Lompat ke isi

Adipati Pragola

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Agustus 2024 19.01 oleh Muhammad Gian Avecena (bicara | kontrib) (Adipati Pragola yang Kedua: sejarah)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Adipati Pragola dari Pati merujuk pada dua orang tokoh yang keduanya pernah memberontak terhadap Kesultanan Mataram. Pada umumnya, para sejarawan menyebut Pragola I untuk yang menentang Panembahan Senopati tahun 1600, dan Pragola II untuk yang menentang Sultan Agung tahun 1627.

Adipati Pragola yang Pertama

[sunting | sunting sumber]

Nama aslinya adalah Wasis Jayakusuma putra Ki Ageng Panjawi, saudara seperjuangan Ki Ageng Pamanahan. Istilah Pragola, didapatkannya setelah menukar kuda miliknya, dengan sapi kesayangan Panembahan Senopati yang disebut Pragola. Konon, Panembahan Senopati ingin menukar sapi kesayangannya karena kuda Adipati Pragola memiliki kecepatan di atas rata-rata kuda umumnya. Kakak perempuan sang adipati yang bernama Waskitajawi menikah dengan Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan, dan melahirkan Mas Jolang.

Sutawijaya kemudian mendirikan Kesultanan Mataram tahun 1587, sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Sementara itu, Wasis Jayakusuma menggantikan ayahnya sebagai bupati Pati bergelar Pragola. Kakaknya dijadikan permaisuri utama bergelar Ratu Mas, sedangkan Mas Jolang sebagai putra mahkota.

Antara Pati dan Mataram, kedudukannya sama atau sederajat. Meskipun begitu, Pada tahun 1590 Pragola ikut membantu Mataram menaklukkan Madiun. Pemimpin kota itu yang bernama Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana Demak) melarikan diri ke Surabaya. Putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil Panembahan Senopati sebagai permaisuri kedua.

Peristiwa ini membuat Pragola sakit hati karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas) terancam. Ia menganggap perjuangan Panembahan Senopati sudah tidak murni lagi. Pemberontakan Pati pun meletus tahun 1600. Daerah-daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng dapat ditaklukan Pragola.

Panembahan Senopati mengirim Mas Jolang untuk menghadapi pemberontakan Pragola. Kedua pasukan bertemu dekat Prambanan. Pragola menolak untuk melawan keponakannya, dan ia meminta Panembahan Senopati sendiri yang menghadapinya. Namun, keponakannya bersikeras untuk melawan pamannya. Untuk membuat keponakannya itu mengurungkan niatnya, Adipati Pragola memukulkan gagang tombak hingga mengenai pelipis keponakannya hingga berdarah.

Mengetahui anaknya terluka, Ratu Mas sudah merelakan kematian adiknya. Akhirnya Adipati Pragola mundur, lalu membuat pertahanan di Gunung Pati, Semarang. Hingga akhir hayatnya.

Adipati Pragola yang

Foto
Adipati Pragola ll

atau Wasis Jayakusuma II, putra dari Wasis Jayakusuma I atau Adipati Pragola I. Adipati Pragola II, beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yg merupakan Adik Sultan Agung. Maka, Adipati Pragola II tidak lain adalah adik ipar dari Sultan Agung, sang penguasa Mataram.

Pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Karena hal ini, sang adipati tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram. Awalnya, Sultan Agung masih membiarkan ketidakhadiran adik iparnya itu. Karena daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan. Sehingga, jangan sampai melakukan pemberontakan.

Akhir dari hubungan Mataram-Pati, adalah dengan meletusnya perang Pati. Sebab perang ini adalah, penyerangan Pati ke Jepara karena sebuah konflik. Namun, oleh Patih Endranata, Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram.

Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapatinya, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-alap.

Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin oleh Pangeran Madura yg membawahi prajurit Kedu, Begalan dan Pamijen, pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.

Pasukan dari arah barat dipimpin oleh bupati Sumedang (Rangga Gempol I) yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati. Terakhir keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada diantara mereka harus mengikuti raja.

Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung. Ke enam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.

Pada hari Jum’at Wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II wafat setelah tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung, yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.

Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, yang tidak lain adalah istri dari sang adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar, dengan perasaan duka yang mendalam, menjawab bahwa semua berita yang didengar oleh sang sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Endranata. Patih Endranata akhirnya ditangkap, dan dieksekusi.

Perlawanan Adipati Pragola II yang gagah berani dalam melawan Mataram, untuk menjaga kehormatan Kadipaten Pati terus hidup dalam ingatan masyarakat Pati. Karena peristiwa penyerangan Mataram ini, ada sebuah pantangan bagi masyarakat Pati. Yaitu, orang Pati jangan sampai menikah dengan orang Mataram.

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu