Lompat ke isi

Rasisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Beberapa konten dalam edit ini merupakan translate inggris dari English Wikipedia article di Racism pada 18 Juli 2024.

“It is not our differences that divide us. It is our inability to recognize, accept, and celebrate those differences.”

— Audre Lorde

Rasisme umumnya bermakna diskriminasi terhadap ras atau etnis[1], yaitu suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih istimewa dan berhak untuk merendahkan bahkan memperbudak ras lain yang dianggap lebih rendah.[2]

Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).[3][4]

Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk setidaknya sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.

Etymology

[sunting | sunting sumber]

Asal akar kata “race” masih belum jelas. Linguists (para ahli Bahasa) pada umumnya setuju bahwa kata ini berasal dari Bahasa English dari Middle French meskipun tidak ada persetujuan bagaimana kata tersebut menjadi Latin-based languages. Baru-baru ini ada pendapat bahwa kata tersebut merupakan turunan dari Arabic ra’s yang berarti “head, beginning, origin” (kepala, permulaan, asal) atau Hebrew rosh yang berarti sama.[5]

Pada abad 19, banyak scientist yang mendukung belief bahwa populasi manusia dapat di bagi ke beberapa races (ras-ras). Istilah racism sendiri adalah sebuah kata benda yang mendeskripsikan suatu kondisi menjadi seorang racist , orang yang mendukung kepercayaan bahwa populasi manusia dapat dan seharusnya di klasifikasikan kedalam ras-ras (races) yang berbeda dengan berbagai kemampuan masing masing dan sifat alami mereka (tendensi, karakter, sifat, hasrat).

kepercayaan ini mungkin akan memotivasi muculnya sebuah ideologi diskriminatif dimana right and privileges (hak dan keistimewaan) diberikan secara berbeda berdasarkan kategori race itu sendiri. Istilah “racist” mungkin bisa menjadi kata sifat atau kata benda, yang mendeskripsikan seorang yang memegang kepercayaan ini.[6]

Pada awalnya orang yang meneorikan tentang race umumnya memegang pandangan bahwa beberapa race lebih rendah dari pada yang lain dan konsekuensinya mempercayai bahwa perlakuan yang berbeda kepada race-race adalah hal yang benar.[7][8][9][10] Awal teori ini berdasarkan asumsi dari penelitian pseudo-scientific, usaha gabungan yang dilakukan untuk mendefinisikan dan membentuk hipotesis agar dapat diterima tentang perbedaan racial pada umumnya di namakan scientific racism, meskipun kata ini adalah misnomer (kurang akurat) dikarenakan kurang data sience yang actual untuk melatar belakangi klaim tersebut.

Faktor penyebab

[sunting | sunting sumber]

Rasisme berkaitan dengan konsep ras di dalam masyarakat. Pembentukan rasisme dapat terjadi jika perbedaan fisik dianggap sebagai suatu hal yang penting di dalam masyarakat. Rasisme juga dapat timbul karena adanya perbedaan dari segi psikologi, ideologi dan ekonomi. Kondisi yang dapat menimbulkan rasisme di dalam masyarakat yaitu adanya beberapa kelompok ras dengan kebudayaan yang berbeda serta adanya pelembagaan ketidaksetaraan pada masing-masing ras yang saling berhubungan satu sama lain.[11]

Faktor lain adalah kurangnya saling mengasihi dan cinta sesama manusia meskipun hal ini bukan pertama yang di pikirkan orang mengenai rasisme. Hal ini mungkin berperan terjadinya rasisme dan diskriminasi karena dengan saling mengasihi/mencintai sesama manusia berarti menolak untuk mentoleransi ketidak-adilan dan merangkul keaneragaman serta saling menghargai tanpa pandang bulu (inklusi).[12]

Psikologi

[sunting | sunting sumber]

Authoritarian personality : Adorno’s theory tentang authoritarian personality yang selaras dengan Freud’s psychoanalysis menyatakan bahwa individu yang mendukung conservatism, nationalism, dan fascism cenderung mengembangkan personality dan cara berfikir yang rigid/kaku, serta mengekspresikan kepercayaan konvensional dan sering manyatakan diri mereka sebagai pemimpin. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk membenci sesuatu yang berbeda dengan nilai, norma dan malakukan racism terhadap minoritas.[13]

Prejudice (berprasangka buruk):

Prejudice adalah awal dari diskriminasi dan stigma atau label.[14]

  • Model justification-suppression dari prejudice yang diciptakan oleh Christian Crandall and Amy Eshleman.[15] Model ini menjelaskan bahwa seseorang memiliki konflik antara hasrat untuk mengekspresikan prejudice dengan hasrat untuk menjaga self concept (image, citra, harga diri, nama baik) tetap positif. Konflik ini menyebabkan orang untuk mencari pembenaran untuk membenci orang diluar grup dan menggunakan pembenaran tersebut untuk menghindari negative feeling (cognitive dissonance) atau perasaan tidak enak tentang diri mereka karena membenci orang diluar grup.
  • Teori realistic conflict menyatakan bahwa kompetisi untuk mendapatkan sumber daya (alam atau pekerjaan) yang terbatas membuat meningkatnya negative prejudice dan diskriminasi. Hal ini terlihat saat sumber daya yang tersedia sedikit.
  • Teori Integrated threat juga dikenal dengan Teori intergroup threat adalah sebuah teori di dalam psikologi dan sosiologi yang mendeskripsikan kondisi terancam dapat memunculkan prejudice antara grup social meskipun hanya dalam persepsi. Teori ini di aplikasikan ke berbagai social grup yang mungkin merasa terancam, apakah itu grup mayoritas atau minoritas. Di dalam teori ini yang dihadapi sebenarnya hanyalah persepsi tentang ancaman bukan ancaman yang sebenarnya. Persepsi ancaman termasuk semua ancaman yang dipercaya telah dialami anggota grup, tanpa memperdulikan apakah ancaman tersebut benar-benar ada atau tidak. Sebagai contoh, orang mungkin merasa ekonomi mereka terancam oleh orang luar grup dapat mencuri pekerjaan mereka meskipun kenyataannya tidak ada hubungannya dengan kesempatan kerja mereka dengan orang luar. Sehingga, meskipun hanya false-alarm masih mendapat konsekuensi yang nyata untuk prejudice antar grup.[16]
  • Teori Social dominance menyatakan bahwa masyarakat dapat di lihat sebagai dasar hirarki grup. Di dalam kompetisi mendapatkan sumber daya yang sedikit seperti perumahan atau pekerjaan, grup dominan menciptakan prejudice/prasangka negative tentang "legitimizing myths" atau "mitos membenarkan" untuk membuat pembenaran moral dan intelektual perbuatan mereka atas grup lain dan mem-validasi klaim mereka atas sumber daya yang terbatas tersebut.[17] "Mitos membenarkan" seperti praktek diskriminasi penerimaan kerja atau norma yang merit-biases berjalan untuk menjaga prejudice hirarki ini.

Teori Social learning  : Rasisme diperoleh dari masyarakat sejak kecil seperti yang Farzana Saleem, PhD, assistant professor di Graduate School of Education, Stanford University katakan bahwa “Racism is learned early on in development, and children receive many messages about race and racism from a young age.” (rasisme dipelajari sejak awal perkembangan dan anak-anak menerima banyak ajaran tentang ras dan rasisme sejak kecil). [18] Berdasarkan study, Orang yang dibesarkan dengan konteks kebersamaan dan ras yang sama akan menjadi pribadi yang focus kepada orang lain dan kurang menjadi pribadi yang berkarakter, tampak sama dan berbicara dengan cara yang sama. Sebaliknya orang yang dibesarkan dengan individual konteks relative cenderung focus ke diri dan berkarakter berbeda. Orang yang dibesarkan dengan ekpose masalah ras akan lebih focus dan sensitive terhadap masalah ras di kehidupan sehari-hari.[19]

Teori Terror management : Orang cenderung mencari keamanan dengan menjadi bagian grup masyarakat saat takut mengingat akan kematian,[20] mereka cenderung menyamakan diri atau conformity dengan perilaku yang di terima di masyarakat dan menjadi bagian ras atau etnis masyarakat.[21] Hal ini berdasarkan Dr Peter Chew, Senior Lecturer of Psychology at James Cook University in Singapore “For example, when researchers reminded people of death, these people reacted by reporting higher prejudice against minorities, greater intentions to donate money, and an increased preference for luxury products,” (untuk contoh, saat peneliti mengingatkan orang tentang kematian, orang-orang ini bereaksi dengan hasil peningkatan prasangka negative terhadap minoritas, meningkatkan niatan untuk mendonasikan uang, dan peningkatan selera untuk produk mewah).[22]

Neurologi

[sunting | sunting sumber]

Rasisme berjalan rumit di dalam otak dan terkadang otomatis, subconcious level dan melibatkan banyak brain regions mulai dari bagian untuk mengkategorikan social, self perception, empati, rasa sakit, persepsi wajah serta bentuk lain di dalam grup bias dan diskriminasi orang luar grup.[23]

