Museum Rumah Cimanggis
Museum Rumah Cimanggis atau lebih dikenal dengan Rumah Cimanggis (Bahasa Belanda: Landhuis Tjimanggis)[1] adalah sebuah bangunan tua era penjajahan Hindia Belanda di wilayah Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat yang telah dijadikan museum. Lokasinya berada di dalam kawasan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia.
Museum Rumah Cimanggis | |
---|---|
Informasi umum | |
Gaya arsitektur | Arsitektur Hindia Baru |
Lokasi | Kompleks Universitas Islam Internasional Indonesia, Cisalak, Kec. Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat 16416 |
Negara | Indonesia |
Rampung | 1778 2021 (restorasi)[1] |
Dihancurkan | 1834 (gempa bumi Megamendung) 2012-2018 (terbengkalai)[1] |
Pemilik | Van Der Perra (1771-1775) Johanna Bake (1778-?) Kapitan Tionghoa (tidak diketahui namanya) (?-1935)[1] Samuel de Meyer (1935-1942) Radio Republik Indonesia (1961-2002)[1] Universitas Islam Internasional Indonesia (sekarang)[1] |
Bangunan ini sudah berdiri sejak abad ke-18 dan telah beberapa kali kepemilikannya berpindah tangan. Dari yang awalnya dimiliki oleh Yohana van der Parra, istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-29 Petrus Albertus van der Parra, rumah Cimanggis kemudian dimiliki oleh sejumlah orang Eropa hingga kemudian menjadian bagian dari tanah milik Radio Republik Indonesia (RRI).[1][2][3]
Sejarah
1771-1935
Rumah Cimanggis sebelumnya merupakan sebuah perkebunan milik Je Manns, yang kemudian dibeli oleh Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra pada tahun 1771.[1]
Rumah Cimanggis diperkirakan dibangun sekitar tahun 1771-1775 dan dulunya menjadi tempat peristirahatan Johanna Bake Van Der Parra, istri kedua Van der Parra. Oleh Petrus Albertus Van Der Parra, rumah itu diberikan kepada istrinya, Johanna Bake sebagai hadiah untuk dijadikan tempat peristirahatan, karena Van Der Parra wafat sebelum pembangunan rumah tersebut selesai.[1] Johanna Bake kemudian menempati rumah itu hingga wafat.[2] Johanna Bake hanya datang ke Rumah Cimanggis setiap akhir pekan saja.[1]
Rumah Cimanggis memiliki kebun yang sangat luas dan memiliki banyak budak yang dibuktikan dengan sebuah lonceng yang ada di halaman rumah.[1]
Rumah ini sempat ambruk pada tahun 1834 akibat gempa bumi besar yang disebabkan oleh letusan Megamendung yang menghancurkan wilayah Megamendung hingga Depok.[1]
Gambaran mengenai Rumah Cimanggis didokumentasikan oleh penulis buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Adolf Heuken SJ. Menurut keterangan Adolf Heuken, Rumah Cimanggis memiliki atap tinggi dengan halaman yang luas dengan arsitektur yang memadukan gaya dari berbagai negara, di antaranya gaya Inggris dan Prancis. Cimanggis sendiri dipilih sebagai lokasi bangunan karena pada masa lalu Batavia pernah berada dalam keadaan tidak sehat menyusul merebaknya penyakit malaria yang merenggut banyak nyawa. Para pejabat Belanda memilih mendirikan rumah peristirahatan di pinggiran Batavia yang lingkungannya dianggap lebih sehat.[4]
