Lompat ke isi

Lampung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lampung
Motto: 
"Sang Bumi Ruwa Jurai"
([Bahasa Lampung]: ...)
Peta
Peta
Negara Indonesia
Tanggal18 Maret 1964 (hari jadi)
Ibu kotaBandar Lampung
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kabupaten: 8
  • Kota: 2
  • Kecamatan: 162
  • Kelurahan: 2.072
Pemerintahan
 • GubernurSjachroedin ZP
Luas
 • Total35,376 km2 km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi)
Populasi
 • Total8,000,000 (+/-)
Demografi
 • AgamaIslam (92%), Protestan (1,8%), Katolik (1,8%), Buddha (1,7%), Lain-lain (2,7%)
 • BahasaBahasa Lampung, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Bali
Kode Kemendagri18 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS18 Edit nilai pada Wikidata
Lagu daerahGambus dan Kulintang Lampung
Situs web[http://www.lampung.go.id]

Lampung adalah sebuah provinsi yang paling selatan di Pulau Sumatra. Di sebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatra Selatan.

Kondisi dan sumber daya alam

Kondisi alam

Keanekaragaman Hayati

Sumber daya alam

Potensi daerah

Pariwisata dan Kebudayaan

Sosial kemasyarakatan

Suku bangsa

Bahasa

Agama

Pendidikan

Permasalahan sosial

Pemerintahan

Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/kota Ibu kota[1] Bupati/wali kota Luas wilayah (km2)[2] Jumlah penduduk (2022)[2] Kecamatan Kelurahan/desa Lambang
Peta lokasi
1 Kabupaten Lampung Barat Liwa Nukman (Pj.) 2.107,99 307.818 15 5/131
2 Kabupaten Lampung Selatan Kalianda Nanang Ermanto 2.227,38 1.073.867 17 4/256
3 Kabupaten Lampung Tengah Gunung Sugih Musa Ahmad 4.559,57 1.367.335 28 10/301
4 Kabupaten Lampung Timur Sukadana M. Dawam Rahardjo 3.860,92 1.103.348 24 -/264
5 Kabupaten Lampung Utara Kotabumi Aswarodi (Pj.) 2.669,30 652.623 23 15/232
6 Kabupaten Mesuji Wiralaga Mulya Febrizal Levi Sukmana (Pj.) 2.200,41 232.140 7 -/105
7 Kabupaten Pesawaran Gedong Tataan Dendi Ramadhona 1.288,08 478.558 11 -/144
8 Kabupaten Pesisir Barat Krui Agus Istiqlal 2.939,60 167.339 11 2/116
9 Kabupaten Pringsewu Pringsewu Marindo Kurniawan (Pj.) 617,19 423.837 9 5/126
10 Kabupaten Tanggamus Kota Agung Mulyadi Irsan (Pj.) 2.947,59 618.155 20 3/299
11 Kabupaten Tulang Bawang Menggala Ferli Yuledi (Pj.) 3.116,06 429.130 15 4/147
12 Kabupaten Tulang Bawang Barat Panaragan Jaya M. Firsada (Pj.) 1.257,09 300.328 9 3/93
13 Kabupaten Way Kanan Blambangan Umpu Raden Adipati Surya 3.522,11 481.104 14 6/221
14 Kota Bandar Lampung - Eva Dwiana 183,75 1.092.506 20 126/-
15 Kota Metro - Wahdi 73,21 173.478 5 22/-

Daftar Gubernur

No. Periode Nama Gubernur Keterangan
1 1964 - 1966 Kusno Danupoyo
2 1966 - 1973 Zainal Abidin Pagaralam
3 1973 - 1978 R. Sutiyoso
4 1978 - 1988 Yasir Hadibroto
5 1988 - 1993 Poedjono Pranyoto
6 1993 - 1998 Poedjono Pranyoto
7 1998 - 2004 Oemarsono
8 2004 - 2009 Sjachroedin ZP

HUBUNGAN GUBERNUR LAMPUNG DAN DPRDNYA*)

