Lompat ke isi

Aji Saka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aji Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai mitos asal usul Aksara Jawa.[1]

Asal mula aji saka

Disebutkan Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri antah-berantah mitologis, akan tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji Saka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja Shaka). Legenda ini melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa saka atau soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau "raja pertama". Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini. Legenda ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin merupakan kerajaan pendahulu atau dikaitkan dengan Kerajaan Medang dalam catatan sejarah. Hinga shakalah pemenang dari catatan sejarah.

Ringkasan

Membawa peradaban ke Jawa

Segera setelah pulau Jawa dipakukan ke tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi bangsa pertama yang menghuni pulau ini adalah bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar memangsa manusia. Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah Medang Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.

Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Suatu hari menjelang keberangkatannya ia memberi amanat kepada kedua abdinya yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa ia akan berangkat ke Jawa. Ia berpesan bahwa saat ia pergi mereka berdua harus menjaga pusaka milik Aji Saka. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil pusaka itu selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Cengkar bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.

Kisah ular raksasa

Sementara itu seorang perempuan tua di desa Dadapan, menemukan sebutir telur. Ia meletakkan telur itu di lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur itu hilang dan sebagai gantinya terdapat seekor ular besar di dalam lumbung itu. Orang-orang desa berusaha membunuh ular itu, akan tetapi secara ajaib ular itu dapat berbicara: "Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!" Maka diantarkanlah ia ke istana. Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai putranya dengan syarat bahwa ular itu dapat mengalahkan dan membunuh Bajul Putih di Laut Selatan. Ular itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat sengit dengan kedua pihak memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu akhirnya dapat membunuh Bajul Putih.

Sesuai janjinya ular itu diangkat anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung (anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka Linglung dengan rakus memangsa semua hewan peliharaan istana. Sebagai hukumannya sang raja mengusir dia ke hutan Pesanga. Ia diikat erat hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda bahwa ia hanya boleh memakan benda apa saja yang masuk ke mulutnya.

Suatu hari ada sepuluh bocah lelaki mengembala di hutan. Tiba-tiba turun hujan, mereka pun berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan sebuah gua. Hanya tinggal sembilan anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak yang menderita penyakit kulit dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh dan menutup pintu keluarnya. Sembilan bocah itu hilang terkurung di gua. Sesungguhnya gua itu adalah mulut Jaka Linglung. Maka dari itu di sebutlah KESONGO

Asal mula aksara Jawa

Sementara setelah Aji Saka memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim utusan pulang ke rumahnya di Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang setia Dora and Sembodo, untuk mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu bertemu Dora dan mengabarkan pesan Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo untuk memberitahukan perintah Aji Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu karena ia ingat pesan Aji Saka: tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri yang boleh mengambil pusaka itu. Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa masing-masing pihak ingin mencuri pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung, dan karena kedigjayaan keduanya sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran mengapa pusaka itu setelah sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke Bumi Majeti. Aji saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya menyadari kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang jika dibaca menjadi Aksara Jawa hanacaraka. Susunan alfabet aksara Jawa menjadi puisi sekaligus pangram sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut.[2]:

꧋ꦲ ,ꦤ ,ꦕ ,ꦫ ,ꦏ ,ꦣ ,ꦠ ,ꦱ ,ꦮ ,ꦭ ,ꦩ ,ꦒ ,ꦧ ,ꦛ ,ꦔ ,ꦥ ,ꦣ ,ꦗ ,ꦪ ,ꦚ

Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).

secara rinci:

hana / ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya

jika aksaranya dibalik maka akan disebut dengan "Caraka Walik"

adalah mantra Jawa Kuno untuk menangkal roh jahat.

