Lompat ke isi

Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 1 Februari 2024 15.47 oleh KhalilullahAlFaath (bicara | kontrib) (Perbaikan terjemahan - Pengenalan)
Muhammad bin Tughj al-Ikhshid
Gubernur pewaris Mesir, Suriah dan Hejaz
Kegubernuran26 Agustus 935 – 24 Juni 946
PenerusUnujur
Kelahiran8 Februari 882
Baghdad
Kematian24 Juni 946(946-06-24) (umur 64)
Damaskus
DinastiDinasti Ikhsyidiyah
AyahTughj bin Juff

Ibnu Tughj, bernama lengkap Abū Bakar Muḥammad bin Ṭughj bin Juff bin Yiltakīn bin Fūrān bin Fūrī bin Khāqān (8 Februari 882 – 24 Juni 946M), yang lebih dikenal dengan gelarnya al-Ikhsyīd (bahasa Arab: الإخشيد) setelah tahun 939 M, adalah seorang komandan dan gubernur Abbasiyyah yang menjadi penguasa otonomi Mesir dan sebagian Suriah (atau Syam) dari tahun 935 M sampai kematiannya pada 946 M. Ia adalah pendiri dari Dinasti Ikhsyidiyah, yang berkuasa di wilayah tersebut sampai kemudian ditaklukkan oleh Fatimiyyah pada tahun 969 M.

sebagai putra dari Tughj bin Juff, seorang jenderal berdarah Turkik yang mengabdikan diri, baik kepada Abbasiyah maupun penguasa-penguasa otonom Thuluniyah di Mesir dan Suriah, Muhammad bin Tughj lahir di Baghdad, tetapi dibesarkan di Suriah dan mendapatkan pengalaman administratif dan militer pertamanya di sisi ayahnya. Awal karirnya penuh gejolak: bersama ayahnya, ia dipenjarakan oleh pihak Abbasiyah pada tahun 905, lalu dibebaskan pada tahun 906. Ia kemudian berpartisipasi dalam pembunuhan wazir al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i pada tahun 908, dan melarikan diri ke Irak untuk mengabdi kepada gubernur Mesir, Takin al-Khazari. Hingga akhirnya, ia memperoleh perlindungan dari beberapa pembesar Abbasiyyah yang berpengaruh, terutama panglima besar yang berkuasa, Mu'nis al-Muzaffar. Hubungan ini membuatnya diangkat menjadi gubernur pertama Palestina, lalu Damaskus. Pada tahun 933 M, ia juga diangkat menjadi gubernur Mesir, tetapi jabatan tersebut dicabut setelah kematian Mu'nis, dan ia pun mesti berjuang, bahkan untuk mempertahankan jabatan gubernurnya di Damaskus. Pada tahun 935, ia diangkat kembali menjadi gubernur di Mesir yang ia dengan cepat memukul mundur invasi Fatimiyyah dan menstabilkan negara yang sedang bergejolak saat itu. Masa pemerintahannya menandai periode perdamaian dalam negeri yang jarang terjadi, stabilitas, dan pemerintahan yang berjalan dengan baik dalam sejarah Mesir Islam awal. Pada tahun 938, Khalifah al-Radi mengabulkan permintaannya untuk mendapatkan gelar al-Ikhsyid, yang dipegang oleh para penguasa dari daerah leluhurnya di Lembah Farghana. Dengan gelar inilah ia dikenal setelahnya.

Sepanjang masa kegubernurannya, al-Ikhsyid terlibat dalam konflik dengan sejumlah penguasa regional lainnya dalam memperebutkan kekuasaan atas Suriah, yang tanpanya Mesir menjadi rentan terhadap invasi dari timur. Namun, tidak seperti dengan kebanyakan pemimpin Mesir lainnya, terutama Thuluniyah sendiri, al-Ikhsyid bersedia untuk bersabar dan berkompromi dengan saingan-saingannya. Meskipun pada awalnya dia memegang kendali atas keseluruhan Suriah, dia kemudian terpaksa menyerahkan setengah bagian utara-nya kepada bin Ra'iq antara tahun 939 dan 942. Setelah Ibnu Ra'iq terbunuh, al-Ikhsyid menegaskan kembali kekuasaannya atas Suriah utara, hanya saja ditentang oleh Hamdaniyah. Pada tahun 944, al-Ikhsyid menemui Khalifah al-Muttaqi di Raqqa; sang khalifah melarikan diri ke sana dari berbagai pihak berkepentingan yang berlomba-lomba untuk menculiknya demi mengendalikan kekhalifahan di Baghdad. Meskipun gagal dalam membujuk sang khalifah untuk datang ke Mesir, Ibnu Tughj berhasil menerima pengakuan atas kekuasaan turun-temurun terhadap Mesir, Suriah, dan Hijaz selama tiga puluh tahun. Setelah kepergiannya, pangeran Hamdaniyah yang penuh ambisi, Saifud-Daulah, merebut Aleppo dan Suriah utara pada musim gugur tahun 944. Meskipun pada tahun berikutnya, ia berhasil dikalahkan dan diusir keluar dari Suriah oleh Ibnu Tughj sendiri, sebuah perjanjian yang membagi wilayah tersebut sesuai dengan garis persetujuan dengan Ibnu Ra'iq disepakati pada bulan Oktober. Ibnu Tughj meninggal sembilan bulan kemudian, dan dimakamkan di Yerusalem. Putranya, yakni Unujur, mewarisi wilayah kekuasaannya, di bawah pengawasan kasim hitam yang berpengaruh, Abu al-Misk Kafur.

Asal muasal dan kehidupan awal

Peta domain Tuluniyah pada sekitar tahun 893

Menurut kamus biografi yang disusun oleh Ibnu Khallikan, Muhammad bin Tughj lahir di Baghdad pada tanggal 8 Februari 882, di sebuah jalan yang menuju ke Gerbang Kufah.[1][2] Keluarganya berasal dari bangsa Turk dari Lembah Farghana di Transoxiana, dan mengklaim memiliki darah bangsawan; nama leluhurnya, "Khaqan", adalah sebuah gelar kerajaan Turk.[3][4] Kakek Muhammad, Juff meninggalkan Farghana untuk bergabung sebagai prajurit militer di istana Abbasiyyah di Samarra, seperti yang dilakukan ayahnya Ibnu Tulun, pendiri dinasti Tuluniyyah.[5][6] Juff dan putranya, yang merupakan ayahnya Muhammad, Tughj, sama-sama melayani Abbasiyyah, tetapi Tughj kemudian mengabdi kepada Tuluniyyah, yang sejak tahun 868 telah menjadi para penguasa otonom Mesir dan Suriah.[5][6] Tughj melayani Tuluniyah sebagai gubernur Tiberias (ibu kota distrik Yordania), Aleppo (ibu kota distrik Qinnasrin) dan Damaskus (ibu kota distrik homonim).[5][6] Ia memainkan peranan besar dalam menangkis serangan Qarmatia di Damaskus pada 903; meskipun kalah dalam pertempuran, ia mempertahankannya kota itu sendiri dari orang-orang Qarmatia selama tujuh bulan, hingga datangnya bala bantuan dari Mesir, suku Qarmatia berhasil diusir.[7][8] Dengan demikian, Muhammad bin Tughj menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Syam Tuluniyyah di sisi ayahnya, mendapatkan pengalaman pertamanya dalam administrasi (sebagai wakil gubernur Tiberias) dan perperangan.[6]

Setelah kematian putra Ibun Tulun, Khumarawayh, pada 896, negara Tulunid dengan cepat mulai goyah dari dalam, dan gagal memberikan perlawanan yang serius ketika Abbasiyyah berupaya untuk menegakkan kembali kendali langsung atas Suriah dan Mesir pada 905.[9] Tughj membelot kepada Abbasiyyah yang menyerbu di bawah Muhammad bin Sulayman al-Katib, dan diangkat menjadi gubernur Aleppo sebagai imbalannya;[6] Muhammad al-Katib sendiri menjadi korban intrik-intrik istana tak lama setelahnya, dan Tughj bersama putra-putranya, Muhammad dan Ubaidullah, dipenjara di Baghdad. Tughj meninggal di penjara pada tahun 906, dan putra-putranya dibebaskan tak lama setelahnya.[6] Mereka kemudian berpartisipasi dalam kudeta istana yang bertujuan untuk menggulingkan khalifah baru, al-Muqtadir (memerintah 908-932), demi Ibnu al-Mu'tazz yang lebih tua pada bulan Desember 908. Meskipun upaya tersebut gagal, Muhammad bin Tughj dan saudaranya mampu membalaskan dendam atas pemenjaraan mereka kepada wazir al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i, yang mereka bunuh dengan bantuan Husayn bin Hamdan.[10][11] Setelah kegagalan kudeta, ketiganya melarikan diri: Ibnu Hamdan kembali ke kampung halamannya di Mesopotamia Hulu dan Ubaidullah melarikan diri ke timur ke Yusuf bin Abi'l-Saj, sementara Muhammad melarikan diri ke Suriah.[11]

Di Suriah, Muhammad bin Tughj bekerja dengan seorang pengawas pajak dari provinsi-provinsi setempat, Abu'l-Abbas al-Bistam. Dia segera mengikuti tuan barunya ke Mesir, dan setelah kematian al-Bistam pada bulan Juni 910 dia melanjutkan dengan melayani putra al-Bistam.[11] Lambat laun, ia menarik perhatian gubernur setempat, Takin al-Khazari, yang mengirimnya untuk memerintah sejumlah kawasan di luar Sungai Yordan, dengan pusat pemerintahannya di Amman.[5][11] Pada tahun 918, ia menyelamatkan sebuah rombongan haji, yang di antaranya adalah salah satu wanita pendamping ibu dari al-Muqtadir, dari serangan rampok sejumlah suku Badui, yang membuat posisinya di istana Abbasiyyah semakin menguat. Dua tahun kemudian, Ibnu Tughj memperoleh penyokong berpengaruh sewaktu ia bertugas singkat di bawah panglima Abbasiyyah yang berkuasa, Mu'nis al-Muzaffar, ketika ia datang untuk membantu mempertahankan Mesir dari serbuan Fatimiyah. Selama kampanye tersebut, Ibnu Tughj memimpin pasukan terbaik dari tentara Mesir. Keduanya berteman baik, dan terus berhubungan setelahnya.[5][12][13]

Ketika Takin kembali ke Mesir sebagai gubernur pada tahun 923, Ibnu Tughj bergabung dengannya di sana, tetapi kedua orang itu berselisih pada tahun 928 karena penolakan Takin untuk memberikan Ibnu Tughj jabatan gubernur Iskandariyah.[14] Ibnu Tughj melarikan diri dari ibukota Fustat dengan tipu muslihat, dan berhasil mendapatkan pengangkatan dirinya sebagai gubernur Palestina dari Baghdad; gubernur yang sedang menjabat, al-Rashidi, melarikan diri dari kursi gubernur di Ramla ke Damaskus, yang gubernurnya dia ambil alih. Pelariannya, menurut sejarawan Jere L. Bacharach, mungkin mengindikasikan bahwa Ibnu Tughj mengendalikan kekuatan militer yang signifikan.[14] Tiga tahun kemudian, pada bulan Juli 931, Muhammad Ibnu Tughj dipromosikan menjadi gubernur Damaskus, sementara al-Rashidi kembali ke Ramla.[14] Kedua pengangkatan ini kemungkinan adalah hasil dari hubungan Ibnu Tughj dengan Mu'nis al-Muzaffar, yang pada saat ini tengah berada di puncak kekuasaan dan pengaruhnya.[14][15]