Firdaus Augustian Praktisi Pemerintahan

Horizon publik daerah Lampung, sejak 15 Juli 2005 disesaki oleh wacana dan pembicaraan mengenai konflik politik tingkat tinggi antara Gubernur Lampung berhadapan dengan DPRD Propinsi Lampung. Semua bermula pada Keputusan DPRD Propinsi Lampung,No. 15 tahun 2005, tentang Pernyataan Pendapat DPRD Propinsi Lampung terhadap putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437 K/TUN/2004. Substansi yang mendasar dari Pernyataan Pendapat DPRD Propinsi Lampung sejak saat itu tidak lagi mengakui eksistensi Drs.Sjachroedin ZP dan Drs.Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. Apakah sesudah terbitnya Keputusan DPRD No. 15 tahun 2005, terjadi kekosongan hukum dan stagnasi Pemerintahan Daerah. Tidak juga, praktek pemerintahan tetap berjalan sebagaimana mestinya, Drs.Sjachroedin ZP tetap melaksanakan tugas-tugas beliau selaku Gubernur Lampung, termasuk Otorisator dan Ordonator Keuangan, yang merupakan persyaratan mendasar untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dan tugas kemasyarakatan lainnya. Meskipun jalannya pemerintahan tidak seelok dan selazim jalannya Pemerintahan Daerah yang seyogyanya mampu menciptakan kondisi rustig en ordelijk, baik untuk pelaksanaan tugas Pemerintahan maupun untuk kepentingan public. Kenyataan yang ada sejak munculnya konflik tersebut, semua fihak termobilisasi dan “dimobilisasi” untuk mendeklarasikan kebenaran-kebenaran pada fihak masing-masing. Dan masing-masing fihak menafikan dan menutup kebenaran fihak lain. Pernyataan pendapat dan opini untuk kepentingan Gubernur Lampung maupun DPRD Propinsi terjadi dimana-mana, semua sudah ikut bicara, mulai dari KORPRI se Propinsi Lampung, para Bupati/Walikota, Forum Rektor, Profesor ini, Profesor itu, termasuk Prof.Dr.Muladi, Prof.Kadri Husin, tentunya di awali serta diakhiri oleh Prof.Dr.Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat Ketua Mahkamah Agung yang terakhir yang disampaikan kepada Ketua DPRD Propinsi Lampung No. KMA/043/II/2006, surat ini merupakan jawaban atas surat Ketua DPRD Propinsi Lampung,No.100/037/II.1/2006, tanggal 23 Januari 2006,tentang Mohon Penjelasan Putusan MA Nomor 437 K/TUN/2004. Surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/043/II/2006 ini sudah dianalisis secara cerdas, runtun dan lugas oleh Yuswanto (Dosen Bagian HAN Fakultas Hukum Unila) dalam tulisannya “Sikap MA terhadap Konflik Lampung” ( Lampung Post, 1 Maret 2006). Kesimpulan tulisan Yuswanto, konkrit serta signifikan atas dasar azas rechtmatigheid dan doelmatigheid, Presiden dapat dipastikan tidak akan mencabut atau membatalkan Keputusan Presiden No.71/M tahun 2004, tentang pengangkatan Drs. Sjachroedin ZP dan Drs.Syamsurya Ryacudu sebagai Gubernur Lampung dan Wakil Gubernur Lampung. Apabila Presiden mencabut Keppres a quo, berarti Presiden telah melakukan perbuatan melampaui kewenangannya (detournement de pouvoir) dan melakukan perbuatan sewenang-wenang (willekeur). Semua ini merupakan pendapat Yuswanto, enak dibaca, memperluas cakrawala berfikir mereka yang awam hukum. Sementara kita tahu ada fenomena dalam discource (wacana) hukum, apabila ada 2 orang ahli hukum melakukan perdebatan hukum, maka bukan hanya akan terformula 2 pendapat hukum, akan muncul dinamika dan kreatifitas pemikiran hukum melampaui wacana awal. Dengan demikian tentunya pendapat Yuswanto ini, pada waktunya akan dikritisi oleh Ahli Hukum lainnya, yang kompetensi dan kredibilitasnya tidak diragukan, mungkin memperkuat argument Yuswanto, atau barangkali menolak pendapat Yuswanto. Tetapi satu hal semua kita harus berprasangka baik, bahwa wacana dan pergumulan pemikiran akademis ini, benar-benar lahir dari sikap profesional dan tanggung jawab akademis, bukan atas dasar pesanan, apalagi pelacuran intelektual. Bagi kita yang awam hukum pemikiran dan wacana akademis ini merupakan tambahan informasi, untuk bagaimana mencermati dan mengantisipasi, serta memposisikan diri dalam melihat konflik yang berkepanjangan tak berujung