Orang Topas
Orang Topas (juga disebut Portugis Hitam atau Bidau) terutama adalah keturunan campuran prajurit, pelaut, dan pedagang Portugis dengan wanita India dan Melayu. Seiring perjalanan waktu, istilah ini digunakan untuk menyebut sejumlah penduduk blasteran, dan pada akhirnya hanya digunakan oleh Portugis untuk menyebut Larantuqueiros, penduduk campuran Katolik dari Flores Timur. Di sana, orang Topas dalam 1 generasi mencoba membentuk sebuah kerajaan kecil merdeka, yang hingga abad ke-19 hanyalah bawahan Portugis secara nominal.[1] Sumber-sumber Belanda menggunakan istilah Topas untuk penduduk blasteran dan juga penduduk asli yang sama-sama memeluk agama Kristen dan menjalani gaya hidup ala Eropa.[2]
Istilah Topas diduga berasal dari kata Melayu topashe maupun Hindi dobashi, yang berarti "dwibahasa" atau "penerjemah".[1] Penjelasan lain menyebutkan istilah ini berasal dari kata topi. Sehingga, Topas juga berarti Gente de Chapeo, yang dalam bahasa Portugis berarti "orang yang memakai topi".[3]
Sejarah
Penyebutan awal
Untuk pertama kalinya, pada tahun 1604, pendeta Dominikan bernama Gabriel Quiroga de San Antonio menyebutkan bahwa ada orang Topas di Pantai Koromandel. Pada tahun 1619, Raja Muda di India menyebutkan kepada istana Portugis dalam sebuah surat, bahwa karena kurangnya serdadu Portugis, orang Topas di Benteng Malaka akan menyingkirkan orang Jepang, Jawa, dan Melayu 'yang mengganggu'.
Catatan Belanda tahun 1648 melaporkan sekelompok orang Topas bersama dengan Mestizo, dan setelah menyerahnya Portugis pada tanggal 7 Januari 1663 di Kochi, India, hukum untuk orang Topas yang dipenjara pun ditetapkan. Pada tahun 1690, Engelbert Kaempfer, seorang ilmuwan Jerman yang bertugas untuk Perusahaan Hindia Timur Belanda, menyebutkan adanya 'ras Portugis dengan wanita berkulit gelap' yang hidup bersama dari sebuah desa dekat Ayutthaya yang sekarang berada di Thailand. Kapiten Britania Raya Alexander Hamilton menuliskan dalam bukunya tahun 1727 tentang orang Topas atau Portugis India yang tinggal di Kamboja.
Kepulauan Sunda Kecil
Orang Topas yang tinggal di Kepulauan Sunda Kecil berasal dari percampuran antara wanita dari Larantuka dan Solor dengan bangsa Portugis, terkadang juga Belanda. Di sini, mereka juga disebut sebagai Larantuqueiros.[1][4]
Menurut surat-surat Belanda, orang Topas dari Larantuka sudah menguasai pelabuhan di pantai utara Timor pada tahun 1623.[2] Suatu ketika, perpecahan di kalangan Topas terjadi dengan datangnya Jan da Hornay (juga dieja João de Hornay, d'Ornay, da Ornai, atau de Horney) yang merupakan seorang Mestizo. Pada tahun 1627, Jan da Hornay adalah komandan benteng di Solor, tetapi 2 tahun kemudian, ia membelot ke pihak Portugis, sehingga pendeta Dominikan Portugis mengambil kendali atas Solor lagi. Kemudian da Hornay bertolak ke Larantuka, menikahi seorang budak Timor dan membentuk klan keluarga yang kuat bersama kedua putranya António dan Francisco.[3] Mateus da Costa, sahabat tempur António da Hornay, menikahi putri penguasa Timor Barat (menurut sumber tertulis berasal dari Amanuban atau Ambeno) dan mendirikan klan tandingan, da Costa.[3] Kedua klan tersebut bergabung dengan pernikahan dengan sejumlah keluarga bangsawan Timor Barat, dan beberapa penguasa mengadopsi marga mereka untuk memperkuat kekuasaannya.