  • Aktifnya medial prefrontal cortex (social categorization) saat berfikir tentang personal attribute (jati diri) mengindikasikan ada hubungan antara personal attribute (jati diri) dengan grup social (ras, etnis, dll).
  • Meningkatnya aktifitas inferior parietal lobule (coordinates perception and action) saat melihat video pertandingan orang se-grup dengan luar grup menunjukkan in-grup bias terjadi di awal persepsi.
  • Meningkatnya aktifitas anterior cingulate cortex and the inferior frontal cortex (activated when someone experiences pain) saat melihat wajah orang se-etnis sakit dan berkurang drastic saat melihat wajah luar etnis yang sakit, mengindikasikan bahwa orang lebih berempati pada orang satu grup dan tidak menganggap masalah menyakiti orang luar grup.
  • Aktifnya amygdala (emotion processing, including fear, anxiety, and aggression) saat melihat sekilas wajah orang luar tetapi apabila melihat lebih lama bagian frontal cortex (cognitive control and emotion regulation) juga aktif, hal ini mengindikasikan bahwa secara subconcious orang mungkin takut, khawatir bahkan menyerang orang luar jika bertatap muka dengan orang luar grup tetapi apabila bertatap muka dalam waktu lama orang lebih dapat mengontrol diri.[23]

Sosiologi

[sunting | sunting sumber]

Racialization atau ethnicization adalah sebuah konsep sosiologi yang digunakan untuk mendeskripsikan proses dimana ethnic atau racial identities diciptakan,[24][25] atau dimasukkan ke dalam pemahaman perilaku manusia ke masyarakat.[26] Hal tersebut membuat model dominasi racial sebagai sebuah proses dimana grup yang dominan me-“racializes”-kan ke grup yang didominasi.[27]

Proses racialization mungkin dimulai dengan memberi “Labels” (mengecap seseorang),[28] setelah itu memberi “stigmatizes” (mamaksakan suatu tanda negative seperti memalukan atau menjelekkan kepada individu/ras serta mengucilkannya, terutama kepada seseorang yang menolak untuk conformity atau menyamakan diri dengan masyarakat. Dan yang terakhir “Marginalization” (meminggirkan, membuat suatu individu/ras tidak dapat perperan penuh atau sederajat di bidang ekonomi, cultural dan institusi politik di masyarakat).[29]

  • Racialization dalam agama : Grup religious dapat juga melalui proses racialization.[30] Pemeluk agama Judaism, Islam, and Sikhism dapat di racist-kan saat mereka melihat diri mereka memiliki karakteristik tertentu secara fisik (perilaku, bentuk pakaian, rambut, jenggot), meskipun faktanya banyak individu pemeluk agama tersebut tidak memiliki karakteristik fisik tersebut.[31][32]
  • Forced conversion : Forced conversion adalah adopsi agama atau non-agama dibawah tekanan. Tiga agama utama yang diklasifikasikan sebagai agama missionary adalah Buddhism, Christianity, dan Islam,sedangkan agama non-missionary seperti Judaism, Zoroastrianism, dan Hinduism. Banyak sejarawan memandang bahwa pergantian Constantinian menjadi Christianity mengubah Cristian dari sebuah persecuted religion (agama yang sering di menjadi agama yang mampu mem-perse) menjadi agama yang mampu mem-persekusi dan terkadang berambisi untuk mempersekusi. Dalam Buddism berdasarkan Chin Human Rights Organisation CHRO),Christians, Chin ethnic minority group di Myanmar menghadapi pemaksaan pindah agama ke Buddha oleh actor dan program negara. Sedangkan dalam Islam, setelah Arab menaklukkan banyak suku Christian Arab yang menderita perbudakan dan membuat pindah agama secara paksa.kusi dan terkadang berambisi untuk mempersekusi. Dalam Buddism berdasarkan Chin Human Rights Organisation (CHRO),Christians, Chin ethnic minority group di Myanmar menghadapi pemaksaan pindah agama ke Buddha oleh actor dan program negara. Sedangkan dalam Islam, setelah Arab menaklukkan banyak suku Christian Arab yang menderita perbudakan dan membuat pindah agama secara paksa.
  • Racialization dalam pekerjaan : Marta Maria Maldonado telah mengidentifikasi racialization di pekerjaan untuk mengembangkan pemisahan dan memposisikan pekerja berdasarkan perbedaan persepsi ras.[33] Racialization dari pekerjaan ini dikatakan untuk memproduksi sebuah pengaturan hirarki yang membatasi agen employee dan mobility berdasarkan race mereka. Proses dari racialization diperkuat melalui presupposed, kualitas tertentu dimana orang yang di racialized dipaksa untuk membuat dirinya diterima oleh yang me-rasis-kan.[34]

Policy (Aturan)

[sunting | sunting sumber]

Berikut beberapa aturan yang dapat membuat terbentuknya ras dan rasisme :

Geographical segregation

[sunting | sunting sumber]

Geographical segregation muncul dimana proporsi dari populasi dua atau lebih masyarakat tidak homogen di dalam suatu wilayah. Populasi dapat berupa spesies tumbuhan atau hewan, jenis kelamin manusia, pemeluk dari suatu agama, masyarakat dari bangsa yang berbeda, grup etnis, dll.

