Lompat ke isi

Suku Batak Toba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Agustus 2022 14.00 oleh Robertus Sitohang (bicara | kontrib) (Penambahan)
Suku Batak Toba
ᯅᯖᯂ᯲ ᯖᯬᯅ
Ulos dan Rumah Bolon Batak
Daerah dengan populasi signifikan
Sumatra Utara (Khususnya di Toba, Samosir, Humbahas, Silindung, TapUt, TapTeng, Medan, Siantar, Sibolga dan SUMUT: ± 3 juta jiwa)
(Selebihnya di DKI Jakarta, Batam, Jawa Barat, Riau dan daerah lainnya: ± 1 juta jiwa) .
Bahasa
Batak Toba: logat Toba, logat Samosir, logat Humbang, logat Silindung, dan bahasa Indonesia juga digunakan.
Agama
Kristen ± 98,8% (Protestan 87.2%, Katolik 11.6%), Islam ± 0.9%, Parmalim ± 0,2%.[1] dan lainnya 0,1%.
Kelompok etnik terkait
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Karo.

Suku Batak Toba (Aksara Batak Toba: ᯅᯖᯂ᯲ ᯖᯬᯅ, Latin: Batak Toba) merupakan sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang berasal dari provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Wilayah yang mayoritas orang Batak Toba, khusunya berada di provinsi Sumatra Utara meliputi Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Sebagian lagi tersebar di Kota Sibolga, Kota Pematang Siantar, Kota Medan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Deli Serdang, dan sekitar provinsi Sumatra Utara, serta beberapa wilayah di Indonesia.[2]

Sejarah

Kerajaan Batak

Bentuk dan ciri khas rumah panggung, orang Batak Toba

Pada masa Kerajaan Batak yang berpusat di Bakara, Kerajaan Batak yang dalam pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi Kerajaan Batak dalam 4 (empat) wilayah yang disebut Raja Maropat, yaitu:

  1. Raja Maropat Silindung
  2. Raja Maropat Samosir
  3. Raja Maropat Humbang
  4. Raja Maropat Toba

Penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membentuk Keresidenan Tapanuli pada tahun 1910. Keresidenan Tapanuli terbagi atas 4 (empat) wilayah yang disebut afdeling dan saat ini dikenal dengan kabupaten atau kota, yaitu:

  1. Afdeling Padang Sidempuan, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kota Padang Sidempuan.
  2. Afdeling Nias, yang sekarang menjadi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.
  3. Afdeling Sibolga dan Ommnenlanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
  4. Afdeling Bataklanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, bentuk pemerintahan di Keresidenan Tapanuli hampir tak berubah.

Awal kemerdekaan RI

Setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia pun tetap menjadikan Tapanuli menjadi sebuah keresidenan. Ferdinand Lumban Tobing merupakan Residen Tapanuli yang pertama.

Ada sedikit perubahan dilakukan pada nama. Namun pembagian wilayah tetap sama. Nama Afdeling Bataklanden misalnya diubah menjadi Luhak Tanah Batak dan luhak pertama yang diangkat adalah Cornelius Sihombing yang pernah menjabat sebagai Demang Silindung. Nama onderafdeling pun diganti menjadi urung dan para demang yang memimpin onderafdeing diangkat menjadi Kepala Urung. Onderdistrik pun menjadi Urung Kecil yang dipimpin oleh Kepala Urung Kecil yang dulu adalah sebagai Assistent Demang.

Seiring dengan perjalanan sejarah, pemerintahan di Keresidenan Tapanuli pernah dibagi dalam 4 (empat) kabupaten, yaitu:

  1. Kabupaten Silindung
  2. Kabupaten Samosir
  3. Kabupaten Humbang
  4. Kabupaten Toba

Kultural Batak Toba

Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak Toba tidak mesti tinggal di wilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah Toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku bangsa Batak Toba pun bermigrasi ke daerah-daerah yang lebih menjanjikan penghidupan yang lebih baik. Contoh, mayoritas penduduk asli Silindung adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Padahal ke-enam marga tersebut adalah keturunan Guru Mangaloksa yang adalah salah- seorang anak Raja Hasibuan di wilayah Toba. Demikian pula marga Nasution yang kebanyakan tinggal wilayah Padang Sidimpuan adalah saudara marga Siahaan di Balige, tentu kedua marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba sebagai kesatuan kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara spesifik ialah Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit, kira-kira 45 menit berkendara dari Pangururan, Ibu kota Kabupaten Samosir, sekarang.

