Tengkolok
Tanjak adalah penutup kepala adat Melayu yang berbentuk runcing ke atas. Tanjak yang disebut juga mahkota kain/ikat-ikat/tengkolok adalah salah satu perlengkapan pakaian di Palembang yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat di masa lalu. Selain Palembang tanjak juga dipakai oleh suku melayu lainnya di Nusantara diantaranya yaitu melayu Riau, Melayu Kepulauan Riau, Melayu Siak dll.
Biasanya bahan dasar tanjak dibuat dari songket dan berbentuk segitiga, namun ternyata tanjak sendiri memiliki banyak jenis dan motif bahkan tanjak juga ada yang berbahan dasar batik.
Tanjak sudah mulai dipakai sejak abad ke-8 di zaman Kerajaan Sriwijaya, konon katanya orang-orang Melayu Sriwijayalah yang pertama kali menggunakan tanjak dalam keseharian mereka.[1]. Karena kemaharajaan Sriwijaya tanjak menyebar dari Palembang ke tanah melayu lainnya bahkan sampai ke Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan Thailand Selatan.
Dalam dunia melayu bentuk tanjak Palembanglah yang berbeda dari daerah lainnya yaitu berbentuk segitiga, dari filosofinya, tanjak berasal dari bahasa Melayu Palembang, yaitu tanjak atau nanjak yang berarti naik/menjulang ke tempat yang Tinggi, itulah sebabnya bentuk tanjak itu menjulang tinggi atau meninggi ujungnya diwakili dengan segitiga.
Sejarah
Menurut sejarah, tengkolok atau tanjak pertama kali digunakan oleh masyarakat Sriwijaya di Sumatera. Pada tahun 750 Masehi, Sang Jaya Bangsa atau Sang Rama Dhamjaya - Raja Sriwijaya yang berpusat di Palembang , Sumatera Selatan, telah menyerang kerajaan Langkasuka yang berpusat di semenanjung Tanah Melayu kini yang ketika itu berada di bawah pemerintahan Raja Maha Bangsa. Sehingga tahun 775 M, Sriwijaya berhasil menaklukkan Langkasuka dan semua jajahannya. Dari sini, penggunaan tanjak atau tengkolok diperkenalkan ke Semenanjung (sekarang bagian negara Malaysia). Bagaimanapun, pengaruh budaya Langkasuka seperti “kecopong” atau “ketopong” tetap dominan disana. Di semenanjung sendiri, peraturan penggunaan tengkolok atau tanjak bermula ketika Seri Teri Buana ditabalkan sebagai kerajaan bagi tiga kerajaan yaitu: Sriwijaya, Bintan dan Singapura lama. Dari segi geografi, Kepulauan Bintan dan Kepulauan Singapura adalah sebagian dari Semenanjung Tanah Melayu. Pengaruh, masuknya tengkolok, tanjak bermula dari selatan ke utara semenanjung. Pada era-era berikutnya, selepas penyebaran agama Islam, Sultan Melaka dan Johor-Riau-Lingga-Pahang mempunyai putera mereka sebagai raja atau sultan di tanah Perak, Jeram (Selangor), Johor, Terengganu dan Pahang. Terdapat juga di kalangan raja-raja Melaka dan Johor-Riau-Lingga-Pahang yang dilantik sebagai timbalan raja di tanah jajahan seperti Kelang (Selangor) dan Muar (Johor). Sultan Mahmud Syah (Kedah) telah pergi ke Melaka untuk menghadap Sultan Mahmud Syah (Melaka) untuk memohon penobatan. Di sinilah bermulanya sejarah tengkolok atau tanjak di negara Kedah. Sejarah tengkolok atau tanjak di negeri Kelantan bermula apabila Sultan Melaka menakluki negara Serendah (Seri Indah) Sekebun Bunga di bawah pemerintahan Sultan Gombak. Dari Kelantan, penggunaan tengkolok atau tanjak masuk ke Patani ketika Patani diperintah oleh anak raja dari dinasti Kelantan I dan dinasti Kelantan II. Pada era Kerajaan Persekutuan Besar Patani, penggunaan tengkolok, tanjak dan ikat kepala telah berkembang di negara Singgora (Songkhla, Phatthalung dan Satun) dan Ligor (Nakhon Si Thammarat). Di bawah pengaruh Kerajaan Kedah juga, penggunaan tengkolok, tanjak, dan ikat kepala telah berkembang ke Sendawa (Sadao), Setul (Satun), Terang (Trang), Ayer Kelubi (Krabi), Kuala Punga (Phang Nga), Bukit Pulau (Koh Phuket), dan Rundung (Ranong) di Selatan Thailand serta Tanah Sari (Tenasserim) di Selatan Myanmar.