semacam ini. Dengan demikian kita akan tahu posisi masing-masing, sehingga pada waktunya apabila ada para fihak yang yang ingin memobilisasi pemikiran dan aspirasi, secara cerdas kita dapat mempermainkan posisi tawar menawar masing-masing. Dari pengalaman selama ini pada setiap proses konflik yang terjadi, para fihak memanfaatkan massa secara vulgar untuk mendukung kepentingan masing-masing, dengan sama sekali tidak memahami substansi apa yang menjadi latar belakang perbedaan kepentingan. Tentunya bagi Ahli Hukum yang melakukan wacana dan pergumulan pemikiran, semua ini merupakan latihan berfikir dalam proses mencari nilai-nilai kebenaran akademis yang universal sifatnya. Tetapi tentunya semua kita menyadari bahwa praktek kenegaraan, praktek penyelenggaraan pemerintahan, tidak semata-mata urusan Hukum, pada dasrnya merupakan keputusan Politik, melalui pendekatan Sosiologis, pendekatan Kultural, Ekonomi dan sebagainya. Pendekatan Hukum bukan satu-satunya kacamata analisis di dalam melihat praktek Pemerintahan, ada pendekatan-pendekatan lain yang tidak sejalan dengan logika hukum. Tetapi sesungguhnya dengan adanya analisis dan tinjauan kritis para Ahli Hukum didalam melihat konflik berkepanjangan antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung, akan menciptakan situasi “tidak kondusif”, memberikan tambahan amunisi pada masing-masing fihak, untuk melakukan konsolidasi siap melakukan pertempuran baru. Seharusnya kita semua mengingatkan baik kepada Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung, bahwa selama ini kita semua telah melakukan langkah-langkah yang amat kontra produktif. Kita semua disini, termasuk kelompok masyarakat,Tokoh Adat, LSM, Organisasi, Pers, Akademisi dan fihak lain di luar Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung yang tidak hirau, bahkan memblow up konflik. Dengan menempatkan diri berfihak pada salah satu fihak, mengatasnamakan masyarakat dan daerah Lampung, yang sesungguhnya untuk kepentingan praktis dan sesaat. Seharusnya secara jernih dan cerdas kita perlu mengingatkan semua fihak bahwa pada setiap konflik yang terjadi, tidak mungkin terjadi karena bertepuk sebelah tangan, masing-masing fihak ada plus-minusnya, harus terbuka di dalam menerima kebenaran fihak lain. Konflik ini jangan dikesankan sebagai kesalahan mutlak Gubernur Lampung atau sebaliknya kesalahan mutlak DPRD Lampung. Selanjutnya jangan kita memberikan stigma bahwa DPRD Propinsi Lampung telah mengkhianati rakyat Lampung, telah bekerja bukan untuk kepentingan rakyat Lampung tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka berkonflik dan melakukan pergulatan pemikiran dan sikap atas dasar tanggung jawab dan kesadaran hukum serta keyakinan politik dan semuanya untuk kepentingan masyarakat dan daerah Lampung. Dengan demikian proses konflik itu akan terselesaikan secara elegan, egaliter dan bermartabat, konflik itu bukan harus diredam, tetapi harus diselesaikan. Konflik yang berkepanjangan ini amat melelahkan dan menguras energi semua fihak, termasuk jajaran eksekutif staf Gubernur Lampung. Kita lihat kenyataan yang ada Gubernur Lampung dalam menyusun staf jajarannya, seolah tertatih, belum memanfaatkan semua sumber daya manusia yang ada. Penempatan personil amat mencengangkan, sehingga ketika Gubernur Lampung dipanggil Presiden untuk membahas berjangkitnya avian influenza (flu burung), beliau tidak mengajak Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung, tetapi membawa Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Lampung. Bagaimana mau mengajak Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, sementara yang bersangkutan baru melaksanakan tugas belum beradaptasi, basis pendidikannya Sarjana Hukum, tentunya pada saat itu baru dapat membedakan secara signifikan kambing jantan dan kambing betina. Pada gonjang-ganjing konflik semacam ini terlihat sekali ketidak puasan Gubernur Lampung dalam menilai kinerja staf sehingga dapat dikatakan setiap tiga bulan sekali dilakukan rolling pejabat atas dasar