Lompat ke isi

Harem

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Desember 2023 00.04 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20231209)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lukisan imajinatif suasana di harem, oleh Jean Baptiste van Mour.

Harem (bahasa Persia: حرمسرا haramsarā, bahasa Arab: حَرِيمٌ ḥarīm; secara harfiah berarti "tempat suci yang tidak boleh diganggu" atau "anggota wanita dalam sebuah keluarga") adalah bagian dari rumah yang khusus diperuntukkan untuk keluarga dan merupakan tempat terlarang bagi pria dewasa kecuali tuan rumah atau kerabat dekat. Harem berangkat dari sistem masyarakat yang melakukan pembagian ketat antara dunia laki-laki dan dunia perempuan. Harem biasanya terdapat dalam rumah masyarakat kalangan atas dan menjadi tempat pertemuan para wanita kelas atas. Meskipun kerap diidentikan dengan gaya hidup sultan, keberadaan harem (dengan segala jenis dan istilahnya) telah ada pada masa pra-Islam. Harem juga dapat digunakan untuk merujuk kepada para istri atau selir dari pria yang melakukan praktik poligami.

Meskipun wanita dipandang tidak patut ikut campur dalam urusan politik dalam masyarakat yang menganut ketat pembagian dunia laki-laki dan perempuan (karena wilayah politik dan pemerintahan dipandang sebagai wilayah laki-laki), pada praktiknya, harem menjadi sebuah bagian penting yang menjadi pusat kegiatan politik kaum wanita dalam perannya menggerakan pemerintahan dari balik tirai. Dalam konteks istana, harem menjadi sebuah lembaga yang sangat besar yang dihuni mulai ratusan hingga ribuan orang dengan hierarki yang sangat kompleks selayaknya kota kecil. Kerabat dekat penguasa; ibu, istri, selir, saudari, atau putri biasanya berada di bagian atas hierarki harem.

Di Barat, harem sangat lekat dengan gambaran imajinatif kehidupan seksual yang glamor dari para sultan. Hal itu tercermin dalam beberapa karya para pelukis Barat Abad Pertengahan tentang harem. Keterkungkungan, kedigdayaan lelaki, lemah dan rendahnya kedudukan perempuan juga menjadi salah satu gambaran yang sering dikaitkan dengan harem. Meski begitu, banyak persepsi tersebut berangkat dari penafsiran dari kelompok masyarakat Barat yang cenderung asing dengan budaya pemisahan dunia lelaki dan perempuan, sehingga tidak mendapat gambaran yang utuh atau bahkan keliru.

Harem berasal dari kata bahasa bahasa Arab: حريم (ḥarīm) yang memiliki akar kata yang sama dengan kata حرام (ḥarām), yang bermakna 'terlarang', juga dapat merujuk kepada sesuatu yang suci yang terlarang bagi sembarang orang untuk memasukinya.

Harem yang merupakan bagian dari rumah khusus untuk keluarga atau wanita memiliki beberapa istilah lain di berbagai kebudayaan. Di masa Utsmaniyah, bagian rumah yang khusus diperuntukkan untuk keluarga adalah haremlik dan pria yang bukan kerabat dekat terlarang untuk memasukinya. Sebaliknya, bagian dari rumah yang digunakan untuk menerima tamu dan umum adalah selamlik (yang diambil dari kata 'salam').[1] Di kawasan Asia Selatan, wilayah untuk keluarga dan wanita adalah zenana, sedangkan bagian dari rumah untuk tamu dan umum adalah mardana. Di Persia, bagian privat dalam rumah disebut andaruni dan bagian untuk umum dan luar adalah biruni. Di Rusia, bagian khusus untuk wanita di istana bernama terem.[2] Di Yunani kuno, bagian rumah yang diperuntukkan untuk keluarga dan wanita disebut gynaikeion (γυναικεῖον) atau gynaikōnitis (γυναικωνῖτις), sedangkan bagian untuk laki-laki atau umum disebut andrōn (ἀνδρών) atau andrōnitis (ἀνδρωνῖτις). Di Korea, bagian rumah untuk laki-laki disebut sarangchae (사랑채) dan untuk perempuan disebut anche (안채) atau anbang (안방).[3]