Mengambil alih Mesir

Takin meninggal pada bulan Maret 933, dan putranya serta calon penggantinya, Muhammad, gagal membangun otoritasnya di Mesir. Ibnu Tughj ditunjuk sebagai gubernur baru pada bulan Agustus, tetapi penunjukan itu dicabut sebulan kemudian sebelum ia bisa mencapai Mesir, dan Ahmad bin Kayghalagh ditunjuk sebagai penggantinya. Waktu penarikan kembali Ibnu Tughj bertepatan dengan penangkapan ( yang kemudian diikuti dengan pembunuhan) Mu'nis oleh Khalifah al-Qahir (memerintah 932-934) pada tanggal 22 September, menunjukkan bahwa pencalonan Ibnu Tughj kemungkinan besar juga disebabkan oleh Mu'nis.[5][16] Fakta bahwa al-Qahir mengirim seorang kasim bernama Bushri untuk menggantikan Ibnu Tughj di Damaskus setelah jatuhnya Mu'nis memperkuat pandangan ini. Bushri mampu mengambil alih jabatan gubernur Aleppo (yang juga telah ditunjuknya), tetapi Ibnu Tughj menolak penggantinya, dan mengalahkan serta menawannya. Khalifah kemudian menugaskan Ahmad bin Kayghalagh untuk memaksa Ibnu Tughj menyerah, tetapi meskipun Ahmad maju menantang Ibnu Tughj, keduanya menghindari konfrontasi langsung. Sebaliknya, kedua pria itu bertemu dan mencapai kesepakatan untuk saling memberikan dukungan, mempertahankan status quo.[17]

Mashhad (Mausoleum) al-Tabataba, didirikan pada tahun 943 Masehi pada masa pemerintahan Muhammad Ibnu Tughj al-Ikhsyid di Kairo, adalah satu-satunya monumen yang tersisa dari periode Ikhsyid.[18]

Ahmad bin Kayghalagh segera terbukti tidak mampu memulihkan tatanan di provinsi yang semakin bergejolak. Pada tahun 935, para pasukan melakukan kerusuhan karena tidak mendapat cukup upah, dan serangan-serangan dari suku Bedouin pun kembali terjadi. Pada saat yang sama, putra Takin, Muhammad, dan pengurus keuangan Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Madhara'i—pewaris dinasti para birokrat yang telah menangani keuangan provinsi sejak masa Ibnu Tulun dan mengumpulkan kekayaan yang sangat besar[19][20]—merongrong Ahmad bin Kayghalagh dan mengingini posisinya.[21] Pertikaian pecah di antara pasukan antara orang-orang Timur (Mashariqa), terutama tentara Turki, yang mendukung Muhammad bin Takin, dan orang-orang Barat (Maghariba), kemungkinan orang Berber dan Afrika berkulit Hitam, yang mendukung Ahmad bin Kayghalagh.[22] Dengan dukungan kali ini dari mantan wazir dan inspektur jenderal provinsi-provinsi barat, al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat, yang putranya menikah dengan salah satu putri Ibnu Tughj, Ibnu Tughj sekali lagi ditunjuk sebagai gubernur Mesir. Tidak mau mengambil risiko, Ibnu Tughj mengorganisir invasi ke negara itu melalui darat dan laut. Meskipun Ahmad bin Kayghalagh mampu memperlambat gerak maju tentara, armada Ibnu Tughj berhasil merebut Tinnis dan Delta Nil dan bergerak ke ibukota Fustat. Terungguli dan dikalahkan dalam pertempuran, Ahmad bin Kayghalagh melarikan diri ke Fatimiyyah. Muhammad Ibnu Tughj yang menang kemudian memasuki Fustat pada tanggal 26 Agustus 935.[23][24]

Dengan ibukota di bawah kendalinya, Ibnu Tughj sekarang harus menghadapi Fatimiyah. Maghariba yang menolak untuk tunduk kepada Ibnu Tughj telah melarikan diri ke Aleksandria dan kemudian ke Barqa di bawah kepemimpinan Habashi bin Ahmad, dan mengundang penguasa Fatimiyah, al-Qa'im (m. 934-946) untuk menyerang Mesir dengan bantuan mereka.[25][26][27] Invasi Fatimiyah memperoleh keberhasilan awal: tentara Fatimiyah, Kutama Berber, merebut pulau al-Rawda di Nil dan membakar gudang persenjataannya. Laksamana Ibnu Tughj, Ali bin Badr dan Bajkam membelot ke Fatimiyah, dan Aleksandria sendiri direbut pada bulan Maret 936. Namun demikian, pada tanggal 31 Maret, saudara laki-laki Ibnu Tughj, al-Hasan, mengalahkan pasukan Fatimiyah di dekat Aleksandria, mengusir mereka keluar dari kota dan memaksa Fatimiyah untuk sekali lagi mundur dari Mesir ke basis mereka di Barqa.[25][27][28] Selama kampanye, Ibnu Tughj secara khusus melarang pasukannya untuk menjarah, yang menurut J. L. Bacharach, merupakan indikasi dari "pandangan jangka panjangnya terhadap keberadaannya di Mesir".[29]

Pemerintahan di Mesir

Bagian depan dan belakang sbuah koin emas, dengan inskripsi Arab
Dinar yang dicetak di Palestina di bawah kepemimpinan al-Ikhsyid, 944 Masehi. Dari tahun 942, Ibnu Tughj mencantumkan nama dan gelarnya ("Muhammad al-Ikhsyid"), bersama dengan sebutan khalifah dalam koinnya.[30]

