Lompat ke isi

Mangaraja Soangkupon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Abdul Firman Siregar gelar Mangaraja Soangkupon (1885—1946) adalah politisi asal Sipirok, Angkola dan anggota Volksraad Hindia Belanda. Dalam hal politik, dia adalah sekutu dari banyak tokoh nasional, yang setelah kemerdekaan, menjadi para pemimpin Indonesia, termasuk Mohammad Yamin dan M.H. Thamrin. Bahkan, ia sempat akan diusulkan menjadi Gubernur Sumatera.[1]

Kehidupan awal

Abdul Firman Siregar lahir di Sipirok pada 26 Desember 1885. Dia adalah anak dari kepala kuria setempat.[2][3][4] Abdul menempuh pendidikan dasar sekolah berbahasa Belanda di Padang Sidempuan. Pada tahun 1902, saat dia menerima gelar adat sebagai penerus ayahnya, Mangaraja Soangkupon memilih merantau ke Sumatra Timur.[2] Adiknya, Abdul Rasyid Siregar, bersekolah di STOVIA dan kemudian memilih menjadi politisi juga.

Pada tahun 1906, Mangaraja Soangkupon dipilih menjadi kepala subdistrik (bahasa Belanda: onderdistrictshoofd) di Sosa Julu.[5] Pada tahun 1910, Mangaraja Soangkupon berangkat ke Eropa untuk mendaftar ke sekolah guru di Leiden.[2] Dia kembali ke Sumatra pada tahun 1914 dan segera bekerja di surat kabar Pewarta Deli.[2]

Pada tahun 1915, Mangaraja Soungkapon beralih kembali ke pelayanan pemerintahan. Dia memegang jabatan administratif di beberapa wilayah di Keresidenan Tapanuli dan Sumatra Timur, termasuk menjadi anggota dewan lokal di Pematang Siantar dan Tanjung Balai.[2][6] Selama periode itu, dia dipengaruhi oleh gerakan kebangkitan nasional Indonesia.

Sebagai anggota Volksraad

Pada Mei 1927, Mangaraja Soaduon terpilih sebagai wakil Sumatra Timur untuk Volksraad Hindia Belanda di Batavia.[7] Dalam banyak pemberitaan media, dia dikabarkan terpilih melalui jalur independen, sementara beberapa media mengabarkan bahwa dia merupakan anggota PEB (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indische Politiek Economischen Bond).

Selama menjadi anggota Volksraad, Mangaraja Soaduon menunjukkan sikap yang moderat, dalam arti dia bersedia bekerja bersama Belanda, namun tetap berfokus pada upaya memerdekakan Indonesia.[8] Sepanjang periode pertama jabatannya sebagai anggota Volksraad, Mangaraja Soangkupon banyak memperjuangkan kasus ketidakadilan yang diabaikan oleh orang-orang Belanda anggota Volksraad, termasuk di antara kasus ketidakadilan tersebut adalah skema ekspor-impor yang sangat eksploitatif karena hanya memperkaya para pebisnis dan pemilik perkebunan. Kasus ketidakadilan lainnya adalah standar ganda dalam perlakuan hukum bagi pribumi, yang menyebabkan para pribumi menjadi budak pekerja orang Eropa.[9][10][11][12]

Dalam pelaksanaan Volksraad, yang secara struktur, kurang merepresentasikan kepentingan pribumi dan malah didominasi orang Eropa, Mangaraja Soangkupon termasuk ke dalam kubu anggota pribumi yang nasionalis.[13] Bahkan pada penghujung tahun 1927, Mangaraja Soangkupon pernah mengusulkan amandemen kuota suara dan keanggotaan Volksraad. Dia berpendapat bahwa berdasarkan proporsi populasi penduduk pada saat itu, jika orang-orang Eropa mendapat kuota 25 kursi di Volksraad, maka dengan perhitungan yang sama, orang-orang pribumi seharusnya mendapat kuota 7100 kursi.[14][15] Sebagai balasan, seorang Eropa anggota Volksraad menjawab bahwa sistem parlementer, termasuk Volksraad di dalamnya, adalah produk pemikiran orang Barat dan kurang cocok untuk orang Timur.[16]

Potret Mangaraja Soangkupon pada tahun 1920-an.

Di dalam Volksraad, para pemimpin Belanda berupaya memecah para pribumi ke dalam kubu "evolusioner" yang dianggap baik dan kubu "revolusioner" yang dianggap buruk karena terdiri atas para pribumi yang nasionalis. Para pemimpin Belanda di Volksraad berusaha mengadu domba antar kedua kubu tersebut.[17] Soangkupon beralih ke posisi yang semakin radikal selama jabatannya di Volksraad.[18]

Orang-orang Eropa di Volksraad mempersekusi anggota Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno dan banyak di antaranya yang bergabung dalam kubu sauvinistik pro Eropa, yang dinamai Klub Tanah Air (bahasa Belanda: Vaderlandsche Club). Sebagai respons, pada Januari 1930, Mohammad Husni Thamrin membentuk kelompok nasionalis yang dinamai Fraksi Nasional (bahasa Belanda: Fractie Nationaal), yang terdiri dari Mangaraja Soangkupon, R. P. Suroso, Dwijo Sewoyo, Mukhtar, Datuk Kayo, Sutadi, dan Pangeran Ali. Tujuan utama mereka adalah memerdekakan Indonesia dari Belanda sesegera mungkin dan menghadapi bersama taktik politik pecah belah buatan Belanda.[19][20] Pada Juni 1931, Mangaraja Soangkupon terpilih kembali sebagai anggota Volksraad.[7] Pada pemilihan kali ini, dr. Abdul Rasyid Siregar, adik dari Mangaraja Soangkupon, juga terpilih sebagai anggota.[7] Pada Juni 1935, Mangaraja Soangkupon kembali terpilih sekali lagi sebagai anggota Volksraad.[7] Selama periode ini, Mangaraja Soangkupon menjadi panitia reformasi pendidikan bersama Loa Sek Hie, Oto Iskandar di Nata, dan beberapa anggota Volksraad lainnya[21]

Mangaraja Soangkupon tetap mengedepankan kepentingan masyarakat Sumatra Timur di depan Volksraad. Pada penghujung tahun 1930-an, dia menyuarakan tuntutan para petani Sumatra yang kelaparan karena praktik pengelolaan perkebunan yang memprioritaskan mengekspor hasil kebun.[22] Pada tahun 1939, Mangaraja Soangkupon kembali memenangkan pemilihan anggota Volksraad. Adiknya, Abdul Rasyid, awalnya gagal pada putaran pertama, namun akhirnya dinyatakan menang pada putaran berikutnya.[23] Pada pemilihan kali ini, Mangaraja ditantang oleh calon konservatif asal Medan, yakni seorang Melayu dengan sosok yang lebih moderat. Namun, Mangaraja Soangkupon berhasil memenangkan pemilihan itu.[18]

Pada Juli 1939, Mangaraja Soangkupon mengundurkan diri dari Fraksi Nasional dan membentuk kelompok baru di Volksraad, yang dinamainya Grup Nasionalis Indonesia (Indonesisch nationalistische groep). Dia sekaligus mengetuai kelompok baru ini.[24] Anggota dari kelompok baru ini, di antaranya adalah Abdul Rasyid Siregar (adiknya sendiri), Mohammad Yamin, dan Tadjuddin Noor.[25] Pada saat itu, dia juga menuduh pemerintah Hindia Belanda telah merendahkan posisi Volksraad dibanding dekade sebelumnya dan secara khusus mengabaikan keinginan para anggota pribumi di Volksraas.[26]

Pada November 1939, juga atas dampak Perang Dunia II, Mangaraja Soangkupon dan anggota grupnya mengirimkan petisi kepada Tweede Kamer di Belanda untuk mendesak pendirian parlemen Hindia Belanda yang utuh dan dipilih secara langsung oleh rakyat.[27][28] Petisi tersebut menyatakan bahwa 20 tahun telah berlalu sejak 1918, saat Belanda mendeklarasikan janji menuju pemerintahan mandiri di Hindia Belanda. Petisi tersebut juga mengimbau pemerintah Belanda untuk menaati klaimnya sendiri yang mendukung kaum nasionalis reformis dan menolak kaum radikal.[27][28] Selain itu, petisi tersebut juga menyoroti posisi Hindia Belanda yang sangat jauh dari Belanda sendiri, sehingga Hindia Belanda tidak dapat serta merta bergantung pada dukungan, pertahanan militer, dan arahan langsung dari Belanda, sementara Eropa sendiri masih dalam keadaan perang.[28]

Pada tahun 1940, Mangaraja Soangkupon dicibir oleh media massa kolonial atas pernyataannya di Volksraad, bahwa pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat Eropa hanya mengenali wilayah-wilayah luar dari Hindia Belanda lewat penarikan pajak sehingga menyebabkan kelaparan dan kerugian bagi penduduk.[29] Di tahun yang sama, Mangaraja Soangkupon dianugrahi Orde Oranye-Nassau.[30]

