Lompat ke isi

Rancajawat, Tukdana, Indramayu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rancajawat
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenIndramayu
KecamatanTukdana
Kode Kemendagri32.12.30.2003 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk6000 jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 6°34′44″S 108°17′27″E / 6.57889°S 108.29083°E / -6.57889; 108.29083

Rancajawat adalah desa di kecamatan Tukdana, Indramayu, Jawa Barat, Indonesia.

Geografi

Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Cimanuk dan Desa Gunungsari

Sebelah Barat berbatasan dengan sungai Cibuaya (orang Rancajawat menyebutnya Cibaya) dan desa Kerticala

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gadel

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cangko.

Sejarah

Alkisah seorang raja dari Semarang, Jawa Tengah bernama Ki Wongso Demang Yudo, adalah raja Hindu yang kemudian menemukan hidayah ingin memeluk Islam dan meminta sabda atau petunjuk dari sunan terutama dari sunan Kali Jaga. Dengan sabda yang diberikan oleh sunan Kali Jaga, Ki Wongso beserta istrinya diperintahkan untuk pergi ke Cirebon. Dengan segera Ki Wongso beserta istri menuju Cirebon. Ketika sampai di Cirebon, mereka mendapat wejangan dari sunan Kali Jaga yang berkata “seandainya kalian ingin memiliki ilmu kebatinan dan ilmu Jaya kawijayan, maka kalian harus belajar”, dan hasil dari belajar ilmu tersebut kulit mereka berubah menjadi hitam yang mengandung arti Legam (sampai akhir hayat menetap di daerah Rancajawat).

Menurut sejarah diceritakan bahwa daerah tersebut berada di sebelah barat sungai Cimanuk, di situ ada sebuah hutan belantara yang sangat lebat dan angker serta sebuah Rawa yang sangat panjang terbentang dari ujung selatan sampai ke ujung utara, yang saat sekarang disebut daerah pesawahan diantaranya dari Blok Kesambi, Saradan sampai ke Blok Patri. Pada saat itu belum ada penduduk satu pun, yang ada hanya bermacam-macam binatang seperti: burung, berbagai jenis ular, ikan dan sejenis hewan lainnya yang hidup bebas.

Suami-istri tersebut adalah orang pertama penduduk Desa Rancajawat. Karena mereka betah, maka mereka membangun rumah yang terbuat dari bambu (Gubug) di tepi rawa yang beratapkan Welit (semacam atap rumbia, atap yang terbuat dari alang-alang), yang sekarang menjadi Pesanggrahan Mbah Buyut Semarang. Pada waktu itu mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu dengan bercocok tanam, berkebun, dan berternak kerbau yang menjadi hewan kesayangan Ki Wongso Demang. Sebagai penerangan mereka memanfaatkan bambu yang diberi minyak jarak yang disebut dengan oncor. Untuk peralatan masih sangat sederhana yaitu tombak, parang, arit, pecok, ani-ani, dan lain sebagainya.

Bertahun-tahun mereka hidup di daerah tersebut dengan damai dan bahagia. Pada suatu hari ada serombongan menjadi tamu mereka yang ternyata adalah para Demang, para Patih, dari kerajaan Semarang yang bertujuan mencari rajanya yang telah lama hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Kemudian Ki Wongso Demang Yuda berkata kepada mereka “hai para tamu, sudahlah jangan pusing, jangan sedih untuk mencari rajamu yang telah hilang tersebut, yang lalu biarlah berlalu, sekarang lebih baik kalian hidup bersama kami untuk membangun pemukiman di daerah ini demi masa depan kalian”.

Sebenarnya mereka samar atau menyangka bahwa orang tersebut adalah rajanya yaitu Ki Wongso Demang Yuda, tetapi karena kulit yang sudah berubah menjadi hitam akibat belajar Ilmu Kebatinan dan Ilmu Jaya Kawijayan, maka mereka menafikkannya dan menuruti perkataan beliau. Sampai saat ini para tamu tersebut dijadikan nama blok, yaitu blok Patri, blok Saradan, blok Tambak Bedah, blok Kesambi, blok Semarang, dan lain sebagainya.

Untuk asal usul nama Rancajawat sendiri, bahwasannya Rancajawat berasal dari dua kata yaitu Ranca yang artinya rawa, dan Jawat yang sebenarnya adalah orang jawa yang sangat kuat. Kuat disini mengandung arti dari ki Wongso yang mempunyai niat yang sangat kuat bagai baja ingin memeluk agama Islam dan ingin memiliki ilmu kesempurnaan hidup menurut ajaran agama Islam. Sampai saat sekarang diyakini oleh masyarakat Rancajawat bahkan sudah dijadikan hukum adat desa bahwa Munjungan Mbah Buyut Semarang diharuskan menyembelih Hewan Kerbau.

Konon diceritakan para sesepuh Rancajawat pada waktu Unjungan Pemerintahan Kuwu Rasgan yang terjadi kurang lebih pada tahun 1931, pada saat itu menyembelih 12 ekor kambing yang harganya lebih mahal dari pada atu ekor kerbau, tetapi yang terjadi bukannya mendapat barokah dan desanya subur dan makmur, malah mendapatkan sebaliknya yaitu musibah dimana setelah seusai Munjungan secara tiba-tiba desa Rancajawat menjadi gelap gulita tertutup mendung dan datang angin puting beliung dari ayah buyut menuju Balai Desa menyapu dan mengobrak-abrik sehingga balai desa terbalik dan angin tersebut berubah arah menuju ke rumah kuwu sehingga rumah kuwu pun terobrak-abrik terkena hantaman angin puting beliung.

