Hukum D-M dan M-D
Hukum D-M dan M-D (singkatan dari "diterangkan-menerangkan" serta "menerangkan-diterangkan"), adalah aturan dalam tata bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa "baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan terletak di belakang yang diterangkan." [1] Istilah ini dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1936. Contoh penerapan hukum ini adalah pada kata "kapal terbang" dan kalimat "Ali makan." Dalam kata majemuk "kapal terbang", kata kapal diterangkan oleh kata terbang. Demikian juga dalam kalimat "Ali makan," Ali diterangkan oleh makan.
Alisjahbana menyebut bagian yang diterangkan sebagai pokok isi dan bagian yang menerangkan sebagai sebutan isi.
Hukum ini merupakan salah satu perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris, yang menganut hukum M-D (menerangkan-diterangkan). Misalnya, schoolbuilding (Inggris) 'bangunan sekolah', gouverneurkantoor (Belanda) 'kantor gubernur'.[2]
Pengecualian
Menurutnya Alisjahbana, hukum D-M ini memiliki beberapa pengecualian berupa beberapa golongan kata, yang meskipun menerangkan sesuatu, senantiasa atau sering terletak di depan kata-kata yang diterangkannya, yaitu:
- Kata bilangan: seekor, setiap, segala, dsb.
- Kata depan: di, dari, kepada, dsb.
- Kata keterangan: sudah, telah, akan, sesungguhnya, sebenarnya, dsb. Jenis ini dapat memiliki perbedaan makna jika susunannya berbeda, misalnya makan lagi dan lagi makan.
- Kata majemuk serapan dari bahasa asing seperti perdana menteri, bumiputra dan mikrobiologi yang mengikut aturan bahasa asingnya.
Catatan kaki
- ^ Alisjahbana, S. Takdir (1983). Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (Cetakan ke-44). Jakarta: Dian Rakyat. hlm. 73––75.
- ^ Badudu, J.S. (Sep 2003). "Hukum DM dalam Bahasa Indonesia". Intisari.