Lompat ke isi

Gelembung ekonomi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Desember 2023 02.15 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20231209)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
President George W. Bush menyampaikan pidatonya pada 30 September 2008 mengenai rencana penyelamatan ekonomi. Pada tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis finansial yang diakibatkan oleh gelembung perumahan.

Gelembung ekonomi (economic bubble), gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah "perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya."[1][2] (Dalam kata lain: memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.)

Walaupun beberapa ahli ekonomi menyangkal adanya gelembung ekonomi,[3] penyebab gelembung tetap menjadi tantangan untuk diteliti bagi mereka yang yakin bahwa harga aset sangat sering menyimpang dari nilai intrinsiknya.

Meskipun ada banyak penjelasan tentang penyebab gelembung ekonomi, belakangan ini diketahui bahwa gelembung dapat muncul bahkan tanpa didahului ketidakpastian,[4] spekulasi,[5] atau rasionalitas terbatas.[6] Penjelasan lain mengatakan bahwa gelembung ekonomi mungkin disebabkan oleh proses koordinasi harga[7] atau norma-norma sosial yang baru muncul.[6]

Mendapatkan nilai intrinsik sering sulit dilakukan dalam keadaan nyata di pasar, sehingga gelembung ekonomi sering hanya dapat ditemukan dan diidentifikasi dengan pasti secara retrospektif, yaitu ketika terjadi penurunan harga secara tiba-tiba. Keadaan anjloknya harga disebut keruntuhan (crash) atau "pecahnya gelembung". Fase "ledakan" ekonomi maupun resesi dalam suatu ekonomi gelembung adalah contoh-contoh dari mekanisme umpan balik positif yang membedakannya dari mekanisme umpan balik negatif yang menentukan harga keseimbangan dalam keadaan pasar normal. Harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat berfluktuasi dengan tidak menentu, dan menjadi tidak mungkin untuk memprediksinya hanya berdasarkan penawaran dan permintaan saja.

Ahli ekonomi menggunakan istilah "gelembung" untuk peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi, dan lazimnya diikuti kenyataan yang bertolak belakang dari harapan, dan anjloknya harga-harga.[8] Tulip mania di Belanda (1646) dan gelembung saham South Sea Company (1719-1720) adalah contoh tipikal dari gelembung spekulasi. Terdapat juga kemungkinan adanya hubungan antara inovasi dengan terciptanya krisis Tulip.[9] Di Jepang, penggelembungan harga aset terjadi pada akhir 1980-an.

Gelembung South Sea merupakan salah satu krisis finansial pertama di era modern.

Istilah "gelembung" yang dimaksud sebagai krisis finansial bermula pada sekitar tahun 1711-1720 di perusahaan South Sea, di mana perusahaan ini menginflasikan nilai sahamnya diatas nilai yang wajar.[10] Kejadian ini disebut sebagai Gelombang South Sea. Kejadian ini merupakan salah satu contoh paling awal dari krisis finansial di era modern. Penggunaan istilah gelembung ini digunakan untuk menunjukkan harga komoditas yang terlampau tinggi, tetapi mudah untuk jatuh, seperti gelembung yang hanya mengembang karena udara dan sangat mudah meletus seketika.

Beberapa ahli ekonomi menggunakan istilah gelembung untuk menekankan kejadiannya yang sangat mendadak dan dapat meledak secara tiba-tiba. Namun, ada beberapa teori lain yang berpendapat bahwa gelembung ekonomi sebenarnya tidak tiba-tiba runtuh, melainkan menjalani beberapa fase seperti gelembung yang mengembang lalu mengempis sesuai dengan kondisinya.[11]

Sampai saat ini, belum ada konsesus atas penjelasan yang menjelaskan gelembung ekonomi secara utuh.[12]

Kemungkinan penyebab

[sunting | sunting sumber]

Sampai saat ini, belum ada teori yang diterima secara luas untuk menjelaskan kemunculannya.[13] Salah satu pendapat utama atas penyebab gelembung ekonomi adalah kebijakan keuangan yang lemah dan likuiditas moneter yang berlebihan dalam sistem keuangan.[14] Ketika suku bunga turun, investor cenderung menghindari memasukkan modalnya ke dalam rekening tabungan. Selain itu, hutang yang berlebihan dapat menjadi faktor kunci yang menyebabkan gelembung keuangan.[15]

Hal yang membingungkan bagi sebagian orang adalah fakta bahwa gelembung terjadi bahkan di pasar eksperimental yang sangat dapat diprediksi, di mana tidak terdapat ketidakpastian mengani perilaku pasar.[16] Namun demikian, gelembung telah diamati berulang kali di pasar yang sifatnya eksperimental, bahkan dengan pelaku seperti mahasiswa bisnis, manajer, dan pedagang profesional yang memiliki kemampuan untuk menghitung nilai intrinsik dari suatu aset.[17]

Gelembung ekonomi merupakan kenaikan penilaian suatu aset jauh diatas harga aslinya. Grafik ini menunjukkan kenaikan harga nikel pada Perang Vietnam yang merupakan contoh dari gelembung ekonomi, karena kenaikan nilainya melampaui nilai asli produksinya.

