Lompat ke isi

Soraya Esfandiary-Bakhtiary

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Soraya Esfandiary-Bakhtiary
Soraya pada tahun 1953
Permaisuri Kerajaan Iran
Periode12 Februari 1951 – 15 Maret 1958
Kelahiran(1932-06-22)22 Juni 1932
Isfahan, Kekaisaran Persia
Kematian26 Oktober 2001(2001-10-26) (umur 69)
Paris, Prancis
Pemakaman
Pasangan
(m. 1951; c. 1958)
AyahKhalil Esfandiary-Bakhtiary
IbuEva Karl
PekerjaanAktris (1965)

Soraya Esfandiary-Bakhtiary (bahasa Persia: ثریا اسفندیاری بختیاری; 22 Juni 1932 – 26 Oktober 2001) merupakan Permaisuri Kerajaan Iran setelah menikah dengan Syah Mohammad Reza Pahlavi pada tahun 1951 sebagai istri keduanya. Pernikahan mereka dihujani berbagai tekanan, terutama setelah diketahui bahwa Soraya sulit untuk memiliki keturunan. Ketika suaminya mengusulkan untuk menikah lagi demi mendapatkan seorang penerus, Soraya menentang keras usulan tersebut. Di sisi lain, suaminya juga tidak setuju dengan ide Soraya yang menyarankan agar ia turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada saudara tirinya. Pada bulan Maret 1958, mereka memutuskan untuk bercerai. Setelah itu, Soraya sempat menekuni karier sebagai pemeran dan menjalin hubungan dengan sutradara Italia, Franco Indovina, sebelum akhirnya hidup sebatang kara di Paris hingga akhir hayatnya.

Kehidupan awal

Soraya lahir pada tanggal 22 Juni 1932 di Rumah Sakit Misionaris Inggris di Isfahan,[1][2] sebagai anak sulung dan putri tunggal dari Khalil Esfandiary-Bakhtiary (1901–1983),[1] seorang bangsawan dari suku Bakhtiari sekaligus duta besar Iran untuk Jerman Barat di era 1950-an, dan Eva Karl, seorang wanita Jerman kelahiran Rusia.[3] Soraya memiliki seorang adik laki-laki bernama Bijan (1937–2001).

Keluarga Soraya telah lama berkiprah dalam pemerintahan Iran, termasuk pamannya, Sardar Assad, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam Revolusi Konstitusional Persia pada awal abad ke-20.[4] Soraya dibesarkan di Berlin dan Isfahan, sebelum melanjutkan pendidikan di London dan Swiss.[2]

Pernikahan

Pada tahun 1948, Soraya diperkenalkan kepada Syah Mohammad Reza Pahlavi yang baru saja bercerai, melalui perantaraan kerabat dekatnya, yakni Forough Zafar Bakhtiari, dengan bantuan foto yang diambil oleh Goodarz Bakhtiary di London. Pada saat itu, Soraya baru saja lulus dari sekolah menengah di Swiss dan tengah belajar bahasa Inggris di London.[4] Tak lama setelahnya, mereka resmi bertunangan, dan sang Syah memberinya sebuah cincin berlian seberat 22,73 karat (4,474 g).[5]

Pada tanggal 12 Februari 1951, Soraya resmi menikah dengan sang Syah di Istana Marmer, Teheran.[6] Awalnya, pernikahan mereka akan dilangsungkan pada tanggal 27 Desember 1950, tetapi terpaksa ditunda karena Soraya sedang sakit.[7]

Meskipun Syah meminta para tamunya untuk menyumbangkan uang kepada lembaga amal yang membantu orang-orang miskin di Iran, pasangan ini tetap menerima sejumlah hadiah pernikahan mewah, seperti sehelai mantel bulu dan satu set meja yang dihiasi dengan berlian hitam dari Joseph Stalin. Ada juga mangkuk kaca Steuben yang dirancang oleh Sidney Waugh, hadiah dari presiden AS, Harry S. Truman, dan Ny. Truman; serta tempat lilin perak bergaya Georgian dari Raja George VI dan Ratu Elizabeth.[8] Terdapat sekitar 2.000 tamu yang hadir, di antaranya termasuk Aga Khan III.

