Lompat ke isi

Filsafat ketuhanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 21 Juli 2023 17.18 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5)

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis.[1] Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, tetapi mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai objek, tetapi eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll).[3] Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.[3]

Agama: Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum biasanya dijelaskan dalam tabiat Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia) Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Baik dan sebagainya.[1][3][4] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, jadi tanpa bantuan otoritas lain (Kitab Suci, wahyu, ajaran Bapa Gereja).[1] Bahkan ia bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja ajaran agama, tetapi juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya ada, alam alam, dan Allah sendiri bisa diterima adanya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa bertanya.[2]
  • Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada?[2] Mengapa alam ada?[2]
  • Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah.[2] Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan kepercayaan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka berikan sebagai jawaban:

- Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah ada, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak ada, dan ketentuan ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karena itu filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dll.[2]

Teisme

Teisme adalah paham yang mempercayai adanya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan adanya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai adanya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah menciptakan daratan untuk manusia, menciptakan manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden.[4] Kemudian setelah manusia berkembang, mereka berdosa lebih lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan perjanjian Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melalui bangsa-bangsa lain.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melalui Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu ada di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan lain yang ingin meruntuhkan paham teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha tahu, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun lebih lagi, Tuhan bukan ada begitu saja, tetapi selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa besar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)

Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, tetapi juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat diketahui melalui wahyu, sebagaimana pengetahuan dari susunan benda-benda di dunia, dapan diketahui melalui rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, baik wahyu maupun rasa pengalaman dipakai untuk membentuk persepsi tentang adanya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.[4] Argume logis dari Aquinas untuk membuktikan keberadaan Tuhan disusunnya dalam bukunya yang berjudul Summa Theologia. Dalam bukunya ini ia menyebutkan lima jalan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.[5] Jalan pertama adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang menggerakkan, tetapi pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, tetapi tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.[4] Jalan kedua adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, tetapi ada penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertama, Allah.[4] Jalan ketiga adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang bisa tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang musnah, tetapi ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), tetapi ada yang selalu ada (niscaya) Dialah Allah.[4] Jalan keempat adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang tidak ada tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4] Jalan kelima adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang merupakan “gabungan antara pietisme Katolik dan sains.[6] Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[7] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt, bahkan menurutnya,"indra bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam bayangan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan".[7][8] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, dekat kota Ulm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan menara”, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][7] Karena orang pada zamannya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah ada, minimal di pikiran.[7] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, tetapi ia tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Jadi Allah di sini juga demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya, bahkan lebih jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[7] Keterbukaan untuk mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa ada.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, kemudian juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan objek-objek lain ada karena natural light yang adalah Allah sendiri.[7]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah:

  • Jalan yang pertama adalah sebab akibat, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
  • Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang ada itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa ada kaitan dengan suatu entitas lain, maka Allah pasti ada dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas lainnya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Ajaran Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melalui beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1] Menurut Kant ada tiga jalan untuk membuktikan adanya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:

  • dimulai dari menganalisis pengalaman kemudian menemui kualitas dari sense dunia kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas mencapai penyebab di luar dunia.[9]
  • berdasar hal pertama, kita masih pada tataran pengalaman yang tidak bisa dijelaskan.[9]
  • di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang ada.[9]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisis dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga bentuk definisi atas pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[9] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[9] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga mengenai hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata adanya.[9] Di sini Kant kemudian mengakui bahwa Allah sebagai pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam baik pengalaman maupun a priori, tetapi melampaui hal itu.[9] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[9] Di sinilah iman diperlukan, sebab Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman indrawi semata.[9] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[9]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[10] Ajaran yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana ada dua hal berbeda (bahkan kontras) yang bertemu dan membentuk hal baru.[1] Pertama-tama Hegel membedakan antara rasio murni (dalam Kant) sebagai kesadaran manusia, tetapi ada yang lebih dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu bekerja dan menyatakan dirinya dalam proses sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat mencapai tujuannya dalam alam semesta ketika terjadi dialektika antara subjek dan objek, antara yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang paling bisa dimengerti adalah antara yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga bekerja seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya merupakan peristiwa pemulih atau pengembali keadaan manusia menjadi baik kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah proses perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melalui manusia dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, untuk itu Roh akan memakai nama "Akal budi".[1] Namun Allah yang dinyatakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang berproses dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, tetapi baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka, tetapi perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap indrawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum".[1] Jika Kant mengenal Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik.[1] Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang mamanifestasikannya.[1] Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, tetapi tetap memanifestasikan alam.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, tetapi bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead dijuluki sebagai bapak filsafat maupun teologi proses.[1] Pemikirannya tergolong abstrak karena pengaruh bidang yang digelutinya, matematika dan pengetahuan empirisme mengenai alam yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya untuk memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat) merupakan upaya untuk memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia.[1]