Tidak ada kesepakatan yang jelas tentang apa yang menyebabkan gelembung.[18] Namun sejauh ini bukti menunjukkan bahwa gelembung tidak disebabkan oleh rasionalitas terbatas atau irasionalitas orang lain.[19] Selain itu, bukti lainnya menunjukkan bahwa gelembung muncul bahkan ketika pelaku pasar mampu menentukan harga aset dengan benar. Bukti yang lain menunjukkan bahwa spekulasi bukan merupakan suatu faktor yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya gelembung.[20]

Teori-teori yang lebih baru tentang pembentukan gelembung aset menunjukkan bahwa mereka kemungkinan merupakan peristiwa yang didorong secara sosiologis, sehingga teori yang hanya melibatkan faktor-faktor fundamental atau potongan-potongan perilaku manusia tidaklah dapat menjelaskan kejadian gelembung secara lengkap. Misalnya, peneliti kualitatif Preston Teeter berpendapat bahwa spekulasi pasar didorong oleh norma serta budaya yang tertanam dalam suatu masyarakat dan didukung oleh institusi yang berlaku saat itu.[21] Preston menyebut bahwa pembentukan gelembung disebabkan oleh beberapa faktor seperti kredit mudah, peraturan longgar, dan investasi internasional.[21]

Likuiditas

[sunting | sunting sumber]

Salah satu kemungkinan penyebab gelembung adalah likuiditas moneter yang berlebihan dalam sistem keuangan. Likuiditas yang belebihan dapat menyebabkan syarat untuk mendapatkan pinjaman menjadi longgar sehingga menyebabkan banyaknya spekulasi jangka pendek yang membuat pasar menjadi rentan terhadap inflasi harga aset yang bergejolak.[22] Axel A. Weber, mantan presiden Deutsche Bundesbank, berpendapat bahwa "Sejarah membuktikan bahwa likuiditas yang terlalu besar di pasar keuangan global yang diikuti dengan tingkat suku bunga yang sangat rendah mendorong pembentukan gelembung finansial." [23]

Menurut penjelasan ini, likuiditas moneter yang berlebihan (kredit yang mudah, pendapatan bersih yang besar, dan hal-hal lainnya) berpotensi terjadi ketika bank menerapkan kebijakan moneter ekspansif (contohnya menurunkan suku bunga dan memberi suntikan dana yang sangat besar kepada sistem ekonomi nasional).[24] Salah satu contoh dari kejadian seperti ini adalah krisis zona euro yang disebabkan oleh kecenderungan membiayai impor dengan hutang.[25]

Teknis tertentu dari penjelasan ini mungkin berbeda tergantung dari pandangan filsafat ekonomi seseorang. Mereka yang percaya bahwa jumlah uang yang ada pada suatu sistem sepenuhnya dikontrol oleh bank sentral tanpa ada pengaruh pelaku pasar (eksogen) dapat menyalahkan kejadian gelembung ekonomi yang disebabkan oleh likuiditas yang belebihan tersebut kepada 'kebijakan moneter ekspansif' oleh bank sentral dan (jika ada) badan atau institusi yang mengatur.[26] Orang lain yang percaya bahwa jumlah uang beredar merupakan hasil interaksi dari pelbagai pelaku pasar (endogen) dapat menyalahkan likuiditas itu kepada perilaku para pelaku pasar itu sendiri.[27] Perilaku-perilaku ini contohnya rasionalisme terbatas, spekulatif, dan usaha untuk membuat keuntungan dalam waktu yang singkat dengan mengorbankan konsekuensi negatif jangka panjang.[27] Mereka memandang negara sebagai faktor pasif atau reaktif.