Kuwu

Kuwu adalah sebutan bagi Kepala Desa di Rancajawat, kependekan dari Akuwu. Adapun Kuwu Desa Rancajawat yang pernah memerintah Desa Rancajawat yang bisa kami ketahui dari jaman penjajahan Belanda sampai sekarang adalah:

  1. Kuwu Lampir
  2. Kuwu Tarsa
  3. Kuwu Mardi
  4. Kuwu Sempi
  5. Kuwu Talka ( . . . . . 1915 )
  6. Kuwu Akma ( 1915 – 1930 )
  7. Kuwu Rasgan ( 1930 – 1934 )
  8. Kuwu Barki ( 1934 – 1937 )
  9. Kuwu Dirga ( 1937 – 1941 )
  10. Kuwu Bilal ( 1941 – 1944 )
  11. Kuwu Darwan ( 1944 – 1947 )
  12. Kuwu Jaka ( 1947 – 1955)
  13. Kuwu Wajid ( 1955 – 1958 )
  14. Kuwu Tanjan ( 1958 – 1966 )
  15. Kuwu Dala Tarjono ( 1966 – 1979 )
  16. Kuwu Takwa ( 1979 – 1988 )
  17. Kuwu Dasmar ( 1988 – 1999 )
  18. Kuwu Sarlam ( 1999 – 2009 )
  19. Kuwu Tarka / Tekok ( 2009 – 2012 )
  20. Kuwu Mamet T. Haryanto, S.Sos ( 2012 – sampai sekarang )

Tradisi Munjungan

Munjungan (Ngunjung) adalah suatu tradisi yang masih melekat dikalangan masyarakat Indramayu khususnya Desa Rancajawat. Ada sedikit berbeda dengan Desa lain, di Desa Rancajawat saat acara munjungan diwajibkan untuk menyembelih kerbau tidak boleh hewan berkaki empat lain, misalnya: Sapi atau kambing. Konon katanya, pada zaman dahulu ketika acara munjungan tidak menyembelih kerbau dan digantikan dengan beberapa ekor kambing balai Desa tersebut terbalik. Sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Rancajawat bahkan sudah dijadikan Hukum Adat Desa bahwa munjungan di Mbah Buyut Semarang diharuskan menyembelih Hewan Kerbau.

Ditinjau dari segi istilahnya, kata Munjung berasal dari kata “Kunjung” yang berarti datang. Dalam bahasa Jawa “Ngunjung” berarti mendatangi atau sama dengan Bahasa Indonesia yaitu “mengunjungi” atau berkunjung. Adapun yang dimaksud istilah tersebut berziarah ke makam para leluhur terutama yang mendirikan Desa dan kuburan nenek moyang dengan membawa sesajen dan tumpeng. Tradisi munjungan (ngunjung) adalah warisan pra Islam yang dahulunya disebut “Srada.” Pesta srada diselenggarakan di kuburan dengan mengadakan selamatan atau kenduri dan diramaikan dengan pertunjukan wayang kulit.

Konon katanya upacara munjungan hampir serupa dengan upacara Ceng Beng dikalangan masyarakat Tionghoa penganut Falsafah Kong Koe Tjoe. Pada awalnya upacara Srada diselenggarakan pada bulan Ruwah, karena berasal dari kata “Roh” dan “Arwah.”

Ketika Agama Islam masuk ke Indonesia terutama di Jawa, sepertinya tradisi munjung tersebut belum bisa dihapus atau dihilangkan dan memang dibiarkan oleh para Wali. Munjung adalah ziarah kubur pada saat manusia belum banyak dan keadaannya masih hutan belantara dan tempat kuburan tersebut berada dalam hutan.

Pada setiap ada acara Munjungan (Ngunjung) masyarakat setempat membawa nasi tumpeng sebagai sesajen suatu bentuk rasa hormat kepada arwah leluhur untuk dikenang.

Pada mulanya yang namanya ziarah kubur dari tempat tinggal menuju hutan (kuburan) memerlukan cukup waktu disamping kirim doa, juga membersihkan semak belukar, tentunya karena seharian penuh, maka membawa perbekalan dalam bentuk nasi yang sudah diawetkan supaya tidak mudah basi berupa nasi tumpeng. Hingga sekarang setiap munjungan (ngunjung) membawa nasi tumpeng, ayam panggang, setelah selesai acara di makan bersama sanak saudara juga keluarga. Ada sedikit berbeda di Desa Rancajawat tepatnya di Mbah Buyut Semarang setelah kirim doa yaitu dibagikan masakan empal daging kerbau ke setiap orang yang mengikuti acara munjungan.

Sekolah

Di Desa Rancajawat, terdapat beberapa sekolah, baik negeri ataupun swasta, mulai dari jenjang TK/PAUD hingga SMA/SMK.

Sekolah tersebut antara lain:

Jenjang TK/PAUD

- TK Perintis

- TK Terbit Fajar


Jenjang SD

- SD Negeri 1 Rancajawat

- SD Negeri 2 Rancajawat

- SD Negeri 3 Rancajawat


Jenjang SMP

- SMP Negeri 2 Tukdana

- SMP Pembangunan Tukdana


Jenjang SMA/SMK

- SMK Pembangunan Tukdana

Sumber

Casman M. (Juru Tulis Desa Rancajawat) https://www.mjbrigaseli.com/2014/11/sejarah-desa-rancajawat.html

Mini Tuminih, M.Pd. ( Dosen, Penulis asli Rancajawat) http://minnituminih.blogspot.com/2017/09/sejarah-tradisi-munjungan-ngunjung-desa.html