Lompat ke isi

Dewi Sri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 November 2022 00.28 oleh Kavlyco (bicara | kontrib)
Dewi Sri
Dewi padi
Arca perunggu Dewi Sri dari Jawa Tengah. Tangan kirinya sedang memegang tanaman padi.
AfiliasiPhosop, Inari, Seres
KediamanPersawahan
SimbolPadi
Jenis kelaminPerempuan
WilayahJawa, Bali, Lombok, Sulawesi

Dewi Sri (bahasa Jawa: ꦢꦺꦮꦶꦱꦿꦶ; Dewi Sri, bahasa Bali: ᬤᬾᬯᬶᬲ᭄ᬭᬶ; Dewi Sri, bahasa Sunda: ᮑᮤ ᮕᮧᮠᮎᮤ; Nyi Pohaci, bahasa Bugis: ᨔᨂᨗᨕᨔᨛᨑᨗ Sangiang Serri; adalah dewi padi di tatar Sunda, Jawa, Bali, Lombok, dan Bugis.

Pemujaan terhadapnya berawal dari perkembangan dan penyebaran penanaman padi di Asia, kepercayaan terhadap dewi padi akhirnya bermigrasi dan mempengaruhi masyarakat di Nusantara. Mitologi yang serupa terhadap roh yang memberikan kesuburan di beberapa daerah sedikit berbeda dan tersebar luas di antara kawasan Asia Tenggara dan juga negara tetangga.

Mitologi Dewi Sri di Nusantara diperkirakan sudah ada sejak awal abad pertama, ia disamakan dengan dewi Hindu, Sri Laksmi, dan sering dianggap sebagai inkarnasi atau salah satu manifestasinya.

Mitologi mengenai dewi padi juga dapat ditemukan di negara Asia lainnya seperti Phosop di Thailand, Po Nagar di Kamboja dan Inari di Jepang.

Atribut dan legenda

Ia dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi: bahan makanan pokok masyarakat Indonesia; maka ia mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran.

Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.

Mitologi

Upacara untuk Dewi Sri (mapag Sri) pada saat panen di Karang Tengah, Tuntang, Semarang (sekitar 1910)

Kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini. Berikut ini adalah beberapa kisah mengenai Dewi Sri sebagai dewi padi.

Dalam mitologi Jawa

Versi ini berdasarkan kepada lakon "Měngukuhan",[1] yang juga dijumpai dalam naskah "Serat Manikmaya", "Serat Pustakaraja Budhawaka", Serat Sejarah Ageng Nungsa Jewi", dan "Serat Sejarah wiwit Nabi Adam lan Babu Kawa Tumurun ing Ngarcapada".[2](hlm.96)

Lahirnya bidadari Niken Tiksnawati

Mula-mula dikisahkan pada pertemuan dewa di Kahyangan, Batara Guru mencoba untuk memegang "Retna Dumilah", mustika sakti milik Batara Narada yang dapat membuat pemakainya tidak perlu makan dan tidur, tidak basah terkena air, dan tidak terbakar oleh api. Tangan Batara Guru tidak kuat menahan Retna Dumilah sehingga mustika sakti itu terlepas dari tangan Batara Guru dan jatuh ke bumi lapis ketujuh dimana seekor naga bernama Sang Hyang Antaboga menangkap dan menelannya. Antaboga kemudian mengetahui bahwa para dewa mencari mustika yang ia telan dan muncul keinginan untuk menguji mereka. Dia letakkan mustika itu ke dalam sebuah cupu lalu ia berikan kepada Batara Guru. Batara Guru tidak mampu membuka cupu tersebut, begitu pula dengan Batara Narada dan para dewa lainnya. Akhirnya cupu tersebut dibanting oleh Batara Guru hingga hancur. Dari cupu yang hancur keluarlah Retna Dumilah yang berubah bentuk menjadi seorang bayi perempuan. Bayi itu kemudian dinamakan Niken Tiksnawati.

Terciptanya tanaman padi

Setelah berumur 14 tahun, Tiksnawati menjadi bidadari yang sangat cantik. Batara Guru jatuh cinta dan mencoba mempersunting Tiksnawati. Tiksnawati memberikan tiga syarat yang harus disanggupi oleh Batara Guru untuk mempersuntingnya. Syaratnya adalah pakaian yang selamanya tidak akan usang, makanan yang sekali dimakan akan selalu mengenyangkan, dan gamelan bernama "kětopyak" atau "kethok kethopyok kepyak kethopyak", sebuah teka teki yang berasal dari suara lesung.[3](hlm.206) Batara Guru menyanggupi dan memerintahkan anak Batara Kala yang bernama Kala Gumarang untuk mencari dan melengkapi persyaratan tersebut.