Racial segregation

[sunting | sunting sumber]

Racial segregation adalah pemisahan manusia kedalam socially-constructed racial groups (kelompok ras/racial dalam konstruksi social) di kehidupan sehari hari. Hal ini mungkin diaplikasikan dalam aktivitas makan di restoran, minum dari water fountain, menggunakan kamar mandi, sekolah, pergi ke bioskop atau rental/membeli rumah serta menginap di hotel.[35] Sebagai tambahan, segregation sering membolehkan hubungan dekat antar ras atau etnis yang berbeda di dalam hirarki, seperti seorang dari suatu ras bekerja sebagai pelayan untuk orang dari ras lain. Racial segregation di dunia umumnya berjalan diluar hukum.

Social stratification

[sunting | sunting sumber]
Sociological model of ethnic and racial conflict

Social stratification merujuk ke sebuah proses mengkategorikan masyarakat ke dalam grup-grup berdasarkan factor social-ekonomi seperti kekayaan, gaji, ras, edukasi, etnis, jenis kelamin, profesi, status social, atau pemberian kekuasaan (social dan politik). Hal ini merupakan sebuah hierarki didalam grup-grup yang memasukkan mereka ke dalam level keistimewahan yang berbeda.[36] Hal seperti itu, membuat stratification merupakan posisi relatif social seseorang di dalam grup social, kategori, daerah geografi, atau unit social.[37][38][39]

Racial hierarchy

[sunting | sunting sumber]

Racial hierarchy adalah sebuah system dari stratification yang berdasarkan kepercayaan bahwa beberapa grup-grup ras lebih superior dari pada grup ras lain. Pada berbagai point di dialam sejarah, racial hierarchies menjadi fitur di dalam masyarakat, seringkali menjadi hal formal di dalam hukum, seperti Nuremberg Laws di Nazi Germany.[40] Pada umumnya, orang yang mendukung hirarki ras percaya bahwa mereka adalah bagian dari ras yang superior dan basis dari superiority mereka berdasarkan pseudo-biological, cultural atau religious arguments.[41][42] Bagaimanapun system hirarki social telah secara luas ditolak dan ditentang serta banyak yang seperti Apartheid telah dihilangkan.[43] Penghilangan system seperti itu tidak menghentikan debat antara racial hierarchy dan racism lebih luas.

Rasisme di berbagai aspek

[sunting | sunting sumber]

Cultural/budaya

[sunting | sunting sumber]
Dhammayietra, an annual peace march in Lampatao, Cambodia at Thailand border against communal violence.

Cultural racism muncul sebagai kepercayaan dan budaya yang mempromosikan asumsi bahwa kultur/budaya termasuk bahasa dan tradisi dari budaya tersebut lebih superior terhadap budaya lain. Hal ini berdampingan dengan xenophobia, yang mana selalu dikarakteristikkan dengan ketakutan akan aggression/penyerangan kepada orang luar grup.[44] Hal ini juga sama dengan communalism yang ada di Asia Selatan.[45]

Racism, sexism, ageism, dan kebencian terhadap agama lain, serta etnis atau kebangsaan selalu menjadi komponen diskriminasi ekonomi, seperti bentuk diskriminasi yang lain.

Ada banyak teori yang focus ke akar diskriminasi ekonomi. Diskriminasi ekonomi adalah hal yang unik dibandingkan dengan jenis diskriminasi yang lain karena hanya bagian kecil dari ekonomi yang di sebabkan rasisme, yakni seperti yang disebut "cynical realization that minorities are not always your best customers" (realisasi sinis bahwa orang minoritas tidak selalu pembeli terbaik-mu).

Kebanyakan diskriminasi ekonomi di US dan Eropa berdasarkan ras dan ke-etnis-an, kebanyakan orang berkulit hitam dan Hispanik di US dan Muslim di Eropa. Di hampir semua bagian di dunia, perempuan ditempatkan di posisi paling bawah, gaji lebih rendah dan pelarangan kesempatan untuk mendapatkan kepemilikan tanah atau insentif ekonomi untuk memasuki dunia bisnis atau untuk start-up.