Menjadi ilmu penolak yang sangat ampuh. bisa menolak segala malapetaka. termasuk menolak tuju, teluh, teranjana, leak, desti, pepasangan, sesawangan, rerajahan, dsb.

bacaan itu juga ada di bait terakhir mantra untuk memanggil jailangkung, fungsinya untuk menolak bencana/malapetaka yang tidak diinginkan penjelasannya adalah sebagai berikut:


nga ta ba ga ma/꧋ꦔꦠꦧꦒꦩ = tidak ada kematian

nya ya ja da pa/꧋ꦚꦪꦗꦣꦥ = tidak ada kesaktian

la wa sa ta da/꧋ꦭꦮꦱꦠꦣ = tidak ada peperangan

ka ra ca na ha/ ꧋ꦏꦫꦕꦤꦲ= tidak ada utusan.


Arti caraka walik:

Nga – Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi, manusia.

Tha – Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai, tumbuh dari

niatan.

Ba – Bayu sejati kang andalani -menyelaraskan diri pada gerak

alam.

Ga – Guru sejati sing muruki -belajar pada guru nurani

Ma – Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin, mantap dalam menyembah Ilahi

Nya – Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami

kodrat kehidupan

Ya – Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin

atas titah / kodrat Illahi

Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti - selalu berusaha menyatu,

memahami kehendak Nya

Dha – Dhuwur wekasane endek tumindak kang dumadi – yakin

atas titah / kodrat Illahi

Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti - selalu berusaha menyatu,

memahami kehendak Nya

Dha – Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas

tentu dimulai dari dasar

Pa – Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala

arah

La – Lir handaya paseban jati -mengalirkan hidup semata pada

tuntunan Illahi

Wa – Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya

terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas

Sa – Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih

sayang seperti kasih Tuhan

Ta – Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar, totalitas,

satu visi, ketelitian dalam memandang hidup

Da – Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima

hidup apa adanya

Ka – Karsaningsun memayuhayuning bawana -hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam

Ra – Rasaingsun handulusih rasa cinta sejati muncul dari

cinta kasih nurani

Ca – Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah

dan tujuan pada Yang Maha Tunggal

Na – Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-

pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi

Ha – Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak

dari yang Maha Suci

Caraka walik,atau caraka sungsang memang biasa digunakan untuk menangkal atau membalikkan suatu malapetaka, santet, teluh, dsb

arti secara harfiah,saya ambil dari Kawruh Pepak Boso Jowo

disitu di tulis makna harfiah aksara jawa

Hanacaraka = ada ucapan, ada kata-kata

Datasawala = saling perselisihan

Padajayanya =adanya adu kekuatan yg sama jaya nya (sama kuatnya)

Magabathanga= terjadilah bangkai/mati (Jawa=bathang)

jika di balik maka yg terjadi adalah kebalikannya

Tidak ada ucapan

Tidak adanya perselisihan

Tidak ada adu kekuatan

Tidak adanya tumpah darah yg akibatkan kematian.


dalam Aksara Jawa :

