Pergundikan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah lukisan bangsa Eropa yang menggambarkan seorang Kaisar Tiongkok bersama gundiknya.

Pergundikan adalah suatu praktik di masyarakat yang berupa ikatan hubungan di luar perkawinan antara seorang perempuan (disebut gundik) dan seorang laki-laki dengan alasan tertentu. Alasan yang paling umum biasanya adalah karena perbedaan status sosial, ras, dan agama. Selain itu, pergundikan terjadi karena adanya larangan dalam masyarakat untuk memiliki lebih dari satu istri. Praktik memelihara selir atau harem merupakan salah satu bentuk pergundikan.

Pergundikan merupakan praktik yang umum pada zaman kolonial. Hubungan yang terjadi adalah antara tuan tanah dengan perempuan dari kalangan pribumi atau budak yang menjadi bawahannya. Hal ini dimungkinkan karena kurang tersedianya perempuan dari kalangan sosial yang sederajat di tanah jajahan.

Pada masa Hindia Belanda, pergundikan melahirkan kelas masyarakat yang kemudian disebut dengan istilah kaum Indo pada abad ke-19 dan ke-20.

Tiongkok Kuno[sunting | sunting sumber]

Di dalam Tiongkok kuno, seorang laki-laki yang sukses biasanya memiliki beberapa gundik. Salah satu contoh ialah dokumen-dokumen yang sering mencatat bahwa Kaisar Tiongkok menampung ribuan gundik. Perlakuan terhadap gundik-gundik sangat bervariasi, tergantung oleh status sosial dari lelakinya atau dari sikap sang istri. Posisi seorang gundik biasanya lebih rendah dari istri asli dari lelaki. Seorang gundik dapat memiliki anak sebagai ahli waris, tetapi status sosial dari anak itu biasanya lebih rendah daripada anak "aslinya". Menurut beberapa sumber, gundik kadang bisa terpaksa untuk dikubur hidup-hidup jika tuannya meninggal dunia, untuk "menemaninya di kehidupan selanjutnya".

Meskipun para gundik pada masa Tiongkok kuno mendapat banyak batasan-batasan, sejarah dan literatur banyak mencantum cerita para gundik yang mencapai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Di dalam salah satu buku dari Empat Karya Sastra Termasyhur Tiongkok, Impian Paviliun Merah, ketiga generasi keluarga Jia disokong oleh gundik favorit kaisar.

Gundik-gundik kaisar yang dipelihara di Kota Terlarang biasa dijaga oleh orang kasim untuk meyakinkan bahwa para gundik tidak dihamili oleh orang lain selain kaisar sendiri.

Di Thailand[sunting | sunting sumber]

Di Thailand zaman dahulu, seorang Laki-laki boleh memiliki beberapa wanita (istri dan gundik), yang di mana gundik dan anak-anaknya boleh diperjual belikan. Tetapi istri hanya bisa diceraikan.

Di Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]

Pada abad 19 di masa pendudukan kolonial Belanda, jamak ditemukan praktik pergundikan di kalangan pejabat Hindia Belanda. Latar belakang perempuan yang dijadikan gundik kebanyakan berasal dari keluarga pribumi miskin di desa yang berharap anak perempuanya akan memperoleh kehidupan yang lebih layak dengan menjadi pembantu di rumah-rumah pejabat Hindia Belanda. Bila tuannya berkehendak untuk mengambil pembantunya sebagai gundik, maka perempuan itu akan "naik pangkat" dan mendapat sebutan "Nyai". Meski derajatnya seakan terangkat, predikat "Nyai" itu sendiri mendapat stigma negatif di masyarakat karena ia menjalani samenleven dan dianggap berdosa karena bergaul dengan kafir.[1]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Baay, Reggie (2010). Nyai & pergundikan di Hindia Belanda. S. Hertini Adiwoso. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-979-3731-78-0. OCLC 683139090. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]