Lompat ke isi

Predator daring

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Mei 2023 03.07 oleh Type 14 Za (bicara | kontrib) (Memperbaiki beberapa kalimat dan menghapus bagian pedofilia (Seharusnya bagian tersebut berada dalam artikel yang terpisah).)
Sebuah poster dari kepolisian West Midlands yang berisi informasi dan nasihat untuk anak-anak saat menghadapi predator daring

Predator daring adalah pelaku tindak pelecehan seksual terhadap anak di internet yang umumnya dilakukan oleh pria dewasa kepada anak dibawah umur dengan berbagai motif.[1]

Konsep

Banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak bermula dari motif penipuan melalui media sosial atau internet.[2] Penipuan dilakukan oleh orang dewasa dengan memaksa anak-anak melakukan aktivitas seksual secara ilegal, seperti meminta mengirim foto dan video telanjang.[3] Predator daring umumnya aktif memanfaatkan berbagai saluran komunikasi berbasis internet seperti ruang obrolan, perpesanan instan, forum internet, dan situs media sosial[1]. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi melalui jalinan komunikasi di internet tetapi juga secara tatap muka.

Selain itu juga ada modus pemangsa orang dewasa memanipulasi dirinya menjadi seseorang yang sepantaran dengan remaja. Sedangkan mereka mendapat kontak korban melalui penguntitan internet. Setelah melakukan pendekatan mereka meminta hal-hal yang tidak patut. Sementara di sisi lain, remaja dengan mudah melakukan publikasi kehidupan mereka kepada publik, tanpa menyadari ancaman yang mereka timbulkan pada diri sendiri.[4]

Korban

Predator sering kali mengincar remaja yang menghabiskan banyak waktu senggang dengan aktivitas daring tanpa pengawasan orang tua. Pakar keamanan internet, Michael Ryan mengungkapkan, orang tua dapat meminimalisasi potensi ancaman predator dengan menekan frekuensi akses internet anak setiap harinya.[1] Anak-anak yang tidak memiliki aktivitas diluar jam sekolah, cenderung mengakses internet lebih lama. Mereka yang terjebak dalam rutinitas daring sering kali menjadi target predator daring. Predator daring secara spesifik mengincar remaja yang terlihat menyendiri dan membentuk hubungan erat dengan internet selayaknya teman. Predator mencari korban yang rutin menggunakan webcams atau kamera digital sebagai media pertukaran konten pornografi. Remaja yang berkomunikasi melalui email, kecil kemungkinan untuk menjadi korban. Predator daring menghindari cara ini karena email akan dengan mudah mengidentifikasi pelaku.

Keingintahuan seksual yang begitu kuat juga menjadi faktor pendorong jatuhnya korban predator daring. Umumnya predator daring mencari korban remaja berusia 12-15 tahun. Rentang usia tersebut dianggap kritis karena remaja tengah mencari kebebasan dan identifikasi seksualitas dirinya. Remaja yang hidup secara soliter juga rentan menjadi target predator daring. Sesuai dengan studi Universitas New Hampshire, remaja lelaki yang memiliki orientasi seksual menyimpang mudah terjebak dalam penyalahgunaan seksual di internet.[1] Peneliti membuktikan bahwa 1:4 korban predator seksual merupakan remaja lelaki dengan orientasi seksual menyimpang atau kebingungan preferensi seksual.

Faktor ekonomi menjadi salah satu motif predator daring dalam menarik perhatian para remaja. Pelaku melakukan manipulasi identitas diri dengan mengunggah foto-foto yang memperlihatkan kekayaan sebagai bentuk persona semu. Pelaku tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan karena perlakuan pada korban begitu menyenangkan. Korban terperdaya dengan janji manis predator daring melalui berbagai hadiah atau janji kemapanan hidup. Remaja lelaki dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi akan mudah terperangkap, hingga akhirnya tanpa sadar menjadi komoditas seksual.

Modus

Dalam melancarkan aksinya, predator daring menggunakan cerita dan rayuan yang memojokkan dan umumnya pelaku dikenal dekat oleh korban. Para pelaku menggunakan privasi dan anonimitas internet untuk mengintai anak dan remaja yang lengah dari pengawasan orang tua. Dengan bertukar pornografi anak atau mencari korban secara daring, para penjahat kelamin menghadapi risiko lebih rendah tertangkapnya aktivitas kriminal mereka.