Sederhananya, gelembung ekonomi terjadi ketika terlalu banyak uang namun terlalu sedikit aset. Hal ini menyebabkan peningkatan suatu nilai aset secara berlebihan di luar harga aslinya ke tingkat yang sangat tinggi dan tidak berkelanjutan.[28] Setelah gelembung 'pecah', nilai aset tersebut akan runtuh sehingga menyebabkan runtuhnya skema investasi yang tidak berkelanjutan (terutama investasi spekulatif dan/atau Ponzi) yang mengarah pada krisis kepercayaan konsumen (dan investor) yang dapat mengakibatkan kepanikan finansial.[29] Jika ada otoritas moneter seperti bank sentral, mereka mungkin dapat mengambil langkah-langkah untuk menyerap likuiditas dalam sistem keuangan untuk mencegah jatuhnya mata uang.[30] Langkah ini mungkin dapat berupa kebijakan seperti memberi dukungan dana kepada sistem keuangan untuk memitigasi hilangnya kapital dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.[31]

Selain itu, menaikkan suku bunga merupakan salah satu kebijakan yang dapat diambil yang dapat menyerap likuiditas. Kenaikan suku bunga cenderung membuat investor menjadi lebih hati-hati untuk menghindari risiko dan dengan demikian menghindari spekulasi karena biaya pinjaman mungkin menjadi terlalu mahal sehingga mendorong mereka lebih banyak menabung.[32] Kebijakan lainnya mungkin berupa tindakan pencegahan yang dapat diambil dalam periode pertumbuhan ekonomi yang kuat, seperti meningkatkan cadangan modal, menerapkan peraturan yang memeriksa dan/atau mencegah proses yang mengarah pada ekspansi dan pemanfaatan utang yang berlebihan dan kebijakan lainnya.[33]

Beberapa ahli yang menekankan pentingnya kredit dalam perekonomian sering menyebut gelembung ekonomi sebagai "gelembung kredit". Mereka mengidentifikasi gelembung dari ukuran seperti rasio utang terhadap PDB.[34] Hal ini menyebabkan runtuhnya setiap gelembung ekonomi dapat menghasilkan kontraksi ekonomi yang disebut (jika kurang parah) resesi atau (jika lebih parah) depresi.[35] Kebijakan ekonomi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kontraksi semacam itu adalah topik ekonomi politik yang terus diperdebatkan.

Faktor sosial dan psikologi

[sunting | sunting sumber]

Teori kebodohan yang lebih besar

[sunting | sunting sumber]
Contoh ekstrapolasi, walaupun data hanya memperlihatkan tren dari tahun pertama sampai tahun kelima, beberapa investor mungkin akan menggunakan data tersebut untuk memperkirakan apa yang terjadi pada tahun ke tujuh dan mengabaikan berbagai faktor lainnya yang menjadi valuasi nyata dari suatu aset. Hal ini dapat mengakibatkan gelembung aset.

Teori kebodohan yang lebih besar menyatakan bahwa gelembung didorong oleh perilaku para pelaku pasar yang selalu optimistis (orang bodoh) dalam membeli aset yang dinilai terlalu tinggi untuk menjualnya kepada spekulan lain (orang bodoh yang lebih besar) dengan harga yang jauh lebih tinggi.[36] Menurut penjelasan ini, gelembung akan terus meningkat selama orang bodoh dapat menemukan orang bodoh yang lebih besar yang mau membeli aset nilainya dengan harga yang terlalu tinggi. Gelembung akan berakhir hanya ketika si bodoh yang lebih besar menjadi si bodoh terbesar yang membayar harga tertinggi untuk aset yang dinilai terlalu tinggi tersebut sehingga dia tidak bisa lagi menemukan pembeli lain yang mau membayarnya dengan harga yang lebih tinggi.[37] Teori ini populer di kalangan awam tetapi belum banyak dikonfirmasi oleh penelitian empiris.[38] Penelitian di China menunjukkan bahwa teori ini mungkin saja menjadi alasan dari gelembung yang pernah terjadi disana.[38]

Ekstrapolasi

[sunting | sunting sumber]

Ekstrapolasi adalah memproyeksikan data historis ke masa depan dengan asumsi yang sama. Misalnya, jika harga suatu aset telah naik pada tingkat tertentu di masa lalu, ekstrapolasi akan membuat orang menganggap bahwa harga aset tersebut juga akan terus naik pada tingkat itu di masa yang akan datang.[39] Ekstrapolasi seperti ini membuat investor cenderung mengharapkan keuntungan luar biasa yang terjadi di masa lalu atas investasi aset tertentu di masa depan.[40] Hal ini menyebabkan mereka membeli aset tersebut, yang mungkin lebih berisiko, dengan harga yang lebih tinggi daripada harga sebenarnya untuk mencoba menangkap tingkat keuntungan yang sama seperti di masa lalu.

Penawaran berlebihan ini pada titik tertentu akan menghasilkan tingkat keuntungan yang tidak ekonomis bagi investor. Pada akhirnya, Investor merasa bahwa mereka tidak lagi mendapat kompensasi yang cukup untuk memegang aset berisiko tersebut. Pada titik inilah baru kemudian deflasi harga aset akan dimulai.