Sebanyak 1,5 ton bunga anggrek, tulip, serta anyelir didatangkan khusus dengan pesawat dari Belanda untuk mempercantik tempat berlangsungnya upacara pernikahan mereka. Di antara hiburan yang ditampilkan di acara tersebut terdapat sirkus berkuda yang berasal dari Roma.[9] Pengantin wanita mengenakan gaun perak yang dibuat dari kain lamé, yang dihasi mutiara dan dilengkapi dengan bulu bangau marabou,[10] yang dirancang khusus untuk acara ini oleh Christian Dior.[11] Dari sekian banyak wanita yang pernah singgah dalam hidup sang Syah, Soraya dianggap sebagai "cinta sejatinya" karena ia adalah wanita yang paling dicintai oleh sang Syah.[12]

Soraya kemudian mencurahkan pikirannya tentang dirinya dan Iran dengan menyatakan: "Aku merasa bodoh. Aku hampir tak tahu apa pun mengenai geografi, legenda negaraku; tidak tahu sejarahnya, tidak paham tentang agama Muslim."[12] Soraya tumbuh dalam latar belakang Jerman dan Katolik, yang membuat identitasnya terasa campur aduk. Kondisi ini membuatnya dicurigai di Iran, karena ulama Muslim berpendapat bahwa Syah seharusnya tidak menikahi "gadis setengah Eropa" yang tidak dibesarkan sebagai seorang Muslim.[12] Soraya juga menyatakan: "Yang aku rasakan terhadap identitasku sebagai sebagai seorang Kristen dan Muslim, namun di saat yang sama tidak sepenuhnya merasa menjadi salah satu dari keduanya, telah menciptakan dua kutub yang berbeda dalam diriku yang membentuk keberadaanku. Satu sisi memiliki karakter Eropa yang terstruktur, sedangkan sisi lain memiliki karakter Persia yang garang.[12]

Permaisuri Iran

Setelah menikah, Soraya memimpin lembaga amal keluarga di Iran.[13] Namun, rumah tangga mereka mengalami banyak masalah karena ibu dan saudari Mohammad Reza memandangnya sebagai pesaing dalam mendapatkan kasih sayang sang Syah, sama seperti yang mereka lakukan terhadap istri pertamanya, Fawzia dari Mesir. Mereka terus-menerus mengejeknya dan memberikan perlakuan yang merendahkannya. Soraya begitu membenci Ernest Perron, yang merupakan sahabat dekat sekaligus sekretaris pribadi sang Syah,[12] yang dianggapnya sebagai "seorang homoseksual yang membenci semua wanita, semua wanita" dan sebagai orang yang "menyebarkan racun di sekeliling istana serta di lingkungan sekitar kami."[12] Ia memandang Perron sebagai sosok yang "cerdik, penuh tipu daya, dan Makiavelis" yang suka "mengobarkan kebencian, menyebarkan gosip, dan berintrik."[12] Soraya merasa sangat muak melihat betapa Mohammad Reza "terpesona dengan orang Swiss yang kejam ini" yang mengklaim dirinya sendiri sebagai seorang "filsuf, penyair, dan nabi." Kedua pria ini bertemu setiap paginya untuk mendiskusikan urusan negara dalam bahasa Prancis, karena Perron adalah orang yang sangat dihormati nasihatnya oleh sang Syah, dan Soraya kemudian menyadari bahwa mereka juga membahas hal-hal lain.[12] Yang semakin membuatnya marah adalah Perron pernah datang berkunjung dan melontarkan serangkaian pertanyaan yang Soraya anggap sangat "tidak senonoh" mengenai kehidupan seksualnya dengan Mohammad Reza, hingga ia mengusir Perron dari Istana Marmer dengan penuh amarah.[12]

Ketika Mohammad Reza berhadapan dengan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh dari Front Nasional yang berhaluan kiri, ia sering kali merasa tertekan. Menurut Soraya, sang Syah terlihat "murung dan gelisah," bahkan sampai menghentikan permainan pokernya dengan teman-temannya, yang sebelumnya menjadi salah satu hiburan utamanya. Soraya mengatakan bahwa hanya hubungan suami istri yang dapat membangkitkan semangat Mohammad Reza dari suasana hatinya yang buruk, dan ia sering mengajak sang Syah ke kamar tidurnya demi meningkatkan suasana hatinya.[12] Beberapa kali, ia juga menyarankan agar Mohammad Reza "menguatkan tekadnya hingga titik tertinggi."[12]

Pada bulan Agustus 1953, Soraya menyusul sang Syah yang melarikan diri ke Roma, dan mengeluh kepada duta besar Iran untuk Italia yang tidak mampu mengatur tempat tinggal bagi mereka, sementara pasangan ini terus-menerus dikejar oleh paparazi.[14] Pada tanggal 19 Agustus 1953, Soraya mengenang betapa murungnya Mohammad Reza ketika berbicara tentang kemungkinan pindah ke AS, tetapi ia langsung bersorak kegirangan saat menerima telegram yang mengabarkan bahwa Perdana Menteri Mosaddegh telah digulingkan.[15]

Ratu Soraya pada tahun 1956

Setelah Mosaddegh digulingkan dalam sebuah kudeta pada tahun 1953, sang Syah perlahan menemukan kembali keceriaannya.[12] Salah satu kegiatan favorit Soraya dan Mohammad Reza ialah menghadiri pesta topeng, meskipun Soraya sering kali mengeluh karena sang Syah selalu memilih kostum singa—yang merupakan simbol kerajaan—sedangkan acapkali ia ingin berdandan sebagai Madame de Pompadour, idenya selalu dianggap tidak pantas untuk seorang ratu. Akhirnya, ia terpaksa memakai kostum Jeanne d'Arc.[12] Soraya kerap memuji suaminya ketika ia menunjukkan perilaku yang dianggapnya "khas Eropa," namun tidak ragu mengkritiknya saat bersikap "khas Oriental." [12] Soraya mengungkapkan meski sudah pernah menikah dan "memiliki begitu banyak wanita simpanan sebelum bersamaku, Mohammad Reza sebenarnya sangat pemalu di hadapan wanita ... ia tidak suka memperlihatkan perasaannya" dan memuji matanya yang "ekspresif. Cokelat tua, hampir hitam, kadang tegas, kadang sedih atau lembut, mata itu memancarkan daya tarik dan mencerminkan jiwanya."[12]

Dikarenakan Soraya dibesarkan di Eropa, ia menganggap Iran sebagai negeri yang "asing" baginya. Hal ini membuat sikapnya terhadap rakyat biasa di Iran, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Iran-Amerika Abbas Milani, terlihat seperti rasisme secara tidak langsung, yang mencerminkan pandangan negatif dan ketidaknyamanannya terhadap rakyat biasa di negara itu. Bagi Soraya, Eropa selalu menjadi standar kesempurnaan untuk segala hal.[12] Soraya menggambarkan tanggung jawabnya sebagai ratu yang harus mengunjungi "rumah sakit, panti asuhan, lembaga amal, kawasan kumuh tanpa atap, dengan aliran air kotor—yang berasal dari pencuci baju, penggembara, dan anjing—mengalir ke rumah-rumah mereka. [Ia harus menyaksikan] kemiskinan dan kondisi memprihatikan: anak-anak dengan penyakit rakitis, wanita yang menderita, serta pria tua yang kelaparan, semuanya terjebak dalam kotoran gang-gang yang tak lagi layak huni, tempat kemiskinan yang nyata merajalela."[12]

Berbeda dengan Teheran yang menurutnya "kotor", Soraya menuturkan kekagumannya terhadap betapa "menawannya" Paris.[12] Ia mengenang pengalamannya di Paris dengan berkata, "Setiap hari, hatiku terasa cerah. Hidup terasa ringan... rasanya menyenangkan bisa ke bioskop, menikmati segelas limun di teras kafe... sebuah kesenangan yang terlarang."[12] Soraya juga menceritakan betapa bahagianya bersekolah di Eropa, sangat kontras dengan sekolah-sekolah di Iran yang diasosiasikan dengan "seragam abu-abu, ruang kelas yang tercemar oleh kompor yang mengeluarkan asap, serta pelajaran, pekerjaan rumah, dan beban kerja yang membuat kelelahan."[12]

Soraya dan Syah Mohammad Reza pada tahun 1953

Pada bulan Oktober 1954, Mohammad Reza mengungkapkan kekhawatirannya kepada Soraya karena istrinya itu masih belum juga memberinya penerus, seraya mengusulkan agar mereka pergi ke Amerika Serikat untuk menemui dokter kesuburan.[16] Selama tahun 1954–55, pasangan ini melakukan kunjungan panjang ke Amerika Serikat, yang dimulai pada tanggal 5 Desember 1954.[16] Setibanya di New York, Soraya bertemu dengan dokter yang meyakinkannya bahwa ketidakmampuannya untuk hamil disebabkan oleh "guncangan, masalah, dan kesulitan selama dua tahun terakhir;" pernyataan sang dokter membuat Soraya merasa lebih baik. Namun, para dokter yang dikunjunginya di Boston, memberitahu Soraya bahwa ia tidak subur dan tidak akan bisa memiliki anak.[17] Sebagian besar waktu dalam perjalanan mereka dimanfaatkan oleh sang Syah untuk menghibur istrinya, yang begitu terpukul dengan berita itu.[17] Tanpa menyadari informasi yang diterima Soraya, Newsweek dengan nada sarkastis menulis, "bahkan Syahansyah (Raja Segala Raja), Wakil Tuhan, Bayangan Yang Maha Kuasa, dan Pusat Alam Semesta pun pantas berlibur... Mereka [pasangan kekaisaran] menghabiskan musim dingin ini dalam kunjungan pribadi ke AS... pemeriksaan kesehatan di rumah sakit New York, wisata di San Francisco, menari mambo di Hollywood, bermain ski di Sun Valley, serta bermain ski air di Miami Beach."[17]

Soraya sangat terpikat dengan Hollywood dan menikmati kesempatan untuk bertemu dengan bintang film Amerika Serikat selama ia berada di Los Angeles.[17] Di kota itu, Soraya bertemu dengan sejumlah bintang favoritnya, seperti Grace Kelly, Lauren Bacall, Bob Hope, Esther Williams, dan Humphrey Bogart.[17] Sebuah foto yang memperlihatkan Ratu Soraya yang hanya mengenakan bikini saat bermain ski air di Miami, menimbulkan kontroversi besar di Iran. Dia menerima kecaman karena dianggap tidak bermoral sebab pakaian renangnya tidaklah pantas dikenakan oleh seorang Muslim.[17] Foto itu kemudian dilarang untuk disebarluaskan di Iran untuk meredakan kritik dari para ulama.[17]