Societal racism adalah sebuah racism yang berdasarkan suatu pengaturan dari institusi, sejarah, budaya, dan hubungan antar individu di dalam masyarakat yang menempatkan satu atau lebih masyarakat atau grup etnis/ras di posisi yang lebih baik dan tidak menguntungkan bagi grup lain sehingga perbedaan berkembang antara grup tersebut.[46] Societal racism juga dinamakan structural racism karena berdasarkan Carl E. James, masyarakat di bangun dengan jalan mengeluarkan beberapa orang dari grup minoritas dari bagian institusi social.[47] Rasisme social terkadang merujuk juga ke systemic racism.[48]

Othering, di lainkan, di bedakan, di sendirikan, merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah system diskriminasi dimana karakteristik dari sebuah grup digunakan untuk membedakan mereka dari suatu norma atau yang normal di masyarakat.[49]

Othering memainkan peran fundamental di dalam sejarah dan keberlangsungan dari rasisme. Untuk objectify sebuah kultur budaya sebagai sesuatu yang berbeda, eksotis, aneh, atau belum berkembang, adalah dengan meng-generalize bahwa hal tersebut bukan hal yang “normal”. Perlakuan kolonial Eropa kepada oriental merupakan contoh dalam hal ini, seperti dipikir bahwa orang Timur adalah kebalikan dengan orang Barat. Orang Timur feminine sedangkan Orang Barat masculine, Orang Timur lemah dimana Orang barat kuat dan Orang Timur tradisional dimana Orang Barat berkembang maju.[50] Dengan membuat generalization dan othering Orang Timur, Eropa secara bertahap mendefinisikan diri mereka sebagai norma, mempertahankan gap lebih lanjut.[51]

Banyak dari proses othering (meng-orang lain-kan) bergantung pada imaginasi perbedaan, atau ekspetasi akan perbedaan. Memberi ruang perbedaan cukup dengan menyimpulkan bahwa “we” (kita) “here” (di sini) dan “other” (yang lain/orang lain) “there” (disebelah sana).[52] Imaginasi tentang perbedaan membuat untuk mengkategorikan orang kedalam kelompok-kelompok dan menempelkan mereka dengan imaginasi suatu karakter yang mereka ekspektasikan ada di mereka.[53]

Kenegaraan

[sunting | sunting sumber]

State racism (rasisme negara/daerah) marupakan institusi dan perbuatan dari sebuah bangsa/negara/daerah yang berdasarkan ideologi racist. Hal ini sudah dimainkan dalam banyak peran di instansi settler colonialism (penjajah) mulai dari United States sampai Australia.[butuh rujukan] Hal ini juga berperan di regime Nazi German, regime fascist seluruh Eropa dan selama awal tahun periode Showa di Japan. Pemerintahan ini mendukung dan mengimplementasikan ideologi dan aturan yang berbentuk racist, xenophobic (anti orang asing) dan genocidal (pembersihan race lain) terutama Nazism.[54][55]

Nasionalisme adalah sebuah ide dan gerakan yang memegang bahwa nation (bangsa) harus sejalan dengan negara.[56][57] Sebagai suatu gerakan, hal ini menganggap keberadaan[58] dan kecenderungan untuk mempromosikan kepentingan dari suatu bangsa,[59] terutama untuk tujuan mendapatkan dan menjaga otonomi atau sovereignty (self-governance, pemerintahan sendiri) melalui mempersepsikan sebagai “rumah” atau homeland untuk menciptakan sebuah bangsa-negara. Hal ini memegang  bahwa bangsa harus dapat mengatur sendiri, bebas dari campur tangan dari luar (self-determination), sebuah bangsa alami dan ideal untuk dasar dari sebuah polity (politik organisasi, pemerintahan)[60] dan bangsa adalah satu-satunya sumber politik yang diperbolehkan.[61][62] Hal ini menargetkan hal yang lebih jauh seperti membangun dan menjaga sebuah kesatuan identitas nasional, berdasarkan kombinasi dari berbagai karakter masyarakat seperti budaya, etnis, lokasi geografi, bahasa, politik (atau suatu pemerintahan), agama, tradisi dan kepercayaan di dalam sebuah bagian kesatuan sejarah[63][64] serta untuk mempromosikan persatuan nasional atau solidaritas.[65] Ada berbagai definisi dari “nation” atau bangsa, yang mana mengerah ke tipe-tipe yang berbeda dari nasionalisme.[66] Dua bentuk utama adalah ethnic nationalism dan civic/democratic nationalism.