Gelembung secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian karena pelaku ekonomi mengubah perilaku mereka sebagai respons terhadap perubahan sinyal harga.[41] Misalnya, ketika harga saham perusahaan naik, seseorang mungkin merespons dengan meningkatkan pengeluaran investasi modal fisiknya dengan jumlah lebih tinggi daripada yang seharusnya.[42] Demikian juga ketika harga rumah naik, pengembang dapat merespons dengan meningkatkan stok perumahan lebih dari yang dapat didukung pasar. Sehingga mereka tidak dapat menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang.[42]

Seorang pria sedang tertidur diatas trotoar disaat Depresi Besar di Amerika Serikat yang diakibatkan oleh gelembung ekonomi.

Gelembung juga dapat menyebabkan misalokasi sumber daya yang mengarah pada inefisiensi dalam perekonomian. Misalnya, "gelembung dot-com" tahun 1990-an menyebabkan perusahaan di bidang teknologi mengeluarkan investasi yang terlalu banyak dibandingkan dengan bidang perekonomian lainnya. Beberapa dari investasi ini mungkin tidak pernah menghasilkan output yang sebanding dengan biayanya.[43] Akibatnya, beberapa industri mungkin akan runtuh, namun secara keseluruhan, misalokasi ini tampaknya tidak terlalu merugikan perekonomian karena sektor dot-com terlalu kecil untuk memiliki pengaruh besar pada perekonomian secara keseluruhan. Namun, Jepang bisa dibilang dapat menjadi contoh di mana masalah misalokasi dapat merusak ekonomi secara keseluruhan yang berkontribusi pada stagnasi ekonomi yang terus-menerus setelah gelembung pecah.[44] Kerusakan ekonomi di Jepang yang diakibatkan gelembung ini dapat dirasakan sampai sekarang.[45]

Dari sudut pandang pembuat kebijakan, gelembung dapat ditoleransi selama kejadian tersebut dapat meningkatkan lapangan pekerjaan. Keruntuhan beberapa industri kecil tidak perlu menjadi kekhawatiran berarti. Gelembut dot-com misalnya memang menyebabkan beberapa perusahaan runtuh, tetapi beberapa perusahaan lainnya berkonsolidasi dan menginvestasikan kembali uangnya di bidang infrastruktur.[46] Oleh karena itu, dampak dari rusaknya gelembung akan sangat bergantung pada seberapa merusaknya kejadian tersebut terhadap ekonomi secara keseluruhan. Jika ekonomi dapat menghindari gelembung yang pecah dan membuatnya terus berkembang dengan lancar, maka pembuat kebijakan tidak akan memprioritaskan pencegahan terbentuknya gelembung. Sebagai alternatif, jika gelembung yang meledak dapat menyebabkan resesi atau krisis keuangan, maka pembuat kebijakan memiliki insentif yang kuat untuk mencegah terbentuknya gelembung.[41]

Gelembung dapat menyebabkan kesulitan dalam sistem keuangan jika menyebabkan perusahaan besar atau sejumlah perusahaan mengalami kebangkrutan. Contohnya, jika ada perusahaan yang tidak dapat menghormati kewajibannya ke perusahaan lain, masalah bisa meluas ke perusahaan lain yang berurusan dengannya, seperti yang terjadi ketika suatu perusahaan menjadi bangkrut dan tidak bisa membayar hutangnya ke perusahaan keuangan. Jika masalahnya menjadi cukup serius dan meluas, hal itu dapat mencegah kelancaran fungsi intermediasi keuangan, menyebabkan perusahaan non-keuangan kesulitan dalam membiayai operasi mereka sendiri, ini akan menyebabkan rusaknya ekonomi secara umum.[47] Krisis di sektor perbankan inilah yang membuat Depresi Besar berlangsung lama dan dalam.[48] Sejak itu, ketika terdapat krisis finansial yang mengancam, bank sentral dapat turun tangan untuk mencegah masalah keuangan menjadi lebih destruktif (Lender of the last resort).[49]

Jenis-jenis gelembung

[sunting | sunting sumber]

Jorda, Schularick, dan Taylor membagi gelembung dengan dua cara yang dibagi menjadi empat kelompok.[50] Cara luas pertama untuk mengkategorikan gelembung adalah berdasarkan jenis asetnya. Gelembung mungkin terjadi dalam ekuitas, seperti gelembung saham berteknologi tinggi di Amerika Serikat selama akhir 1990-an, atau bisa terjadi di sektor perumahan, yang tentu saja meruntuhkan ekonomi AS dan kemudian ekonomi terkemuka lainnya di seluruh dunia pada tahun 2008. Cara kedua untuk mengkategorikan gelembung adalah dengan melihat apakah gelembung itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kredit yang besar. Dengan kata lain, apakah gelembung dibiayai dengan utang? Sehingga pada akhirnya terdapat empat kelompok gelembung, yaitu gelembung ekuitas tanpa kredit, gelembung ekuitas yang didorong oleh kredit, gelembung ekuitas, dan gelembung perumahan.[51]

Tahap-tahap gelembung

[sunting | sunting sumber]

Ekonom Hyman P. Minsky merupakan salah satu ekonom yang menjelaskan ketidakstabilan finansial dan interaksinya terhadap ekonomi. Bukunya yang berjudul Stabilizing an Unstable Economy (1986) merupakan salah satu pionir dari bidang ini.[52]

Gelembung dot com merupakan gelembung yang terjadi akibat maraknya spekulasi di era awal teknologi. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan mengalami over valuasi sebelum akhirnya runtuh.