Riset yang dilakukan oleh University of New Hampshire dan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menemukan bahwa 1 dari 5 orang anak usia 10-17 tahun menerima ajakan seksual di internet.[1] Satu dari 33 anak menerima ajakan agresif dengan membujuk dan bertemu pada suatu tempat, menelepon calon korban dan secara reguler mengirimkan hadiah atau uang kepada korban. Diselubungi dalam anonimitas ruang maya, penjahat kelamin dapat mengais keuntungan dari keingintahuan alamiah anak, mencari korban dengan sedikit risiko tertangkap

Pencegahan

Banyak remaja yang tidak menyadari bahwa akun media sosial seperti facebook sering kali disalahgunakan predator daring. Foto dan berbagai identitas diri pelaku telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mampu mengelabui korban. Saat jalinan pertemenan dengan korban sudah terjalin, informasi seperti nomor telepon, lokasi tempat tinggal bahkan rutinitas harian korban dengan mudah diketahui pelaku. Hal ini diketahui dari unggahan, komentar, status bahkan percakapan dengan pelaku di media sosial. Remaja perlu memahami pentingnya ranah privasi dalam ruang virtual. Sebagai langkah antisipatif, penting setiap remaja untuk selektif menerima pertemanan daring, batasi informasi pribadi hingga bersikap kritis terhadap akun yang dicurigai.[5]

Pelajar yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di situs jejaring sosial, kurang terpengaruh pada taktik ancaman dan imbauan keamanan internet. Remaja telah terdistorsi sehingga menilai potensi ancaman sebagai suatu hal yang berlebihan. McAfee Inc, perusahaan keamanan internet, mengungkapkan hampir 70% remaja tetap mencantumkan lokasi keberadaannya di situs jejaring sosial. Hal ini tetap dilakukan meski imbauan telah disampaikan. Imbauan untuk menjaga jarak dengan orang tidak dikenal, hanya berlaku di dunia nyata. Remaja cenderung percaya pada apa yang mereka lihat secara daring sebagai sebuah realitas.

McAfee Inc lebih lanjut mengungkapkan pentingnya pengawasan orang tua atas anak-anak mereka di dunia daring. 3 dari 5 orang anak ternyata menyembunyikan aktivitas daring dari orang tua.[1] Anak bahkan cenderung mengubah perilaku saat menyadari adanya pengawasan. Mooney menyarankan semua orang tua untuk terlibat secara langsung dalam memutuskan hak penggunaan internet bagi anak-anak. Miller memberi referensi pada setiap orang tua untuk menginstal perangkat lunak sebagai filter atas konten yang kurang layak bagi anak. Orang tua juga dapat memantau setiap akses internet, bahkan untuk situs-situs yang telah terblokir. Perangkat lunak sebagai filter juga mampu membatasai iklan-iklan dengan muatan konten pornografi. Orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pencegahan ancaman predator daring pada pernagkat lunak. Peran serta orang tua amat penting dan juga menjadi bukti adanya tanggung jawab moral orang tua pada anak. Anak perlu mendapat kemudahan akses informasi yang aman secara daring tanpa merasa tertekan dan merasa terbatasi.

Pendidikan menjadi salah satu fokus pada ranah preventif ancaman predator daring. Pendidikan memberi informasi pada anak dan remaja atas situasi yang mungkin membawanya pada predator. Penanganan ini harus lebih spesifik dan sesuai konteks karena pada kenyataannya interaksi dengan predator daring terkadang dilandasi oleh rasa cinta atau suka sama suka. Penanganan dengan pendekatan pendidikan menjadi berbeda dalam hal ini karena tidak hanya secara teknologi tapi juga psikologi. Penelitian University of New Hampshire menyimpulkan bahwa perlu ada usaha yang lebih besar dalam mempengaruhi anak dan remaja dari aktivitas seksual dan romantisme hubungan dengan orang dewasa secara daring. Lebih lanjut peneliti menyebutkan pentingnya pemahaman dasar terhadap hukum sehingga anak dan remaja terlindungi haknya dan memahami pentingnya menjaga informasi pribadi di ranah daring.

Tinjauan Hukum

Internet pada saat ini juga menjadi pasar bagi penjahat yang mencari material untuk koleksi pornografi anak. Walaupun tidak semua pencabul mengoleksi pornografi dan tidak semua kolektor pornografi anak mencabuli anak, terdapat konsensus signifikan di antara penegak hukum berkaitan dengan peran yang dimainkan pornografi dalam merekrut dan mengontrol korban baru. Perdebatan tentang peran yang dimainkan pornografi anak dalam memicu korban nyata terus berlanjut. Banyak orang dalam komunitas penegakan hukum yakin bahwa pengunaan internet yang berlebihan kepada para penjahat kelamin menempatkan anak dan remaja dalam risiko besar eksploitasi seksual.[6]

Dalam konteks Indonesia, kasus predator daring atau prostitusi daring yang baru ini marak terjadi, tidak dapat dikenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), melainkan cukup menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU ITE tidak pernah secara khusus mengatur kasus ini karena pada prinsipnya yang menjadi pembeda hanyalah sisi pemanfaatan atau penggunaan internet sebagai sarana kejahatan atau pelanggaran. Atas alasan itu, berbagai kasus predator daring sebagai delik konvensional, cukup diatur melalui KUHP dan peraturan perundang-undangan.[7] Dalam upaya menjerat pelaku, dapat menggunakan pasal 296 KUHP (delik umum), dan dapat ditambahkan pemberatan dengan penggunaan UU Perlindungan Anak jika pelaku terindikasi mengeksploitasi anak, atau bahkan dapat menggunakan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jika terindikasi sebagai jaringan jual beli manusia (human traficking). Ketentuan lain yang bisa digunakan juga adalah peraturan-peraturan daerah tempat dimana perbuatan atau sarana pelanggaran terjadi.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), perbuatan yang dikenal sebagai pedofilia adalah perbuatan cabul yang dilakukan seorang dewasa dengan seorang di bawah umur. Dahulu, sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), perbuatan cabul, termasuk terhadap anak di bawah umur, diatur dalam Pasal 290 KUHP yang berunyi:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.”