  • Racial nationalism adalah sebuah ideologi yang mendukung bahwa ras sebagai identitas bangsa/nasional. Racial nationalism menginginkan untuk menjaga kemurnian ras ("racial purity") dari suatu bangsa melalui aturan seperti banning banning race mixing (memblok pencampuran ras) dan imigrasi dari ras lain. Untuk menciptakan pembenaran dari aturan seperti itu, racial nationalism sering mempromosikan eugenics (pernikahan selektif), dan mendukung solusi politik dan legislative berdasarkan eugenic dan teori ras yang lain.[67]
  • Ethnic nationalism, juga dikenal dengan ethnonationalism,[68] adalah sebuah bentuk nationalism dimana bangsa dan kebangsaan di definisikan dalam istilah ke-etnis-an,[69][70] dengan focus pada pendekatan ethnocentric (dan dalam beberapa kasus ethnocratic) terhadap berbagai masalah politik yang berhubungan dengan afirmasi kebangsasaan suatu grup etnis.[71][72] Prinsip utama dari ethnic nationalists adalah bahwa "nations are defined by a shared heritage, which usually includes a common language, a common faith, and a common ethnic ancestry" (bangsa adalah didefinisikan dari peninggalan Bersama, dimana biasanya memasukkan persamaan Bahasa, keyakinan dan peninggalan etnis leluhur).[73] Etnis lain mungkin diklasifikasikan sebagai second-class citizens.[74][75]
The Sámi people have been victim to forced assimilation tactics by the governments of Norway, Sweden, Finland, and Russia during the 19th and first half of the 20th century. Today, their culture and languages are instead promoted, legally protected, and taught in schools.

Forced assimilation adalah proses asimilasi yang dipaksakan, dapat berupa asimilasi agama atau grup etnis minoritas. Mereka dipaksa oleh pemerintah untuk mengadopsi bahasa, identitas nasional, norma,mores, budaya, tradisi, nilai, mentality, persepsi, jalan hidup, dan seringkali agama serta ideologi yang berasal dari komunitas yang sudah berdiri dan pada umumnya lebih besar serta berbudaya dominan.

Penekanan penggunaan Bahasa yang dominan di legislasi, sekolah, literature dan peribadatan juga dihitung sebagai forced assimilation. Tidak seperti ethnic cleansing atau pembersihan etnis/suku, populasi local tidak dihancurkan dan mungkin atau mungkin tidak di usir paksa dari suatu daerah. Tetapi, diharuskan (mandatory) ber-assimilasi. Hal ini juga disebut mandatory assimilation oleh pelajar yang mempelajari genocide dan nationalism.

Ethnic cleansing adalah pemaksaan sistematis dari penghilangan etnis, ras, atau grup agama dari suatu daerah, dengan tujuan membuat masyarakat dengan etnis yang homogen. Bersamaan dengan penghilangan secara langsung seperti deportasi atau populasi transfer/transmigrasi, hal itu juga termasuk metode secara tidak langsung dengan target forced migration/pindah paksa dengan memaksakan grup korban untuk lari dan mencegah kembali seperti dengan cara pembunuhan, pemerkosaan dan pengerusakan property.[76][77][78][79][80] Baik definisi dan tanggung jawab dari ethnic cleansing seringkali menjadi debat, dengan beberapa peneliti memasukkan dan yang lain tidak memasukkan coercive assimilation atau mass killing untuk depopulasi sebuah area dari suatu grup.[81][82][83]

Genocide, Di tahun 1948, United Nations Genocide Convention mendefinisikan genocide sebagai salah satu dari lima "acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group" (perbuatan yang bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau bagian sebuah bangsa, etnis, rasa tau grup agama). Lima perbuatan ini adalah :

  1. Membunuh anggota dari suatu grup.
  2. Menyebabkan mereka sakit jasmani atau mental serius.
  3. Mempersulit/imposing kondisi hidup untuk menghancurkan grup
  4. Melarang mempunyai anak.
  5. Memaksa anak anak keluar dari grup.

Korban menjadi target karena salah satu anggota dari suatu grup secara real atau hanya persepsi, tidak secara acak.[84][85][86][87]

Institutional

[sunting | sunting sumber]

Institutional racism, juga dikenal dengan systemic racism, di definisikan sebagai aturan dan praktek yang ada di masyarakat atau organisasi yang menghasilkan dan mendukung keberlangsungan hubungan yang hanya menguntungkan sepihak dan merugikan pihak lain berdasarkan ras atau etnis. Diskriminasi ini muncul di area seperti pengadilan, pekerjaan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan representasi politik.[88]

Environmental

[sunting | sunting sumber]

Environmental racism, ecological racism, atau ecological apartheid adalah bentuk dari racism yang berefek negative ke lingkungan seperti tanah longsor, incinerators, and hazardous waste disposal dan berdampak tidak proporsional kepada suatu komunitas dan melanggar substantive equality.[89][90][91] Secara internasional hal ini juga diasosiasikan dengan extractivism, dimana menempatkan beban lingkungan dari penambangan, ekstraksi minyak dan industry agrikultur kepada orang pribumi dan bangsa yang lebih miskin dan mayoritas di tempati oleh selain orang berkulit putih.[89]

Bagaimana rasisme dilakukan ?