Pada tanggal 12 Februari 1955, pasangan ini berangkat dari Amerika Serikat menuju Britania Raya dengan kapal penumpang terkenal, Queen Mary.[18] Setibanya di London, Mohammad Reza dan istrinya Soraya menghadiri makan malam di Istana Buckingham bersama Ratu Elizabeth II; Pangeran Philip, Adipati Edinburgh; Perdana Menteri Sir Winston Churchill; dan Menteri Luar Negeri Sir Anthony Eden.[18] Menjelang akhir perjalanan mereka, pasangan ini berkunjung ke Köln dan menginap di rumah orang tua Soraya. Mengetahui sang ayah sedang berada di Köln, Putri Syahnaz, anak sang Syah dari pernikahan pertamanya yang sedang bersekolah di Belgia, juga berkunjung ke kota itu untuk menemui sang ayah. Kehadiran Syahnaz membuatnya merasa cemburu, sehingga ia bertindak begitu memalukan dan meminta sang suami agar menunjukkan cintanya hanya kepada Soraya seorang. Pada akhirnya, suaminya meminta Soraya untuk diam.[18] Pada tanggal 12 Maret 1955, Soraya dan Mohammad Reza kembali ke Teheran, dan mereka merasa senang melihat ribuan orang berbondong-bondong menyambut kepulangan mereka meskipun cuaca sedang hujan. Mohammad Reza, yang tidak menyukai perdana menterinya, Jenderal Fazlollah Zahedi, merasa puas melihat Zahedi, yang mengidap asam urat, terlihat sangat tidak nyaman berdiri di bawah guyuran hujan untuk menyambutnya di bandara Teheran.[18]

Setelahnya pada tahun yang sama, sang Syah kembali melakukan penindasan terhadap kaum minoritas Baháʼí dengan merobohkan kuil-kuil mereka. Diplomat Britania Raya, Denis Wright, menyampaikan protesnya kepada menteri sang Syah, Asadollah Alam, namun tanggapan yang ia terima justru menjelaskan bahwa tindakan Mohammad Reza sebenarnya dilakukan untuk meredakan kemarahan para ulama setelah foto Soraya memakai bikini muncul, yang membuat Ayatollah Seyyed Hossein Borujerdi, salah satu sekutu penting sang Syah, sangat marah.[17]

Perceraian

Syah menyalakan rokok untuk istrinya Soraya

Meskipun saat itu pernikahan mereka diiringi dengan hadirnya hujan salju lebat, yang konon dianggap sebagai pertanda baik, pernikahan pasangan ini sudah mulai retak pada awal tahun 1958 karena kemandulan Soraya yang diduga menjadi penyebabnya. Satu-satunya anak sang Syah, Putri Shahnaz, telah menikah dengan Ardeshir Zahedi, putra dari mantan Perdana Menteri Jenderal Fazlollah Zahedi, seseorang yang Mohammad Reza benci dan telah ia pecat pada tahun 1955.[19] Dia berkata kepada Soraya bahwa, "seorang Zahedi tidak bisa meneruskan dinasti Pahlavi", dan bahwa Soraya harus memberinya seorang putra agar dinasti Pahlavi tetap berlanjut.[20] Soraya pun telah mencoba berbagai pengobatan di Swiss, Prancis, dan di St. Louis bersama Dr. William Masters.[21] Sang Syah kemudian terpikir untuk mencari istri kedua yang mampu memberinya penerus, namun Soraya menentang gagasan itu.[22]

Untuk mempertahankan posisinya sebagai Ratu, Soraya bahkan menyarankan sang suami untuk mengubah konstitusi tahun 1909 agar salah satu saudara tiri suaminya bisa menjadi penerusnya, yang kemudian Mohammad Reza tanggapi dengan jawaban bahwa perubahan semacam ini perlu persetujuan dari "Dewan Orang Bijak."[20] Soraya yang belum pernah membaca konstitusi pun, tidak menyadari bahwa "Dewan Orang Bijak" itu tidak pernah ada—sebenarnya ini merupakan cara sang Syah untuk menunda keputusan sulit, yakni dengan cara berbohong.[20] Mengingat sang Syah sudah dua kali mengubah konstitusi, ia tentu tahu bahwa tidak ada ketentuan terkait perlunya persetujuan "Dewan Orang Bijak" untuk mengubah konstitusi.[20] Ibu Syah yang sangat otoriter tidak pernah menyukai Soraya dan terus-menerus menekan sang putra untuk menceraikan istrinya; ia berkata kepada sang putra bahwa sudah menjadi kewajiban sang Syah untuk memiliki seorang putra agar dapat meneruskan dinasti Pahlavi.[20] Mohammad Reza lalu meyakinkan Soraya untuk pergi dari Iran, seraya berjanji akan memanggil "Dewan Orang Bijak" untuk mengubah konstitusi.[20] Namun, meski ada janji itu, Soraya merasa jikalau suaminya itu telah berpaling darinya, bahkan sebelum meninggalkan Iran, seorang abdi dalem mengingat bahwa Soraya telah "meninggalkan rumahnya dengan rapi."[20]