Minsky mengidentifikasi lima tahapan terjadinya gelembung.[53] Walaupun terdapat beberapa pendapat yang berbeda, pola dari gelembung tetap sama. Tahapan-tahapan tersebut adalah:[52]

  1. Displacement: Displacement terjadi ketika investor berpindah (displace) ke paradigma baru, seperti teknologi baru yang inovatif atau suku bunga yang rendah. Contoh klasik displacement adalah penurunan suku bunga dana federal dari 6,5% pada Mei 2000 menjadi 1% pada Juni 2003. Selama periode tiga tahun ini, suku bunga tetap 30 tahun berubah menjadi 5,21%, yang merupakan suku bunga terendah sepanjang sejarah.
  2. Boom: Sebagai akibat dari semakin maraknya perpindahan, awalnya terdapat peningkatan harga secara perlahan, tetapi kemudian terdapat kenaikan harga semakin cepat karena semakin banyak orang yang mulai memasuki pasar. Selama fase ini, aset yang dimaksud mendapat liputan media secara luas. Banyak orang yang merasa takut ketinggalan kesempatan sekali seumur hidup sehingga memicu lebih banyak spekulasi
  3. Euforia: Selama fase ini, harga suatu aset akhirnya mencapai tingkat ekstrim. Misalnya, pada puncak gelembung real estat Jepang pada tahun 1989, tanah di Tokyo terjual sebanyak $139.000 per kaki persegi (0,3 meter persegi), atau lebih dari 350 kali lipatnya nilai properti di Manhattan, Amerika Serikat. Setelah gelembung pecah, real estat kehilangan sekitar 80% dari nilainya, sementara harga saham turun 70%. Demikian pula, pada puncak gelembung Internet pada Maret 2000, nilai gabungan semua saham teknologi di Nasdaq lebih tinggi daripada PDB sebagian besar negara.
  4. Pengambilan Untung: Pada saat ini, beberapa orang yang memerhatikan tanda-tanda peringatan umumnya menjual asetnya dan mengambil keuntungan sebelum gelembung runtuh. Tetapi memperkirakan waktu yang tepat ketika gelembung akan runtuh bisa menjadi sulit dan sangat berbahaya bagi keuangan seseorang, Hal ini terjadi karena hanya diperlukan peristiwa yang relatif kecil untuk dapat memecahkan gelembung, tetapi setelah tertusuk, gelembung tidak dapat "mengembang" lagi.
  5. Panik: Pada tahap panik, harga aset berbalik arah dan turun secepat mereka naik. Investor dan spekulan, yang dihadapkan pada margin call dan penurunan nilai kepemilikan mereka, sekarang ingin melikuidasi aset mereka dengan harga berapa pun. Karena pasokan melebihi permintaan, harga aset merosot tajam. Salah satu contoh paling nyata dari kepanikan global di pasar keuangan terjadi pada Oktober 2008. Beberapa minggu setelah Lehman Brothers menyatakan kebangkrutan dan Fannie Mae, Freddie Mac dan AIG hampir runtuh. S&P 500 anjlok hampir 17% bulan itu, kinerja bulanan terburuk kesembilan. Dalam satu bulan itu, pasar ekuitas global kehilangan $9,3 triliun yang merupakan sejumlah 22% dari nilai gabungan pasar mereka.

Ciri-ciri aset gelembung

[sunting | sunting sumber]

Gelembung ekonomi atau aset sering ditandai dengan satu atau lebih hal berikut:

  • Perubahan yang tidak biasa dalam ukuran tunggal, atau dalam konteks hubungan antara ukuran (misalnya, rasio) relatif terhadap tingkat historisnya. Misalnya, dalam gelembung perumahan tahun 2000-an, harga perumahan sangat tinggi dibandingkan dengan pendapatan.[54] Untuk saham, rasio harga terhadap pendapatan memberikan ukuran harga saham relatif terhadap pendapatan perusahaan; rasio yang lebih tinggi menunjukkan investor membayar lebih untuk setiap dolar pendapatan
  • Peningkatan penggunaan utang (leverage) untuk membeli aset, seperti membeli saham dengan margin atau rumah dengan uang muka yang lebih rendah.[55]