Penyerahan kedaulatan awal 1950

Ketika penyerahan kedaulatan pada permulaan 1950, Keresidenan Tapanuli yang sudah disatukan dalam Provinsi Sumatra Utara dibagi dalam 4 (empat) kabupaten baru, yaitu:

  1. Kabupaten Tapanuli Utara (sebelumnya Kabupaten Tanah Batak)
  2. Kabupaten Tapanuli Tengah (sebelumnya Kabupaten Sibolga)
  3. Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelumnya Kabupaten Padang Sidempuan)
  4. Kabupaten Nias

Sekarang

Peninggalan Persidangan para raja, ada di Tomok, Pulau Samosir

Pada Desember 2008 ini, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatra Utara. Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribu kota di Balige. Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 12. Tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal, di Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara.

Marga pada suku Batak Toba

Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal. Orang Batak selalu memiliki nama marga atau nama keluarga yang disebutkan diakhir nama. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah sebagai garis keturunan patrilinear yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Marga orang Batak Toba sendiri tergolong banyak, dan setiap marga memiliki sejarah garis keturunan masing-masing.

Rumah adat

Rumah Bolon atau Jabu Bolon, rumah adat orang Batak Toba.

Rumah Adat Batak Toba Sumatra Utara – Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, yang memiliki bangunan empat persegi panjang yang kadang-kadang ditempati oleh 50 keluarga. Memasuki Rumah Bolon ini harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah tersebut, harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang. Rumah Adat Batak Toba Sumatra Utara, Hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah.

Berbeda dengan rumah-rumah Batak di daerah pesisir, pintu rumah di daerah Batak Toba berupa pintu kolong yang terdapat di bawah lantai rumah. Bagian dalam rumah tidak memiliki bagian dalam yang terpisah melainkan membentuk satu ruangan besar yang berukuran 20 sampai 40 kaki. Rumah batak toba pada umumnya dibangun dengan menggunakan bahan-bahan bangunan yang bagus. Memperlihatkan tanda-tanda keahlian yang tinggi, dan banyak diantara rumah-rumah tersebut yang turut dihiasi dengan ukiran dan lukisan.[3]

Agama

Gereja Batak Toba di desa Nainggolan.

Sebelum masyarakat Batak Toba mengenal agama Kristen, kepercayaan leluhur, yakni Parmalim, telah menjadi sebuah kepercayaan orang Batak Toba secara turun-temurun. Namun, sejak tahun 1863, misionaris asal Jerman yakni Ludwig Ingwer Nommensen atau orang Batak lebih mengenal dengan Ingwer Ludwig Nommensen atau dipanggil Nommensen, tiba di Tanah Batak, kemudian menyebarkan agama Kristen Protestan di antara suku Batak. Sebelum Nommensen, beberapa misionaris telah menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, akan tetapi belum berhasil.[4] Nommensen berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia.[4] Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).[4]


Konteks kehidupan orang Batak sebelum Injil masuk di Tanah Batak

Sebelum penyebaran agama Kristen, masyarakat Batak menganut sistem kepercayaan yang merupakan campuran kepercayaan animisme, Hindu dan magi.[5] Masyarakat Batak mempercayai Yang Maha Kuasa yang dikenal dengan nama Debata Asiasi yang menciptakan seluruh alam semesta. Debata Asiasi tidak mengatur apa yang diciptakan dan memerintahkan ketiga anaknya untuk menjadi dewa yang mengatur dunia. Anak pertama bernama Batara Guru yang merupakan Dewa Keadilan, Soripada yang merupakan dewa belas kasih dan Mangala Bulan yang merupakan sumber kejahatan dan dewa paling kuat di antara ketiga dewa ini. Masyarakat Batak pada masa itu percaya bahwa sangat penting untuk mengambil hati Mangala Bulan karena dewa ini dipercaya dapat menghancurkan kehidupan mereka. Ketiga dewa ini juga tidak langsung memimpin karena juga mempercayakan pemerintahan kepada para delegasinya yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Debata Di Ginjang (dewa atas), Debata Di Toru (dewa bawah dan Debata Dos Tonga (dewa tengah) . Selain para dewa, masyarakat batak pada masa tersebut juga percaya terhadap penunggu.[6]