pertimbangan yang amat prerogative Gubernur. Lebih ironis sekali di antaranya ada Kepala Dinas yang tengah menjalani cuti kebagian rolling dan dibebaskan dari jabatan Kepala Dinas. Semua ini tentunya berakibat menimbulkan ketegangan dan rasa ketidak pastian dalam pembinaan karier kepegawaian pada pejabat yang ada. Seharusnya pembinaan dan pengembangan kepegawaian yang menjadi tanggung jawab Sekretaris Propinsi Lampung, sangat sederhana sekali diselesaikan untuk kepentingan dinas dan pengembangan karier, sepanjang menggunakan prinsip-prinsip profesionalisme, dengan menghindarkan segala bentuk KKN. Kenyataan yang kita lihat semua fihak merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan Gubernur Lampung, termasuk Gubernur Lampung itu sendiri. Dan semuanya ini berpengaruh terhadap suasana kondusif dalam membangun komunikasi internal eksekutif, dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan. Terakhir konflik ini memberikan ekses hubungan yang saling melecehkan antara Sekretaris Propinsi Rachmat Abdullah dengan anggota DPRD Propinsi Lampung dan seluruh anggota Fraksi Golkar DPRD Propinsi Lampung. Rachmat Abdullah secara eksplisit menilai Mega Putri Tarmizi sebagai Politisi Penjilat dan sebagai mantan anggota MPR Mega Putri Tarmizi sama sekali tidak pernah berbuat apa-apa. Tentunya pernyataan semacam ini jelas merupakan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik terhadap Mega Putri Tarmizi. Wajar saja kalau Mega Putri Tarmizi beserta seluruh anggota Fraksi Golkar yang juga ikut dinilai oleh Rachmat Abdullah pada kesempatan pertama melaporkan perbuatan pidana ini ke Polda Lampung. Fenomena ini dikemukakan untuk menunjukkan betapa konflik berkepanjangan ini akan menimbulkan snowball effect apabila tidak dihentikan, bersifat kontra produktif, merusak sinergi kebersamaan Bagaimana kalau DPRD Propinsi Lampung yang dibekukan? Kita belum pernah sampai saat ini membaca analisis dari Pakar Hukum atau Praktisi yang memberikan tinjauan kemungkinan pembubaran DPRD Propinsi Lampung. Sepertinya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menutup kemungkinan terjadinya pembubaran atau pembekuan DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota yang ada. Kalau juga ada pemikiran atau pendapat lain dari para Ahli Hukum atau Ilmu Politik yang berpendapat lain, tentunya akan kita cermati sebagai bentuk latihan berfikir pada wacana akademis. Kemungkinan selanjutnya, bagaimana melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota DPRD Propinsi Lampung, sehingga diharapkan mayoritas anggota DPRD Propinsi Lampung, nantinya akan melakukan reevaluasi terhadap Keputusan DPRD Propinsi Lampung No. 15 tahun 2005. Proses PAW ini akan mudah dilaksanakan pada era Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang amat sentralistik, dimana peran Pemerintah Pusat begitu mendominasi Pemerintah Daerah. Dengan meminjam pendapat Yuswanto ( Lampung Post, 1 Maret 2006), yang menyatakan betapa tidak mungkinnya Presiden mencabut atau membatalkan Keputusan Presiden No. 71/M tahun 2004, sementara kedudukan DPRD Propinsi Lampung begitu kuat dan tidak dapat digoyahkan maka pilihan satu-satunya adalah rekonsiliasi / perdamaian yang harmonis antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung. Ke depan melalui hubungan yang harmonis, elegan dan egaliter antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung akan terjadi sinergi yang positip dan dapat membawa Daerah dan Rakyat Lampung ke arah yang sejahtera dan mandiri sesuai dengan visi dan misi Lampung. Pendapat Yuswanto ini kita kedepankan, bukan berarti menyatakan analisisnya bersifat aplikabel, kita tahu pendapatnya hanyalah sebatas wacana untuk latihan berfikir dan yang pasti bersifat debatable yang dapat kita nikmati secara khusus. Tetapi mungkinkah akan terjadi rekonsiliasi dan perdamaian yang harmonis ? Mengapa tidak, signal ini telah diberikan oleh Wakil Gubernur Lampung, Drs.Syamsuria Ryacudu (Lampung Post, 4 Maret 2006), yang secara terbuka