Di Flores, orang Topas mendirikan negara yang bebas namun kuat, terutama terdiri dari persekutuan Larantuka, Wureh, dan Konga. Kekuasaan Portugis sebatas hanya pada namanya saja. Tidak ada pejabat Portugis dan tidak ada pengumpulan pajak. Surat dari raja di Lisboa diabaikan. Orang Topas menjalankan kendali atas penduduk asli Flores dengan menjadikan mereka sebagai 'sekutu'. Penaklukan suatu kelompok penduduk selalu mengikuti pola yang sama, raja yang paling dihormati masuk agama Katolik melalui tekanan militer. Ia harus bersumpah setia kepada raja Portugal dan kemudian dianugerahi gelar Dom. Raja dapat memerintah rakyatnya secara otonom, tetapi pasukan bantuan harus diperlukan selama peperangan. Cara tersebut juga diterapkan oleh Portugis di daerah jajahannya yang lain. Sejak berkuasanya orang Topas, bahasa Portugis dinyatakan sebagai bahasa resmi untuk membedakan dari dengan penduduk pribumi. Sebagai bahasa perdagangan digunakanlah bahasa Melayu, yang juga dimengerti oleh penduduk pulau lain di sekitarnya.
Selain di Larantuka, orang Topas juga tinggal bersama orang Portugis di Lifau yang sekarang berada di Oecusse, Timor Leste. Sejak tahun 1641–1642, pemimpin orang Topas juga terkadang tinggal di sana.[2] Mereka juga mendapat gelar dari Portugis, sebagai tanda bahwa dirinya adalah perwakilan daerah untuk Portugal. Dari sini, orang Topas juga mengambil alih perdagangan cendana. Pada tahun 1642, sejumlah besar orang Topas sudah tinggal di Timor dan masuk ke pedalaman. Dengan pasukan yang kuat, negosiasi dengan liurai (raja kecil) setempat ditekankan. Di saat yang sama, mereka masuk dalam kekosongan kekuasaan, yang terjadi setelah hancurnya Wehali|Wehali oleh Francisco Fernandes yang berdiri di pihak Topas. Banyak bekas sekutu Wehali yang memutuskan bergabung dengan orang Topas. Pasokan senapan menjamin kendali atas sebagian besar produksi cendana dan dapat menentukan harga.[5] Di sini, klan Costa dan Da Hornay juga berperang untuk kekuasaan.[1]
Dalam sebuah surat berbahasa Belanda tahun 1659 disebutkan:
Seluruh bangsa Portugis beserta keluarganya pindah dari Larantuka ke Timor saat itu [...]. Awalnya, sang kapiten mayor memiliki 200 pengikut di Lifau, termasuk 20 [pengkhianat] Belanda kita yang masih hidup. Di Amakono terdapat sekelompok 30 orang; di negeri Amanuban ada 2 kelompok masing-masing beranggotakan 20 orang, keseluruhannya berjumlah; di Amarasi ada 30 orang dalam 1 kelompok; di Amfoang (juga disebut Snick-Snack) hanya ada seorang rohaniwan. Secara keseluruhan, terdapat 300 jiwa. Di antara mereka, terdapat sejumlah bangsa kulit putih dan Mestizo, kebanyakan berkulit hitam dengan senapan.[2]
Pemimpin Topas | |
---|---|
1665 † | Simão Luis[6] |
1666–1669 | António da Hornay[7] |
1670–1673 | Mateus da Costa (kapitan jenderal sejak tahun 1671)[7] |
1673 | Manuel da Costa Viera (sementara)[7] |
1673–1693 † | Antonio da Hornay[7] |
1693–1696 | Francisco da Hornay (kapitan jenderal sejak tahun 1694)[7] |
1697–1722? † | Domingos da Costa[2] |