Kepercayaan

Mereka juga percaya bahwa tiap individu dijaga oleh sejumlah roh, baik yang jahat disebut dengan nama setan dan yang baik dikenal dengan nama begu. Mayoritas dari roh ini merupakan jiwa dari nenek moyang yang menjaga atau mengganggu mereka.[6] Ada banyak nama begu yang disembah, seperti Begu Jau (roh yang tidak dikenal orang), Begu Antuk (roh yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), Begu Siberut (roh yang membuat orang kurus tinggal kulit).[7] Selain para begu, masyarakat Batak juga percaya terhadap beberapa dewa seperti Naga Padoha, Boru Saniang Naga, Boru Namora dan Martua Sombaon.[6]

Setiap desa memiliki datu yang tugasnya adalah melakukan ramalan dan sihir. Pada saat pemakaman, para datu ini akan dikuburkan dengan menggunakan peti mati berbahan kayu atau batu yang dirayakan dengan makan-makan.[8] Karena para datu dipilih berdasarkan pengetahuan terkait kitab-kitab, takhayul yang biasanya, pengetahuan ini hanya tersebar dikalangan para kepala suku, maka biasanya para datu juga menjabat sebagai raja atau kepala suku dari desa tersebut. Sekecil apapun keputusan ekonomis yang perlu diambil, bahkan seperti mengorbankan hewan untuk acara, keputusan ini harus didiskusikan dengan datu setempat. Saat sebuah keputusan ingin diambil, para datu akan membaca bukunya untuk menentukan tanggal baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Datu akan membuka parhalaan yang terdiri dari dua belas garis horisontal yang melambangkan dua belas bulan dalam setahun. Selain itu, juga empat garis diagonal yang tergambar tanda hieroglif yang melambangkan dua rasi bintang, yaitu skorpio atau yang dikenal dengan nama "Bentang Hala" dan rasi bintang pleiades. Bentang Hala terbagi menjadi empat bagian yang terbagi menjadi empat hari yang terdiri dari satu bagian di kepala, dua bagian di tubuh dan satu bagian di ekor. Ketika hari jatuh pada bagian selain tubuh, maka hari tesebut akan dinyatakan sebagai hari buruk. Selain perhalaan, datu memiliki dua tongkat, yaitu tondung hujur dan tondung rangas berukuran empat kaki berbahan kayu hitam yang keras dengan bagian kepala yang mengambarkan wajah hewan debngan beragam tanda. Tanda-tanda di tongkat inilah yang digunakan untuk mencari barang yang hilang atau dicuri. Datu juga menggunakan buku selain perhalaan, yaitu ati siporhas untuk menentukan waktu menyerang musuh dan tali yang bernama rombu siporhas untuk menentukan kekuatan musuh. Pada ritualnya, datu juga menggunakan jeroan ayam yang memberikan 77 tanda berbeda, 70 tanda dari kapur tohor dan 73 tanda dari lemon yang dipotong. Dia pun juga harus menghapal beragam jenis mantra yang sering digunakan di wilayahnya.[6]

Persembahan

Masyarakat Batak tidak memiliki ritual persembahan individu khusus dalam keadaan senang kecuali dalam keadaan genting, terancam peperangan, kesialan atau dilanda penyakit. Ketika hal ini terjadi mereka yang mengalami nasib buruk ini akan melakukan ritual persembahan kepada roh nenek moyang dan dewa yang mereka sembah dengan meminta datu memimpin ritual ini. Datu akan meminta burung dan sedikit beras sebagai persembahan. Kemudian, Datu akan membelah burung yang diberikan sebagai persembahan dan menyatakan bahwa si pelapor harus melakukan persembahan atas kesalahan yang dilakukan nenek moyangnya yang menyebabkan tragedi yang dia alami. Kemudian, datu akan memilih jenis hewan apa yang akan dikorbankan sebagai persembahan tergantung masalah yang dihadapi setelah melihat buku yang dia punya. Sang pelapor akan melakukan ritual makan besar terhadap hewan yang dikorbankan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang saudara dan teman-temannya. Pada hari ketiga, saat mereka sedang menari-menari, salah satu dari mereka akan kerasukan roh leluhur karena tertarik suara gong yang dibunyikan. Orang tersebut akan diberikan persembahan dan akan makan dan minum dengan lahap. Orang yang kerasukan akan ditanyakan terkait masalah yang dihadapi oleh orang yang melaksanakan pesta. Setelah mendapatkan jawaban dari orang yang kerasukan maka rohnya akan pergi dan orang tersebut akan sadar kembali. Ritual ini pun akan dianggap selesai setelah hal ini terjadi.[6]