Pada September 1941, berlangsung perdebatan di Volksraad tentang pemberian hak pilih bagi perempuan (termasuk perempuan Hindia Belanda). Mangaraja Soangkupon termasuk barisan anggota yang menolak, bersama dengan T. de Raadt dan Loa Sek Hie.[31]

Kembali ke Sumatera

Selama masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Mangaraja Soangkupon kembali ke Sumatera. Sebagaimana para nasionalis Indonesia lainnya, dia bersedia bekerja bersama pemerintah Jepang dan ditugaskan sebagai Kepala BOMPA (Badan Oentoek Membantu Pertahanan Asia).[32][33] Pada November 1943, sebagai upaya pemberian otonomi terbatas bagi orang-orang Indonesia, didirikanlah Dewan Rakyat Sumatera Timur yang direncanakan akan dipilih secara tahunan. Pada tahun pertama, Mangaraja Soangkupon terpilih sebagai anggota; Hamka adalah salah satu anggota pada periode ini. Tahun berikutnya, 1944, Tengku Mansyur terpilih sebagai ketua.[4] Pada tahun 1945, Mangaraja Soangkupon tidak lagi bersimpati kepada Jepang.[34] Setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Mangaraja Soangkupon bersama tokoh Sumatra Timur lainnya, seperti Teuku Mohammad Hasan dan Tengku Hafas, membantu menyusun penyerahan diri pejabat-pejabat lokal Jepang di Sumatera Timur kepada Pasukan Inggris.[35][36]

Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, Mangaraja Soangkupon dipilih sebagai residen di Medan, bersama Luat Siregar dan Abdoe'lxarim M.S..[37][38] Pada masa itu, kesehatannya semakin menurun akibat penyakit diabetes yang dideritanya dan masalah kesehatan lainnya.[38] Mangaraja Soangkupon meninggal pada awal tahun 1946 di Medan.[38][2]