Dalam suratnya kepada Khalifah ar-Radhi (m. 934-940) pada tahun 936, Muhammad bin Tughj dapat menyajikan laporan yang sangat memuaskan: invasi Fatimiyah telah berhasilkan dipukul mundur dan upaya-upaya awal untuk memperbaiki situasi keuangan di provinsi tersebut telah dilancarkan. Sang Khalifah pun mengukuhkannya jabatannya dan mengirimkan jubah kehormatan kepadanya.[31] Sebagaimana yang ditulis Hugh N. Kennedy, "dalam beberapa aspek, ancaman Fatimiyah sebenarnya justru menguntungkan Ibnu Tughj" karena, selama ia membela Abbasiyyah, "para khalifah siap memberikan restu kepada pemerintahannya sebagai imbalannya".[32] Kedudukannya di mahkamah Abbasiyyah cukup baginya untuk meminta gelar kehormatan (laqab) al-Ikhsyid, yang awalnya dipegang oleh raja-raja dari tanah leluhurnya, Farghana, pada tahun 938. Khalifah al-Radi mengabulkan permintaan tersebut, meskipun pengakuan resmi ditunda sampai bulan Juli 939. Setelah menerima konfirmasi resmi, Ibnu Tughj meminta agar ia selanjutnya hanya disapa dengan gelar barunya.[28][32][33]

Sangat sedikit yang diketahui tentang kebijakan dalam negeri al-Ikhsyid.[2] Namun demikian, kebisuan sumber-sumber mengenai masalah-masalah dalam negeri selama masa pemerintahannya—selain pemberontakan kecil dari kaum Syi'ah pada tahun 942, yang dengan cepat ditumpas—sangat kontras dengan narasi yang umum tentang serbuan Badui, kerusuhan di perkotaan karena harga yang tinggi, atau pemberontakan dan intrik militer dan dinasti, dan mengindikasikan bahwa dia berhasil memulihkan stabilitas dalam negeri dan pemerintahan yang tertata rapi di Mesir.[29] Menurut kamus biografi Ibnu Khallikan, dia adalah "seorang pangeran yang tegas, memiliki pandangan yang tajam dalam peperangan, dan sangat memperhatikan kemakmuran imperiumnya; dia memperlakukan kalangan militer dengan penuh kehormatan dan memimpin dengan kecakapan dan keadilan".[1] Saingan potensialnya, Muhammad bin Takin dan al-Madhara'i, dengan mudah diluluhkan dan dimasukkan ke dalam pemerintahan yang baru.[29][32] Al-Madhara'i sempat mencoba menentang pengambilalihan al-Ikhsyid yang berakhir dengan sia-sia, karena pasukannya dengan cepat membelot, dan pada awalnya dipenjara oleh al-Ikhsyid, namun kemudian dibebaskan pada tahun 939. Ia segera memulihkan status dan pengaruhnya, dan sempat menjabat sebagai wali dari putra dan pewaris al-Ikhsyid, Unujur pada tahun 946, sebelum akhirnya digulingkan dan dipenjara selama setahun. Sesudahnya, dan sampai kematiannya pada 957, ia pensiun ke dalam kehidupan pribadi.[20][28] Seperti kaum Tulunid sebelum dia, al-Ikhsyid juga sangat berhati-hati dalam membangun kekuatan militernya sendiri, meliputi tentara budak Turki dan Afrika Hitam.[29][32]

Kebijakan luar negeri dan perjuangan untuk Suriah

Sebagai komandan dan penguasa di Mesir, al-Ikhsyid adalah orang yang sabar dan berhati-hati. Dia mencapai tujuannya melalui diplomasi dan hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di rezim Baghdad, selain juga melalui kekuatan, dan meskipun demikian ia selalu berusaha menghindari konfrontasi langsung sebisa mungkin. Konfliknya dengan Ahmad bin Kayghalagh adalah indikasi dari metode pendekatannya tersebut: ketimbang pertempuran secara langsung, kesepakatan gencatan senjata di antara keduanya memberikan waktu bagi al-Ikhsyid untuk meninjau kembali situasi di Mesir sebelum mengambil tindakan.[34] Kendati mengikuti jejak Ibnu Tulun, ambisinya lebih sederhana dan tujuannya lebih praktis, seperti yang menjadi sangat jelas dalam kebijakannya terhadap Suriah dan wilayah kekhalifahan lainnya.[32] Secara historis, kepemilikan atas Suriah, dan khususnya Palestina, adalah tujuan kebijakan luar negeri bagi banyak penguasa Mesir, untuk menutup rute invasi yang paling memungkinkan masuk ke negara tersebut. Ibnu Tulun dan Salahuddin adalah dua contoh khas penguasa Mesir yang menghabiskan sebagian besar masa pemerintahan mereka untuk mengamankan kendali atas Suriah, yang mana mereka sama-sama menggunakan Mesir sebagian besar sebagai sumber pendapatan dan sumber daya untuk mencapai tujuan ini.[35] Al-Ikhsyid berbeda dari mereka; Bacharach mendeskripsikan Al-Ikhsyid sebagai seorang "realis konservatif yang penuh kehati-hatian".[36] Tujuan-tujuannya terbatas tetapi jelas: perhatian utamanya adalah Mesir dan penetapan keluarganya sebagai dinasti turun-temurun di sana, sementara Suriah tetap menjadi tujuan sekunder.[37] Tidak seperti penguasa militer lainnya pada masa itu, ia tidak berniat mengikuti persaingan untuk mengambil kontrol atas Baghdad dan pemerintahan khalifah melalui jabatan amir al-umara yang memiliki kekuasaan tinggi; bahkan, ketika Khalifah al-Mustakfi (m. 944-946) menawarinya jabatan itu, ia menolaknya.[38]