1722–1730 | Francisco da Hornay II[8] |
1730–1734 | João Cave[8] |
1734–1749/1951 † | Gaspar da Costa[9] |
1749/1951–1757 | João da Hornay[8] |
1757–1777 | Francisco da Hornay III dan Domingos da Costa II (setidaknya hingga tahun 1772)[10] |
1782–1796 | Pedro da Hornay (pada tahun 1787 juga di bawah kekuasaan Portugis)[8] |
dari tahun 1816 | José da Hornay[8] |
sekitar tahun 1835 | Filippe da Hornay[8] |
1868–1879 | João da Hornay Madeira[8] |
sejak tahun 1893–1896 | Domingos da Costa III[8] |
sejak tahun 1898 | Pedro da Costa[8] |
sejak tahun 1911–1948 | Hugo Hermenegildo da Costa[8] |
1948–1999 | João Hermenegildo da Costa (hingga tahun 1990) dan (pada tahun 1949) José Hermenegildo da Costa (4 November 1999 †)[8] |
sejak tahun 1999 | António da Costa[8] |
Orang Topas memandang dirinya terancam dari segala penjuru: pertama oleh pedagang Portugis, yang diizinkan oleh Imperium Portugal untuk mengendalikan perdagangan kayu cendana. Kemudian oleh para pendeta Dominikan yang mencoba membentuk basis kekuatan sendiri yang merdeka di Timor, dan akhirnya oleh liurai setempat yang secara berkala memberontak, baik kepada orang Topas maupun Portugis. Akan tetapi, mereka semua bersatu melawan ekspansi Belanda. Pada tahun 1656, orang Topas yang dipimpin oleh Antonio da Hornay dan Mateus da Costa menghancurkan ekspedisi militer Belanda dekat Amarasi, yang dikirim untuk memerangi mereka, dan memaksa mereka menyerahkan Benteng Kupang yang baru sama mereka duduki. Akhirnya, raja muda Portugis di Goa memanfaatkan persaingan di antara kedua klan keluarga. Ia mengirimkan surat yang sama kepada Antonio da Hornay dan juga Mateus da Costa, yang isinya sama-sama menyatakan bahwa mereka dinyatakan sebagai kapiten mayor (capitão-mor), yang membuktikan bahwa ia memegang kekuasaan. Pada titik ini yang dinyatakan adalah António, tetapi Mateus tidak menyetujuinya, bergantung pada pengangkatan awal.[3] Peperangan berdarah antara kedua keluarga tersebut mulai meletus dan belakangan memicu pembagian kekuasaan di antara orang Topas. Antara tahun 1668–1670, Mateus da Costa menundukkan sejumlah kerajaan Tetun di daerah pesisir Belu untuk Portugis.[2] Dari tahun 1671, Mateus dapat mengklaim gelar kapiten mayor untuk dirinya sendiri,[7] namun ia meninggal pada tahun 1673.[11] Setelah dipegang oleh Manuel da Costa Vieira dalam jangka waktu yang singkat, António da Hornay mendapatkan gelar tersebut pada tahun itu juga[7] dan secara de facto berkuasa sebagai pangeran di Larantuka, Solor, dan sebagian Timor. Oleh Belanda, ia digambarkan begitu kejam sehingga mereka berharap orang Timor akan bangkit melawan terhadapnya dan juga Portugis.[2] Setelah meninggal pada tahun 1693, António da Hornay digantikan oleh Romo António de Madre de Deus dan akhirnya oleh saudaranya Francisco da Hornay.[7] Pada akhirnya, keluarga da Hornay dan da Costa bersatu melalui pernikahan Francisco da Hornay dengan salah satu puteri Domingos da Costa, putera Mateus.[12]
