Senduro, Senduro, Lumajang
Senduro | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Lumajang | ||||
Kecamatan | Senduro | ||||
Kode pos | 67361 | ||||
Kode Kemendagri | 35.08.12.2004 | ||||
Luas | 372,094 ha | ||||
Jumlah penduduk | 8723 jiwa | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
Senduro adalah sebuah desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa Senduro awalnya adalah sebuah kawasan berstatus under distrik dibawah Distrik Kandangan. Setelah Distrik Kandangan dihapuskan maka Desa Senduro dikembangkan menjadi ibukota kecamatan bernama Kecamatan Senduro.
Desa Senduro mempunyai potensi di bidang pertanian dan peternakan. Salah satu produk pertanian yang diunggulkan adalah Pisang Agung sementara produk peternakan Desa Senduro mempunyai budidaya Kambing Senduro. Dua komoditas itu menjadi andalan bagi penggerak perekonomian warga.
Desa Senduro juga memiliki potensi yang sangat menarik di bidang pariwisata. Desa Senduro disebut juga sebagai Desa Bunga Edelweiss. Senduro memiliki tempat ibadah umat hindu yaitu Pura Mandara Giri Semeru Agung. Senduro juga adalah tempat seribu pemandangan yang berbeda, sehingga banyak para wisatawan yang datang ke Senduro. Senduro juga memiliki pasar pisang, sebagai pusat distribusi pisang yang merupakan Komoditas utama kota Lumajang. Senduro juga memiliki sebuah stasiun radio di frekuensi 94.7 MHz.
Sejarah
Desa Senduro berdiri pada tahun 1844 bertepatan dengan tahun baru Islam. Nama Senduro konon berasal dari kata Sundoro. Sundoro adalah nama seorang pangeran asal Mataram yang kelak naik tahta menjadi raja kedua Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini dibuktikan dengan toponimi nama tempat seperti Kadipaten Lumajang hingga Kerajaan Sindura yang tercantum dalam kitab pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Kitab Kanjeng Kyai Suryaraja yang digubah oleh Sultan Hamengkubuwono II.
Sebelum menjadi sebuah desa, Senduro adalah sebuah pedukuhan kecil bernama Sumber. Dukuh ini dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mbah Sembrung. Dukuh Sumber sudah ada sejak era Kerajaan Kediri dan menjadi transit para peziarah yang hendak Tirtayatra menuju Gunung Semeru. Dukuh ini kemudian berkembang menjadi tiga dusun utama Desa Senduro yaitu Dusun Sumber Agung, Dusun Sumber Rejo dan Dusun Sumber Mulyo. Hingga kini nama ketiga dusun itu dipertahankan dan menjadi bagian dari Desa Senduro bersama dua dusun lainnya yaitu Dusun Jurang Langak dan Dusun Tempuran.
Berdasarkan penelusuran para sesepuh Desa Senduro maka pada tahun 1968 ditemukan nama seorang tokoh bernama Mbah Tompokerso. Mbah Tompokerso bukanlah nama sebenarnya. Nama asli beliau adalah Ki Demang Legawa. Ki Demang Legawa berasal dari daerah Gerbo (Pasuruan) yang ditugasi oleh Adipati Nitiadiningrat untuk menjaga kawasan keramat bernama Selarawa (Situs Selogending). Dibantu Mbah Sembrung, Ki Demang Legawa diberi wilayah kekuasaan Desa Senduro dan menjadi demang pertama bergelar Demang Sindura.
Tugas untuk menjaga kawasan Selarawa memang bukan tanpa sebab. Di tempat itu hidup seorang anak keturunan Adipati MAS (Maulana Syarif) Malayakusuma yaitu Panji MAS Tedjo Kusumo. Tedjo Kusumo sendiri adalah cucu dari Tumenggung MAS Kartonegoro (Bupati Lumajang) dan cicit dari Adipati MAS Jayarana Anggawangsa Anggawi al-Hasani (Adipati Surabaya). Di bawah bimbingan dan perlindungan Pandita Amongdharma, Tedjo Kusumo menjadi Demang Tengger dan menurunkan Trah Kyai MAS Soemodiwirjo.
Karena Desa Senduro memiliki keterkaitan dengan Sultan Hamengkubuwono II maka boleh jadi yang disebut sebagai Mbah Tompokerso itu sebenarnya adalah Pangeran Sundoro itu sendiri. Di dalam sejarah, Pangeran Sundoro pernah dibuang karena menentang pemerintah kolonial. Pangeran Sundoro juga tidak dimakamkan di pemakaman raja-raja Imogiri yang mengindikasikan bahwa beliau memang tidak pernah kembali ke Yogyakarta. Pangeran Sundoro kemungkinan diasingkan ke Desa Senduro dan menikah dengan Ratu Ayu Kunti binti Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin (GKR. Sultan).
Keberadaan Desa Senduro juga tak terlepas dari keberadaan tiga langgar tua. Tiga langgar tua itu adalah Langgar Panggung, Langgar Sumber dan Langgar Kecamatan. Ketiga langgar itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk beribadah sebelum akhirnya Masjid Besar Baitusalam didirikan untuk mengakomodir jumlah masyarakat yang sudah mulai meningkat.
Masjid Baitusalam sendiri berhubungan erat dengan sosok Raden Panji Atmo Kusumo yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdelling Lumajang pada tahun 1886. Putra dari Raden Endro Kusumo (Patih Afdelling pertama) itu diperkirakan membidani pembangunan Masjid Baitusalam hingga akhir masa jabatannya sebagai Patih Afdelling pada tahun 1890. Masjid Baitusalam Senduro juga terhubung dengan Masjid Pondok Pesantren Giri Kusumo Demak yang juga bernama Baitusalam. Inskripsi di Masjid Giri Kusuma menunjukkan masa pembangunan masjid yang berlangsung selama 4 jam yang sesuai dengan masa pemerintahan Raden Panji Atmo Kusumo yang hanya 4 tahun.
Anak keturunan Raden Panji Atmo Kusumo kemudian menurunkan anak keturunan yang selama beberapa generasi aktif mengelola Masjid Baitusalam dan pengelolaan bidang keagamaan mulai ketakmiran, kepenghuluan, pengajian dsb. Anak keturunannya juga tersebar di sekitaran area masjid.
Pada tahun 1970 umat Hindu di Desa Senduro memprakarsai pembangunan Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pembangunan yang juga melibatkan pemerintah Provinsi Bali tersebut dibidani oleh tokoh Senduro yang juga sekaligus keturunan Trah Soemodiwirjo yaitu Pandita Sardjo Atmo Suryo Kusumo. Pembangunan Pura yang dituakan tersebut sekaligus menunjukkan nilai-nilai toleransi yang dijaga oleh masyarakat Desa Senduro. Hingga kini pura tersebut menjadi jujugan masyarakat Bali setiap tahun pada acara Piodalan Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Kepala Desa
Berikut ini daftar Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Senduro hingga saat ini.
No | Nama | Tahun | Masa Jabatan | Trah Tompokerso |
---|---|---|---|---|
1 | Kemadi/Kamidun bin Soemodiwirjo | 1844 - 1864 | 20 tahun | Mbok Saminten & Soemodiwirjo |
2 | Demo | 1864 - 1872 | 08 tahun | |
3 | Kayah | 1872 - 1881 | 09 tahun | |
4 | Uriyah | 1881 - 1892 | 11 tahun | |
5 | Djojo Dirun | 1892 - 1899 | 07 tahun | |
6 | Saekat Sanun | 1899 - 1912 | 13 tahun | |
7 | Seneri | 1912 - 1917 | 05 tahun | |
8 | Murti | 1917 - 1927 | 10 tahun | |
9 | Surodjojo | 1927 - 1956 | 29 tahun | |
10 | Seleman | 1956 - 1977 | 21 tahun | Mbok Saminten & Soemodiwirjo |
11 | Likoen | 1977 - 1990 | 13 tahun | |
12 | Ridwan Suwadi bin Surodjojo (Kepala Desa ke 9) | 1990 - 2006 | 16 tahun | Mbah Garnam |
13 | Sulchan bin Djumain bin Mochtar bin Wirio bin Soemodiwirjo | 2006 - 2013 | 07 tahun | Mbok Saminten & Soemodiwirjo |
14 | Farid Rahman H bin Ridwan Suwadi (Kepala Desa ke 12) | 2013 - Sekarang | Petahana | Mbah Garnam |
Referensi
- Shofi, Muhammad Aminuddin (2020). Konversi Agama Pasca Pernikahan Perspektif Teori Sistem Hukum dan Sadd Al-Dzari'ah (Studi di Kabupaten Lumajang). Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020.
- Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.