[sunting | sunting sumber]

Overt (terbuka)

[sunting | sunting sumber]

Overt racism adalah rasisme yang terlihat, modus operandinya jelas, beroperasi secara terbuka, ethnocentrism dan diskriminasi ras.[92]

Covert (tertutup, tersembunyi, tersamar)

[sunting | sunting sumber]

Covert racism adalah sebuah bentuk  diskriminasi ras yang tersembunyi dan samar, dibandingkan secara overt, public atau jelas terlihat. Tersembunyi dalam konsep social, covert racism mendiskriminasikan individu melalui penghindaran atau metode pasif lain seperti :[93]

Aversive racism

[sunting | sunting sumber]

Aversive racism adalah sebuah bentuk dari racism secara tidak langsung/terbuka, yakni seseorang secara tidak sadar berfikir negative tentang race atau etnis minoritas, hal ini dapat dilihat dari perilaku yang selalu menghindari interaksi dengan ras dan grup etnis lain. Kebalikan tradisional, overt racism (rasist terang-terangan) yang mempunyai karakter secara terbuka dan terang-terangan membenci dan mendiskriminasikan/berlaku tidak adil terhadap racial/ras/etnis minoritas. Aversive racism mempunyai karakter yang lebih komplek, ekspresi dan perlakuan yang ambivalent (kadang baik, kadang jahat). Aversive racism mempunyai persamaan aksi dengan konsep symbolic atau modern racism yakni juga berbentuk secara tidak langsung, tidak sadar atau covert attitude yang menimbulkan bentuk diskriminasi yang tidak disadari.

Symbolic/modern

[sunting | sunting sumber]

Beberapa pelajar berargument bahwa di US, di akhir abad 20, bentuk pertama rasisme yang berupa violent (perilaku kasar) dan aggressive (penyerangan) telah berkembang menjadi lebih samar, prejudice atau mengangap buruk sesuatu. Bentuk baru rasis ini terkadang mengarah ke “modern racism” dan hal itu dikarakteristikkan dengan perilaku di luar terlihat tidak menganggap buruk orang tetapi di dalam menganggap buruk, memperlihatkan sebuah prejudice tersamar seperti mengecap kualitas orang lain berdasarkan karakteristik ras tertentu, serta penilaian baik dan buruknya perbuatan seperti itu bergantung pada ras orang yang sedang dinilai.

Microaggression

[sunting | sunting sumber]

Microaggression adalah istilah dari perbuatan yang menghina secara verbal, tingkah laku atau situasional yang di sengaja ataupun tidak sengaja, yakni seperti berkomunikasi dengan tidak ramah, merendahkan atau perlakuan negative kepada ras, kultur, kepercayaaan, jenis kelamin yang lain .[94]

Tipe-tipe rasisme

[sunting | sunting sumber]
  1. Interpersonal racism : rasisme yang dilakukan antar individu.
  2. Institutional racism : rasisme yang dilakukan oleh institusi atau organisasi dalam aturan, praktek, prosedur dan budaya.
  3. Structural racism : rasisme yang sudah sistemic (gabungan interpersonal, institusional dan internalized) yang berada dalam masyarakat, negara, atau organisasi lain.
  4. Internalized racism : rasisme yang dikarenakan internalized atau penanaman oleh ras yang dominan
    • Internalized racial inferiority : menerima dan berbuat sesuai dengan definisi diri yang ditanamkan oleh ras yang dominan yakni menjadi ras yang inferior atau ras yang lebih rendah.
    • Internalized racial superiority : kebalikan dari internalized racial inferiority yakni menerima dan berbuat sesuai definisi diri yang ditanamkan ras dominan sebagai ras yang superior atau ras yang lebih tinggi.[95]

Peristiwa sejarah yang disebabkan rasisme

[sunting | sunting sumber]

Aturan rasial Nazi Germany dan Holocaust

[sunting | sunting sumber]

Aturan rasist Nazi German adalah aturan dan hukum yang di impementasikan di dalam Nazi German dibawah ke-diktatoran Adolf Hitler, berdasarkan pseudoscientific and racist doctrines menyatakan bahwa "Aryan race" adalah superior dan di klaim kebenarannya secara scientific. Hal ini juga di kombinasikan dengan program eugenics yang mempunyai target untuk "racial hygiene" dengan cara compulsory sterilization dan pemusnahan yang di lihat sebagai Untermenschen  ("sub-humans"), yang mana berakhir dengan Holocaust.