Pada tahun 1695, untuk pertama kalinya Portugal menjadikan kapiten mayor sebagai gubernur Timor dan Solor. António de Mesquita Pimentel segera menerima kemarahan penduduk asli setelah kedatangannya pada tahun 1696. Secara kurang ajar, ia melakukan penjarahan dan membunuh 2 putera Francisco da Hornay.[6] Domingos da Costa, yang kini menjadi kapitan mayor yang baru,[2] merantai Antonio de Mesquita Pimentel pada tahun 1697 dan mengirimnya kembali ke Goa.[1] Pengganti Pimentel, André Coelho Vieira ditangkap oleh Domingos da Costa pada tahun 1698 di Larantuka dan memulangkannya ke Makau.[6] António Coelho Guerreiro diangkat kembali sebagai kapitan mayor pada tahun 1702 di Lifau, meskipun kebanyakan orang Topas bermusuhan padanya. Antonio Coelho Guerreiro didukung oleh rakyat dan secara universal oleh uskup Manuel de Santo António, yang berunding dengan Lourenço Lopes, saudara ipar Domingos da Costa. Sebagai gantinya, Lopes diangkat sebagai letnan jenderal. Guerreiro menjadikan Lifau sebagai pusat kekuasaan jajahannya pada tahun 1702, tetapi secara terus menerus dikepung oleh orang Topas. Hingga tahun 1705, Guerreiro selalu menang sebelum akhirnya mundur. Setelah Lourenco Lopes (1705–1706) dan Manuel Ferreira de Almeida (1706–1708) membawa kejayaan bagi koloni tersebut, Manuel de Santo Antonio menjadikan Jácome de Morais Sarmento (1708–1709) diakui sebagai gubernur Portugis yang baru. Akan tetapi, muncul perselisihan antara Jacome de Morais Sarmento dan Manuel de Santo António. Pada tahun 1708, De Morais Sarmento menangkap dan mempermalukan Mateus da Costa, liurai Viqueque. Domingos da Costa mengepung Lifau hingga tahun 1709. Manuel de Santo António muncul memulihkan keadaan dengan mendatangi kemah Domingos da Costa dan membujuk penguasa Topas tersebut untuk tunduk pada Imperium Portugis.[2][6] Gubernur berikutnya, Manuel de Souto-Maior (1709–1714) memulihkan Dom Mateus.[13]
Pada tahun 1722, António de Albuquerque Coelho diangkat sebagai gubernur, namun dikepung selama 3 tahun oleh orang Topas di bawah pimpinan Francisco da Hornay II di Lifau, begitupun pengganti Coelho, António Moniz de Macedo (1725–1729 dan 1734–1739) selama waktu tertentu.[3] Orang Topas antara lain mengendalikan perdagangan kayu cendana di pedalaman dan sebagian besar Timor Barat. Keadaan membaik bagi Portugis ketika Gubernur Macedo menduduki jabatannya untuk yang kedua kalinya. Kapitan mayor saat itu, Gaspar da Costa, menerima de Macedo dengan hangat. Gaspar juga memfasilitasi pembangunan seminari pendeta pertama di Lifau. Di masa itu, ia tinggal di Animata, sebuah kota dengan 1.800 rumah, terletak beberapa kilometer di selatan Lifau, yang dihuni oleh orang Portugis dan pribumi. Pusat lain orang Topas di Timor ada di Tulang Ikan.[2]
Kejatuhan Timor