Contoh gelembung ekonomi

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ King, Ronald R. (1993). "The Robustness of Bubbles and Crashes in Experimental Stock Markets". Dalam R. H. Day and P. Chen. Nonlinear Dynamics and Evolutionary Economics. New York: Oxford University Press. ISBN 0195078594. 
  2. ^ Lahart, Justin (2008-05-16). "Bernanke's Bubble Laboratory, Princeton Protégés of Fed Chief Study the Economics of Manias". The Wall Street Journal. hlm. A1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-03. 
  3. ^ Garber, Peter (2001). Famous First Bubbles: The Fundamentals of Early Manias. Cambridge, MA: MIT Press. ISBN 0262571536. 
  4. ^ Smith, Vernon L. (1988). "Bubbles, Crashes, and Endogenous Expectations in Experimental Spot Asset Markets". Econometrica. 56: 1119–1151. 
  5. ^ Lei, Vivian (2001). "Nonspeculative Bubbles in Experimental Asset Markets: Lack of Common Knowledge of Rationality Vs. Actual Irrationality". Econometrica. 69: 831. 
  6. ^ a b Levine, Sheen S. (2007-06-27). "The Institutional Nature of Price Bubbles".
  7. ^ Hommes, Cars (2005). "Coordination of Expectations in Asset Pricing Experiments". Review of Financial Studies. 18: 955–980. 
  8. ^ Bergsten, C. Fred (1993). Reconcilable differences?: United States-Japan economic conflict. Peterson Institute. hlm. 46. ISBN 0-8813-2129-X. 
  9. ^ Johannessen, Jon-Arild (2016-11-14). Innovations Lead to Economic Crises: Explaining the Bubble Economy (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 2. ISBN 978-3-319-41793-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  10. ^ Castelow, Ellen. "The South Sea Bubble of 1720". Historic UK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-04. Diakses tanggal 2021-11-28. 
  11. ^ John Shiller, Robert (19 Jul 2013). "Do all economic bubbles burst?". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-08. Diakses tanggal 2021-11-28. One problem with the word bubble is that it creates a mental picture of an expanding soap bubble, which is destined to pop suddenly and irrevocably. But speculative bubbles are not so easily ended; indeed, they may deflate somewhat, as the story changes, and then reflate. 
  12. ^ Joebges, Heike; Dullien, Sebastian; Márquez-Velázquez, Alejandro (2015). "What causes housing bubbles?" (PDF). Competence Centre on Money, Trade, Finance and Development. 1: 24. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-11-29. there is no consensus in the literature concerning the definition of a housing bubble 
  13. ^ Girdzijauskas, Stasys; Štreimikienė, Dalia; Čepinskis, Jonas; Moskaliova, Vera; Jurkonytė, Edita; Mackevičius, Ramūnas (2009-06-30). "Formation of economic bubbles: Causes and possible preventions". Technological and Economic Development of Economy (dalam bahasa Inggris). 15 (2): 267. doi:10.3846/1392-8619.2009.15.267-280. ISSN 2029-4921. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-09. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  14. ^ Girdzijauskas, Stasys; Štreimikienė, Dalia; Čepinskis, Jonas; Moskaliova, Vera; Jurkonytė, Edita; Mackevičius, Ramūnas (2009-06-30). "Formation of economic bubbles: Causes and possible preventions". Technological and Economic Development of Economy (dalam bahasa Inggris). 15 (2): 269. doi:10.3846/1392-8619.2009.15.267-280. ISSN 2029-4921. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2021-12-04. The main idea behind the creation of economic bubbles is a weak financial policy and excessive monetary liquidity in the financial system 
  15. ^ Baily, Martin Neil (2008). The Origins of the Financial Crisis (PDF) (dalam bahasa Inggris). Washington: Initiative on Business and Public Policy at Brookings. hlm. 8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-15. Diakses tanggal 2021-11-29. ...over-leveraged banks found themselves exposed to falling asset prices with very little capital... 
  16. ^ Smith, Vernon L.; Suchanek, Gerry L.; Williams, Arlington W. (1988). "Bubbles, crashes, and endogenous expectations in experimental spot asset markets". Econometrica. 56 (5): 1149. doi:10.2307/1911361. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-13. Diakses tanggal 2021-11-29. ...as behavioral uncertainty decreases. 
  17. ^ Noussair, Charles N. (2017). "The Discovery of Bubbles and Crashes in Experimental Asset Markets and the Contribution of Vernon Smith to Experimental Finance". Southern Economic Journal. 83 (3): 644. ISSN 0038-4038. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-11-29. ..the results have turned to be highly replicable...the dividend process is common information to participants, so there is an uambigous fundamental value" 
  18. ^ Case, Karl E; Shiller, Robert J (2003). "Is There a Bubble in the Housing Market?" (PDF). Brookings Papers on Economic Activity. 2003 (2): 301. doi:10.1353/eca.2004.0004. ISSN 1533-4465. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-07-24. Diakses tanggal 2021-12-04. … There is very little agreement about housing bubbles. 