menyatakan, komunikasi politik dengan DPRD harus sudah dibangun sejak awal memimpin daerah ini. Sehingga konflik tidak melebar seperti sekarang. “Saya yakin konflik tidak akan mengembang, jika kami dapat membangun komunikasi itu” Semua fihak harus berani menilai kesalahan masing-masing. Sebagai pemimpin, saya harus berani akui kesalahan memanajemen pemerintahan daerah. Dengan kata lain,Gubernur dan Wakil Gubernur harus bertanggung jawab atas konflik ini. Kita jangan sekedar menyalahkan DPRD Propinsi Lampung dengan tidak diterimanya RAPBD 2006 oleh Menteri Dalam Negeri. Pengakuan secara terbuka semacam ini yang dilakukan oleh Wakil Gubernur Lampung, merupakan wujud sikap kenegarawanan yang matang dan dewasa tentunya diharapkan mampu menciptakan suasana yang lebih kondusif. Meskipun publik mencatat secara jelas dan terbuka betapa Gubernur Lampung pada tiga kali kesempatan, mendapat perlakuan yang amat khusus dan sama sekali diluar dari tatakrama dan fatsoen politik. 1. pada tanggal 16 Agustus 2006, pada sidang paripurna istimewa mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden , dimana kehadiran Gubernur Lampung di acara tersebut berdasarkan undangan yang bukan ditandatangani oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung, tetapi oleh Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung Nurhasanah,SH. Pada acara tersebut Gubernur Lampung duduk disebelah kanan Ketua DPRD Propinsi Lampung. Selama acara sidang paripurna tersebut, Gubernur Lampung sama sekali tidak ditoleh, tak ada “say hello” dari Ketua DPRD Propinsi Lampung dan sampai akhir acara tidak ada shake hand antara tiga pimpinan DPRD Propinsi Lampung dan Gubernur Lampung. 2. pada tanggal 17 Agustus 2006, pada peringatan detik-detik proklamasi tingkat Propinsi Lampung, tidak dihadiri oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung dan Wakil-Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung. Acara tersebut hanya dihadiri oleh Nurhasanah,SH Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung dan beberapa orang anggota DPRD Propinsi Lampung. 3. pada tanggal 3 Nopember 2005, bertepatan dengan 1 Syawal 1426 H, Gubernur Lampung melakukan open house peringatan hari raya Idul Fitri, Gubernur Lampung, Wakil Gubernur Lampung hanya didampingi oleh Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung Nurhasanah,SH dan Muspida Propinsi Lampung lainnya, tanpa didampingi oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung dan dua orang Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung lainnya. Tentunya perlakuan yang diterima oleh Gubernur Lampung ini, merupakan refleksi penghargaan dan appresiasi terbuka yang ada pada DPRD Propinsi Lampung terhadap Gubernur Lampung, dan ini semata-mata merupakan reaksi balik dari DPRD Propinsi Lampung atas sikap dan penilaian yang diberikan oleh Gubernur Lampung terhadap DPRD Propinsi Lampung. Sementara kita mengetahui juga pada beberapa kesempatan secara terbuka Gubernur Lampung memberikan penilaian dan kecaman yang jauh dari nilai-nilai fatsoen terhadap DPRD Propinsi Lampung. Walaupun akumulasinya kita ketahui untuk mengajak DPRD Propinsi Lampung melakukan pembahasan RAPBD Propinsi Lampung 2006, Gubernur Lampung siap minta maaf dan mencium tangan anggota DPRD Propinsi Lampung (apa benar demikian?,penulis). Dengan meminjam pernyataan Syamsuria Ryacudu Wakil Gubernur Lampung, inilah refleksi kegagalan Pemimpin dalam melakukan komunikasi politik dengan DPRD Propinsi Lampung sejak awal. Dalam konstruksi appresiasi dan komunikasi yang terganggu semacam ini tentunya untuk terjadinya rekonsiliasi yang elegan, egaliter memerlukan kesiapan emosi dan mental yang luarbiasa. Atau apakah kita tetap berharap Presiden sesuai dengan kewenangannya berdasarkan undang-undang dengan mempertimbangkan keputusan Kasasi Mahkamah Agung No. 437 K/TUN/2004, untuk mencabut dan membatalkan Keputusan Presiden No.71/M tahun 2004 sebagaimana dinyatakan dalam surat terakhir Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/043/II/2006.

