Doktrin Dahiya
Doktrin Dahiya adalah strategi militer yang dirancang jenderal Israel Gadi Eizenkot yang mempertahankan peperangan asimetris di daerah perkotaan. Dalam strategi ini, pasukan dengan sengaja menyerang infrastruktur sipil untuk memicu penderitaan di kalangan warga sipil sehingga menghasilkan deterensi (pencegahan).[1] Nama doktrin ini diambil dari nama kota pinggiran padat apartemen di selatan Beirut yang diratakan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) semasa Perang Lebanon 2006.[2] Israel dituduh menerapkan strategi ini pada Perang Gaza.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Perang Lebanon 2006
[sunting | sunting sumber]Doktrin ini pertama kali diumumkan di hadapan publik oleh Jenderal Gadi Eizenkot, komandan front utara IDF, pada bulan Oktober 2008. Ia mengatakan bahwa yang terjadi di distrik Dahiya (juga ditulis Dahiyeh dan Dahieh), Beirut, pada tahun 2006 akan "terjadi di setiap desa yang diketahui sebagai asal mula tembakan yang diarahkan ke Israel. Kami akan mengerahkan kekuatan yang tak sepadan melawan [mereka] dan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran luar biasa. Dari sudut pandang kami, target tersebut adalah pangkalan militer. [...] Ini bukan saran. Ini adalah rencana yang sudah mendapatkan izin. [...] Menyerang pusat penduduk adalah satu-satunya cara menghambat laju Nasrallah."[3][4]
Selain menulis bahwa Dahiya merupakan distrik Syi'ah di Beirut yang diserang Angkatan Udara Israel pada Perang Lebanon Kedua, wartawan Israel Yaron London pada tahun 2008 juga menulis bahwa doktrin ini "akan disertakan dalam diskursus keamanan kami."[2]
Perang Gaza
[sunting | sunting sumber]Sejumlah pihak mengklaim Israel, entah direncanakan atau tidak, setidaknya menerapkan strategi ini secara parsial selama Perang Gaza.[5] United Nations Fact Finding Mission on the Gaza Conflict tahun 2009 beberapa kali mencantumkan doktrin Dahiya dan menyebutnya sebagai konsep yang memerlukan "penghancuran berskala besar sebagai makna mencapai deterensi (pencegahan)" dan melibatkan "pengerahan pasukan yang jumlahnya tidak sepadan dan perusakan dan penghancuran besar-besaran atas properti dan infrastruktur sipil serta penderitaan bagi warga sipil." Fact Finding Mission dalam laporannya menyimpulkan bahwa doktrin ini sudah dilaksanakan sepanjang konflik.[1] Namun dalam opini editorial tanggal 1 April 2011, salah satu penulis utama UN Fact Finding Mission, hakim Richard Goldstone, menyatakan bahwa sebagian kesimpulannya mungkin bisa berbeda seandainya pemerintah Israel bekerja sama dengan timnya selama investigasi berlangsung. Sejumlah pihak menganggap opini editorial tersebut sebagai penghalusan laporan beserta kesimpulannya.[6]
Kritik
[sunting | sunting sumber]Laporan Public Committee Against Torture in Israel tahun 2009 mencantumkan bahwa: "Pendekatan militer yang ada dalam Doktrin Dahiya mengacu pada pertempuran asimetris melawan musuh yang tidak terdiri dari pasukan reguler dan ada di dalam warga sipil; tujuannya adalah menghindari perang gerilya besar-besaran. Menurut pendekatan ini, Israel harus mengerahkan pasukan besar yang tidak sepadan dengan skala aksi yang dilancarkan musuh." Laporan ini juga menyebut bahwa doktrin ini diterapkan seratus persen pada Operasi Cast Lead.[7]
Richard Falk menulis bahwa menurut doktrin ini, "infrastruktur sipil di daerah musuh seperti Hamas atau Hizbullah dianggap sebagai target militer yang sah, dan ini bukan saja pelanggaran serius terhadap aturan hukum perang dan moral universal yang paling dasar, ini juga merupakan pengesahan doktrin kekerasan yang lebih pantas disebut dengan kata ini: terorisme negara."[8]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]- Kontra terorisme
- Kontra pemberontakan
- Terorisme negara
- Peperangan generasi keempat
- Hukum internasional dan konflik Arab–Israel
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b United Nations General Assembly, Report of the United Nations Fact-Finding Mission on the Gaza Conflict, 25 09 2010
- ^ a b "The Dahiya Strategy: Israel finally realizes that Arabs should be accountable for their leaders’ acts" The Dahiya strategy, according to IDF Northern Command Chief Gadi Eisenkot. Interview in Yedioth Ahronoth. 10.06.08.
- ^ David Hirst (2010). Beware of small states: Lebanon, battleground of the Middle East. Nation Books. hlm. 396. ISBN 978-1-56858-422-5.
- ^ "Israel warns Hizbullah war would invite destruction". Yedioth Ahronoth. Reuters. 3 October 2008. Diakses tanggal 18 April 2011.
IDF Northern Command chief says in any future war Israel would use 'disproportionate' force on Lebanese villages from which Hizbullah will fire rockets at its cities. 'From our standpoint, these are not civilian villages, they are military bases,' Maj.-Gen. Eisenkot tells Yedioth Ahronoth
- ^ Cain, Anthony C., ed. (September 2010). Deterrence and the Israeli-Hezbollla War. Deterrence in the Twenty-first Century. London. hlm. 288.
- ^ Richard Goldstone (April 2, 2011). "Reconsidering the Goldstone Report on Israel and war crimes". The Washington Post. Diakses tanggal 27 January 2014.
- ^ "No Second Thoughts" Diarsipkan 2010-02-15 di Wayback Machine. The Public Committee Against Torture in Israel
- ^ Richard Falk (7 January 2011). "Israel's Violence Against Separation Wall Protests: Along the Road of State Terrorism". Citizen Pilgrimage blog.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Satellite Identification of Damage in Beirut, Lebanon — satellite photographs of Dahiya district before and after the war
- Disproportionate Force: Israel’s Concept of Response in Light of the Second Lebanon War - INSS Insight No. 74, October 2, 2008 - Siboni, Gabi
- The Third Lebanon War: Target Lebanon Diarsipkan 2014-11-12 di Wayback Machine. - INSS Strategic Assessment, November 2008, Volume 11, No. 2 - Eiland, Giora