Sebagian besar pekerja di Rumah Cimanggis pada saat itu berada di beraktivitas di belakang rumah, karena pada saat itu terdapat sebuah danau atau Situ yang bernama "Situ Cimin" yang kini menjadi kawasan permukiman penduduk.[1]
Dibangunnya rumah Van der Parra di Cimanggis turut menggerakan roda perekonomian di daerah sekitarnya. Tidak lama setelahnya, Johanna Bake merdirikan Pasar Cimanggis di sebagian lahan Rumah Cimanggis sebagai sentra ekonomi masyarakat setempat. Hingga saat ini, Pasar Cimanggis masih ada dan dikenal dengan nama Pasar Pal yang terletak di Jalan Raya Bogor km 34.[1]
Pasar Pal saat itu bukan hanya sekadar tempat berlangsungnya aktivitas jual-beli, melainkan tempat beristirahat bagi para pengembara yang sedang dalam perjalanan. Biasanya para pengembara yang melalui rute Jakarta-Bogor akan berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda.[5]
1935-1947
Johanna dan Petrus Albertus kemudian wafat. Pasca wafatnya Yohana, kepemilikan rumah berpindah tangan kepada seorang pengusaha bernama David Smith.[1] Setelah David Smith bangkrut, kepemilikan Rumah Cimanggis sempat menjadi tidak jelas. Kepemilikan Rumah Cimanggis baru diketahui kembali ketika seorang kapitan Tionghoa yang merupakan pemilik bangunan Pondok Cina mengambil alih kepemilikan Rumah Cimanggis hingga tahun 1935 yang digantikan oleh Samuel de Meyer.[1]
Selama masa pendudukan Jepang, Rumah Cimanggis sudah dalam kondisi terbengkalai. Pada rentang tahun 1946-1947, Hubertus Johannes Van Mook pernah berkunjung ke Rumah Cimanggis dan diduduki oleh tentara Belanda sebagai markas selama berlangsungnya agresi militer pertama.[1]
Rumah ini juga pernah disinggah oleh Soekarno ketika ingin berkunjung ke Kota Bogor (Buitenzorg).[1]
1961-2002
Di sekitar Rumah Cimanggis didirikan tiga pemancar RRI pada 1961. Adanya pemancar RRI membuat fungsi Rumah Cimanggis ikut berubah. Pada 1978, Rumah Cimanggis dijadikan rumah dinas bagi keluarga karyawan RRI di mana rumah dibagi menjadi 13 bagian dan setiap bagiannya ditempati satu kepala keluarga.[1][6] Pada tahun 2002, atap Rumah Cimanggis mulai mengalami kebocoran. Sebagai penggantinya, pemerintah setempat membangun komplek perumahan untuk karyawan RRI yang dinamakan "Komplek Departemen Penerangan". Sejak itu para karyawan RRI pindah ke komplek Deppen dan akhirnya mengosongkan Rumah Cimanggis. Sejak saat itu kondisi bangunan mulai tidak terawat dan secara perlahan mengalami kerusakan.[1]
2012-2018
10 tahun setelah ditinggalkan, pada tahun 2012, atap dari Rumah Cimanggis mulai runtuh secara perlahan hingga habis pada rentang tahun 2017-2018. Beberapa dinding ruangan hancur akibat ditumbuhi lumut dan tertimpa pohon.
2018-2020
Perhatian besar terhadap Rumah Cimanggis baru kembali muncul saat di komplek RRI tempat berdirinya bangunan ini direncanakan akan dibangun UIII pada tahun 2016 dan inisiasi dari komunitas pecinta heritage dan berbagai liputan media.
Pembangunan UIII yang dikhawatirkan akan melenyapkan Rumah Cimanggis mendorong masyarakat dan aktifis untuk bergerak menyerukan penyelamatan bangunan tersebut mengingat nilai sejarah yang ada di dalamnya. Seruan itu utamanya ditujukan kepada Kementerian Agama selaku pemilik lahan serta Pemerintah Kota Depok.