Tiga kali orang Topas mencoba mengusir bangsa Belanda dari Timor: 1735, 1745, dan 1749.[3] Serangan bersama Portugis dan orang Topas ke Kupang pada tanggal 18 Oktober 1749 berakhir dengan bencana meskipun menang jumlah. Bangsa Belanda meminta tolong kepada sekutu Timornya dan Mardijker dari Solor, Rote dan Semau. Orang Mardijker merupakan penduduk campuran dari berbagai 'pribumi Hindia', tetapi tidak seperti orang Topas yang mayoritas beragama Katolik. Mereka mengukuhkan perannya dalam perdagangan dan mendukung Belanda. Gaspar da Costa dan sejumlah pimpinan Topas lainnya gugur dalam Pertempuran Penfui. Secara keseluruhan, sekitar 40.000 pasukan Topas dan sekutunya terbunuh dalam pertempuran itu. Sebagai akibat kekalahan itu, kekuasaan Portugis dan Topas di Timor Barat pun berakhir. Pada bulan April 1751, mereka mengangkat liurai Sorbian; menurut salah satu sumber, Gaspar da Costa ditemukan meninggal di sini. Pada tahun 1752, Belanda menduduki Kerajaan Amarasi dan Noemuti yang diperintah orang Topas. Serangan tersebut dipimpin oleh orang Jerman, Hans Albrecht von Plüskow. Belanda juga memanfaatkan kampanye ini untuk berburu budak, untuk memenuhi permintaan dari perkebunan di Maluku. Uskup Malaka mencela perdagangan budak ala Belanda ini pada tahun itu juga, di mana budak-budak itu dijual kepada orang Tionghoa dan Arab, dan menyebutnya sebagai suatu kejahatan, sehingga diekskomunikasi oleh Gereja Katolik. Tiga tahun kemudian, VOC mengirim Johannes Andreas Paravicini untuk merundingkan perjanjian dengan penguasa Timor, Solor, dan Sumba. Pada tahun 1756, sebagian besar raja-raja kecil di Timor Barat telah bersekutu dengan VOC melalui Perjanjian Paravicini. Hal itu menandai awal kekuasaan Belanda di Timor Barat yang sekarang masuk Indonesia.[1]
Ketika Francisco da Hornay III menggantikan jabatan sebagai pimpinan Topas dari ayahnya João da Hornay yang meninggal pada tahun 1757, terjadi perselisihan dengan keluarga da Costa mengenai gelar tersebut. Perselisihan itu berakhir dengan pernikahan Francisco da Costa III dengan putri Domingos da Costa II dan pengangkatan Domingos da Costa II sebagai letnan jenderal. Adiknya António da Costa menjadi penguasa Noimuti. Larantuka diperintah oleh Dona Maria da Hornay, saudari Joao da Costa. Bangsa Belanda memanfaatkan kesempatan tersebut. Mereka membujuk Maria da Hornay untuk menikah dengan pejabat Belanda yang berpenampilan menarik, sehingga membawa Larantuka di bawah pengaruh VOC.[14]
Dengan mempertimbangkan keadaan yang berlangsung, Gubernur Vicento Ferreira de Carvalho (1756–1759) memutuskan untuk menyerah dan menjual Lifau kepada Belanda pada tahun 1759. Namun, ketika ingin menduduki daerah tersebut di bawah pimpinan Hans Albrecht von Plüskow, Belanda harus berhadapan dengan pasukan Topas. Hans Albrecht von Pluskow kemudian dibunuh oleh Francisco da Hornay III dan Antonio da Costa.
Pada tahun 1766, Francisco da Hornay III berpisah dengan bangsa Portugis. Ia bersekutu dengan António da Hornay (sumber lain menyebutkan namanya Domingos da Costa II)[8] di Malaka Belanda dan kemudian berakhir dengan perpisahan sementara dengan orang Topas. Tujuannya kini adalah mengusir bangsa Portugis dan menjamin Timor di tangan Belanda. Keberhasilan rencana ini agak terbatas karena liurai di Timor Timur menunjukkan sikap bermusuhan kepada bangsa Portugis dan Belanda.