Konflik dengan Ibnu Ra'iq

Peta kawasan Suriah dan provinsi-provinsinya di bawah kekuasaan Abbasiyah

Setelah pengusiran Fatimiyah dari Mesir, al-Ikhsyid memerintahkan pasukannya untuk menduduki seluruh Suriah sampai Aleppo, menyekutukan dirinya sendiri dengan suku lokal Banu Kilab, seperti halnya yang dilakukan Ibnu Tulun, untuk memperkuat kekuasaannya atas utara Suriah.[39] Sebagai gubernur Suriah, ia menentukan batas-batas darat (thughur) dengan Kekaisaran Bizantium di Silisia. Kemudian pada tahun 936/7 atau 937/8 (paling diyakini pada musim gugur 937) ia meraih sebuah kedutaan besar dari kaisar Bizantium, Romanos I Lekapenos (memerintah tahun 920–944), untuk mengadakan pertukaran tahanan, Meskipun dilakukan tanpa ijin Khalifah al-Radi, tindakan tersebut diberi penghormatan khusus dan pengakuan tak langsung dari otonomi al-Ikhsyid, meskipun korespondensi dan negosiasi untuk peristiwa semacam itu biasanya diajukan kepada khalifah ketimbang para gubernur provinsi. Pertukaran tersebut dilakukan pada musim gugur 938, yang menghasilkan pembebasan 6,300 Muslim untuk jumlah tahanan Bizantium yang setara. Karena Bizantium memiliki 800 lebih tahanan ketimbang Muslim, mereka telah diransum dan secara bertahap dibebaskan sepanjang enam bulan berikutnya.[40][41]

Meskipun amir al-umara bin Ra'iq berkuasa di Baghdad (936–938) dengan teman lama al-Ikhsyid al-Fadl bin Ja'far bin al-Furat menjadi vizier, hubungan dengan Baghdad terjalin baik. Namun, setelah Ibnu Ra'iq diganti oleh Turk Bajkam, Ibnu Ra'iq dijadikan nominasi oleh khalifah untuk kegubernuran Suriah dan pada 939 berpawai ke selatan untuk mengklaimnya dari pasukan al-Ikhsyid.[39][42] Pelantikan Ibnu Ra'iq dikecam al-Ikhsyid, yang mengirimkan seorang duta ke Baghdad untuk mengklarifikasikan keadaan tersebut. Disana, Bajkam memberitahukannya bahwa khalifah melantik siapapun yang ia pilih, tetapi bukan hal mutlak: kekuatan militer yang akan menentukan siapa yang menjadi gubernur Suriah dan bahkan Mesir, bukan pelantikan apapun oleh seorang khalifah. Jika Ibnu Ra'iq atau al-Ikhsyid meraih kemenangan dari konflik tersebut, konfirmasi khalifah kemudian akan menyusul.[43] Al-Ikhsyid bahkan lebih tertarik akan jawabannya, dan dikabarkan bahwa pada waktu mengancam akan menawari salah satu putrinya kepada khalifah Fatimiyah al-Qa'im dan mencetak koin-koin dan salat Jumat dibaca dalam namanya ketimbang khalifah Abbasiyah, sampai Abbasiyah secara resmi mengakui kembali jabatannya. Fatimiyyah sendiri sebelumnya ditaklukan dalam pemberontakan Abu Yazid dan tak dapat menerima bantuan apapun.[39][44][45]

Dari Raqqa, pasukan Ibnu Ra'iq beralih ke sepanjang distrik-distrik utara Suriah, dimana saudara al-Ikhsyid, Ubayd Allah menjadi gubernur, sementara pasukan Mesir bergerak ke selatan. Pada Oktober atau November, pasukan Ibnu Ra'iq mencapai Ramla dan berpindah ke Semenanjung Sinai. Al-Ikhsyid memimpin pasukannya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi setelah pertikaian kecil di al-Farama, dua pasukan tersebut saling memahami, membagi Suriah di antara mereka: kawasan dari Ramla sampai selatan di bawah kekuasaan al-Ikhsyid, dan kawasan utara berada di bawah kekuasaan Ibnu Ra'iq.[43] Namun, pada Mei atau Juni 940, al-Ikhsyid menyadari bahwa Ibnu Ra'iq sempat kembali bergerak ke Ramla. Sehingga, penguasa Mesir tersebut memimpin pasukannya untuk bertempur. Meskipun kalah di al-Arish, al-Ikhsyid dapat mempawaikan pasukannya dengan cepat dan meredam Ibnu Ra'iq, menghalanginya dari memasuki Mesir dan memaksanya kembali ke Damaskus.[36] Al-Ikhsyid mengirim saudaranya, Abu Nasr al-Husayn, dengan tentara lainnya melawan Ibnu Ra'iq, tetapi ia kalah dan tewas di Lajjun. Meskipun ia menang, Ibnu Ra'iq menyatakan perdamaian: ia memberikan penguburan kehormatan terhadap Abu Nasr dan mengirim putranya, Muzahim, sebagai duta untuk Mesir. Untuk meneguhkan strategi politiknya, al-Ikhsyid menyepakatinya. Perjanjian tersebut dipandang sebagai restorasi status teritorial quo dari tahun sebelumnya, tetapi dengan al-Ikhsyid membayar upeti tahunan sejumlah 140,000 dinar emas. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan pernikahan Muzahim dengan putri al-Ikhsyid, Fatima.[36]