Pemingitan wanita

[sunting | sunting sumber]

Keberadaan harem muncul dalam masyarakat yang melakukan pemisahan ketat antara dunia laki-laki dan perempuan. Segala permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat umum, seperti ekonomi dan pemerintahan, dipandang menjadi wilayah kaum pria. Di sisi lain, segala hal yang berhubungan dengan keluarga menjadi wilayah kaum wanita. Wanita dipandang tidak pantas mencampuri urusan dunia luar secara terbuka dan begitu pula sebaliknya, sehingga wanita akan lebih sering tinggal di rumah dan dipingit. Dengan keadaan seperti ini, maka sebuah ruang pribadi untuk para wanita menjadi keniscayaan. Harem dibentuk sebagai wadah untuk para wanita yang dipingit bergerak bebas tanpa terlihat dari para pria asing dan dunia luar secara umum.

Meski di Barat istilah harem sangat melekat dengan masyarakat Muslim, khususnya dengan kehidupan para sultan, keberadaan harem atau adat pemingitan wanita telah ada sejak ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad lahir.[4] Tradisi ini telah ada dan dijalankan oleh masyarakat kelas atas Iraq, Romawi Timur, Yunani Kuno, dan Persia.

Adat pemingitan wanita menjadi kelaziman di masyarakat Timur Dekat Kuno, khususnya di tengah masyarakat yang memperbolehkan poligami.[5] Di masa pra-Islam Asyur, Persia, dan Mesir, tiap istana memiliki wilayah harem yang menjadi tempat tinggal kerabat wanita dari penguasa, bersama dengan para dayang dan kasim.[4] Sumber Romawi Timur kontemporer menggambarkan adat-istiadat sosial yang mengatur kehidupan perempuan. Para wanita sepatutnya tidak terlihat di publik. Mereka dijaga oleh para kasim dan hanya bisa meninggalkan rumah dengan berkerudung dan bersama pendampingnya. Beberapa hal ini dipengaruhi oleh adat Persia.[6]

Adat pemingitan wanita ini pada praktiknya tidak dapat dijalankan oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan wanita kelas pekerja kerap menangani pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan para pria asing.[7] Wanita turut bersumbangsih dalam kehidupan ekonomi dengan menjadi perawat, tabib, penjaga pemandian, dan penghibur. Pemingitan wanita dilakukan oleh masyarakat kalangan menengah ke atas lantaran keadaan keuangan mereka yang kuat, membuat wanita tidak perlu turun tangan untuk bekerja dan mencari uang. Hal ini menjadikan adat pemingitan wanita sebagai perlambang tingginya status dan derajat keluarga.[7][8] Sebagian wilayah, seperti di Jazirah Arabia, adat ini juga dilakukan di masyarakat kalangan bawah, tetapi secara umum, praktik ini cenderung tidak realistis diterapkan di masyarakat dengan keadaan keuangan lemah.[8]

Di Asyur, peraturan harem ditetapkan melalui maklumat istana. Wanita di istana hidup dalam pemingitan, dijaga oleh para kasim, dan seluruh anggota harem akan bepergian bersama mengikuti raja. Berbagai aturan ditetapkan demi menjauhkan wanita dari urusan politik dan pemerintahan.

Tidak ada bukti bahwa praktik pemingitan wanita telah diterapkan di kalangan bangsa Iran awal, tetapi mereka mulai mempraktikannya setelah menaklukan wilayah itu. Menurut sejarawan Yunani, para bangsawan Mede setidaknya memiliki tidak kurang dari lima istri yang dijaga oleh para kasim.[9]

Sejarawan Yunani mencatat bahwa pada masa Kekaisaran Akhemeniyah, penguasa memiliki beberapa istri dan sejumlah besar selir. Permaisuri atau pasangan utama, biasanya merupakan ibu dari putra mahkota, menjadi pemimpin rumah tangga istana. Dia memiliki tempat tinggal sendiri dan pendapatan bulanan, juga banyak pelayan. Tiga kelompok wanita lain yang juga berada di harem adalah istri-istri penguasa yang lain, para putri, dan selir-selir.[9]