  • ) tulisan ini dimuat di "Lampung Post, 6 Maret 2006"

Perekonomian

Tenaga kerja

Pertanian & perkebunan

Hutan & ikan

Industri

Jasa

Energi

Pertambangan

Transportasi

Komunikasi

Ekspor & impor

Keuangan & perbankan

Seni dan budaya

Sastra

Lampung menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan sastra, baik sastra (berbahasa) Indonesia maupun sastra (berbahasa) Lampung.

Sastra di Lampung

Sastra Lampung

Sastrawan Lampung

Teater

Musik

Sebagaimana sebuah daerah, Lampung memiliki beraneka ragam jenis musik, mulai dari jenis tradisional hingga modern (musik modern yang mengadopsi kebudayaan musik global.red). Adapun jenis musik yang masih bertahan hingga sekarang adalah: Klasik Lampung, jenis musik ini biasanya diiringi oleh alat musik gambus dan gitar akustik. Mungkin jenis musik ini merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya asli itu sendiri. Beberapa kegiatan festival diadakan dengan tujuan untuk mengembangkan budaya musik tradisional tanpa harus khawatir akan kehilangan jati diri. Festival Krakatau contohnya, adalah sebuah Festival yang diadakan oleh Pemda Lampung yang bertujuan untuk mengenalkan Lampung kepada dunia luar dan sekaligus menjadi ajang promosi pariwisata.

Tari

Ada berbagai jenis tarian yang merupakan aset budaya Provinsi Lampung. Salah satu jenis tarian yang terkenal adalah Tari Sembah. Ritual tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang datang, mungkin bolehlah dikatakan sebagai sebuah tarian penyambutan. Selain sebagai ritual penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam upacara adat pernikahan masyarakan Lampung.

Film

Rupa

===Literatur===KEBUDAYAAN LOKAL DALAM GLOBALISASI, MILIK SIAPA ?

Oleh : Firdaus Augustian Peminat masalah kebudayaan.