Konflik dengan Hamdaniyah

Perdamaian tak berlangsung lama, karena ketegangan politik di Baghdad berlanjut. Pada September 941, Ibnu Ra'iq meraih lagi jabatan amir al-umara atas undangan Khalifah al-Muttaqi (memerintah 940–944), tetapi ia tidak lagi berkausa seperti sebelumnya. Tak dapat menghentikan laju pasukan lainnya, Abu'l-Husayn al-Baridi dari Basra, Ibnu Ra'iq dan khalifah terpaksa meninggalkan Baghdad adan mencari perlindungan kepada penguasa Hamdaniyah dari Mosul. Kemudian, Ibnu Ra'iq dibunuh (April 942) menggantikannya pada jabatan amir al-umara dengan laqab Nasir al-Dawla.[46] Al-Ikhsyid menggunakan kesempatan tersebut untuk menduduki lagi Suriah untuk dirinya sendiri, mempertemukan pasukannya kepada masyarakat pada Juni 942, dan melaju sampai Damaskus, sebelum kembali ke Mesir pada Januari 943. Hamdaniyah juga mengklaim wilayah Suriah pada masa yang sama, tetapi sumber-sumber tak menyebut detail ekspedisi mereka disana.[46] Jabatan Nasir al-Dawla sebagai amir al-umara juga terkuak, dan pada Juni 943 ia dilengserkan oleh jendera Turki Tuzun. Pada bulan Oktober, Khalifah al-Muttaqi, yang mengkhawatirkan Tuzun berupaya untuk menggantikannya, kabur dari ibu kota dan ikut mengungsi ke Hamdaniyah.[47] Meskipun Nasir al-Dawla dan saudaranya Sayf al-Dawla melindungi khalifah, mereka juga tak bertikai dengan pasukan Tuzun, dan pada Mei 944, mereka mencapai sebuah kesepakatan yang memberikan Mesopotamia Hulu dan utara Suriah kepada Hamdaniyah dalam pertukaran untuk mengakui kedudukan Tuzun di Irak. Nasir al-Dawla mengirim sepupunya al-Husayn bin Sa'id untuk mengambil alih provinsi-provinsi Suriah yang ia rampas dalam perjanjian tersebut. Pasukan Ikhsyidid kalah atau menarik diri, dan al-Husayn mengambil alih distrik-distrik Qinnasrin dan Hims.[39][48]

Pada masa itu, al-Muttaqi dengan Sayf al-Dawla kabur ke Raqqa sebelum Tuzun maju, tetapi khalifah makin terdesak Hamdaniyah, dan menulis kepada al-Ikhsyid (diyakini pada awal musim dingin 943), untuk meminta bantuan.[48] Hal tersebut kemudian ditanggapi dengan memajukan pasukan ke Suriah. Garisun Hamdaniyah menarik diri sebelum itu, dan pada September 944, al-Ikhsyid mencapai Raqqa. Meyakini Hamdanids memberikan perjanjian mereka kepada Ibnu Ra'iq, ia menunggu sampai Sayf al-Dawla meninggalkan kota tersebut sebelum memasukkinya untuk menemui khalifah. Al-Ikhsyid berupaya tanpa keberhasilan untuk membujuk al-Muttaqi datang dengannya ke Mesir, atau setidaknya singgah di Raqqa, sementara khalifah berusaya untuk mendorong al-Ikhsyid untuk berpawai melawan Tuzun, yang kemudian ditolak.[49][50] Pertemuan tersebut tak membuahkan hasil, karena al-Ikhsyid memberikan sebuah perjanjian yang mempertahankan hal-hal dari traktat serupa antara Khumarawayh Tuluniyah dan Khalifah al-Mu'tamid pada tahun 886. Khalifah tersebut mengakui otoritas al-Ikhsyid atas Mesir, Suriah (dengan thughur), dan Hejaz (disertai dengan penjagaan dari dua kota suci Mekkah dan Madinah), selama tiga puluh tahun, dengan hak suksesi warisan untuk putra-putra al-Ikhsyid.[26][32][39][51] Perkembangan tersebut diantisipasi oleh al-Ikhsyid setahun sebelumnya, saat ia mengangkat putranya Unujur menjadi pemangku jabatannya saat ia sedang tidak ada di Mesir, meskipun Unujur belum akil baligh, dan memerintahkan sumpah persekutuan (bay'a) dinyatakan kepadanya.[46] Selain itu, menurut komentar Michael Brett, kawasan yang melingkupinya "tercampur pemberkatan," karena kota-kota suci berada di bawah serbuan Qarmatian, sementara pawai-pawai thughur makin gencar dilakukan oleh Bizantium, dan Aleppo (dengan utara Suriah) dinaungi oleh Hamdaniyah.[26]

Sesuai yang terjadi, al-Muttaqi didatangi oleh para emisaris Tuzun, yang menentang loyaliutasnya, untuk mebali ke Irak, hanya untuk merampas, membutakan dan melengserkan pada 12 Oktober dan digantikan oleh al-Mustakfi.[49][50] Al-Mustakfi merekonfirmasikan kegubernuran al-Ikhsyid, tetapi pada titik ini merupakan sebuah isyarat kosong. Menurut J. L. Bacharach, meskipun sejarawan abad ke-13 Ibnu Sa'id al-Maghribi melaporkan bahwa al-Ikhsyid mengambil bay'a dan membacakan salat Jumat dalam nama khalifah baru, berdasarkan pada bukti numismatik yang tersedia, ia tampak menunda pengakuan al-Mustakfi dan dinasti Buyidnya-yang didirikan oleh penerus al-Muti (memerintah 946–974) selama beberapa bulan termasuk mereka dalam koinnya, dalam sebuah tindakan yang memecah belah dan pernyataan jelas kemerdekaan de facto-nya dari Baghdad.[52] Kemerdekaan tersebut juga diketahui oleh pihak lainnya, catatan kontemporer De Ceremoniis menyatakan bahwa dalam seperpantauan pemerintah Bizantium, "Emir Mesir" mencantumkan segel emas pada empat solidi, suatu hal yang sama seperti yang dilakukan khalifah di Baghdad.[53]

Peta fragmentasi Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-9 dan ke-10