Harem Akhemeniyah menjadi percontohan bagi kekaisaran-kekaisaran Persia setelahnya dan sistemnya cenderung tidak berubah banyak. Di masa Sasaniyah, yang kemudian juga ditiru oleh Kekaisaran Safawiyah dan Qajar, wanita yang menduduki tingkatan tertinggi tidak harus istri utama kaisar atau raja, tetapi dapat juga saudari atau putrinya.[9]

Di antara penguasa Persia yang lain, Khosrau (Kisra) II dikenal akan kemegahannya dalam hal hedonisme. Dia mencari di wilayah kekuasaannya, gadis-gadis yang dipandang paling cantik dan menurut kabar, 3.000 orang di antara mereka dimasukkan ke dalam haremnya. Praktik ini dikutuk secara luas, tetapi Khosrau sendiri menyatakan bahwa setiap tahun dia telah mengutus istrinya, Syirin, untuk memberi tawaran kepada para gadis tersebut keluar dari harem dengan dibekali maskawin untuk pernikahan mereka sendiri, tetapi mereka menolak karena telah nyaman dengan kemegahan istana.[9]

Masyarakat Muslim

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Muslim generasi awal tidak begitu ketat dalam memisahkan dunia pria dan wanita, meski di sisi lain perbuatan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) juga dipandang tidak pantas. Wanita lazim berperan aktif dalam urusan dunia di luar keluarga, sebagaimana para pria juga biasa turun tangan dalam masalah kerumahtanggaan. Jamaah pria dan wanita selalu hadir di masjid sejak masa awal Islam di Madinah dan mereka hanya dipisah dalam masalah penempatan (jamaah laki-laki di depan dan perempuan di belakang), tetapi tanpa pembatas fisik di antara mereka. Sebagian wanita juga turut serta di medan perang, dari mulai sebagai tenaga penolong dan medis hingga secara langsung memegang senjata, sebagaimana yang dilakukan oleh Nusaibah binti Ka'ab dan Khaulah binti Azwar. Bahkan janda Nabi Muhammad, Aisyah, menjadi komandan dalam Perang Jamal bersama Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Hal ini tidak banyak berubah hingga masa Khulafaur Rasyidin dan Kekhalifahan Umayyah. Di dalam Qur'an sendiri, praktik yang menyerupai pemingitan wanita secara tekstual hanya diwajibkan untuk para istri Nabi.[10]

Sepeninggal Umayyah, tampuk kekuasaan dunia Islam beralih ke tangan Wangsa Abbasiyah. Sebelum 1258, dinasti ini seringnya berpusat di wilayah Mesopotamia yang dulunya menjadi wilayah kekuasaan dinasti-dinasti Persia, sehingga daerah tersebut memiliki budaya Persia yang kental. Di masa Kekhalifahan Abbasiyah inilah, pemisahan antara dunia laki-laki dan perempuan semakin jelas dan harem mulai dilembagakan secara resmi dalam masyarakat Muslim.[8] Para sejarawan percaya bahwa adat pemingitan wanita dalam masyarakat Muslim diambil dari budaya Romawi Timur dan Persia. Dalam sudut pandang agama, perintah dalam Qur'an bagi istri-istri Nabi untuk tinggal di rumah kemudian dipandang sebagai percontohan dan teladan bagi muslimah secara umum.[8][11] Menurut Eleanor Domato, pemingitan wanita memiliki landasan agama dan budaya.[8] Sepeninggal Abbasiyah, banyak dinasti Muslim yang menjalankan praktik serupa.

Komposisi

[sunting | sunting sumber]

Meski sangat lekat dengan wanita dan segala pernak-perniknya, sebenarnya harem kurang tepat disebut sebagai "ruang wanita" karena tuan rumah dan putra-putranya juga tinggal di dalamnya. Meski begitu, gambaran tersebut juga tidak sepenuhnya salah lantaran harem merupakan wadah bagi para wanita kelas atas untuk mengadakan pertemuan dan saling bercengkerama, mengingat di kebudayaan tersebut, ruang publik cenderung didominasi kaum laki-laki. Harem menjadi tempat tinggal tuan rumah beserta keluarganya yang biasanya terdiri dari pasangan tuan rumah (istri atau selir), orang tua, juga anak-anak mereka. Pria asing tidak diperkenankan memasukinya kecuali dalam suatu keadaan sangat khusus. Harem sendiri didesain agar menjadi sebuah bagian rumah yang tertutup yang tidak dapat dilihat dari luar.

