Senduro, Senduro, Lumajang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Senduro
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenLumajang
KecamatanSenduro
Kode pos
67361
Kode Kemendagri35.08.12.2004
Luas372,094 ha
Jumlah penduduk8723 jiwa
Kepadatan-

Senduro adalah sebuah desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa Senduro awalnya adalah sebuah kawasan berstatus under distrik dibawah Distrik Kandangan. Setelah Distrik Kandangan dihapuskan maka Desa Senduro dikembangkan menjadi ibukota kecamatan bernama Kecamatan Senduro.

Desa Senduro mempunyai potensi di bidang pertanian dan peternakan. Salah satu produk pertanian yang diunggulkan adalah Pisang Agung sementara produk peternakan Desa Senduro mempunyai budidaya Kambing Senduro. Dua komoditas itu menjadi andalan bagi penggerak perekonomian warga.

Desa Senduro juga memiliki potensi yang sangat menarik di bidang pariwisata. Desa Senduro disebut juga sebagai Desa Bunga Edelweiss. Senduro memiliki tempat ibadah umat hindu yaitu Pura Mandara Giri Semeru Agung. Senduro juga adalah tempat seribu pemandangan yang berbeda, sehingga banyak para wisatawan yang datang ke Senduro. Senduro juga memiliki pasar pisang, sebagai pusat distribusi pisang yang merupakan Komoditas utama kota Lumajang. Senduro juga memiliki sebuah stasiun radio di frekuensi 94.7 MHz.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Desa Senduro berdiri pada tahun 1844 bertepatan dengan tahun baru Islam. Nama Senduro konon berasal dari kata Sundoro. Sundoro adalah nama seorang pangeran asal Mataram yang kelak naik tahta menjadi raja kedua Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini dibuktikan dengan toponimi nama tempat seperti Kadipaten Lumajang hingga Kerajaan Sindura yang tercantum dalam kitab pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Kitab Kanjeng Kyai Suryaraja yang digubah oleh Sultan Hamengkubuwono II.

Sebelum menjadi sebuah desa, Senduro adalah sebuah pedukuhan kecil bernama Sumber. Dukuh ini dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mbah Sembrung. Dukuh Sumber sudah ada sejak era Kerajaan Kediri dan menjadi transit para peziarah yang hendak Tirtayatra menuju Gunung Semeru. Dukuh ini kemudian berkembang menjadi tiga dusun utama Desa Senduro yaitu Dusun Sumber Agung, Dusun Sumber Rejo dan Dusun Sumber Mulyo. Hingga kini nama ketiga dusun itu dipertahankan dan menjadi bagian dari Desa Senduro bersama dua dusun lainnya yaitu Dusun Jurang Langak dan Dusun Tempuran.

Pohon Keluarga Trah Tompokerso

Berdasarkan penelusuran para sesepuh Desa Senduro maka pada tahun 1968 ditemukan nama seorang tokoh bernama Mbah Tompokerso. Mbah Tompokerso bukanlah nama sebenarnya. Nama asli beliau adalah Ki Demang Legawa. Ki Demang Legawa berasal dari daerah Gerbo (Pasuruan) yang ditugasi oleh Adipati Nitiadiningrat untuk menjaga kawasan keramat bernama Selarawa (Situs Selogending). Dibantu Mbah Sembrung, Ki Demang Legawa diberi wilayah kekuasaan Desa Senduro dan menjadi demang pertama bergelar Demang Sindura.

Tugas untuk menjaga kawasan Selarawa memang bukan tanpa sebab. Di tempat itu hidup seorang anak keturunan Adipati Malayakusuma yaitu Tedjo Kusumo. Tedjo Kusumo sendiri adalah cucu dari Tumenggung Kartonegoro (Bupati Lumajang) dan cicit dari Adipati Mas Jayarana Anggawangsa Anggawi al-Hasani (Adipati Surabaya). Di bawah bimbingan dan perlindungan Pandita Amongdharma, Tedjo Kusumo menjadi Demang Tengger dan menurunkan Trah Soemodiwirjo.

Keberadaan Desa Senduro juga tak terlepas dari keberadaan tiga langgar tua. Tiga langgar tua itu adalah Langgar Panggung, Langgar Sumber dan Langgar Kecamatan. Ketiga langgar itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk beribadah sebelum akhirnya Masjid Besar Baitusalam didirikan untuk mengakomodir jumlah masyarakat yang sudah mulai meningkat.

Masjid Baitusalam sendiri berhubungan erat dengan sosok Raden Panji Atmo Kusumo yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdelling Lumajang pada tahun 1886. Putra dari Raden Endro Kusumo (Patih Afdelling pertama) itu diperkirakan membidani pembangunan Masjid Baitusalam hingga akhir masa jabatannya sebagai Patih Afdelling pada tahun 1890. Masjid Baitusalam Senduro juga terhubung dengan Masjid Pondok Pesantren Giri Kusumo Demak yang juga bernama Baitusalam. Inskripsi di Masjid Giri Kusuma menunjukkan masa pembangunan masjid yang berlangsung selama 4 jam yang sesuai dengan masa pemerintahan Raden Panji Atmo Kusumo yang hanya 4 tahun.

Anak keturunan Raden Panji Atmo Kusumo kemudian menurunkan anak keturunan yang selama beberapa generasi aktif mengelola Masjid Baitusalam dan pengelolaan bidang keagamaan mulai ketakmiran, kepenghuluan, pengajian dsb. Anak keturunannya juga tersebar di sekitaran area masjid.

Pada tahun 1970 umat Hindu di Desa Senduro memprakarsai pembangunan Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pembangunan yang juga melibatkan pemerintah Provinsi Bali tersebut dibidani oleh tokoh Senduro yang juga sekaligus keturunan Trah Soemodiwirjo yaitu Pandita Sardjo Atmo Suryo Kusumo. Pembangunan Pura yang dituakan tersebut sekaligus menunjukkan nilai-nilai toleransi yang dijaga oleh masyarakat Desa Senduro. Hingga kini pura tersebut menjadi jujugan masyarakat Bali setiap tahun pada acara Piodalan Pura Mandara Giri Semeru Agung.

Kepala Desa[sunting | sunting sumber]

Berikut ini daftar Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Senduro hingga saat ini.

No Nama Tahun Masa Jabatan
1 Kemadi 1844 - 1864 20 tahun
2 Demo 1864 - 1872 08 tahun
3 Kayah 1872 - 1881 09 tahun
4 Uriyah 1881 - 1892 11 tahun
5 Djojo Dirun 1892 - 1899 07 tahun
6 Saekat Sanun 1899 - 1912 13 tahun
7 Seneri 1912 - 1917 05 tahun
8 Murti 1917 - 1927 10 tahun
9 Surodjojo 1927 - 1956 29 tahun
10 Seleman 1956 - 1977 21 tahun
11 Likoen 1977 - 1990 13 tahun
12 Ridwan Suwadi 1990 - 2006 16 tahun
13 Sulchan bin Djumain 2006 - 2013 07 tahun
14 Farid Rahman H bin Ridwan Suwadi 2013 - Sekarang Petahana

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. Shofi, Muhammad Aminuddin (2020). Konversi Agama Pasca Pernikahan Perspektif Teori Sistem Hukum dan Sadd Al-Dzari'ah (Studi di Kabupaten Lumajang). Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020.
  2. Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  3. Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.