Setelah ia bertemu dengan al-Muttaqi, al-Ikhsyid kembali ke Mesir, meninggalkan lahan terbuka untuk ambisi Sayf al-Dawla. Pasukan Ikhsyidid yang pergi ke Suriah relatif sadar, dan pemimpin Hamdaniyah, yang meraih dukungan dari Banu Kilab, memiliki sedikit kesulitan dalam menaklukan Aleppo pada 29 Oktober 944. Ia kemudian mulai meluaskan kekuasaannya atas provinsi-provinsi utara Suriah sampai Hims.[39][54][55] Al-Ikhsyid mengirim tentara di bawah duta Abu al-Misk Kafur dan Fatik melawan Hamdaniyah, tetapi dikalahkan di dekat Hamat dan menarik diri kembali ke Mesir, meninggalkan Damaskus dan Palestina di tangan Hamdaniyah.[56] Al-Ikhsyid kemudian memaksakan satu kampanye lagi pada April 945, tetapi pada saat yang sama, ia mengirim duta-duta kepada Sayf al-Dawla untuk mengadakan perjanjian tentang perbatasan dengan Ibnu Ra'iq: pangeran Hamdaniyah tetap mempertahankan utara Suriah, sementara al-Ikhsyid membayarkannya upeti tahunan untuk wilayah Palestina dan Damaskus.[56] Sayf al-Dawla menolak dan dikabarkan malah menyatakan bahwa ia akan menaklukan Mesir itu sendiri, tetapi al-Ikhsyid ringan tangan: para agennya menjalin hubungan dengan beberapa pemimpin Hamdaniyah, dan ia memenangkan hati masyarakat Damaskus, yang menutup gerbang mereka dari Hamdaniyah dan membukanya untuk al-Ikhsyid. Dua tentara tersebut bertemu di dekat Qinnasrin pada Mei, dimana Hamdaniyah kalah. Sayf al-Dawla kabur ke Raqqa, meninggalkan ibu kotanya Aleppo ditaklukkan oleh al-Ikhsyid.[56]

Selain itu, pada bulan Oktober, kedua belah pihak mengadakan sebuah perjanjian dalam hal batas-batas proporsal Ikhsyidid awal: al-Ikhsyid mengetahui kontrol Hamdaniyah atas utara Suriah dan bahkan keputusan untuk mengirim upeti tahunan dalam pertukaran untuk pengakuan seluruh klaim Sayf al-Dawla atas Damaskus. Penguasa Hamdaniyah juga menikahi salah satu putri atau kemenakan al-Ikhsyid.[56] Bagi al-Ikhsyid, wilayah Aleppo kurang penting ketimbang selatan Suriah dengan Damaskus, yang merupakan gerbang timur Mesir. Karena kawasan tersebut masih berada di bawah kekausaannya, ia lebih mengkehendaki keberadaan negara Hamdaniyah di utara. Penguasa Mesir tersebut menyadari bahwa ia akan sulit mendapatkan dan menguasai utara Suriah dan Silisia, yang secara tradisional lebih terpengaruh oleh Mesopotamia Hulu dan Irak. Dengan meniadakan klaim-klaimnya atas provinsi-provinsi jauh tersebut, tak hanya akan membut Mesir menghabis-habiskan tenaga tentara besar disana, tetapi emirat Hamdaniyah juga akan memenuhi peran negara penyangga melawan serangan-serangan dari Irak maupun Kekaisaran Bizantium.[57] Meskipun demikian, sepanjang masa pemerintahan al-Ikhsyid, dan para penerusnya, hubungan dengan Bizantium sangat bersahabat, karena kurangnya perbatasan umum dan pertikaian umum terhadap Fatimiyah membuat dua negara tersebut tak bertikai.[58] Disamping Sayf al-Dawla berupaya maju lagi ke selatan Suriah tak lama setelah al-Ikhsyid wafat, perbatasan disetujui pada 945, dan bahkan memperjelas kedudukan kedua dinasti tersebut, membentuk pembagian batas antara utara Suriah yang dipengaruhi Mesopotamia dan bagian selatan negara tersebut yang dikuasai Mesir sampai Mamluk merebut seluruh kawasan tersebut pada 1260.[55][59]

Kematian dan warisan

Pada pertengahan musim semi 946, al-Ikhsyid mengirimkan utusan-utusan ke Bizantium untuk pertukaran tahanan lagi (yang akhirnya berhasil dilakukan di bawah bantuan Sayf al-Dawla pada Oktober). Kaisar Konstantinus VII (memerintah antara 913–959) mengirimkan duta besar yang dipimpin John Mystikos sebagai respon, lalu tiba di Damaskus pada 11 Juli.[40] Pada 24 Juli 946, al-Ikhsyid wafat di Damaskus.[60] Suksesi putranya, Unujur, berlangsung damai dan tidak diperselisihkan, sebab pengaruh dari kekuasaan komando tertinggi yang penuh telenta, Kafur. Adalah satu dari sekian banyak budak kulit hitam Afrika yang direkrut oleh al-Ikhsyid, Kafur bertahan sebagai Perdana Menteri dan penguasa bayangan Mesir sepanjang 22 tahun berikutnya, berkuasa atas namanya sendiri pada 966 hingga ia wafat dua tahun kemudian. Setelah kewafatannya, pada tahun 969, Fatimiyah menduduki dan menaklukkan Mesir, memulai era baru dalam country's history.[61][62]