Dalam konteks istana, harem menjadi hunian bagi ratusan hingga ribuan orang. Salah satu persepsi yang keliru adalah bahwa setiap wanita yang berada di harem otomatis memiliki kontak seksual dengan penguasa. Istri dan selir hanyalah salah satu kelompok yang menghuni harem bersama dengan kelompok yang lain. Di balik dinding harem yang tak terlihat, para penghuni di dalamnya membentuk sebuah hierarki yang besar, rumit, dan teratur. Secara garis besar, para penghuninya dibagi menjadi dua kelompok besar: pertama: penguasa, keluarga, dan kerabatnya; kedua: para pelayan.

Keluarga istana

[sunting | sunting sumber]

Keluarga istana terdiri dari penguasa dan mereka yang memiliki hubungan darah dengannya (ibu dan anak), juga para pasangan penguasa yang bisa berstatus sebagai istri maupun selir.

Pemimpin harem

[sunting | sunting sumber]

Dalam sistem harem, pemimpin harem dapat dianggap sebagai ibu negara dalam konteks modern. Pihak yang biasanya berada di puncak teratas dalam hierarki harem adalah ibu suri. Ibu suri bertanggung jawab mengatur segala urusan harem atau rumah tangga istana. Pernikahan, termasuk pernikahan penguasa sendiri, juga menjadi salah satu tugas penting ibu suri, bahkan juga termasuk pemilihan selir untuk penguasa. Hal ini berkebalikan dengan pandangan umum bahwa penguasa memiliki akses seksual mutlak kepada setiap wanita yang dikehendakinya. Pernikahan, termasuk juga pemilihan selir, menjadi bagian tak terpisahkan dalam urusan keluarga dan rumah tangga sehingga masalah ini menjadi wilayah kaum wanita.

Meski idealnya para wanita harus menjauh dari politik, pada praktiknya, urusan keluarga dan pemerintahan saling terkait. Wanita yang memiliki kedudukan dan kekuasaan tinggi di harem seringnya akan berusaha mendongkrak status keluarga asalnya. Keluarga bangsawan yang telah berjasa besar dengan penguasa atau memiliki pengaruh sangat besar dalam negara biasanya dapat melakukan negosiasi politik dengan meminta penguasa mempersunting putri mereka, berharap agar pewaris takhta selanjutnya memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Dengan keadaan yang saling terkait, maka keterlibatan para perempuan dalam urusan politik dan pemerintahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan, meski hal itu tidak dilakukan secara terbuka.

Peran ibu suri dalam ranah politik mencapai puncaknya saat putranya yang merupakan penguasa dipandang tidak atau belum dapat memerintah, seperti karena masih dipandang terlalu dini atau tidak cakap. Dalam sejarah Tiongkok. Cixi merupakan salah satu tokoh yang dapat mewakili fenomena ini, sementara Kösem Sultan menjadi percontohan paling baik dalam kasus ini dalam sejarah Utsmaniyah.

Saat posisi ibu suri kosong, kedudukan pemimpin harem dapat diserahkan kepada pasangan penguasa, saudari, atau putrinya, tergantung hukum yang berlaku di setiap daerah. Di Kekaisaran Mughal, gelar untuk ibu negara sekaligus pemimpin harem adalah padsyah begum, dan gelar ini dapat disandang oleh ibu, istri, saudari, atau putri kaisar.

Dalam beberapa kebudayaan, ibu dari penguasa bukanlah satu-satunya tetua dalam harem istana. Dalam harem Mughal, janda-janda penguasa terdahulu, bibi, dan nenek, dan ibu tiri juga hidup bersama dalam harem. Di masa Joseon, permaisuri raja dapat terus tinggal di harem setelah menjanda dan menjadi ibu suri, baik penguasa berikutnya merupakan keturunannya atau bukan. Saat raja yang baru ini juga meninggal, dia akan menjadi ibu suri tua, kedudukan yang berada di atas ibu suri, dan menjadi pemimpin harem. Selir dari raja terdahulu dapat tetap tinggal di harem istana jika dia menjadi ibu dari raja berikutnya. Dalam adat Utsmaniyah, janda-janda sultan sebelumnya akan meninggalkan istana utama dan tinggal di istana lain, juga dapat menikah kembali jika tidak memiliki putra. Bila seorang sultan meninggal dan ibunya masih hidup, ibunya akan meninggalkan istana lama, seperti yang terjadi dengan Safiye Sultan, ibu Sultan Mehmed III.[12][13] Meski begitu, Kösem Sultan tetap bertahan di istana utama sepeninggal putranya, Sultan Ibrahim mangkat, tetapi kemudian meninggal akibat perselisihan dengan menantunya, Turhan Hatice, yang merupakan ibu suri yang baru.

