Lompat ke isi

Resesi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 31 Agustus 2023 09.21 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (Bot: Merapikan artikel)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Dalam ekonomi makro resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat juga diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.[1] Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi, yaitu suatu keadaan terjadi penurunan aktivitas ekonomi yang parah dan berkepanjangan.[2] Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi (economy collapse). Kolumnis Sidney J. Harris membedakan istilah-istilah atas dengan cara ini: "sebuah resesi adalah ketika tetanggamu kehilangan pekerjaan; depresi adalah ketika kamu yang kehilangan pekerjaan."

Penyebab Resesi

[sunting | sunting sumber]

Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan resesi, yaitu:

  • Produksi dan konsumsi yang tidak seimbang

Keseimbangan antara produksi dan konsumsi atau daya beli masyarakat merupakan dasar pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila produksi dan konsumsi tidak seimbang, akan terjadi masalah pada siklus ekonomi. Jika produksi yang tinggi tidak dibarengi dengan daya beli masyarakat yang tinggi pula, maka akan mengakibatkan penumpukan persediaan barang.

Sebaliknya, jika produksi rendah sedangkan daya beli masyarakat tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan masyarakat tak terpenuhi, maka negara harus melakukan impor. Dan hal tersebut menyebabkan penurunan laba perusahaan dan lemahnya pasar modal.[3]

  • Utang yang berlebihan

Ketika individu atau bisnis memiliki terlalu banyak utang, dan tak mampu membayar tagihan mereka, dapat menyebabkan kebangkrutan kemudian membalikkan perekonomian.[4] Kebangkrutan satu individu/bisnis yg menjadi pengutang dapat mempengaruhi individu/bisnis lain yg mempunyai piutang, dan akan memberikan efek domino kepada rekan bisnis yg lain.

  • Penggelembungan aset

Penggelembungan aset terjadi ketika investasi didorong oleh emosi. Misalnya pada 1990-an saat pasar saham mendapat keuntungan besar. Mantan Pemimpin FED, Alan Greenspan sering mengungkapkan istilah dengan nama "kegembiraan irasional." Investasi yang didorong oleh emosi ini menggembungkan pasar saham, sehingga ketika gelembungnya pecah, maka akan terjadi panic selling yang tentunya dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.[4]

  • Inflasi

Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk bagi ekonomi. Tetapi inflasi yang berlebihan dapat membahayakan resesi. Bank Sentral Amerika Serikat maupun Bank Indonesia, umumnya menaikkan suku bunga untuk menekan aktivitas ekonomi. Inflasi yang tak terkendali adalah masalah yang pernah dialami Amerika Serikat pada tahun 1970-an.[4] Dengan adanya inflasi, maka kemampuan berbelanja masyarakat menurun diakibatkan harga berbagai barang menjadi mahal.

  • Deflasi

Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut, yang selanjutnya menekan harga. Ketika deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti berbelanja, mana hal ini berdampak pada ekonomi suatu negara. Deflasi yang tak terkendali pernah dialami Jepang yang menyebakan resesi. Jepang berjuang sepanjang tahun 1990-an untuk keluar dari resesi tersebut.[4]. Apabila inflasi mempengaruhi harga barang yg menjadi sulit dibeli, deflasi mempengaruhi ekonomi/kekayaan masyarakat untuk membeli. Hal ini terjadi disaat inflasi atau deflasi diluar kendali.

Dampak Resesi

[sunting | sunting sumber]

Adapun dampak dari adanya resesi selain menurunnya perputaran barang/jasa adalah sebagai berikut:

  • Ketersediaan/Supply barang menurun yang dikarenakan pabrik mengurangi produksi.[5]
  • Pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan banyaknya pengangguran dan kemiskinan.[6]

Kebijakan yg akan dilakukan pemerintah saat resesi adalah menurunkan suku bunga sehingga diharapkan masyarakat menarik uang dari bank dan akan menyebabkan jumlah uang beredar bertambah. Dengan jumlah uang beredar bertambah akan berpotensi menyebabkan konsumsi bertambah dan perputaran usaha di masyarakat membaik.

Catatan: Adakalanya salah satu penyebab resesi adalah kenaikan suku bunga yg dilakukan pemerintah (misal untuk menstabilkan inflasi) sehingga perlu kebijakan untuk menurunkan kembali suku bunga.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Wedhaswary, Inggried Dwi (ed.). "Apa Itu Resesi dan yang Perlu Kita Pahami". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-10-16. 
  2. ^ Utami, Fajria Anindya (2020-10-01). "Apa Itu Depresi Ekonomi?". Warta Ekonomi. Diakses tanggal 2020-10-31. 
  3. ^ Aditya, Rifan (2020-09-22). "5 Penyebab Resesi, Apakah Akan Terjadi di Indonesia?". Suara.com. Diakses tanggal 2020-10-16. 
  4. ^ a b c d Yantina Debora. "Apa Itu Resesi Ekonomi: Arti, Faktor Penyebab, Dampak bagi Negara". Tirto.id. Diakses tanggal 25 Oktober 2020. 
  5. ^ "Lima Hal yang Terjadi saat Resesi Ekonomi". CNN Indonesia. Diakses tanggal 2020-10-16. 
  6. ^ Times, I. D. N.; Perdana, Hana Adi. "Indonesia Segera Alami Resesi, Apa Dampaknya bagi Kita?". IDN Times. Diakses tanggal 2020-10-16. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]