mahabharata dikisahkan bahwa para Naga merupakan anak-anak Resi Kasyapa dari perkawinannya dengan Dewi Kadru. Nama-nama mereka yang terkenal antara lain Sesa, Taksaka, Basuki, Karkotaka, Korawya, dan Dritarastra. Bangsa Naga yang berjumlah ribuan memiliki dua orang sepupu berwujud burung dan disebut sebagai bangsa Kaga. Keduanya bernama Aruna dan Garuda, yang merupakan putra dari Dewi Winata yang juga dinikahi Resi Kasyapa. Dengan demikian, hubungan antara Naga dengan Kaga selain sebagai sepupu juga sebagai saudara tiri. Meskipun demikian hubungan mereka kurang baik dan sering terlibat perselisihan. Di antara para Naga ada pula yang menjadi dewa, yaitu Sesa, yang tertua di antara putra Kadru. Ia memisahkan diri dari adik-adiknya dan hidup bertapa menyucikan diri. Ia akhirnya diangkat sebagai dewa para ular, bergelar Ananta.

Tiongkok

Patung Naga di Johor, Malaysia.

Dalam tradisi Tionghoa juga terdapat makhluk bernama Liong atau Lung yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah naga. Makhluk ini digambarkan sebagai ular berukuran raksasa, lengkap dengan tanduk, sungut, dan cakar, sehingga berbeda dengan gambaran naga versi India.

Naga versi Tionghoa dianggap sebagai simbol kekuatan alam, khususnya angin topan. Pada umumnya makhluk ini dianggap memiliki sifat yang baik selama ia selalu dihormati. Naga dianggap sebagai penjelmaan roh orang suci yang belum bisa masuk surga. Biasanya roh orang suci menjelma dalam bentuk naga kecil dan menyusup ke dalam bumi untuk menjalani tidur dalam waktu lama. Setelah tubuhnya membesar, ia bangun dan terbang menuju surga.

Sebagian ilmuwan berpendapat, naga dalam kebudayaan Tionghoa merupakan makhluk khayal yang diciptakan oleh masyarakat zaman dahulu akibat penemuan fosil dinosaurus. Makhluk ini juga dikenal dalam kebudayaan Jepang dengan istilah Ryuu.

Naga dalam shio memiliki arti kebenaran. Arti lain adalah perlindungan dan keperkasaan. Shio naga terdapat pada tahun 2012, 2000, 1988, 1876, 1964, 1952, 1940. Shio naga memiliki kemampuan mulut yang baik dan sayangnya sering membuatnya celaka.

Kalimantan

Naga versi suku Kutai, Kalimantan timur dalam upacara adat Erau.
Naga versi suku Banjar, Kalimantan Selatan

Naga dalam budaya Kalimantan (suku Dayak) dianggap sebagai simbol alam bawah. Naga digambarkan hidup di dalam air atau tanah dan disebut sebagai Naga Lipat Bumi. Naga merupakan perwujudan dari Tambun yaitu makhluk yang hidup dalam air.

Menurut budaya Kalimantan, alam semesta merupakan perwujudan "Dwitunggal Semesta" yaitu alam atas yang dikuasai oleh Mahatala atau Pohotara, yang disimbolkan enggang gading (burung), sedangkan alam bawah dikuasai oleh Jata atau Juata yang disimbolkan sebagai naga (reptil). Alam atas bersifat panas (maskulin) sedangkan alam bawah bersifat dingin (feminim). Manusia hidup di antara keduanya.

Dalam budaya Banjar, alam bawah merupakan milik Puteri Junjung Buih sedangkan alam atas milik Pangeran Suryanata, pasangan suami isteri yang mendirikan dinasti kerajaan Banjar. Setelah berkembangnya agama Islam, maka oleh suku Banjar alam atas dianggap dikuasai oleh Nabi Daud, sedangkan alam bawah dikuasai oleh Nabi Khidir Dalam arsitektur rumah Banjar, makhluk naga dan burung enggang gading diwujudkan dalam bentuk tatah ukiran, tetapi sebagai budaya yang tumbuh di bawah pengaruh agama Islam yang tidak memperkenankan membuat ukiran makhluk bernyawa, maka bentuk-bentuk makhluk bernyawa tersebut disamarkan atau didistilir dalam bentuk ukiran tumbuh-tumbuhan.

Eropa

Mitos dan dongeng rakyat tentang naga juga telah tumbuh di dunia Barat sejak berabad-abad silam. Naga dalam dunia Barat digambarkan sebagai kadal raksasa dengan 2 tangan dan 2 kaki serta memiliki sayap besar pula, ia juga memiliki kemampuan untuk menyemburkan lidah-lidah api dan hidup di gua. Naga seperti ini adalah naga yang terlihat dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire & Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 Naga ini selalu digambarkan suka memangsa manusia.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Stromberg, Joseph (23 January 2012). "Where Did Dragons Come From?". Smithsonian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 October 2019. Diakses tanggal 2 September 2019. 
  2. ^ "Archeologists Find Crocodile is Prototype of Dragon". People's Daily. 29 April 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 September 2019. Diakses tanggal 2 September 2019. 
  3. ^ "Naga dan Dewi Sri dalam Budaya Jawa". 8 March 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2012-03-08. 

Pranala luar