Kerajaan Pahang
Kerajaan Pahang كراجاءن ڤهڠ | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1770–1881 | |||||||||
Bendera | |||||||||
Status | Kerajaan otonom dalam Kerajaan Johor (1770–1853) | ||||||||
Ibu kota | Pekan | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu, Melayu Pahang | ||||||||
Agama | Islam Sunni | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Raja Bendahara | |||||||||
• 1770–1802 | Tun Abdul Majid (pertama) | ||||||||
• 1863–1881 | Tun Ahmad (terakhir) | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Pemerintahan sendiri oleh Tun Abdul Majid | 1770 | ||||||||
• Kemerdekaan | 1853 | ||||||||
1857–1863 | |||||||||
1872–1873 | |||||||||
• Proklamasi Kesultanan Modern | 8 September 1881 | ||||||||
Mata uang | Tampang, koin emas dan perak asli | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Malaysia | ||||||||
Kerajaan Pahang (Jawi: كراجاءن ڤهڠ ) adalah sebuah negeri Melayu yang ada dan berkembang dari tahun 1770 hingga 1881, dan merupakan pendahulu langsung dari negara bagian Malaysia modern, Pahang. Kerajaan ini muncul melalui konsolidasi kekuasaan oleh keluarga Bendahara di Pahang, setelah perpecahan bertahap Kerajaan Johor. Suatu pemerintahan sendiri didirikan di Pahang pada akhir abad ke-18, dengan Tun Abdul Majid dinyatakan sebagai Raja Bendahara pertama.[1] Daerah di sekitar Pahang membentuk bagian dari wilayah turun-temurun yang melekat pada nama ini dan diperintah langsung oleh Raja Bendahara. Melemahnya kesultanan Johor dan sengketa suksesi atas takhta itu diimbangi dengan meningkatnya kemandirian tokoh-tokoh besar wilayah; Bendahara di Pahang, Temenggong di Johor dan Singapura, dan Yamtuan Muda di Riau.[2]
Pada tahun 1853, Raja Bendahara Tun Ali yang keempat, melepaskan kesetiaannya kepada Sultan Johor dan menjadi penguasa independen Pahang.[3][4] Dia mampu menjaga perdamaian dan stabilitas selama masa pemerintahannya, tetapi kematiannya pada tahun 1857 memicu perang saudara di antara putranya. Putra bungsu Wan Ahmad menantang suksesi saudara tirinya Tun Mutahir, dalam sebuah persengketaan yang meningkat menjadi perang saudara. Didukung oleh negeri tetangganya, Kesultanan Terengganu dan negeri Siam, Wan Ahmad muncul sebagai pemenang, membangun kekuasaan atas kota-kota penting dan mengusir saudaranya pada tahun 1863. Dia menjabat sebagai Raja Bendahara terakhir, dan diproklamasikan sebagai Sultan Pahang oleh para penghulunya pada tahun 1881.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Pendirian
[sunting | sunting sumber]Konsolidasi kekuasaan Bendahara di Kerajaan Johor bermula dari akhir abad ke-17. Selama periode ini, Bendahara sebagai menteri tertinggi kerajaan mampu menggerogoti kekuasaan Sultan. Ketika Mahmud Shah II mangkat pada tahun 1699, Bendahara Tun Abdul Jalil menjadi Sultan Johor berikutnya dan menyandang gelar Abdul Jalil Shah IV. Pengangkatannya sebagai sultan diterima oleh para penghulu Johor berdasarkan pemahaman bahwa Bendahara akan naik takhta jika Sultan meninggal tanpa ahli waris. Pahang, dalam pada itu berada di bawah kekuasaan Bendahara Tun Mas Enum (1699-1717). Dia dilanjutkan oleh Bendahara Tun Abdullah (1717), Bendahara Tun Abdul Jamal (1717), dan Bendahara Tun Husain (1721-1748).[2]
Tun Hasan memerintah Pahang dari tahun 1748 hingga 1770. Dia digantikan oleh Tun Abdul Majid, putra Tun Abbas, yang juga merupakan putra Abdul Jalil Shah IV.[2] Suatu pemerintahan sendiri didirikan pada masa pemerintahan Tun Abdul Majid setelah status Pahang diubah dari sebuah tanah pegangan menjadi tanah kurnia (tanah karunia),[5] dengan demikian Bendahara yang berkuasa memperoleh gelar Raja. Namun demikian, kesetiaan Bendahara kepada Sultan terus berlanjut, meskipun lambat laun melemah.[1] Sang penguasa, sebagai menteri senior, memiliki hak istimewa untuk menobatkan Sultan, dan dia sendiri dinobatkan oleh Sultan. Bendahara menjadi perwakilan kedaulatan terakreditasi penuh di Pahang, dan pada kenyataannya menyandang semua hak prerogatif Sultan.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Linehan 1973, hlm. 52
- ^ a b c Ahmad Sarji Abdul Hamid 2011, hlm. 82
- ^ Linehan 1973, hlm. 66
- ^ a b Ahmad Sarji Abdul Hamid 2011, hlm. 83
- ^ (Tun) Suzana (Tun) Othman 2002, hlm. 75
- ^ Linehan 1973, hlm. 53
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- Ahmad Sarji Abdul Hamid (2011), The Encyclopedia of Malaysia, 16 - The Rulers of Malaysia, Editions Didier Millet, ISBN 978-981-3018-54-9
- Andaya, Barbara Watson; Andaya, Leonard Yuzon (1984), A History of Malaysia, London: Palgrave Macmillan, ISBN 978-0-312-38121-9
- Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapore: Singapore University press, ISBN 9971-69-279-1
- Benjamin, Geoffrey, Issues in the Ethnohistory of Pahang, Lembaga Muzium Negeri Pahang (Museum Authority of Pahang)
- Hood Salleh (2011), The Encyclopedia of Malaysia, 12 - Peoples and Traditions, Editions Didier Millet, ISBN 978-981-3018-53-2
- Jacq-Hergoualc'h, Michel (2002). The Malay Peninsula: Crossroads of the Maritime Silk-Road (100 Bc-1300 Ad). BRILL. ISBN 90-04-11973-6.
- Khoo, Gilbert (1980), From Pre-Malaccan period to present day, New Straits Times
- Linehan, William (1973), History of Pahang, Malaysian Branch Of The Royal Asiatic Society, Kuala Lumpur, ISBN 978-0710-101-37-2
- Milner, Anthony (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific), Wiley-Blackwell, ISBN 978-1444-339-03-1
- (Tun) Suzana (Tun) Othman (2002), Institusi Bendahara: Permata Melayu yang Hilang: Dinasti Bendahara Johor-Pahang (The Bendahara Institution: The Lost Malay Jewel: The Dynasty of Bendahara of Johor-Pahang), Pustaka BSM Enterprise, ISBN 983-40566-6-4
- Zakiah Hanum (1989), Asal-usul negeri-negeri di Malaysia (The Origin of States in Malaysia), Times Books International, ISBN 978-9971-654-67-2