Korban pertama dari berpindahnya Francisco da Hornay III adalah Gubernur Dionísio Gonçalves Rebelo Galvão (1763–1765), yang diracuni oleh Francisco da Hornay III, António da Costa, Quintino da Conceição dan Lourenço de Mello pada tanggal 28 November 1765. Namun, sedikit yang dapat diketahui dari keadaan saat itu. Kemudian, Pendeta Dominikan António de Boaventura dan José Rodrigues Pereira mengambil alih pemerintahan koloni, hingga tibanya gubernur baru, António José Teles de Meneses. Akibat buruknya keadaan pasokan di koloni sekelilingnya, pada tahun 1769, Antonio Jose Teles de Meneses terpaksa meminta pengiriman beras dari Makau, tetapi kapal pengangkutnya tidak datang ke Lifau. Hubungan daerah pedalaman antara orang Topas dan pribumi Timor terputus. Pada malam hari tanggal 11 Agustus 1769, Teles de Meneses menyerah dan memindahkan ibukota koloni ke Dili. Di Lifau, Francisco dan António da Hornay mengambil alih kekuasaan di daerah tersebut. Kini, di antara Kupang (daerah Belanda) dan daerah yang dikuasai Portugis sepanjang 25–30 liga, didirikan banyak pelabuhan besar. Francisco da Hornay menawarkan Lifau kepada Belanda, tetapi menolak setelah mempertimbangkannya matang-matang.[3][10] Putranya Pedro da Hornay kembali ditempatkan di bawah pemerintahan Portugal pada tahun 1787; hal tersebut menyebabkan Oecussi menjadi bagian Timor Portugis. Orang Topas yang sudah berdiam di Dili kemudian dikenal dengan nama Bidau dan daerah Bidau di timur Dili dinamai menurut sebutan tersebut. Orang Bidau, bersama dengan suku Sikka dan Morador membentuk kesatuan yang menyusun angkatan perang Portugis di daerah jajahan ini. Dua kelompok lain tersebut tinggal di daerah mereka masing-masing di ibukota itu.[1]
Pada tahun 1854, Afonso de Castro, gubernur Portugis yang memerintah Kepulauan Sunda Kecil saat itu, menjanjikan kekuasaan daerah, antara lain Larantuka, dengan cara jual beli. Sebuah perjanjian disahkan 5 tahun kemudian. Meskipun Belanda mengirimkan seorang komandan pejabat administrasi yang tinggal di sebuah benteng kecil, tetapi mereka bersikap ketimbang diam terhadap penduduk asli. Secara ekonomi, setelah menurunnya perdagangan kayu cendana, Larantuka tidak menarik lagi, dan komoditasnya berganti dengan pertanian oleh orang Topas setempat. Tidak banyak lagi yang tersisa dari perdagangan asing sebelumnya.
Orang Topas saat ini
Secara resmi, orang Topas memang beragama Katolik, namun kendali keagamaan telah menumbuhkan fondasi keagamaan yang mengarahkan praktek keagamaan itu sendiri. Di Larantuka, yang paling kuat adalah La Confraria da Rainha do Rosário, persaudaraan Ratu Rosario, yang masih ada sampai sekarang. Dari perjanjian Belanda-Portugis diputuskan bahwa umat Katolik dipastikan bebas mengamalkan ajaran agamanya. Sehingga, di Larantuka tidak ada penyebaran ajaran Kalvinisme yang biasa dianut orang Belanda. Alih-alih, serikat Yesuit dari Belanda dapat terlibat dalam pekerjaan kolonial. Di Larantuka, mereka mendirikan bangunan paroki pertama dan kembali mengarahkan bentuk ortodoks agama tersebut. Sebagai contoh, seorang pria hanya dapat menikah dengan wanita. Para misionaris juga membangun sekolah dan mendirikan tempat perawatan kesehatan untuk penduduk.