Selain ritual individu di atas, mereka juga melakukan ritual bersama ketika ingin melancarkan serangan perang. Saat hari yang ditentukan oleh Datu berlangsung, tempat tinggal sementara akan didirikan ditengah desa dan akan mengumpulkan seluruh warga desa. Datu pun akan menggelar ulos di tengah-tengah lokasi yang diikat. Di tengah ulos ini akan diikatkan dua tali rambu siporhas berukuran dua kaki yang tiap ujungnya ada dua kenop yang terbuat dari lilin yang melambangkan kepala manusia. Pada rambu siporhas, akan diletakkan manik-manik yang berbeda yang menggambarkan tiap anggota desa, baik kepala suku, petarung atau warga biasa. Setelah melakukan tarian, makan besar dan membunyikan gong, datu akan mengambil rambu siporhas dan menjatuhkan rambu siporhas dan menentukan dari rambu siporhas situasi yang harus diikuti warga desanya. Bila ritual ini menunjukkan keberuntungan, maka mereka akan segera melakukan operasi peperangan.[6]

Sistem hukum

Hukuman

Hampir semua tindakan melanggar hukum di suku ini akan dikenai denda sesuai dengan pelanggaran dan posisi dari sang pelaku. Tidak ada peraturan tertulis yang diterapkan di setiap lokasi dan hampir di setiap wilayah ditemukan bisa hanya satu atau lebih buku hukum dengan beragam kegunaan dan pengaruhnya sesuai dengan pelaku pertama saat pelanggaran itu pertama kali dilakukan. Sebagai contoh, orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang nanti akan dimakan secara ramai-ramai. Akan tetapi, bila para pelaku berhasil melarikan diri, maka mereka bisa dengan hanya membayar denda. Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu . Para tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang karena bila ini terjadi, maka para mayat akan dibiarkan di lokasi peperangan dan nantinya akan dikubur oleh pihak yang mengakui mayat tersebut sebagai bagian dari mereka, sedangkan tawanan akan ditebus.[6]

Hutang

Suku bunga dari hitang biasanya dipatok hingga seratus persen tiap bulannya yang bahkan menjadi hal yang biasa untuk seseorang dan satu keluarganya dijual sebagai budak di Angkola yang awalnya hanya dari sebuah hutang yang berjumlah satu dollar karena suku bunga yang tinggi selama dua tahun dia berhutang. Pada kasus perjudian, seseorang yang berhutang akan dipasung hingga sanak saudaranya membayar hutang yang dia tanggung. BIla sanak saudara tidak mau membayar, maka penagih akan mencoba segala cara untuk menimbulkan belas kasih atau melukai harga diri dari sanak saudara orang yang berhutang. Selama dia berhutang, orang tersebut takkan dikeluarkan dari pasungan dengan makanan yang seadanya, bahkan hingga dia mati. [6]

Perbudakan

Perbudakan suku batak hanya terjadi diantara mereka karena mereka tidak melakukan impor atau ekspor budak. Biasanya budak tidak mengalami tindakan opresi dibandingkan manusia bebas yang menjadi pemilik mereka. Biasanya alasan perbudakan terjadi karena kemiskinan yang menimpa suatu keluarga sehingga dia harus melepaskan salah satu keluarganya untuk diadopsi sebagai buda, anak yatim piatu yang tidak ingin diasuh oleh keluarga dekatnya, orang yang tidak bisa membayar hutang dan tawanan perang. [6]