Soraya meninggalkan Iran pada bulan Februari dan tempat yang ia tuju tidak lain adalah rumah orang tuanya di Köln, Jerman. Pada awal bulan Maret 1958, Syah mengutus paman Soraya, Senator Sardar Assad, untuk membujuknya kembali ke Iran, namun upaya Syah gagal.[23] Soraya menolak tawaran untuk tetap menjadi ratu meskipun suaminya menikah lagi. Dalam memoarnya, Soraya menyebutkan bahwa Syah "secara mendasar memiliki pandangan seperti orang Timur," dan membandingkannya dengan Pangeran Edward, Adipati Windsor, "yang rela melepaskan takhtanya demi cinta." Baginya, hanya "orang Timur" yang rela mengorbankan cinta demi takhta.[20] Pada tanggal 5 Maret, Mohammad Reza menghubungi Soraya dan memberitahunya bahwa ia harus menerima keputusannya untuk menikah lagi, kalau tidak dia akan menceraikan Soraya.[24] Pada tanggal 10 Maret, diadakan pertemuan antara dewan penasihat dan Syah untuk membahas situasi pernikahan mereka yang sulit itu, serta terkait ketiadaan penerus.[25] Empat hari setelahnya, diumumkan bahwa pasangan kerajaan ini akan bercerai. Pernyataan pers dari pemerintah Iran menyebutkan bahwa Soraya telah menyetujui perceraian tersebut, meskipun ia mengklaim bahwa terakhir kali suaminya menghubunginya adalah pada tanggal 5 Maret, dan Soraya tidak diberi tahu sebelumnya mengenai keputusan tersebut.[24] Menurut ratu berusia 25 tahun itu, perceraian tersebut adalah "pengorbanan atas kebahagiaannya sendiri."[26] Soraya kemudian menuturkan kepada wartawan kalau suaminya tidak ada pilihan lain selain menceraikannya.[27] Duta Besar Inggris untuk Iran mengungkapkan bahwa "Soraya adalah satu-satunya cinta sejati Syah" dan bahwa Syah adalah "seorang pria yang berada di persimpangan dilema," merasa senang akhirnya bisa menikah lagi, tetapi juga tidak sanggup "menghadapi kenyataan" bahwa dia baru saja menceraikan Soraya.[24]

Soraya di pantai Noordwijk setelah perceraiannya pada bulan Agustus 1959

Pada tanggal 21 Maret 1958—Hari Tahun Baru Iran, Mohammad Reza, yang diiringi air mata, mengumumkan perceraiannya kepada rakyat Iran melalui pidato yang disiarkan di radio dan televisi; ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak akan terburu-buru untuk menikah lagi. Perceraian ini menjadi sorotan publik dan menginspirasi penulis asal Prancis, Françoise Mallet-Joris, menulis lagu pop berjudul Je veux pleurer comme Soraya ("Aku Ingin Menangis Seperti Soraya"), yang kemudian menjadi hit. Pernikahan mereka secara resmi berakhir pada tanggal 6 April 1958. Menurut laporan The New York Times, telah dilakukan negosiasi yang panjang sebelum perceraian, untuk mencoba meyakinkan Ratu Soraya agar mengizinkan suaminya menikah lagi. Namun, Ratu Soraya menolak dengan alasan menjaga kesakralan pernikahan, dan menegaskan bahwa ia "tidak mampu berbagi cinta suaminya dengan wanita lain."[22]