꧋ꦔ–ꦔꦿꦕꦸꦠ꧀ꦧꦸꦱꦤꦤꦶꦁꦩꦤꦸꦁꦱꦺꦴ–ꦩꦼꦊꦥꦱ꧀ꦏꦤ꧀ꦌꦒꦺꦴꦮꦶꦱ꧀ꦩꦼꦥꦿꦶꦧꦣꦶ꧈ꦩꦤꦸꦱꦶꦪ꧉

꧋ꦛ–ꦠꦸꦏꦸꦭ꧀ꦱꦏꦤꦶꦪꦠ꧀–ꦱꦼꦱꦸꦮꦠꦸꦲꦫꦸꦱ꧀ꦝꦶꦩꦸꦭꦻ꧈ꦠꦸꦩ꧀ꦧꦸꦃꦣꦫꦶ

꧋ꦤꦶꦪꦠꦤ꧀꧈

꧋ꦧ–ꦧꦪꦸꦱꦼꦗꦠꦶꦏꦁꦄꦤ꧀ꦝꦭꦤꦶꦩꦼꦚꦼꦭꦫꦱ꧀ꦏꦤ꧀ꦝꦶꦫꦶꦥꦣꦒꦼꦫꦏ꧀

꧋ꦄꦭꦩ꧀꧈

꧋ꦒ–ꦒꦸꦫꦸꦱꦼꦗꦠꦶꦱꦶꦁꦩꦸꦫꦸꦏꦶꦧꦼꦭꦗꦂꦥꦣꦒꦸꦫꦸꦤꦸꦫꦤꦶ

꧋ꦩ–ꦩꦣꦺꦥ꧀ꦩꦤ꧀ꦠꦺꦥ꧀ꦩꦤꦺꦩ꧀ꦧꦃꦩꦿꦶꦁꦆꦭꦲꦶ–ꦪꦏꦶꦤ꧀‌ꦩꦤ꧀ꦠꦥ꧀ꦝꦭꦩ꧀ꦩꦼꦚꦼꦩ꧀ꦧꦃꦆꦭꦲꦶ

꧋ꦚ–ꦚꦠꦠꦤ꧀ꦥꦩꦠ꧈ꦔꦼꦂꦠꦶꦠꦤ꧀ꦥꦣꦶꦈꦫꦸꦏꦶ–ꦩꦼꦩꦲꦩꦶ

꧋ꦏꦺꦴꦣꦿꦠ꧀ꦏꦼꦲꦶꦣꦸꦥꦤ꧀

꧋ꦪ–ꦪꦏꦶꦤ꧀ꦩꦫꦁꦱꦩꦸꦧꦫꦁꦠꦸꦩꦶꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦏꦁꦣꦸꦩꦣꦶ–ꦪꦏꦶꦤ꧀

꧋ꦄꦠꦱ꧀ꦠꦶꦠꦃ/ꦏꦺꦴꦣꦿꦠ꧀ꦆꦭ꧀ꦭꦲꦶ

꧋ꦗ–ꦗꦸꦩ꧀ꦧꦸꦲꦶꦁꦏꦮꦸꦭꦭꦤ꧀ꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦱꦼꦭꦭꦸꦧꦼꦫꦸꦱꦲꦩꦼꦚꦠꦸ꧈

꧋ꦩꦼꦩꦲꦩꦶꦏꦼꦲꦼꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦚ

꧋ꦣ–ꦣꦸꦮꦸꦂꦮꦼꦏꦱꦤꦺꦄꦼꦤ꧀ꦝꦼꦏ꧀ꦠꦸꦩꦶꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦏꦁꦣꦸꦩꦣꦶ–ꦪꦏꦶꦤ꧀

꧋ꦄꦠꦱ꧀ꦠꦶꦠꦃ/ꦏꦺꦴꦣꦿꦠ꧀ꦆꦭ꧀ꦭꦲꦶ

꧋ꦗ–ꦗꦸꦩ꧀ꦧꦸꦲꦶꦁꦏꦮꦸꦭꦭꦤ꧀ꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦱꦼꦭꦭꦸꦧꦼꦫꦸꦱꦲꦩꦼꦚꦠꦸ꧈

꧋ꦩꦼꦩꦲꦩꦶꦏꦼꦲꦼꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦚ

꧋ꦣ–ꦣꦸꦮꦸꦂꦮꦼꦏꦱꦤꦺꦄꦼꦤ꧀ꦝꦼꦏ꧀ꦮꦶꦮꦶꦠꦤꦺ–ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦧꦶꦱꦣꦶꦄꦠꦱ꧀

꧋ꦠꦼꦤ꧀ꦠꦸꦣꦶꦩꦸꦭꦻꦣꦫꦶꦣꦱꦂ

꧋ꦥ–ꦥꦥꦤ꧀ꦏꦁꦠꦤ꧀ꦥꦏꦶꦧ꧀ꦭꦠ꧀ꦲꦏꦺꦏꦠ꧀ꦄꦭ꧀ꦭꦃꦪꦁꦄꦣꦣꦶꦱꦼꦒꦭ

꧋ꦄꦫꦃ

꧋ꦭ–ꦭꦶꦂꦲꦤ꧀ꦝꦪꦥꦱꦺꦧꦤ꧀ꦗꦠꦶꦩꦼꦔꦭꦶꦂꦏꦤ꧀ꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦱꦼꦩꦠꦥꦣ

꧋ꦠꦸꦤ꧀ꦠꦸꦤꦤ꧀ꦆꦭ꧀ꦭꦲꦶ

꧋ꦮ–ꦮꦸꦗꦸꦣ꧀ꦲꦤꦠꦤ꧀ꦏꦼꦤꦏꦶꦤꦶꦫ–ꦆꦭ꧀ꦩꦸꦩꦤꦸꦱꦶꦪꦲꦚ

꧋ꦠꦼꦂꦧꦠꦱ꧀ꦤꦩꦸꦤ꧀ꦆꦩ꧀ꦥ꧀ꦭꦶꦏꦱꦶꦚꦧꦶꦱꦠꦤ꧀ꦥꦧꦠꦱ꧀

꧋ꦱ–ꦱꦶꦥ꦳ꦠ꧀ꦆꦁꦱꦸꦤ꧀ꦲꦤ꧀ꦝꦸꦭꦸꦱꦶꦥ꦳ꦠꦸꦭ꧀ꦭꦃꦩꦼꦩ꧀ꦧꦼꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦏꦱꦶꦃ

꧋ꦱꦪꦁꦱꦼꦥꦼꦂꦠꦶꦏꦱꦶꦃꦠꦸꦲꦤ꧀

꧋ꦠ–ꦠꦠꦱ꧀‌ꦠꦸꦠꦸꦱ꧀‌ꦠꦶꦠꦶꦱ꧀‌ꦠꦶꦠꦶꦭꦤ꧀ꦮꦶꦧꦮ–ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦱꦂ꧈ꦠꦺꦴꦠꦭꦶꦠꦱ꧀‌

꧋ꦱꦠꦸꦮ꦳ꦶꦱꦶ꧈ꦏꦼꦠꦼꦭꦶꦠꦶꦪꦤ꧀ꦝꦭꦩ꧀ꦩꦼꦩꦤ꧀ꦝꦁꦲꦶꦣꦸꦥ꧀

꧋ꦣ–ꦣꦸꦩꦣꦶꦤꦶꦁꦣ꧀ꦗ꦳ꦠ꧀ꦏꦁꦠꦤ꧀ꦥꦮꦶꦤꦔꦺꦤꦤ꧀–ꦩꦼꦤꦼꦫꦶꦩ

꧋ꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦄꦥꦄꦣꦚ

꧋ꦏ–ꦏꦂꦱꦤꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦩꦼꦩꦪꦸꦲꦪꦸꦤꦶꦁꦧꦮꦤꦲꦱꦿꦠ꧀ꦝꦶꦄꦫꦃꦏꦤ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦏꦼꦱꦗꦺꦠꦿꦄꦤ꧀ꦄꦭꦩ꧀

꧋ꦫ–ꦫꦱꦻꦁꦱꦸꦤ꧀ꦲꦤ꧀ꦝꦸꦭꦸꦱꦶꦃꦫꦱꦕꦶꦤ꧀ꦠꦱꦼꦗꦠꦶꦩꦸꦚ꧀ꦕꦸꦭ꧀ꦝꦫꦶ

꧋ꦕꦶꦤ꧀ꦠꦏꦱꦶꦃꦤꦸꦫꦤꦶ

꧋ꦕ–ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦮꦼꦤꦶꦁ꧈ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦩꦤ꧀ꦝꦸꦭꦸ꧈ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦣꦣꦶꦱꦠꦸꦄꦫꦃ