Ditengah pencarian, Kala Gumarang melihat Dewi Sri, istri dari Dewa Wisnu, mandi di taman Banjaran Sari. Kala Gumarang terpikat dan mengejar Dewi Sri hingga turun ke bumi dan masuk ke tengah hutan. Dewa Wisnu melepaskan anak panah ke arah Kala Gumarang yang kemudian berubah menjadi akar rotan yang menjerat kaki Kala Gumarang dan membuatnya terjatuh. Dewi Sri terkejut melihat Kala Gumarang jatuh merangkak dan dari mulut Dewi Sri terucap perkataan bahwa Kala Gumarang mirip seperti babi. Seketika itu juga Kala Gumarang berubah menjadi babi hutan. Dewi Sri kemudian menitis ke dalam Dewi Darmanastiti, permaisuri Raja Makukuhan di Medang Kamulan. Sedangkan Dewa Wisnu sendiri menitis ke dalam Raja Makukuhan.

Mendengar bahwa Kala Gumarang berubah menjadi babi dan tidak dapat kembali ke Kahyangan, Batara Guru hilang kesabarannya dan memaksa Tiksnawati untuk melayaninya. Tiksnawati memberontak dan meninggal dunia. Batara Guru tertekan dan menyerahkan jasad Tiksnawati kepada Batara Narada untuk dikuburkan ke bumi di hutan Krendawahana wilayah kerajaan Medang Kamulan. Setelah dikubur, dari jasad Tiksnawati tumbuh berbagai macam tanaman.

  • Dari bagian kepala tumbuh pohon kelapa
  • Dari bagian kemaluan tumbuh pohon aren
  • Dari bagian telapak tangan tumbuh tanaman pisang
  • Dari bagian gigi tumbuh tanaman jagung
  • Dari bagian rambut tumbuh tanaman padi
  • Dari bagian bulu tumbuh tanaman menjalar dan tanaman dengan buah menggantung
  • Dari bagian kaki tumbuh tanaman umbi-umbian

Tumbuh-tumbuhan tersebut kemudian dikembangbiakkan secara merata ke seluruh wilayah kerajaan. Dewi Sri kemudian keluar dari tubuh Dewi Damanastiti dan merasuk ke dalam tanaman padi.

Terciptanya hama padi

Walau dalam bentuk babi hutan, Kala Gumarang terus mencari dan mengejar Dewi Sri yang sudah bersatu dengan tanaman padi. Dia datang melewati area persawahan, menginjak-injak padi dan menjungkirbalikkan tanah. Dewa Wisnu yang terus memburu Kala Gumarang, melepaskan anak panahnya. Panah tersebut menembus badan Kala Gumarang dan dia pun tewas seketika. Dari darahnya yang keluar muncul segala macam hama yang membahayakan padi seperti:

  • Wereng
  • Lodhoh
  • Tubumi
  • Walang sangit
  • Walang angin
  • Pusar gawah

Kala Gumarang sendiri musnah menjadi hama padi yang disebut dengan "menthek". Kala Gumarang juga merasuk ke dalam tikus, babi, kera, kerbau hutan, banteng, serta kijang untuk membantu merusak tanaman padi. Namun semuanya dapat dikalahkan oleh Raja Makukuhan yang merupakan titisan Dewa Wisnu.

Asal mula Pasrean

Disebutkan kemudian bahwa Raja Makukuhan mempunyai dua orang anak. Dari Dewi Darmanastiti mempunyai anak perempuan yang diberi nama Sri (berbeda dengan Dewi Sri istri dari Dewa Wisnu). Sedangkan dari istri yang kedua, yang bernama Dewi Subur, mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Sadana. Kedua anak tersebut saling jatuh cinta dan tidak ingin menikah kecuali dengan saudaranya. Karenanya, mereka diusir dari istana. Yang pertama pergi adalah Sadana, yang disusul oleh Sri yang berusaha mencari keberadaan adiknya. Seperginya Sri dan Sadana, datanglah utusan dari Prabu Pulaswa,[4](hlm.110) raja raksasa untuk melamar Sri. Karena Sri sudah tidak berada di istana, maka Raja Makukuhan mempersilahkan Prabu Pulaswa untuk mencari Sri sendiri. Para raksasa yang dipimpin oleh Kalandaru, raksasa yang memiliki penciuman yang sakti, menemukan keberadaan Sri di hutan dan mengejarnya. Mengetahui bahwa dia sedang dikejar para raksasa, Sri lari dan berlindung di desa Medangwangi, di dalam rumah Bawadha dan istrinya, Patani. Sri meminta kepada Patani untuk menyediakan ruang tengah sebagai kamar tidurnya. Sri juga mengajarkan kepada Patani tata cara menata ruang tengah agar mendapatkan makanan dan pakaian yang melimpah. Ruang tengah ini yang kemudian dinamakan sebagai Pasrean. Sri menetap di Medangwangi hingga para raksasa datang ke desa tersebut.