Catatan

  1. ^ a b "Princess Soraya Esfandiari". Bakhtiari family. Diakses tanggal 10 Oktober 2012. 
  2. ^ a b "Earlier Marriages Ended in Divorce. Deposed Syah of Iran". The Leader Post. AP. 29 Juli 1980. Diakses tanggal 16 Juli 2013. 
  3. ^ Kadivar, Dairus (1 April 2007). "Stardust memories". The Middle East. Diakses tanggal 11 Juni 2013. 
  4. ^ a b "Syah To Wed, Iran Hears". The New York Times. 10 Oktober 1950. hlm. 12. 
  5. ^ "The Tribune, Chandigarh". The Tribune. India. Diakses tanggal 16 Agustus 2010. 
  6. ^ "Gifts for wedding". Daytona Beach Morning. Tehran. AP. 12 Februari 1951. Diakses tanggal 23 Juli 2013. 
  7. ^ "Wedding of Syah Postponed". The New York Times. 22 Desember 1950. hlm. 10. 
  8. ^ "Teheran Awaits Wedding". The New York Times. 11 Februari 1951. hlm. 35. 
  9. ^ "Iran's Syah To Wed in Splendor Today". The New York Times. 12 Februari 1951. hlm. 6. 
  10. ^ Syah of Iran Wed in Palatial Rites, The New York Times, 13 Februari 1951, hlm. 14
  11. ^ "Iconic royal wedding gowns". Harpers Bazaar. 
  12. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Milani 2011, hlm. 155–160.
  13. ^ Hammed Syahidian (1 Januari 2002). Women in Iran: Gender politics in the Islamic republicPerlu mendaftar (gratis). Greenwood Publishing Group. hlm. 45. ISBN 978-0-313-31476-6. Diakses tanggal 7 Desember 2013. 
  14. ^ Milani 2011, hlm. 188.
  15. ^ Milani 2011, hlm. 189.
  16. ^ a b Milani 2011, hlm. 198.
  17. ^ a b c d e f g h Milani 2011, hlm. 199.
  18. ^ a b c d Milani 2011, hlm. 200.
  19. ^ Milani 2011, hlm. 212–213.
  20. ^ a b c d e f g h Milani 2011, hlm. 213.
  21. ^ Maier, Thomas (2013). "6". Masters of Sex: The Life and Times of William Masters and Virginia Johnson, the Couple Who Taught America How to Love (dalam bahasa Inggris). New York: Basic Books. ISBN 9780465044993. OCLC 849947577. 
  22. ^ a b "Iran Shah Divorces His Childless Queen". The New York Times. 14 Maret 1958. hlm. 2. 
  23. ^ "Shah's Plea to Queen Held Vain". The New York Times. 6 March 1958. hlm. 3. 
  24. ^ a b c Milani 2011, hlm. 214.
  25. ^ "Iran Decision Pending". The New York Times. 11 Maret 1958. hlm. 2. 
  26. ^ "Queen of Iran Accepts Divorce As Sacrifice", The New York Times, 14 Maret 1958, hlm. 4.
  27. ^ "Soraya Arrives for U.S. Holiday", The New York Times, 23 April 1958, hlm. 35.

Daftar pustaka

Pranala luar

Soraya Esfandiary-Bakhtiary
Lahir: 22 Juni 1932 Meninggal: 26 Oktober 2001
Iran
Lowong
Terakhir dijabat oleh
Fawzia dari Mesir
Permaisuri Iran
1951–1958
Lowong
Selanjutnya dijabat oleh
Farah Diba