Istri dan selir

[sunting | sunting sumber]

Dalam sistem harem, biasanya penguasa pria memiliki lebih dari satu pasangan, baik yang berstatus sebagai istri maupun selir, dan salah satu dari mereka dapat menjadi pemimpin harem. Para istri dan selir ini dibedakan berdasarkan tingkatan dan peringkat sesuai dengan aturan masing-masing, tetapi biasanya pasangan penguasa yang merupakan ibu dari putra tertua memiliki kedudukan dan perhatian khusus, meski dia tidak selalu secara resmi menempati tingkatan permaisuri atau pasangan utama penguasa.

Dalam banyak kebudayaan, pernikahan menjadi salah satu alat politik, baik untuk menjalin persahabatan antara dua negara atau bentuk persekutuan antara penguasa dan bangsawan. Meski begitu, dalam beberapa kebudayaan, penguasa menghindari untuk menikah dengan putri dari bangsawan berpengaruh. Sebelum masa Tsar Pyotr yang Agung, para penguasa Rusia selalu menikah dengan wanita dari keluarga bangsawan rendah. Hal ini dilakukan demi menghindari intrik politik antara bangsawan berpengaruh di negara, juga untuk memperkaya garis keturunan.

Keberadaan selir juga menjadi salah satu hal penting dalam harem, tetapi definisi selir ini sangat luas dan berbeda-beda antara tiap kebudayaan. Dalam tradisi Asia Timur, selir lebih mirip 'istri sampingan', berbeda dengan permaisuri yang merupakan 'istri utama'. Lazimnya, para selir raja dan kaisar di Asia Timur juga berasal dari keluarga bangsawan dan menjadi salah satu alat politik sebagaimana pernikahan antara penguasa dengan permaisuri.

Dalam kebudayaan lain, seperti di Timur Tengah dan Asia Selatan, selir identik dengan budak. Pada masa perbudakan masih sangat lazim, budak biasanya merupakan tawanan saat perang. Anak-anak dari keluarga miskin juga kerap dijual untuk dijadikan budak. Meski dilihat dari latar belakang, selir-budak memiliki kedudukan rendah bila dibandingkan dengan istri yang berasal dari keluarga bangsawan, penguasa terkadang lebih memilih selir-budak sebagai ibu bagi para penerusnya. Beberapa alasannya antara lain bahwa istri dari keluarga bangsawan sangat mungkin akan lebih setia dengan keluarga asalnya. Keluarga istri juga dapat mengklaim hak atas takhta melalui pernikahan putri mereka dengan penguasa. Di satu sisi, dalam masyarakat Muslim, anak yang lahir dari seorang laki-laki merdeka dan perempuan budak akan dianggap sebagai manusia merdeka seutuhnya, sehingga latar belakang ibunya tidak dipermasalahkan. Negara Utsmaniyah sejak abad keempat belas selalu lebih cenderung memilih selir-budak daripada istri sebagai pasangan mereka dan sebagian besar ibu dari Sultan Utsmaniyah juga merupakan selir-budak. Meski harem Utsmaniyah berperan besar dalam meneruskan garis keturunan keluarga paling berpengaruh di seluruh negara, atau juga bahkan di seluruh dunia Islam, muslimah dari keluarga terpandang justru tidak diperkenankan menjadi anggotanya, yang otomatis juga tidak dapat menjadi pasangan sultan.

Anak-anak tuan rumah

[sunting | sunting sumber]

Putra dan putri tuan rumah juga merupakan salah satu penghuni harem. Dalam konteks istana, para pangeran dan putri biasanya akan tinggal di harem sampai mereka menikah. Saat putri menjanda, mereka juga dapat kembali ke istana.

