Chairuddin Ismail
Chairuddin Ismail | |
---|---|
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia | |
Masa jabatan 20 Juli 2001 – 3 Agustus 2001 (de facto) | |
Presiden | Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri |
Informasi pribadi | |
Lahir | 27 Desember 1947 Indonesia |
Almamater | Akademi Kepolisian |
Pekerjaan | Polisi |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | Kepolisian Republik Indonesia |
Pangkat | Jenderal Polisi |
Sunting kotak info • L • B |
Jenderal Polisi (Purn.) Chairuddin Ismail (lahir 27 Desember 1947) adalah pensiunan perwira Polri. Ia pernah menjadi Pejabat Sementara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pjs. de facto Kapolri) menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro, dan pernah menjadi tim sukses pasangan capres Jusuf Kalla-Wiranto.
Polemik kisruh di tubuh Polri
[sunting | sunting sumber]Pada masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.[butuh rujukan] Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Bimantoro dan mengangkat Chairuddin tanpa persetujuan parlemen.[butuh rujukan] Dan situasi berbalik, Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.[butuh rujukan] Bagaimanapun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.[butuh rujukan] Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Gus Dur memperbolehkan pengibaran Bendera Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.[butuh rujukan] Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.[butuh rujukan] Kasus penangkapan 2 eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.[butuh rujukan] Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.[butuh rujukan] Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.[butuh rujukan] Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.[butuh rujukan] Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.[butuh rujukan] Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.[butuh rujukan] Dalam insiden itu, jatuh 1 pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat[butuh rujukan]. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian 5 menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri.[butuh rujukan] Namun, Bimantoro menolak.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Polisi Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri.[1] Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.[butuh rujukan] Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.[butuh rujukan]
Pengangkatan Chairuddin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.[butuh rujukan] Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.[butuh rujukan] Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.[2] Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang 4.[butuh rujukan] Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin dicopot dari jabatannya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Wahid appoints new deputy police chief"
- ^ ""Bimantoro Non-Aktif, Chairuddin Jadi Wakapolri"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-08-18. Diakses tanggal 2012-06-17.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Jabatan kepolisian | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Surojo Bimantoro |
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 2001 |
Diteruskan oleh: Da'i Bachtiar |