           Kadang terfikir dalam era globalisasi, dimana kita menjadi warga dunia, faktor geografis telah tidak memisahkan antara komunitas satu dengan yang lain, batas-batas negara dan  fisik geografis telah terjembatani, apakah diskursus tentang nasionalisme, kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal masih relevan? Kita masih ingat bencana tsunami yang menghancurkan sebagian Propinsi Nanggro Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004, yang pertama kali memberikan bantuan resque dan emergency secara intens, ternyata bukan saudara-saudara kita dari Sumatera Barat atau Sumatera Selatan, atau dari Jakarta. Pada tanggal 27 Desember 2005 dan minggu pertama setelah terjadinya bencana alam ini, yang paling berperan membantu saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara adalah Relawan  terlatih dan Tentara dari berbagai belahan dunia, Amerika Serikat, Malaysia,Singapura,Pakistan,Jepang, Spanyol,Inggris, Australia dan banyak negara lainnya. Begitu juga LSM dari berbagai Negara dan Organisasi Internasional lainnya, seperti UNHCR, IOM, Mercy Corps, Green Peace,WFP, USAID, Save the Children, Apheda adalah  nama Organisasi Internasional/LSM Internasional yang perannya amat besar dari hari pertama bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Mereka berdatangan dengan bantuan konkrit pembuatan Rumah Sakit Darurat, pengadaan dapur umum, perbaikan prasarana fisik, dan menyalurkan bantuan yang bernilai ratusan juta US Dollar, termasuk obat-obatan, makanan, beras, tenda yang amat diperlukan oleh korban bencana. Begitu juga peralatan yang mereka bawa amat spektakuler, dari sarana telekomunikasi, pesawat angkut militer C-130, Helikopter, sampai kapal induk yang dimodifikasi menjadi Rumah Sakit Darurat yang begitu lengkap. Mereka bekerja dengan penuh kecermatan semata-mata untuk kemanusiaan jauh melampaui tanggung jawabnya sebagai warga negara Asing di NAD dan Sumatera Utara.
          Dari fenomena semacam ini tampaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang dihantarkan oleh informasi global telah jauh mengalahkan semangat nasionalisme yang selama ini menjadi slogan dan jargon pada Negara-negara yang sedang berkembang. Sementara di beberapa Daerah mempersiapkan penggalangan dana oleh Pemerintah dan masyarakat, kemudian upacara penyerahan bantuan yang diliput secara luas oleh media cetak dan elektronika, dan relawan asing termasuk kekuatan militer asing bekerja tanpa pamrih di medan bencana, baik di NAD maupun Sumatera Utara jauh dari publikasi. Dengan melihat kenyataan semacam ini tampak jelas sekali bahwa telah terjadi pergeseran ikatan solidaritas, sebagai pengaruh informasi global dan nilai-nilai kemanusiaan, dari Komunitas Nation bergeser ke Komunitas Global. Saat ini kita telah menjadi warga dari Komunitas Global, emosi dan sentimen primordial yang terasa selama ini menjadi tidak bermakna dibandingkan denga emosi dan sentimen global. Secara akumulatif mulai terasa apresiasi kita terhadap Kebudayaan Lokal, Kebudayaan Nasional, yang pada waktunya akan terdiferensiasi dalam Kebudayaan Global. N.Driyarkara (Mencari Kepribadian Nasional,1960) menegaskan, baik untuk Pembangunan Bangsa, maupun Pembangunan Pribadi pengaruh Kebudayaan luar adalah syarat mutlak. Menolak Kebudayaan luar, berarti matinya kebudayaan nasional. Kebudayaan Nasional bukanlah entitas empirik yang terlepas dari subjek.  “Dalam pembudayaan,” kata Driyarkara, ada diferensiasi yang menimbulkan Kebudayaan Nasional. Dengan kata lain diferensiasi adalah prinsip yang melahirkan kebudayaan. Kebudayaan Nasional adalah hasil pembudayaandi mana “nasionalisme” menjadi prinsip diferensiasi. Dengan demikian Kebudayaan pertama-tama harus dilihat sebagai proses diferensiasi bukan konfrontasi. Sebagai keadaan yang taken for granted kita hanya bisa mengatakan bahwa kita terlahir sebagai anak bangsa yang mendiami bumi pertiwi yang terhampar antara Sabang di NAD dan Merauke di Papua Barat sana. Ini bersifat ascribed. Hubungan darah, kesamaan asal usul, bahasa ibu, atau warna kulit, tempat dimana kita lahir. Seorang menjadi Jawa, menjadi Batak, Cina, ini bukan karena pilihannya tetapi semata-mata karena ascribed. Selanjutnya mewujudkan nation, ke Indonesiaan, dan Integrasi Nasional adalah pemikiran, perasaan, perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, merupakan sebuah achievement. Hal ini diuraikan secara jelas oleh Ignas Kleden (Nasionalisme dan Kebudayaan, 2002) , keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam Nation dan Integrasi Nasional dianggap mengharuskan adanya  pengorbanan terhadap hal-hal yang bersifat primordial. Dengan demikian menjadi sebuah kewajaran apabila timbul pemikiran bahwa rasa kedaerahan (primordialisme) yang berkelebihan dianggap membahayakan integrasi Nasional.
            Tetapi satu hal yang kurang kita sadari, bahwa sesungguhnya pada saat ini kita dalam proses meng “Indonesia”, kapan terwujudnya ? Ini merupakan perjalanan panjang, sebab sampai hari ini yang exist adalah budaya lokal dengan segala pernak-perniknya, termasuk sentimen primordialnya. Dalam kaitan ini istilah Kebudayaan Nasional menjadi istilah kontroversi dan ketidak jelasan. Selain bahasa nasional, sastra Indonesia, seni lukis Indonesia,seni tari dengan koreografi baru yang non traditional, teater modern Indonesia, pendidikan dan pengajaran, serta media massa Indonesia, sulit bagi kita menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-unsur Kebudayaan Nasional. Menurut pengalaman selama ini Kebudayaan Nasional merupakan gagasan ( atau bahkan retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Dengan mudah suatu tindakan pada masa lalu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Nasional, tetapi tidak pernah dijelaskan nilai-nilai mana saja yang dapat diterima sebagai sistem nilai Kebudayaan Nasional. Seperti biasanya, istilah politik lebih mudah berfungsi sebagai anti konsep, yang dapat diterapkan secara abritrer apabila dibutuhkan secara politik, daripada suatu kerangka konseptual yang jelas batas-batasnya dan dapat dideskripsikan unsur-unsurnya. Apakah ada upacara perkawinan Nasional, apakah ada jenis makanan Nasional, apakah ada pencak silat Nasional? Hal-hal terakhir ini lebih mudah diidentifikasikan sebagai produk budaya suatu daerah, lokal sifatnya, atau suatu kelompok etnis tertentu. Pergumulan pemikiran Ignas Kleden ini merupakan elaborasi lebih jauh dari gugatan Sutan Takdir Alisyahbana tentang Indonesia dan Prae Indonesia, sebuah polemik kebudayaan yang monumental di tahun 1930 an. Dan tentunya akan lebih menarik lagi apabila kita mencermati pemikiran Mochtar Lubis (1977) dalam Manusia Indonesia. Kita akan begitu terperangah ketika Mochtar Lubis membedah secara lugas dan transparan tentang Manusia Indonesia. Apa yang bisa dibanggakan?
            Dalam korelasi Global di mana terjadi saling interaksi kuat, inter dependensi jelas, saling ketergantungan dan saling keterpengaruhan masihkah ada warna nasional, apalagi warna global ? Selama ini kebudayaan lokal disibuki oleh pernak-pernik dan basa basi tradisional sesuai dengan tantangan peradaban dimana kebudayaan itu dilahirkan, belum ada teknologi digital, belum mengenal sinar laser, belum tahu ada senjata genggam dengan peluru karet peluru tajam, ada pesawat concorde. Tantangan peradaban yang melahirkan Kebudayaan Lokal itu belum akrab dengan istilah  effisiensi, produktivitas, sinergi, appraisal project, break event point dan sebagainya.

Sejarah

Lihat pula

  1. ^ "Nama Ibukota Kabupaten Kota dan Jarak Ke Ibukota Provinsi Menurut Kabupaten Kota Tahun 2014". lampung.bps.go.id. Diakses tanggal 16 Oktober 2021. 
  2. ^ a b "Hasil Sensus Penduduk BPS Lampung 2020". www.lampung.bps.go.id/ (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-16. Diakses tanggal 2022-11-16.