Para pelayan

[sunting | sunting sumber]

Para pelayan dalam harem memiliki berbagai macam tugas dan tanggung jawab dan setiap istana dan kebudayaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Meski begitu, ada juga komponen yang sama. Salah satu di antaranya adalah kasim, atau lelaki yang telah dikebiri. Kasim merupakan satu-satunya laki-laki dewasa asing yang dapat keluar masuk harem secara bebas. Dikarenakan keadaan ereka yang dikebiri, para kasim mendapat kepercayaan untuk menjaga para wanita dalam harem. Dalam banyak kebudayaan, ketidakmampuan mereka memiliki keturunan membuat para penguasa memberikan kepercayaan kepada mereka dalam berbagai urusan penting, seperti administrasi negara. Kasim juga kerap menjadi pihak penghubung antara wanita istana dan dunia luar. Dengan keadaan seperti ini, para kasim menjadi salah satu pihak paling berpengaruh di negara.

Gambaran wanita harem

[sunting | sunting sumber]

Di Barat, harem, keterkungkungan, dan akses seksual tanpa batas menjadi sebuah gambaran yang saling terkait satu sama lain. Hal ini memang berangkat dari masyarakat Eropa-Kristen yang memandang budaya Islam dengan pandangan akan kekerasan, dominasi, distorsi, sikap meremehkan, baik yang ditunjukan oleh para pelancong, misionaris, sarjana, maupun serdadu-serdadu penakluk. Konstruksi feminis tentang harem sebagai sebuah lembaga seksual juga tidak jauh berbeda dengan kalangan kolonial dan orientalis, sebagaimana yang diterangkan penulis Aljazair bernama Malek Alloula dalam bukunya, The Colonial Harem, bahwa harem adalah tempat "ketiadaan batasan khayali akan kenikmatan seksual" (1986:49) atau "pesta pora yang penuh hiburan" (1986:62).[14] Penindasan dan rendahnya kedudukan wanita dalam harem juga menjadi salah satu gambaran yang melekat dalam kehidupan harem.

Pada keberjalanannya, para perempuan harem ini memiliki pengaruh sangat besar dalam berbagai aspek sosial dan kenegaraan. Sudah menjadi kelaziman para wanita harem dalam masyarakat Muslim memerintahkan berbagai pembangunan publik dan amal. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan dapat melebarkan pengaruh ke ranah pemerintahan sebagai penguasa dari balik tirai.

Peran politik dan pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Meski secara teori para wanita harem tidak seharusnya terlibat dalam pemerintahan, tetapi keterkaitan mereka dengan penguasa menjadikan peran mereka dalam politik dan pemerintahan menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Pada umumnya, para wanita harem ini dapat masuk ke ranah pemerintahan karena kurangnya pengaruh penguasa dalam ranah tersebut, baik karena usia penguasa yang masih terlalu dini atau memang tidak cakap. Meski begitu, ada juga kasus saat penguasa secara sukarela mengizinkan para wanita harem terlibat dalam perpolitikan.

Di Asia Timur, ibu suri menjadi wanita harem dengan kemungkinan paling besar untuk terlibat dalam pemerintahan. Sebagai ibu dari kaisar atau raja, ibu suri menjadi pihak paling berhak untuk memegang kendali negara bila raja atau kaisar tidak dapat melakukannya sebagaimana yang seharusnya. Meski begitu, tidak jarang pula permaisuri atau para selir turut andil dalam pemerintahan. Beberapa yang termasuk dalam jajaran wanita paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok adalah Cixi dan Wu Zetian. Cixi mulai melebarkan pengaruhnya dalam pemerintahan semenjak hari-hari awal anaknya, Tongzhi, menjadi kaisar. Kegemilangan Wu Zetian dalam ranah pemerintahan sudah dimulai sejak dia menjadi permaisuri dan semakin menguat saat menjadi ibu suri bagi dua putranya, Zhongzong dan Ruizong. Lebih lanjut, bahkan Wu Zetian kemudian naik takhta sebagai maharani (kaisar wanita) dan menjadi satu-satunya wanita yang melakukan hal tersebut sepanjang sejarah Tiongkok.