Sedangkan, ancaman pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan pelaku perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Namun, sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak yang merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan jaminan perlindungan terhadap anak, mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak diatur lebih spesifik dan lebih melindungi kepentingan bagi anak. Dalam UU Perlindungan Anak, seseorang dikategorikan sebagai anak apabila belum berusia 18 tahun (Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak).

Ketentuan mengenai pencabulan terhadap anak terdapat dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Contoh kasus

Pada awal Agustus 2016, penyidik Subdirektorat Cyber Patrol Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim mencium adanya bisnis prostitusi daring yang memperdagangkan anak-anak lelaki kepada pria homoseksual melalui jejaring sosial Facebook. Selanjutnya, penyidik memantau akun Facebook milik tersangka AR selama beberapa pekan. Kemudian penyidik menyamar sebagai pembeli dengan mencoba berkomunikasi dengan AR dan sepakat untuk melakukan transaksi. Kemudian polisi membayar uang muka melalui transfer bank. Selanjutnya AR mengajak bertemu di sebuah hotel di Cipayung, Puncak, Jawa Barat.

Kemudian polisi menangkap AR di hotel yang beralamat di Jalan Raya Puncak KM 75 Cipayung, Bogor, Jawa Barat itu. Selain menangkap AR, polisi juga mengamankan tujuh korban, yakni enam anak laki-laki di bawah umur dan seorang pria berusia 18 tahun. Atas perbuatannya, AR dikenakan pasal berlapis terkait UU ITE, UU Pornografi, UU Perlindungan Anak, UU Pencucian Uang, dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).[8]

Polisi menduga kasus praktik prostitusi daring yang melibatkan anak-anak lelaki di bawah umur merupakan kejahatan yang terorganisasi. Tersangka AR (41 tahun) yang berperan sebagai mucikari tidak bekerja sendiri, melainkan ada jaringan mucikari lainnya. Kini pihaknya masih menelusuri para pelaku lainnya yang tergabung dalam jaringan AR. Anak-anak lelaki yang menjadi korban dalam kasus ini berusia antara 12 tahun hingga 15 tahun. Dari enam anak yang menjadi korban, lima anak masih sekolah, satu anak yang putus sekolah. Kebanyakan para korban dari keluarga tak mampu. Tersangka AR yang berperan sebagai mucikari menawarkan jasa kepada pelanggan melalui jejaring sosial Facebook. Setelah sepakat, pelanggan kemudian mentransfer setengah dari kesepakatan harga transaksi. Kemudian pelanggan melunasi sisa transaksi pada saat bertemu dengan korban.[8]

Kabareskrim menyebut tarif yang ditawarkan AR kepada para konsumennya adalah sebesar Rp1,2 juta per anak yang dibayar melalui transfer bank. Sementara uang yang diterima korban berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Polisi menangkap AR di salah satu hotel di Jalan Raya Puncak KM 75 Cipayung, Bogor, Jawa Barat, pada Selasa lalu. Selain itu, polisi juga mengamankan tujuh korban, yakni enam anak laki-laki di bawah umur dan seorang pria berusia 18 tahun.

Referensi

  1. ^ a b c d e f Netzley, Patricia. (2013). How Serious a Threat Are Daring Predators. USA
  2. ^ Ariefana, Pebriansyah (29 April 2015). "Maria Ulfah: Kekerasan Pada Anak Dimulai dari Internet". Suara.com. Diakses tanggal 3 Desember 2021. 
  3. ^ Diyaksa, Gde Dharma Gita (4 November 2017). "Awas, Begini Cara Predator Anak Beraksi di Internet". Liputan 6. Diakses tanggal 3 Desember 2021. 
  4. ^ "Membasmi Predator Seksual Daring: Apa Lagi yang Harus Dilakukan? : Center for Digital Society". Diakses tanggal 2021-12-02. 
  5. ^ Hagan, F. E. (2013). Kriminologi (Teori, Metode dan Perilaku Kriminal). Jakarta.
  6. ^ http://www.hukumdaring.com/berita/baca/lt554613f24a645/prostitusi-daring-tidak-bisa-dikenakan-uu-ite
  7. ^ http://www.hukumdaring.com/klinik/detail/lt53723f41a4354/apakah-pelaku-pedofilia-tidak-dapat-dimintai-pertanggungjawaban-pidana
  8. ^ a b http://www.hukumdaring.com/berita/baca/lt57c7bf7107644/resep-polisi-bongkar-praktik-prostitusi-anak-lelaki-daring