Makanan

Masyarakat Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan, dan berladang. Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.[9] Pada saat itu juga, suku batak telah memiliki sistem hukum yang tertulis dengan hukuman yang beragam. Seseorang yang ditangkap melakukan pencurian akan dibunuh di lokasi bila tertangkap dan langsung dimakan, sedangkan bila berhasi lari, maka orang tersebut hanya akan diberi denda. Bila seseorang ketahuan selingkuh, maka akan dimakan hidup-hidup. Para orang yang dibunuh dan tawanan perang akan dimakan di publik bila merupakan perang besar, tetapi dilarang bila hanya ada dua desa yang berperang. Saat itu, para suku batak memakan apa segala jenis hewan termasuk anjing kucing, ular , monyet dan kalelawar tanpa ada pantangan bagaimana hewan itu tersebut mati. Saat hewan yang dimakan ingin dimakan, mereka menyimpan darahnya untuk digunakan sebagai saus saat memasak daging.[8] Selain hewan, nasi dan ubi jalar dengan kandungan garam yang tinggi menjadi makanan pokok suku ini saat itu.[6]

Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun.[9] Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Si Singamangaraja yang berada di Bangkara.[9] Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.[butuh rujukan]

Hampir semua roda kehidupan orang Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat.[9] Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.[9]

Masuknya penginjil ke Tanah Batak

Penginjil utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris

Pada tahun 1820, tiga misionaris dari Baptist Missionary Society yaitu Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Thomas Stamford Raffles.[10] Sebelumnya, mereka bertiga bertugas di Sumatra di tiga tempat berbeda. Ward ditugaskan di Bengkulu, Burton di Sibolga dan Meers di Padang.[11] Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke utara, ke daerah tempat tinggal orang Batak yang masih belum menganut kristen.[10]

Mereka berangkat pada tanggal 30 April 1824 dan melakukan perjalanan di pesisir Tapanuli. Setelah dua jam melewati dataran rerumputan, mereka tiba di desa Parik Debata mencakup wilayah dari Pagaran lambung. Pagaran lambung terdiri dari 10-20 desa. Mereka disambut dengan baik oleh raja setempat dan dipersilakan menginap semalam di rumah kepala desa serta mendapatkan tanda kehormatan keesokan harinya. Mereka melanjutkan perjalanan dan menyusuri rute selama 6 jam perjalanan sebelum beristirahat di desa yang berlokasi di tengah Pagaran Lambung. Selama dua hari perjalanan, mereka akhirnya melewati Huta Tinggi pada hari senin setelah 4 jam perjalanan dari tempat peristirahatan sebelumnya.[6] Perjalanan ini merupakan perintah dari Raffles untuk pergi ke utara, yakni Silindung (wilayah Batak Toba).[12]

Mereka melanjutkan 5 jam perjalanan dari Huta Tinggi dan bermalam di sebuah gubuk sebelum melanjutkan perjalanan pada selasa pagi atau tanggal 4 Mei dan tiba di Silindung. Pada awalnya, rencana perjalanan direncanakan hingga Danau Toba, tapi perjalanan terhenti karena penyakit kolera yang harus ditangani oleh Ward. [6] Ward merupakan seorang ahli medis yang ditugaskan menyelediki penyakit yang menular di wilayah ini.[13] Mereka tinggal di Silindung selama seminggu dan meninggalkan Silindung pada jam 7 pagi tanggal 11 Mei.[14]

Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.[15]

Para misionaris tersebut juga menerjemahkan pasal satu dari Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba.[16]

Penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission

Pada awalnya, Karl Gützlaff ingin ditugaskan ke Sumatra, tapi gagal karena keadaan lokasi yang sedang konflik.[17] Konflik ini merupakan perang padri yang akhirnya memindahkan tujuan Gutzlaff ke Jakarta untuk menyebarkan melakukan penginjilan kepada Tionghoa yang tinggal disana.[18] Kemudian pada tahun 1834, dua orang Amerika, yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatra.[15] Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung.[15] Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.[15]

Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft

Ludwig Ingwer Nommensen, misionaris Jerman yang berhasil menyebarkan Injil diantara orang Batak Toba.

Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatra.[19] Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama Herman Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab.[butuh rujukan]

Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali.[9] Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya.[9] Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya.[9] Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan.[9] Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani.

Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.[9] Pada tahun yang sama tepatnya pada 7 Oktober 1861, diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft.[9] Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).[9] Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862.[9] Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu.[9] Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft.[9] Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke daerah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).[9]

Dalam menyampaikan Injil, Ludwig Ingwer Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumbantobing (Raja Batak pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya.[9] Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat.[9] Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban.[9] Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak:

Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunannya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.