꧋ꦣꦤ꧀ꦠꦸꦗꦸꦮꦤ꧀ꦥꦣꦪꦁꦩꦲꦠꦸꦁꦒꦭ꧀

꧋ꦤ–ꦤꦸꦂꦕꦤ꧀ꦝꦿ꧈ꦒꦆꦧ꧀ꦕꦤ꧀ꦝꦿ꧈ꦮꦂꦱꦶꦠꦤꦶꦁꦕꦤ꧀ꦝꦫ

꧋ꦥꦼꦁꦲꦫꦥꦤ꧀ꦩꦤꦸꦱꦶꦪꦲꦚꦱꦼꦭꦭꦸꦏꦼꦱꦶꦤꦂꦆꦭ꧀ꦭꦲꦶ

꧋ꦲ–ꦲꦤꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦮꦼꦤꦶꦁꦱꦸꦕꦶꦄꦣꦚꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦄꦣꦭꦃꦏꦼꦲꦼꦤ꧀ꦝꦏ꧀

꧋ꦣꦫꦶꦪꦁꦩꦲꦱꦸꦕꦶ

꧋ꦕꦫꦏꦮꦭꦶꦏ꧀‌ꦄꦠꦻꦴꦕꦫꦏꦱꦸꦁꦱꦁꦩꦺꦩꦁꦧꦶꦪꦱꦣꦶꦒꦸꦤꦏꦤ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤꦁꦏꦭ꧀ꦄꦠꦻꦴꦩꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦱꦸꦮꦠꦸꦩꦭꦥꦼꦠꦏ꧈ꦱꦤ꧀ꦠꦺꦠ꧀‌ꦠꦼꦭꦸꦃ꧈ꦣ꧀ꦱ꧀ꦧ꧀

꧋ꦄꦂꦠꦶꦱꦼꦕꦫꦲꦂꦥ꦳ꦶꦪꦃ꧈ꦱꦪꦄꦩ꧀ꦧꦶꦭ꧀ꦝꦫꦶꦏꦮꦿꦸꦃꦥꦼꦥꦏ꧀ꦧꦺꦴꦱꦺꦴꦗꦺꦴꦮꦺꦴ

꧋ꦣꦶꦱꦶꦠꦸꦣꦶꦠꦸꦭꦶꦱ꧀ꦩꦏ꧀ꦤꦲꦂꦥ꦳ꦶꦪꦃꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ

꧋ꦲꦤꦕꦫꦏ=ꦄꦣꦈꦕꦥꦤ꧀‌ꦄꦣꦏꦠꦏꦠ

꧋ꦣꦠꦱꦮꦭ=ꦱꦭꦶꦁꦥꦼꦂꦱꦼꦭꦶꦱꦶꦲꦤ꧀

꧋ꦥꦣꦗꦪꦚ=ꦄꦣꦚꦄꦣꦸꦏꦼꦏꦸꦮꦠꦤ꧀ꦪ꧀ꦒ꧀ꦱꦩꦗꦪꦚ(ꦱꦩꦏꦸꦮꦠ꧀ꦚ)

꧋ꦩꦒꦧꦛꦔ=ꦠꦼꦂꦗꦣꦶꦭꦃꦧꦁꦏꦻ/ꦩꦠꦶ(ꦗꦮ=ꦧꦛꦁ)

꧋ꦗꦶꦏꦣꦶꦧꦭꦶꦏ꧀ꦩꦏꦪ꧀ꦒ꧀ꦠꦼꦂꦗꦣꦶꦄꦣꦭꦃꦏꦼꦧꦭꦶꦏꦤ꧀ꦚ

꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦄꦣꦈꦕꦥꦤ꧀

꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦄꦣꦚꦥꦼꦂꦱꦼꦭꦶꦱꦶꦲꦤ꧀

꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦄꦣꦄꦣꦸꦏꦼꦏꦸꦮꦠꦤ꧀

꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦄꦣꦚꦠꦸꦩ꧀ꦥꦃꦣꦫꦃꦪ꧀ꦒ꧀ꦄꦏꦶꦧꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀꧈

Aji Saka menurut Kitab Pewayangan

Aji Saka keturunan Dewa

Dalam cerita pewayangan, berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa versi Kanjeng Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito maupun versi daerah Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia merupakan anak dari Batara Anggajali dan cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka Kadewatan untuk Para Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru. Batara Anggajali menikah dengan seorang Putri bernama Dewi Saka dari kerajaan Najran di Tanah Hindustan. Kerajaan Najran dipimpin oleh Prabu Sakil yang pernah diselamatkan oleh Batara Anggajali saat kapalnya tenggelam di samudra. Sebelum kelahiran Aji Saka, Ayahnya dipanggil oleh Batara Guru untuk kembali membuat pusaka kahyangan. Sampai usia dewasa Aji Saka tidak pernah bertemu dengan Ayahnya. Setelah meminta ijin kakek dan ibunya, Aji Saka pergi mencari ayahnya. Sesuai petunjuk kakeknya Ia menemukan Ayahnya sedang mengambang di atas samudra sambil membuat senjata menggunakan tangannya. Setelah memperkenalkan diri, Batara Anggajali pun langsung mengakui putranya tersebut. Aji Saka yang kagum dengan kesaktian Ayahnya, memohon agar menjadi muridnya. Namun Sang Ayah menolak dan memberitahu kalau Batara Ramayadi yang juga kakek Aji Saka jauh lebih sakti. Setelah mendapat petunjuk ke arah mana Aji Saka dapat menemui kakeknya. Aji Saka dapat menemukan Batara Ramayadi sedang duduk mengambang di udara sedang membuat pusaka kahyangan hanya dengan melihat saja. Aji Saka memperkenalkan diri dan memohon kepada Sang Kakek agar dijadikan murid. Batara Ramayadi menolaknya dan mengatakan kalau Batara Guru jauh lebih sakti dari dirinya, namun Sang Kakek mengatakan kalau Batara Guru adalah Raja Para Dewa di Kahyangan tentu tidak akan menerima Aji Saka sebagai muridnya. Sang Kakek lalu menasihati agar ia berguru kepada putra Batara Guru yang paling sakti yaitu Batara Wisnu. Namun, saat itu Batara Wisnu sedang tidak berada di Kahyangan melainkan sedang berada di Tanah Israil. Setelah berpamitan dan mendapat petunjuk kakeknya, pergilah Aji Saka menemui Batara Wisnu. Disana Batara Wisnu sedang bertukar ilmu dengan Pendeta Usmanaji, yang merupakan Pendeta Keagamaan Bangsa Israil. Setelah Aji Saka memperkenalkan diri dan menyatakan ingin berguru kepada Batara Wisnu. Batara Wisnu lalu mengajari berbagai macam ilmu kesaktian dan kebijaksanaan. Sementara dari Pendeta Usmanaji, Aji Saka belajar tentang ilmu kebatinan dan kerohanian. Setelah Batara Wisnu kembali ke Kahyangan, Aji Saka menjadi pengembara di Tanah Israil.