Referensi

  1. ^ "Teuku Hasan Yang Terpaksa Jadi Gubernur". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2019-07-18. Diakses tanggal 2022-12-16. 
  2. ^ a b c d e f Reid, Anthony (1979). The blood of the people : revolution and the end of traditional rule in northern Sumatra. Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press. hlm. 81. ISBN 019580399X. 
  3. ^ "Dr. ABDUL RASJID". Deli Courant (dalam bahasa Belanda). Medan. 15 February 1939. hlm. 2. 
  4. ^ a b Fusayama, Takao (2010). A Japanese memoir of Sumatra, 1945-1946 : love and hatred in the liberation war. Jakarta: Equinox Publishing. ISBN 9786028397193. 
  5. ^ "Nederlandsch-Indië". Sumatra-bode (dalam bahasa Belanda). Padang. 7 September 1906. hlm. 2. 
  6. ^ "Gewestelijk en Plaatselijk Zelfbestuur". Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1918. (dalam bahasa Belanda): 731–2. 1918. 
  7. ^ a b c d "VOLKSRAAD". Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië. 2: 61–64. 1939. 
  8. ^ "DE VOLKSRAAD. Algemeene Beschouwingen". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). Surabaya. 14 June 1928. hlm. 2. 
  9. ^ van Overveldt-Biekart, S. (17 November 1928). "UIT DEN VOLKSRAAD". Maandblad van de Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlandsch-Indië, jrg 2, 1927-1928 (dalam bahasa Belanda). 2 (12): 1–2. 
  10. ^ "Deli Planters Vereeniging". De Indische mercuur; orgaan gewijd aan den uitvoerhandel. (dalam bahasa Belanda). 51 (1928) (36): 738. 5 September 1928. 
  11. ^ "Overzichten van den Volksraad". De Indische mercuur; orgaan gewijd aan den uitvoerhandel. (dalam bahasa Belanda). 50 (1927) (44): 815–6. 2 November 1927. 
  12. ^ "Oeroesan di Tapanoeli" (PDF). Hanpo (dalam bahasa Melayu). Palembang. 24 May 1929. hlm. 1. 
  13. ^ Wanti, Irini Dewi; Widarni, Elly; Wibowo, Agus Budi; Setiawan, Irvan (1996). Enam pahlawan nasional asal Aceh. Jakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. hlm. 83–4. 
  14. ^ "Twee verdedigers. Heftige Inlandsche aanvallen op Europeesche pers.— Het vertrouwen in den Landvoogd. Soeangkoepon". De Locomotief (dalam bahasa Belanda). Semarang. 10 December 1927. 
  15. ^ "De wijziging der Indische Staatsregeling. Overzicht". De Indische courant (dalam bahasa Belanda). Surabaya. 13 December 1927. hlm. 5. 
  16. ^ "FELLE DEBATTEN". De Locomotief (dalam bahasa Belanda). Semarang. 9 December 1927. 
  17. ^ "UIT DEN VOLKSRAAD". Maandblad van de Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlandsch-Indië, jrg 2, 1927-1928. (dalam bahasa Belanda). 2 (10): 1–2. 1 August 1928. 
  18. ^ a b Reid, Anthony (1979). The blood of the people : revolution and the end of traditional rule in northern Sumatra. Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press. hlm. 65. ISBN 019580399X. 
  19. ^ Sufi, Rusdi (1998). Gerakan nasionalisme di Aceh (1900-1942). Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. hlm. 48–9. ISBN 979-95312-4-1. 
  20. ^ Agung, Ide Anak Agung Gde (1993). Kenangan masa lampau : zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang di Bali (edisi ke-1). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 106. ISBN 9789794611562. 
  21. ^ "COMMISSIES AD HOC". Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1935. (dalam bahasa Belanda). 2: 79. 1935. 
  22. ^ Reid, Anthony; Saya, Shiraishi (1976). "Rural Unrest in Sumatra, 1942 a Japanese Report". Indonesia (21): 117. doi:10.2307/3350959. ISSN 0019-7289. 
  23. ^ "Indië Volksraadsverkiezing". Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (dalam bahasa Belanda). Batavia [Jakarta]. 17 January 1939. hlm. 2. 
  24. ^ Gonggong, Anhar (1985). Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 71–2. 
  25. ^ "Nieuwe fractie wenscht tot een onafhankelijk Indonesia mede te werken". De Sumatra post (dalam bahasa Belanda). Medan. 13 July 1939. hlm. 3. 
  26. ^ "Soangkoepon slaat op hol". Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad (dalam bahasa Belanda). 's-Gravenhage. 9 June 1939. hlm. 4. 
  27. ^ a b "ONZE OOST De petitie Soeangkoepon Voor een volwaardig parlement". Algemeen Handelsblad (dalam bahasa Belanda). Amsterdam. 16 November 1939. 
  28. ^ a b c "PARLEMENT VOOR INDIË. De petitie van de Inheemschen tot de Tweede Kamer". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). Surabaya. 6 November 1939. hlm. 1. 
  29. ^ "Soeangkoepon". De Sumatra post (dalam bahasa Belanda). Medan. 14 November 1940. hlm. 2. 
  30. ^ "Onderscheidingen op Sumatra". De Sumatra post (dalam bahasa Belanda). Medan. 30 August 1940. hlm. 2. 
  31. ^ Amini, Mutiah (2021). Sejarah organisasi perempuan Indonesia : (1928-1998) (edisi ke-Cetakan pertama). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 61. ISBN 9786023869602. 
  32. ^ Fusayama, Takao (2010). A Japanese memoir of Sumatra, 1945-1946 : love and hatred in the liberation war. Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 95–9. ISBN 9786028397193. 
  33. ^ "Sumatra en wat daar gebeurd is". De stem van Nederland; voorheen Londensch Vrij Nederland-onafhankelijk weekblad voor alle Nederlanders. (dalam bahasa Belanda). 7 (7): 4–6. 21 September 1946. 
  34. ^ Reid, Anthony (1979). The blood of the people : revolution and the end of traditional rule in northern Sumatra. Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press. hlm. 110. ISBN 019580399X. 
  35. ^ Fusayama, Takao (2010). A Japanese memoir of Sumatra, 1945-1946 : love and hatred in the liberation war. Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 53–4. ISBN 9786028397193. 
  36. ^ Reid, Anthony (1979). The blood of the people : revolution and the end of traditional rule in northern Sumatra. Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press. hlm. 164-5. ISBN 019580399X. 
  37. ^ Reid, Anthony (1979). The blood of the people : revolution and the end of traditional rule in northern Sumatra. Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press. hlm. 170-3. ISBN 019580399X. 
  38. ^ a b c Fusayama, Takao (2010). A Japanese memoir of Sumatra, 1945-1946 : love and hatred in the liberation war. Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 194–200. ISBN 9786028397193.