Ular sawah sebagai penjaga

Setelah mengetahui bahwa para raksasa sudah mendekat, Sri meninggalkan desa Medangwangi dan melanjutkan pelariannya. Setelah melewati beberapa desa, Sri akhirnya bertemu dengan Sadana. Mereka berdua kemudian membangun desa Sri Ngawanti dan bertahan di sana dari serangan para raksasa. Sadana sendiri berhasil mengalahkan Prabu Pulaswa. Prabu Makukuhan membujuk kedua anaknya untuk kembali ke istana, tetapi ditolak oleh mereka. Atas perkataan Prabu Makukuhan yang menyamakan mereka dengan ular sawah dan burung sriti, maka kedua anaknya berubah bentuk. Sri berubah menjadi ular sawah, sedangkan Sadana menjadi burung sriti. Mereka berdua pun terpisah kembali.

Setelah menjadi ular sawah, Sri mendatangi sebuah desa.[4](hlm.112) Di sana terdapat pasangan Kyai Wrigu dan istrinya yang mandul, Ken Sanggi. Seorang pertapa memberitahukan bahwa Ken Sanggi dapat mempunyai titisan Dewi Tiksnawati sebagai anak bila dia meminum air "yoga" dari empat sumber: Dari bumi, langit, tanaman, dan nyawa. Setelah Ken Sanggi hamil beberapa bulan, pertapa tersebut memberikan perintah agar Kyai Wrigu menangkap dan memelihara seekor ular sawah di kamar tengah dan memberikan tata cara yang sama seperti yang diminta oleh Dewi Sri di Medangwangi. Ken Sanggi pun melahirkan. Lewat mimpi, ular sawah peliharaannya memberikan nama "Raketan" kepada putrinya yang baru lahir.

Disaat yang bersamaan, Kahyangan dalam keadaan kacau dikarenakan Dewi Tiksnawati menitis ke bumi tanpa ada ijin dari Batara Guru. Batara Guru memutuskan untuk mengirim seorang dewa ke bumi untuk membunuh bayi titisan Tiksnawati. Yang pertama diutus adalah Batara Kala, turun sebagai srigala. Tetapi Sri muncul di dalam mimpi Kyai Wrigu dan memberitahukan upacara dan persembahan yang dapat melindungi sang bayi dari Batara Kala. Setelah Batara Kala gagal, Batara Guru mengutus Batara Brahma ke bumi sebagai kerbau Gumarang. Sri kembali mengajarkan kepada Kyai Wrigu cara untuk melindungi diri dari Batara Brahma. Dewa ketiga yang diutus adalah Dewa Wisnu, yang mengubah diri menjadi babi hutan. Dia pun dikalahkan dengan cara yang serupa dengan dua dewa sebelumnya. Akhirnya Batara Guru sendiri turun ke bumi bersama dengan 14 dewa dengan berbagai rupa binatang yang dipimpin oleh Batara Kala dengan wujud raja ikan. Mereka menyerang sebanyak tiga kali dalam tiga perwujudan yang masing-masing menyebabkan sawan sarap. Akan tetapi serangan tersebut sekali lagi dipatahkan oleh campur tangan Sri.

Sri menjadi dewi padi

Batara Guru kembali ke Kahyangan dan mengutus para bidadari untuk membujuk Sri ikut ke Kahyangan menjadi bidadari. Utusan tersebut juga mengatakan bahwa Sadana sudah menjadi dewa setelah diruwat. Mendengar hal tersebut, Sri meminta dirinya untuk diruwat seperti itu juga. Wujud Sri sebagai ular sawah kemudian berubah menjadi Dewi Sri sebagai bidadari, bukan Sri sebagai manusia lagi.

Sebenarnya Sadana diruwat pada hari yang sama dengan Sri. Sadana yang diberitahukan bahwa Sri sudah pergi ke Kahyangan menjadi bidadari, membiarkan dirinya dibujuk oleh seorang pertapa untuk menikahi putrinya, Subadha. Subadha kemudian hamil dan Sadana menunggu anaknya lahir sebelum ia pergi ke Kahyangan.

Dewi Sri masih ingin menjaga Raketan karena khawatir menjadi sasaran pasukan dewa kembali. Para bidadari menjelaskan bahwa Raketan diserang karena Dewi Tiksnawati menitis ke dalam Raketan tanpa seijin Batara Guru. Dewi Sri kemudian mengomentari bahwa Batara Guru sebagai penguasa tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya, terutama untuk mengekang Dewi Tiksnawati, atau manusia akan terus memberontak. Para bidadari tidak bisa menjawab dan kembali ke Kahyangan.