Aji Saka mengisi Tanah Jawa dengan manusia

Dalam pengembaraannya Aji Saka berhasil mendapatkan Tirtamarta Kamandalu yaitu air keabadian yang juga dimiliki oleh Para Dewa di Kahyangan. Yang mampu membuatnya menjadi makhluk yang tak pernah menua. Ia mengembara selama beratus-ratus tahun memperdalam ilmu kesaktian dan kebatinannya. Dikabarkan jika Aji Saka dapat terbang dan berjalan di atas samudra. Aji Saka sampai ke Tanah Jawa dan menjadi seorang pertapa dengan nama Empu Sengkala. Karna Tanah Jawa waktu itu hanya dihuni oleh makhluk halus, Empu Sengkala mengajari ilmu penanggalan kepada bangsa jin di tanah jawa. Dan menciptakan lima hari sebagai penghitung penanggalan di jawa, yang sekarang terkenal dengan nama Pasaran. Dalam pertapaannya, Empu Sengkala mendapat sasmita untuk mengisi Tanah Jawa dengan manusia. Sebelum kedatangan Empu Sengkala ke Tanah Jawa, Bangsa Israil yang waktu itu sedang dijajah oleh Bangsa Romawi pernah mengirim sekitar 20.000 Bangsa Romawi untuk mengisi Tanah Jawa dengan manusia. Namun, karna perbedaan iklim dan kondisi alam serta gangguan makhluk halus membuat Bangsa Romawi yang berada di Tanah Jawa banyak yang sakit lalu kemudian mati. Hanya dalam beberapa tahun saja, penghuni manusia di Tanah Jawa tidak sampai 200 orang, kemudian sisanya kembali lagi ke Romawi dan mengosongkan Tanah Jawa kembali. Belajar dari pengalaman Bangsa Romawi itu, Empu Sengkala memasangi tumbal lima penjuru di Tanah Jawa guna mengurangi keangkerannya agar bisa dihuni dengan nyaman oleh Bangsa Manusia. Setelah tumbal terpasang, Empu Sengkala pergi ke Tanah Hindustan dengan tujuan mengirim Orang Hindustan untuk mengisi Pulau Jawa. Sesampainya di Tanah Hindustan, Empu Sengkala sampai di Kerajaan Surati lalu menghadap ke Raja disana guna menyampaikan maksudnya. Ternyata Kerajaan Surati dipimpin oleh Prabu Iwasaka yang merupakan penjelmaan dari Batara Anggajali, Ayah Empu Sengkala. Kemudian Empu Sengkala diangkat menjadi Putra Mahkota dengan nama Raden Aji Saka. Lalu dengan bantuan Prabu Iwasaka, Raden Aji Saka berhasil mengumpulkan orang-orang hindustan yang tidak memiliki rumah, para pendeta, dan masyarakat miskin untuk dikirimkan agar bisa mengisi Tanah Jawa dengan penduduk manusia. Tak sedikit juga rakyat dari golongan mampu yang mendaftarkan diri ikut dalam rombongan itu. Aji Saka memilih 10 pemuda terbaik untuk dijadikan pemimpin rombongan di Tanah Jawa kelak. Aji Saka mengajari ilmu kehidupan, ilmu kebatinan, ilmu pengobatan, dan juga tata cara pemerintahan. Tidak kurang dari 10.000 orang berhasil mendarat dengan aman di Tanah Jawa. Setelah membagi menjadi 10 kelompok dan menyebarkannya ke penjuru Tanah Jawa. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin yang sudah diberi ilmu pengetahuan oleh Aji Saka. Hingga akhirnya, dalam beberapa tahun saja mereka sudah beranak-pinak dan berkembang mengisi Tanah Jawa dengan penduduk dari Bangsa Manusia.