Para sejarawan abad pertengahan mencatatkan banyaknya kesejajaran antara al-Ikhsyid dan para pendahulunya dari Thuliniyah, khususnya Khumarawayh. bin Sa'id bahkan melaporkan bahwa menurut para astrolog Mesir, dua pria telah masuk Mesir pada hari yang sama pada tahun tersebut dan dengan bintang yang sama dalam rasi bintang yang sama.[63] Namun, terdapat perbedaan mencolok: al-Ikhsyid tidak se-"flamboyan" (Hugh Kennedy) dibandingkan Tuluniyah,[32] Sikap berhati-hati dan menahan diri Al-Ikhsyid dalam sudut pandang kebijakan asingnya juga berseberangan dengan tokoh-tokoh yang semasa dengannya dan para penguasa Mesir lainnya baik para pendahulu maupun pengikutnya, memberinya cap sebagai pemilik reputasi sangat hati-hati, yang sering kali disalahartikan sebagai penakut oleh orang-orang yang semasa dengannya.[64] Ia juga dianggap kurang berjaya dibandingkan dengan pendahulunya Ibnu Tulun.[39] Tak seperti Ibnu Tulun, yang membangun ibu kota baru di en:Al-Qata'i dan sebuah masjid terkenal, al-Ikhsyid bukanpula pelindung para seniman dan penyair maupun pendiri utama.[63] Menurut sejarawan en:Thierry Bianquis, ia disebut oleh para pembuat kronik abad pertengahan sebagai "seorang pria yang sentitif dan tamak, tetapi memiliki pemikiran tajam dan cenderung serakah", tetapi dengan kegemaran kepada barang-barang mewah yang diimpor dari timur, khususnya parfum. Kecintaannya terhadap barang-barang mewah dari timur kemudian diikuti oleh kalangan kelas atas Fustat serta mempengaruhi gaya dan mode produk Mesir secara temurun lokal yang mulai menirunya.[39]

Referensi

  1. ^ a b McGuckin de Slane 1868, hlm. 220.
  2. ^ a b Bacharach 1993, hlm. 411.
  3. ^ McGuckin de Slane 1868, hlm. 217, 219–220.
  4. ^ Gordon 2001, hlm. 158–159.
  5. ^ a b c d e f Kennedy 2004, hlm. 311.
  6. ^ a b c d e f Bacharach 1975, hlm. 588.
  7. ^ Kennedy 2004, hlm. 185, 286.
  8. ^ Jiwa 2009, hlm. 143–144.
  9. ^ Kennedy 2004, hlm. 184–185, 310.
  10. ^ Kennedy 2004, hlm. 191.
  11. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 589.
  12. ^ Bacharach 1975, hlm. 589–590.
  13. ^ Halm 1996, hlm. 208–209.
  14. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 590.
  15. ^ Kennedy 2004, hlm. 191–194, 311.
  16. ^ Bacharach 1975, hlm. 591–592.
  17. ^ Bacharach 1975, hlm. 592.
  18. ^ Kadi, Galila El; Bonnamy, Alain (2007). Architecture for the Dead : Cairo's Medieval Necropolis (dalam bahasa Inggris). American Univ in Cairo Press. hlm. 96, 297. ISBN 978-977-416-074-5. 
  19. ^ Bianquis 1998, hlm. 97, 105, 111.
  20. ^ a b Gottschalk 1986, hlm. 953.
  21. ^ Bacharach 1975, hlm. 592–593.
  22. ^ Brett 2001, hlm. 161.
  23. ^ Bacharach 1975, hlm. 592–594.
  24. ^ Kennedy 2004, hlm. 311–312.
  25. ^ a b Halm 1996, hlm. 284.
  26. ^ a b c Brett 2001, hlm. 162.
  27. ^ a b Madelung 1996, hlm. 34.
  28. ^ a b c Bianquis 1998, hlm. 112.
  29. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 594.
  30. ^ Bacharach 1975, hlm. 605.
  31. ^ Bacharach 1975, hlm. 595.
  32. ^ a b c d e f g Kennedy 2004, hlm. 312.
  33. ^ Bacharach 1975, hlm. 595–596.
  34. ^ Bacharach 1975, hlm. 594–595.
  35. ^ Bacharach 1975, hlm. 596–597.
  36. ^ a b c Bacharach 1975, hlm. 600.
  37. ^ Bacharach 1975, hlm. 597, 603.
  38. ^ Bacharach 1975, hlm. 597–598.
  39. ^ a b c d e f g h Bianquis 1998, hlm. 113.
  40. ^ a b PmbZ, Muḥammad b. Ṭuġǧ al-Iḫšīd (#25443).
  41. ^ Canard 1936, hlm. 193.
  42. ^ Bacharach 1975, hlm. 598–599.
  43. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 599.
  44. ^ Bacharach 1975, hlm. 599–600.
  45. ^ Halm 1996, hlm. 408.
  46. ^ a b c Bacharach 1975, hlm. 601.
  47. ^ Bacharach 1975, hlm. 601–602.
  48. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 602.
  49. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 602–603.
  50. ^ a b Kennedy 2004, hlm. 196, 312.
  51. ^ Bacharach 1975, hlm. 603.
  52. ^ Bacharach 1975, hlm. 603–608.
  53. ^ Canard 1936, hlm. 191.
  54. ^ Bacharach 1975, hlm. 607.
  55. ^ a b Kennedy 2004, hlm. 273.
  56. ^ a b c d Bacharach 1975, hlm. 608.
  57. ^ Bianquis 1998, hlm. 113–115.
  58. ^ Canard 1936, hlm. 190–193, 205–209.
  59. ^ Bianquis 1998, hlm. 113–114.
  60. ^ Bacharach 1975, hlm. 609.
  61. ^ Kennedy 2004, hlm. 312–313.
  62. ^ Bianquis 1998, hlm. 115–118.
  63. ^ a b Bacharach 1975, hlm. 610.
  64. ^ Bacharach 1975, hlm. 610–612.

Sumber

Bacaan tambahan

Didahului oleh:
Ahmad bin Kayghalagh
sebagai gubernur Mesir untuk Kekhalifahan Abbasiyah
Ikhshidid emir Mesir, Suriah dan Hejaz
(de jure untuk Kekhalifahan Abbasiyah,
de facto otonom, dari 944 turun temurun)

935–946
Diteruskan oleh:
Abu'l-Qasim Unujur bin al-Ikhshid