Setelah beberapa lama, utusan dari Khayangan kembali menemui Dewi Sri dan memberitahukan bahwa anak-anak Batara Waliswara yang bernama Dewa Daruna dan Dewi Daruni sudah mengotori Kahyangan dengan melakukan hubungan antara kakak-adik. Dewa Daruna akan menitis ke dalam anak Subadha, sedangkan Dewi Daruni akan menitis ke dalam Raketan menggantikan Dewi Tiksnawati. Setelah dewasa, Raketan akan menikahi anak dari Subadha. Mereka akan mempunyai seorang putri yang kemudian menjadi permaisuri dari raja Wiratha. Dari merekalah yang akan menurunkan semua raja-raja Jawa.

Dewi Sri akhirnya bersedia dibawa ke Kahyangan asalkan dia mengendarai pedati merah menyala yang ditarik oleh lembu Gumarang dan diberikan cemeti ular naga Serang. Bila cemeti tersebut di pecut, maka akan mengeluarkan cairan benih yang akan menyebar ke langit dan jatuh menyuburkan bumi. Hal ini menyiratkan bahwa Dewi Sri ingin diangkat menjadi dewi pertanian. Kahyangan setuju dan Dewi Sri beserta Dewi Tiksnawati pergi menuju Kahyangan.[4](hlm.113-116)

Di versi ini, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadana dengan burung sriti (walet). Ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin karena kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahwa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sedok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.

Dalam mitologi Sunda

Versi ini berdasarkan kepada naskah "Wawacan Sulanjana":[5] [6]

Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya.

Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis tersedu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.

Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Batara Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar dia memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana.

Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan ke mana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah.

Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.

Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.

Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.

Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.

Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci.

Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan di tempat yang jauh dan tersembunyi.

Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.

  • Dari kepalanya muncul pohon kelapa.
  • Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur.
  • Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum
  • Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.
  • Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis.
  • Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.
  • Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.

Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia.

Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuno, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Dalam mitologi Bugis


Dewi Sri adalah anak Batara Guru dalam Epos La Galigo.

Penggambaran

Arca Dewi Sri Bali

Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tetapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya.

Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana.

Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti Rama. Patung loro blonyo (berarti: "dua lapik atau dasar") yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Sri dan Sedhana.

Ritual dan adat

Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali . Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah muslim atau beragama hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme.

Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Sebuah kuil kecil persembahan untuk Dewi Sri dibangun di tengah sawah, Karangtengah, Jawa Tengah.

Masyarakat tradisional Jawa, terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean (tempat Dewi Sri) agar mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai perwujudan Sri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.

Pada masyarakat petani di pedesaan Jawa, ada tradisi yang melarang mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda baik bahwa panen mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.

Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.

Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri agar sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.[7]

Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sri Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.

Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan agar Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi, dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga.

Dewi Sri dalam berbagai agama

Agama Buddha

Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada masa kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani. Dalam salah satu wujudnya, Bhagawati Tara bermanifestasi sebagai Vasundhari atau Vasundharini. Ia digambarkan bertubuh kuning sambil memegang setangkai padi yang menguning.[8]

Pemujaan kepada Bhagawati Tara Dewi berlangsung sebelum Kerajaan Majapahit, ditandai dengan dibangunnya Candi Kalasan oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra. Candi tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi.[8]

Agama Konghucu

Daftar Kelenteng yang memiliki altar untuk Dewi Sri:

Bahasa

Dalam bahasa Indonesia istilah Sri juga digunakan sebagai kata sandang untuk menyebut orang yang dihormati, misalnya: Sri Baduga Maharaja, Sri Paduka Raja, Sri Ratu, Sri Paus, Sri Sultan, Sri Krishna, Sri Rama dan lain sebagainya. Di India, gelar ini dieja "Shri" dan merupakan gelar kehormatan.

Galeri

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Rassers, W. H. (2014-11-14). Pañji, the Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 9789401766555. 
  2. ^ Suyami, Dra (1998). Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  3. ^ Pemberton, John (1994). On the Subject of "Java" (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 0801499631. 
  4. ^ a b c Headley, Stephen (2004). Durga's Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam (dalam bahasa Inggris). Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789812302427. 
  5. ^ Early Mythology - Dewi Sri.
  6. ^ "(Indonesian) Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri/Dewi Sri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-10-03. Diakses tanggal 2010-10-03. 
  7. ^ "Galamedia (Indonesian), Angklung Gubrag, Penghormatan kepada Dewi Sri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-13. Diakses tanggal 2010-05-01. 
  8. ^ a b Loshang Nyima. 2001. Bhagavati Tara Dewi'. Jakarta: Pustaka Berlian Biru.