Filsafat prosesnya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip proses, dan 2. Prinsip kreativitas.[1]

Dari prinsip ini maka proses dibedakan dalam dua: 1. Prinsip bagi proses yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip bagi proses yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreativitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sebagai wujud ciptaannya.[1]

  • Allah dalam Filsafat proses Whitehead

Proses kreativitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya adalah Allah, tetapi Dia yang paling menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali: Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sebagai dasar awali yangyk adanya tatanan dalam seluruh jagat raya dan sebagai dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sebagai penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Jadi Tuhan (Allah) bagi Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual lain dan mengakhirinya dengan baik.[1]

Deisme

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang menciptakan jam secara teratur dan membiarkannya berjalan sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah.[10] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari semula.[10] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[10] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak ada.[10] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan.[10] Pandangan yang muncul pada abad 18 di Prancis.[10]

Agnostisisme

Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan.[10] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan.[10] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia.[10]

Ateisme

Ateisme berarti penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya, tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Franz Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[10]

Saintisme merupakan bagian dari Ateisme

Saintisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, saintisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sebagai objek yang dapat diukur, bahkan subjek pada akhirnya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada akhirnya saintisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah saintisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach

Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja.[10] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[10] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[10] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[10] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[10] Sebab kepastian yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[10] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[10] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakikat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan dsb.[10] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu.[10]

Karl Marx

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu masyarakat

Menurut Karl Marx, agama adalah candu (Opium) masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[10] Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2] Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan masyarakat.[10] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, tetapi tidak mencari sebabnya.[10] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang dikritiknya.[10] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[10] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[10] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[10]

Sigmund Freud

Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisisnya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, tetapi begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, tetapi lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam intelektual, sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Nietzche yang terkenal dengan Tuhan telah mati, kitalah yang membunuh-Nya

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subjektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subjektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[4] Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche sebagai bentuk Platonisme baru yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, dunia, hawa nafsu) sehingga merupakan hasrat akan kehampaan, kehendak akan dekadensi, sebagai penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama Kristen yang memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia untuk berkembang.[4] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[11] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin menemuinya.[11] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur 12 tahun.[11] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya.[11] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[11] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Aku berpikir, maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / ada untuk dirinya sendiri.[11] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu lain, tidak berkembang.[11] Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[11] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang memiliki kesadaran untuk memilih esensinya sendiri.[11] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[11] Karena Tuhan tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[11] Di sinilah nilai positif Sartre yang kemudian menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan sosial).[11] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, tetapi ditolaknya.[4][11]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  5. ^ Tumanggor, R. O., dan Suharyanto, C. (2017). Sudibyo, Ganjar, ed. Pengantar Filsafat untuk Psikologi (PDF). Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 111. ISBN 978-979-21-5457-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-12-28. Diakses tanggal 2022-01-19. 
  6. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  7. ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
  8. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  9. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Diogenes Allen and Eric O. Springsted., Primary Readings in Philosophy for Understanding Theology, USA: John Knox Press, 1992
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  11. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Prancis, Jakarta: Gramedia, 2001