  19. ^ Levine, Sheen S.; Zajac, Edward J. (2007-06-20). "The Institutional Nature of Price Bubbles". SSRN Electronic Journal (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY: 2. doi:10.2139/ssrn.960178. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-08. Diakses tanggal 2021-11-29. If bubbles are indeed caused by bounded rationality...we would expect that average asset prices will be farther from intrinsic values ex ante and move closer to intrinsic values ex post 
  20. ^ Lei, Vivian; Noussair, Charles; Plott, Charles (2001). "Nonspeculative Bubbles in Experimental Asset Markets: Lack of Common Knowledge of Rationality vs. Actual Irrationality" (PDF). Econometrica. 69 (4): 834. doi:10.1111/1468-0262.00222. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-09-26. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  21. ^ a b Teeter, Preston; Sandberg, Jörgen (2017-02-01). "Cracking the enigma of asset bubbles with narratives". Strategic Organization (dalam bahasa Inggris). 15 (1): Abstrak. doi:10.1177/1476127016629880. ISSN 1476-1270. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-13. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  22. ^ Hendricks, Vincent F. "From the art world to fashion to Twitter, we're all living in bubbles". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-11-28. 
  23. ^ Porras, E. (2016-06-29). Bubbles and Contagion in Financial Markets, Volume 1: An Integrative View (dalam bahasa Inggris). London: Palgrave Macmillan. hlm. 33. ISBN 978-1-137-35876-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  24. ^ Liu, Xinhua; Wray, L. Randall (2010-10-01). "Excessive Liquidity and Bank Lending in China". International Journal of Political Economy. 39 (3): Abstrak. doi:10.2753/IJP0891-1916390303. ISSN 0891-1916. The conventional view is that such a bubble is highly dangerous and is largely caused by great sums of "excess liquidity," which, in turn, induced banks to lend funds. 
  25. ^ Ayres, Robert U. (2014-06-06). The Bubble Economy: Is Sustainable Growth Possible? (dalam bahasa Inggris). MIT Press. hlm. 204–207. ISBN 978-0-262-32394-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  26. ^ Curran, Enda (25 Januari 2021). "Pandemic-Era Central Banking Is Creating Bubbles Everywhere". Bloomberg. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-10. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  27. ^ a b Brzezicka, Justyna; Wisniewski, Radosław (2014-03-01). "Price Bubble In The Real Estate Market - Behavioral Aspects". Real Estate Management and Valuation (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 87. doi:10.2478/remav-2014-0010. ISSN 1733-2478. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-28. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  28. ^ Krugman, Paul (2015-08-24). "Opinion | A Moveable Glut". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 2021-12-03. too much money is chasing too few investment opportunities. 
  29. ^ Inquiry Comission, Financial Crisis (Januari 2011). The Financial Crisis Inquiry Report (PDF). Washington: U.S Government Printing Office. hlm. xxii. ISBN 978-0-16-087983-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-12-16. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  30. ^ Smets, Frank (2018-08-24). "Financial Stability and Monetary Policy: How Closely Interlinked?". 35th issue (June 2014) of the International Journal of Central Banking (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 265. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-30. Diakses tanggal 2021-11-29. In a crisis situation, liquidity policies by the central bank may avoid a collapse of the banking sector 
  31. ^ Motohashi, Atsushi (2020-12). "Effectiveness of Bailout Policies for Asset Bubbles in a Small Open Economy". KIER Working Papers (dalam bahasa Inggris) (1048): Abstrak. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2021-11-29. When bubbles burst, the bailout policy mitigates capital losses caused by the burst and accelerates economic growth and workers’ wages compared to the no-bailout case 
  32. ^ Folger, Jean (27 April 2021). "What Is the Relationship Between Inflation and Interest Rates?". Investopedia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-21. Diakses tanggal 2021-11-28. 
  33. ^ Biagio, Bossone (2012). Strengthening Financial Systems in Developing Countries : The Case for Incentives-Based Financial Sector Reforms. Washington, DC: World Bank. hlm. 17–22. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  34. ^ Roxburgh, Charles; Lund, Susan; Amar, Eric; Atkins, Charles; Richard, Dobbs (1 Januari 2020). Debt and Deleveraging: The Great Global Credit Bubble and Its Economic Consequences (PDF) (dalam bahasa Inggris). London: McKinsey Global Institute. hlm. 14. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-15. Diakses tanggal 2021-11-29. ...the growth and nature of leverage may serve as a good proxy and could inform monetary policy 