Karena Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, orang Topas di Larantuka kembali memperoleh pengaruh. Berkat pendidikan yang lebih tinggi dari penduduk asli, mereka dapat mencapai kedudukan tinggi dengan mudah. Bahasa Indonesia yang ditetapkan sebagai bahasa resmi baru pun juga tidak jadi masalah bagi mereka karena kemiripannya dengan bahasa Melayu.[5]
Di Timor Portugis, orang Topas dan Bidau tidak membentuk kelompok khusus di antara penduduk Mestizo. Di sana, mereka menuturkan bahasa kreol yang disebut sebagai Português de Bidau, yang telah lenyap pada tahun 1960-an, yang penuturnya beralih ke bahasa Portugis standar.[5] Anggota keluarga merekapun kini menjadi liurai di Timor Barat, seperti António da Costa di Oecusse dan Antonius da Costa di Noemuti.[15] Trah Hornay telah lenyap di Oe-Cusse.[16]
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, katekis Carlos da Costa Hornay aktif di bagian timur negeri itu. Ia menjadi wali baptis di Luru, Iliomar, dan bagian Lautém lainnya, tempat orang Katolik baru mengambil nama marga seperti da Costa dan da Hornay. Hatta, di Distrik Baucau yang berdekatan juga terdapat penduduk yang menyandang marga da Hornay.
Lihat juga
Rujukan
- Charles Ralph Boxer: The Topasses of Timor. Indisch Instituut, Amsterdam 1947, (Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut (dahulu Koloniaal Instituut), Mededeling 73, (Koninklijke Vereniging Indisch Instituut, Afdeling Volkenkunde 24).Diarsipkan [Date missing], di 62.41.28.253 Galat: URL arsip tidak dikenal
- Ronald Daus: Die Erfindung des Kolonialismus. Peter Hammer Verlag, Wuppertal 1983, ISBN 3-87294-202-6.
- Monika Schlicher: Portugal in Osttimor: Eine kritische Untersuchung zur portugiesischen Kolonialgeschichte in Osttimor 1850 bis 1912. Abera, Hamburg 1996, ISBN 3-931567-08-7, (Abera Network Asia-Pacific 4), (juga: Heidelberg, Univ., Diss, 1994).
- Artur Teodoro de Matos: Timor Português 1515-1769: Contribuição para a sua história. Instituto Histórico Infante Dom Henrique, Lisboa 1974, (Série ultramarina 2).
Catatan
- ^ a b c d e f g History of Timor – Technische Universität Lissabon Diarsipkan 2009-03-24 di Wayback Machine. (PDF; 824 kB)
- ^ a b c d e f g h i j Hans Hägerdal: Diarsipkan [Date missing], di www.kitlv-journals.nl Galat: URL arsip tidak dikenal
- ^ a b c d e f g Diarsipkan [Date missing], di dspace.anu.edu.au Galat: URL arsip tidak dikenal (PDF; 70 kB)
- ^ Diarsipkan [Date missing], di www.geocities.com Galat: URL arsip tidak dikenal
- ^ a b c "The languages of East Timor". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-19. Diakses tanggal 2019-01-11.
- ^ a b c d Chronologie de l’histoire du Timor (1512-1945) suivie des événements récents (1975-1999) Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine. ((Prancis); PDF; 887 kB)
- ^ a b c d e f g h Marques, A.H. de Oliveira: História de Portugal, Band II, Lissabon, Palas Editores, 1984, S. 474.
- ^ a b c d e f g h i j k l m "Regnal chronologies:Southeast Asia: the Islands". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-25. Diakses tanggal 2019-01-11.
- ^ History of Timor – Technische Universität Lissabon, S. 40ff
- ^ a b History of Timor – Technische Universität Lissabon, S. 44ff
- ^ Worldstatesman
- ^ Diarsipkan [Date missing], di cvc.instituto-camoes.pt Galat: URL arsip tidak dikenal (bahasa Portugis).
- ^ Diarsipkan [Date missing], di www.instituto-camoes.pt Galat: URL arsip tidak dikenal
- ^ Hans Hägerdal: Lords of the Land, Lords of the Sea; Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600–1800., 2012.
- ^ "Royal Timor - Noimuti". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-21. Diakses tanggal 2016-01-08. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-21. Diakses tanggal 2019-01-11.
- ^ Laura Suzanne Meitzner Yoder: Diarsipkan [Date missing], di oecusse.com Galat: URL arsip tidak dikenal, Universitas Yale 2005 (ukuran data PDF; 1,46 MB)