Aji Saka menjadi Prabu Wisaka dan menciptakan Kalender Saka

Setelah berhasil mengisi Tanah Jawa, Aji Saka pergi ke tanah sebelah timur dari Tanah Israil, yaitu Tanah milik Bangsa Ngarbi (Sekarang Tanah Arab). Disana Ia menjadi seorang penasihat pemimpin dari Bangsa Ngarbi. Setelah puluhan tahun berada di Tanah Ngarbi, Aji Saka kembali ke tanah jawa untuk melihat perkembangan penduduk manusia disana. Sesampainya di Tanah Jawa, Aji Saka merasa senang karna penduduk Tanah Jawa telah berkembang begitu pesat, namun mereka kembali menjadi tidak beradab dan bertingkah seperti hewan. Tanpa aturan dan norma. Hal itu karna tidak adanya pemimpin yang bisa memimpin dan menunjukan adab dan ilmu kehidupan. Akhirnya Aji Saka mendirikan Kerajaan Medang Kamulan disana dan menjadi Raja dengan nama Prabu Wisaka. Prabu Wisaka mengajari ilmu tata kehidupan dan adab dalam bermasyarakat kepada rakyatnya. Prabu Wisaka juga kembali memperbaiki penanggalannya,. Ia menambahkan 7 hari lain disamping 5 hari pasaran yang ia ciptakan sebelumnya. Sehingga dalam sehari terdapat dua hitungan penanggalan, dan selalu berulang selama 35 hari dan dikenal dengan nama selapan. Ia juga menghitung peredaran bulan terhadap bumi dan menamai penanggalannya dengan Candra Sengkala. Lalu Prabu Wisaka juga menghitung penanggalan berdasarkan pergerakan matahari dilihat dari bumi, dan menamai penanggalannya ini dengan Surya Sengkala. Lalu ia menggabungan perhitungan penanggalan candra sengkala, surya sengkala, dan juga perhitungan pekan, pasaran, dan selapanan. Penanggalan yang diciptakan oleh Prabu Wisaka selanjutnya dikenal dengan nama Kalender Saka. Prabu Wisaka menikah dan memiliki beberapa anak. Lalu memberikan tahta kerajaan ke anaknya. Ia kembali memakai nama Aji Saka dan kembali mengembara. Hingga akhirnya Ia diangkat menjadi keluarga Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru dan bergelar Batara Aji Saka.

Aji Saka dalam Serat Dharmagandhul

Dalam serat Dharmagandhul yang diciptakan oleh Ki Kalam Wadi, Aji Saka diceritakan sebagai tokoh yang berasal dari Tanah Ngarbi yang pernah menghilangkan beberapa sumber air di Tanah Jawa.

Analisis

Meskipun Aji Saka dikatakan sebagai pembawa peradaban di Jawa, kisah Aji saka (78 masehi) mendapatkan beberapa sanggahan dan bantahan dari sumber-sumber sejarah lainnya. Ramayana karya Valmiki , yang dibuat sekitar 500 SM, mencatat Jawa sudah memiliki organisasi pemerintahan kerajaan jauh sebelum kisah itu:

"Yawadwipa dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas, dan disitu terdapat Gunung Cicira (dingin) yang menyentuh langit dengan puncaknya."[3](hlm.6)

Menurut catatan China, kerajaan Jawa didirikan pada 65 SM, atau 143 tahun sebelum kisah Aji Saka dimulai.[4](hlm.55-56)

Kisah Saka atau Aji Saka merupakan kisah Jawa Baru. Kisah ini belum ditemukan relevansinya dalam teks Jawa Kuno. Kisah ini menceritakan peristiwa di kerajaan Medang Kamulan di Jawa pada masa lalu. Pada saat itu, Raja Medang Kamulan Prabu Dewata Cengkar digantikan oleh Aji Saka. Kisah ini dianggap sebagai kiasan masuknya bangsa India ke Jawa. Merujuk pada informasi dinasti Liang, kerajaan Jawa terbelah menjadi dua: Kerajaan prapenerapan Hinduisme dan kerajaan setelah menerapkan tradisi Hindu yang dimulai tahun 78 masehi.[5](hlm.5 dan 7)

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Javanese Characters and Aji Saka". Joglosemar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-28. Diakses tanggal 29 March 2012. 
  2. ^ Soemarmo, Marmo. "Javanese Script." Ohio Working Papers in Linguistics and Language Teaching 14.Winter (1995): 69-103.
  3. ^ Sastropajitno, Warsito (1958). Rekonstruksi Sedjarah Indonesia. Zaman Hindu, Yavadvipa, Srivijaya, Sailendra. Yogyakarta: PT Pertjetakan Republik Indonesia. 
  4. ^ W.P Groeneveldt (1880). Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources. Batavia.
  5. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 9786029346008. 

Pranala luar