  35. ^ Idris, Muhammad (2020-09-22). Idris, Muhammad, ed. "Mengenal Apa Itu Resesi dan Bedanya dengan Depresi Ekonomi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  36. ^ Bogan, Vicki (2021-03-22). "The Greater Fool Theory: What Is It?". Hartford Funds (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-28. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  37. ^ Black, Ken (8 Februari 2014). "What is the Greater Fool Theory? (with pictures)". Smart Capital Mind (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-08. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  38. ^ a b Zou, Xuan (2018). "Can the Greater Fool Theory Explain Bubbles? Evidence from China" (PDF). SSRN Electronic Journal (4): 26. doi:10.2139/ssrn.3240818. ISSN 1556-5068. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-01-19. Diakses tanggal 2021-12-04. 
  39. ^ Porras, E. (2016-06-29). Bubbles and Contagion in Financial Markets, Volume 1: An Integrative View (dalam bahasa Inggris). London: Palgrave Macmillan. hlm. 163. ISBN 978-1-137-35876-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  40. ^ Barberis, Nicholas; Greenwood, Robin; Jin, Lawrence; Shleifer, Andrei (2018-08-01). "Extrapolation and bubbles" (PDF). Journal of Financial Economics (dalam bahasa Inggris). 129 (2): Abstrak. doi:10.1016/j.jfineco.2018.04.007. ISSN 0304-405X. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  41. ^ a b Labonte, Mark (25 September 2007). "Asset Bubbles: Economic Effects and Policy Options for the Federal Reserve". www.everycrsreport.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  42. ^ a b Gilchrist, Simon; Himmelberg, Charles P.; Huberman, Gur (2005-05-01). "Do stock price bubbles influence corporate investment?" (PDF). Journal of Monetary Economics. SNB (dalam bahasa Inggris). 52 (4): 821. doi:10.1016/j.jmoneco.2005.03.003. ISSN 0304-3932. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-12-04. increases in dispersion cause increases in new equity issuance 
  43. ^ Kraay, Aart; Ventura, Jaume (2007-11-01). 11 The Dot-Com Bubble, the Bush Deficits, and the U.S. Current Account (PDF) (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. hlm. 4. doi:10.7208/9780226107288-013/html. ISBN 978-0-226-10728-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-11. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  44. ^ "Bubble burst". www.grips.ac.jp. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2021-12-03. 
  45. ^ Mansharamani, Vikram (2019-05-07). Boombustology: Spotting Financial Bubbles Before They Burst (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. hlm. 165. ISBN 978-1-119-57560-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  46. ^ Mitic, I. (25 Desember 2019). "Biggest Economic Bubbles in History (2020 Infographic)". Fortunly (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  47. ^ Hunter, William (2003). Asset Price Bubbles (PDF). Cambridge: MIT Press. hlm. 91. ISBN 0-262-08314-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-11-29. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  48. ^ Duignan, Brian. "Causes of the Great Depression | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  49. ^ Adam, Hayes. "What It Means to Be a Lender of Last Resort". Investopedia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  50. ^ Jordà, Òscar; Schularick, Moritz; Taylor, Alan M. (2015-08). "Leveraged Bubbles". Journal of Monetary Economics. 76: 1. doi:10.3386/w21486. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  51. ^ Bunker, Nick. "The 4 kinds of financial bubble". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-01. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  52. ^ a b Dubé, Maxime (2021-07-12). "5 Stages of a Financial Bubble, From Birth to Bust". Claret (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 2021-12-03. 
  53. ^ Richau, Lukas; Follert, Florian; Frenger, Monika; Emrich, Eike (2021-08-01). "The sky is the limit?! Evaluating the existence of a speculative bubble in European football". Journal of Business Economics (dalam bahasa Inggris). 91 (6): 768. doi:10.1007/s11573-020-01015-8. ISSN 1861-8928. PMC 7584485alt=Dapat diakses gratis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2021-11-29. ....The Kindleberger–Minsky model takes a conceptual approach by separating the rise and burst of a speculative bubble into five phases, which characterize the typical pattern of such events... 
  54. ^ Tekin, Eylul (2020-07-21). "How Home Prices and Household Incomes Changed Since 1960 | Clever Real Estate". listwithclever.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-05. Diakses tanggal 2021-12-04. The price-to-income ratio reached its peak around the 2008 financial crisis with 4.6 
  55. ^ Jordà, Òscar; Schularick, Moritz; Taylor, Alan M. (2015-09-01). "Leveraged bubbles". VoxEU.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-24. Diakses tanggal 2021-11-29. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]