Keinginan publik untuk menyelamatkan Rumah Cimanggis ditanggapi positif. Ketua Harian Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat memastikan Rumah Cimanggis tidak akan dirobohkan saat UIII dibangun. Ia bahkan menyebut akan dilakukan restorasi bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk menambah daya tarik kampus.[7] Sementara itu, Pemkot Depok menetapkan Rumah Cimanggis sebagai bangunan yang dilindungi. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada 24 September 2018 yang dikeluarkan oleh Wali Kota Mohammad Idris.[8]
Dengan adanya kepastian tidak akan dirobohkan, beragam ide dari publik muncul terkait peruntukan Rumah Cimanggis untuk ke depannya. Sehubungan dengan hal itu Pemerintah Kota Depok meresmikan Rumah Cimanggis untuk dijadikan museum pertama bersejarah tepatnya timur Kota Depok.[9]
2020-sekarang
Rumah Cimanggis mulai direstorasi pada Oktober 2020 dan selesai pada tahun 2021. Arsitektur bangunan dikembalikan ke kondisi aslinya pada tahun 1930. Rencananya Rumah Cimanggis akan digunakan sebagai museum dan gedung serbaguna dari Universitas Islam Internasional Indonesia.[1]
(Rumah Cimanggis) ini dahulu memang merupakan sebuah cita-cita saya maupun masyarakat Kota Depok untuk menjadikan rumah ini sebagai museum, karena Depok belum memiliki museum, tapi tentu saja hal itu tidak serta-merta bisa terjadi. Yang pertama, Museum ini harus jelas siapa kepemilikannya karena sampai saat ini bangunan ini masih dimiliki oleh Kemenag yang sekarang dibawahi oleh UIII. Tentu saja harapan saya kedepan adalah pertemuan antara pihak pemerintah Kota Depok dengan UIII dan Kemenag. Apakah bangunan ini akan dihibahkan kepada Pemkot Depok atau tetap menjadi milik Kemenag tapi berkolaborasi dengan pihak Pemkot. Harapan saya juga kalau tidak menjadi museum, (saya harap) agar gedung ini menjadi Gedung Budaya. Dimana bangunan ini benar-benar digunakan untuk seminar, pameran, kebudayaan, atau sekedar (menjadi tempat) pementasan tari. Jangan dijadikan seperti kafe atau restoran yang (bersifat) lebih komersial yang memang menguntungkan. Tetapi saya khawatir kalau bangunan ini rusak kembali (jika digunakan sebagai gedung komersial)
— Ratu Farah Dila, anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Depok[1]
Arsitektur
Seluruh bagian dari Rumah Cimanggis memiliki selasar. Bagian teras belakang dahulu digunakan untuk menyambut dan berbincang dengan tamu dan juga digunakan sebagai tempat penghuni atau pekerja meminum kopi atau teh pada sore hari.
Arsitektur asli dari bangunan utama Rumah Cimanggis tidak memiliki kamar mandi sehingga sebuah kamar mandi baru dibangun terpisah dari bangunan utama pada saat proses restorasi bangunan utama.[1]
Lihat juga
- Rumah Cililitan Besar
- Petrus Albertus van der Parra
- Radio Republik Indonesia
- Universitas Islam Internasional Indonesia
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Landhuis Tjimanggis, diakses tanggal 2022-09-21
- ^ a b Saraswati, Dias. "Rumah Cimanggis, Sejarah Depok dan Jejak VOC". nasional (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ "Rumah Cimanggis Mulai Bersolek". beritasatu.com. Diakses tanggal 2019-02-24.
- ^ Lestari, Sri (2018-01-21). "Pantaskah Rumah Cimanggis dibongkar karena 'peninggalan gubernur jenderal VOC yang korup'?" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ "Kisah Rumah Cimanggis: Ditinggali Jenderal VOC hingga Gelandangan". kumparan. Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ Saraswati, Dias. "Rumah Cimanggis, Sejarah Depok dan Jejak VOC". nasional (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ Solehudin, Mochamad. "Kampus UIII Dibangun, Rumah Cimanggis Tidak akan Dibongkar". detiknews. Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Rumah Cimanggis Ditetapkan Jadi Cagar Budaya". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-02-20.
- ^ Wijanarko, Tulus (2018-10-01). "Rumah Cimanggis Depok Diusulkan Menjadi Museum Hindia Belanda". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20.