Surat Hürrem Sultan kepada Sigismund II Augustus yang berisikan ucapan selamat atas kenaikan takhtanya menjadi Raja Polandia pada 1549.

Hal yang mirip juga terjadi di Asia Selatan dan Timur Tengah. Dayfa Khatun memimpin Keamiran Ayyubiyah-Aleppo atas nama cucunya, An Nasir Yusuf yang masih belia.[15] Nur Jahan, Permaisuri Mughal, juga menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di pemerintahan pada masa kekuasaan suaminya, Kaisar Jahangir. Saat sang suami ditahan pemberontak, Nur Jahan mengatur serangan untuk membebaskan Sang Kaisar dan dia sendiri memimpin pasukan dari atas gajah perang.[16]

Di masa Utsmaniyah, peran para wanita dalam pemerintahan berganti-ganti, tetapi pada umumnya, valide sultan (gelar bagi ibu suri Utsmani) selalu aktif dalam pemerintahan. Pada masa yang disebut para sejarawan sebagai era kesultanan wanita, para wanita harem memiliki pengaruh sangat besar dalam pemerintahan dan politik. Lebih lanjut, mereka yang status awalnya sebagai budak-selir tersebut juga saling berkirim surat kepada para pemimpin Eropa, menunjukkan bahwa mereka memiliki kedudukan dalam kancah perpolitikan internasional. Permaisuri Hürrem, istri Sultan Suleyman Al Qanuni, mengirim surat yang berisikan ucapan selamat kepada Raja Sigismund II yang baru saja naik takhta Polandia, juga mengirim beberapa hadiah sebagai tanda persahabatan.[17] Ibu suri Safiye, ibu Sultan Mehmed III, berkorespondensi secara pribadi dengan bertukar surat dan hadiah dengan Ratu Elizabeth Tudor, salah satu penguasa Inggris yang dipandang paling berpengaruh.[18] Hubungan di antara Safiye dan Elizabeth menghadirkan dinamika gender yang menarik pada hubungan politik mereka. Berbeda dari peran tradisional wanita pada umumnya yang menjadi alat untuk aliansi diplomatik, ekonomi, dan militer, Safiya dan Elizabeth menunjukkan kedudukan mereka sebagai pemegang kekuasaan dan bukan hanya objek semata.[19]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Quataert 2005, hlm. 152.
  2. ^ Fay 2012, hlm. 38-39.
  3. ^ Seth 2010, hlm. 161–165.
  4. ^ a b Britannica 2002.
  5. ^  Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Harem". Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). Cambridge University Press. 
  6. ^ Ahmed 1992, hlm. 26-28.
  7. ^ a b Youshaa Patel (2013). "Seclusion". The Oxford Encyclopedia of Islam and Women. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)). 
  8. ^ a b c d e Eleanor Abdella Doumato (2009). "Seclusion". Dalam John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)). 
  9. ^ a b c d A. Shapur Shahbazi (2012). "HAREM i. IN ANCIENT IRAN". Encyclopaedia Iranica. 
  10. ^ "Hai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam bicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu." (Al Ahzab (33): 32-33)
  11. ^ Schi̇ck, İrvi̇n Cemi̇l (2009). "Space: Harem: Overview". Dalam Suad Joseph. Encyclopedia of Women & Islamic Cultures. Brill. doi:10.1163/1872-5309_ewic_EWICCOM_0283. ((Perlu berlangganan (help)). 
  12. ^ Börekçi 2009, hlm. 23.
  13. ^ Michael, Michalis N.; Kappler, Matthias; Gavriel, Eftihios (2009). Archivum Ottomanicum. hlm. 187. 
  14. ^ El Guindi 1999, hlm. 57.
  15. ^ Humphreys, R. S., From Saladin to the Mongols, The Ayyubids of Damascus 1183-1260, SUNY Press 1977 p.229
  16. ^ Nath 1990, hlm. 83
  17. ^ Yermolenko, Galina (April 2005). "Roxolana: "The Greatest Empresse of the East"". DeSales University, Center Valley, Pennsylvania. 
  18. ^ Peirce 1993, hlm. 219.
  19. ^ Andrea 2007, hlm. 13.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]