— Ludwig Ingwer Nommensen[9]

Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya.[9] Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan Raja Batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.[9]

Perkembangan Kekristenan setelah Injil masuk di Tanah Batak

Orang Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamannya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini memaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame (kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881, jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun 1881, Ludwig Ingwer Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Orang Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompu i. Awalnya, gelar ini merupakan sebutan khusus masyarakat Batak kepada para Singamangaraja.

Saat ini, suku Batak Toba pada umumnya memeluk agama Kristen, sehingga orang Batak Toba lebih identik sebagai orang Batak dan beragama Kristen, khususnya Kristen Protestan. Konsentrasi sekitar 97% orang Batak Toba memeluk agama Kristen dengan rincian Protestan 93% dan Kristen Katolik Roma 5%. Kemudian, sebagian kecil memeluk agama Islam sekitar 2% dan sebagian kecil masih memegang kepercayaan Parmalim yang tinggal di Pulau Samosir namun saat ini jumlahnya sangat sedikit, sekitar 0.01% dari total penduduk suku Batak Toba.[1]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b "Toba Batak in Indonesia". www.joshuaproject.net. Diakses tanggal 2 Desember 2020. 
  2. ^ Jacob Cornelis Vergouwen, Masyarakat dan hukum adat Batak Toba
  3. ^ reid, anthony (2014). Sumatera tempo doeloe. depok: komunitas bambu. hlm. 215. ISBN 979-3731-94-x Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  4. ^ a b c (Indonesia)F.D. Willem. 1987. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 198, 199.
  5. ^ Ricklefs, Merle Calvin (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 314. ISBN 978-979-024-115-2. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l "XXVI. Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. By Messrs. BURTON and WARD, Baptist Missionaries. Communicated by the late Sir STAMFORD RAFFLES, Kt.". Transactions of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (dalam bahasa Inggris). Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland: The Society. 22 April 1826. hlm. 485–500. 
  7. ^ Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. Seratus Tahun Kekristenan Dalam Sejarah Rakyat Rakyat Batak. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum.
  8. ^ a b Greatheed, Samuel; Parken, Daniel; Williams, Theophilus; Conder, Josiah; Price, Thomas; Ryland, Jonathan Edwards; Hood, Edwin Paxton (1826). The Eclectic Review (dalam bahasa Inggris). C. Taylor. hlm. 428. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v B. Napitupulu, 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan HKBP. hal 442.
  10. ^ a b Al Lumban Tobing, 1992. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. hal 65.
  11. ^ Wellem, Frederiek Djara (2004). Kamus sejarah gereja. BPK Gunung Mulia. hlm. 170. ISBN 978-979-687-139-1. 
  12. ^ Van den end & Weitjens, SJ. 2008, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal 182.
  13. ^ Sitompul, Martin (10 April 2020). "Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak". Historia. Diakses tanggal 21 Juni 2023. 
  14. ^ Meers, Burton & Ward 1826, hlm. 494.
  15. ^ a b c d Van den end & Weitjens, SJ. 2008, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal 182.
  16. ^ Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (1978). Sejarah daerah Sumatera Utara (PDF). jakarta: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DANKEBUDAYAAN. hlm. 69. 
  17. ^ Wylie, Alexander (1867). Memorials of Protestant Missionaries to the Chinese: Giving a List of Their Publications, and Obituary Notices of the Deceased. With Copious Indexes (dalam bahasa Inggris). American Presbyterian Mission Press. hlm. 54. 
  18. ^ Purba, Mauly (2005). "Results Of Contact Between The Toba Batak People, German Missionaries, And Dutch Government Officials: Musical And Social Change". etnomusikologi. 1 (2): 118–145. 
  19. ^ Kozok, Uli. Utusan Damai di Kemelut Perang. Peran Zending dalam Perang Toba berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, École française d’Extrême-Orient. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial, Unimed, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta 2011. 217 hal. ISBN 978-979-461-776-2

Sumber dan bacaan

  • Ramlo R. Hutabarat, Opini: Tapanuli, Dari Suatu Masa Pada Suatu Ketika, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) edisi Jumat, 5 Januari 2007
  • D. J. Gultom Raja Marpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, tentang Struktur Wilayah Pemerintahan Harajaon Batak
  • ALMANAK HKBP
  • Laris Kaladius Sibagariang (Sumber Lisan), seorang yang dituakan dan kepala adat, di Hutaraja Sipoholon.

Pranala luar