Holocaust adalah genosida dari jews di eropa selama perang dunia ke II. Antara tahun 1941-1945, Nazy german dan yang berkolaberasi secara sistematis membunuh enam juta jews di bagian eropa yang dikuasai German, atau sekitar 2/3 populasi Jews di eropa.

Special settlements di Soviet Union (hunian spesial)

[sunting | sunting sumber]

Special settlements di Soviet Union merupakan hasil dari populasi transfer (transmigrasi) dan di lakukan dalam operasi yang terorganisir dan berkelanjutan menurut kelas social atau kebangsaan yang di deportasi/dipindahkan. Memindahkan “kelas musuh” seperti prosperous peasants (petani) dan seluruh populasi etnis tertentu adalah metode dari political repression in the Soviet Union, walaupun terpisah dengan penal labor (kerja paksa tawanan) dari system Gulag. Pemukiman paksa memainkan peran dalam kolonisasi daerah Soviet Union yang masih perawan.

Sebagai masyarakat kelas dua, orang yang deportation (dipindahkan) di desain sabagai "special settlers" atau penghuni special dilarang untuk memegang banyak pekerjaan, Kembali ke daerah asal,[96] menghadiri sekolah prestigious[97] bahkan bergabung dengan program cosmonaut.[98] Karena special settlement ini disebut tipe apartheid oleh J. Otto Pohl.[99]

Apartheid

[sunting | sunting sumber]

Apartheid (transl. "separateness", lit. 'aparthood') adalah system institutional racial segregration yang ada di Afrika Selatan dan Afrika Barat Daya (sekarang Namibia) dari tahun 1948-1990-an. Apartheid dikarakteristikan dengan budaya politik authoritarian yang berdasarkan baasskap (lit. 'boss-ship' or 'boss-hood'), yang mana memastikan bahwa politik, social dan ekonomi. Afrika Selatan telah didominasi oleh bangasa minoritas orang berkulit putih.[100] Di dalam system minoritian terdapat social stratifikasi (hirarki social) dan marginalization seperti masyarakat berkulit putih mempunyai status tertinggi setelah itu Indian dan Coloureds lalu Afrikan berkulit hitam.[100] efek social dan ekonomi masih berjalan sampai hari ini, terutama ke tidak-adilan[101][102][103][104]

Konflik Sampit

[sunting | sunting sumber]

Konflik Sampit atau Perang Sampit atau Tragedi Sampit adalah sebuah peristiwa Kerusuhan antar-etnis yang terjadi di pulau Kalimantan pada tahun 2001. bermula sejak 18 Februari 2001, Konflik ini berlangsung sepanjang tahun tersebut. Konflik ini pecah di kota Sampit, Kalimantan Tengah sebelum pada akhirnya meluas ke seluruh provinsi di Kalimantan, termasuk ibu kota Palangka Raya.

Kerusuhan Sambas

[sunting | sunting sumber]

Kerusuhan Sambas merujuk kepada peristiwa kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kerusuhan Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, tetapi kerusuhan tahun 1999 adalah yang terbesar dan merupakan dari akumulasi kejengkelan Melayu dan Dayak terhadap ulah para oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an, ikut menjadi korban.[105] Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.

Kerusuhan Poso

[sunting | sunting sumber]

Kerusuhan Poso atau konflik komunal Poso, adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini awalnya bermula dari bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum berkembang menjadi kerusuhan bernuansa agama. Beberapa faktor berkontribusi terhadap pecahnya kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan para pendatang seperti pedagang-pedagang Bugis dan transmigran dari Jawa yang memeluk Islam, ketidakstabilan politik dan ekonomi menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antar pejabat pemerintah daerah mengenai posisi birokrasi, dan pembagian kekuasaan tingkat kabupaten antara pihak Kristen dan Islam yang tidak seimbang. Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum yang lemah, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan.

Javanisation (penjawaan)

[sunting | sunting sumber]

Javanisation atau penjawaan/jawanisasi adalah proses dimana budaya jawa mendominasi, mengasimilasi atau mempengaruhi budaya lain di lain daerah. Istilah “javanise” berarti “untuk membuat atau menjadi Javanese/jawa di dalam bentuk, pemikiran, style, gaya atau karakter. Dominasi ini dapat mengambil tempat di berbagai aspek seperti budaya, Bahasa, politik dan social.

Masalah penjawaan telah menjadi isu sensitive dan critical terhadap pembangunan nasional dan kesatuan Indonesia.[106] Dominasi jawa dipertimbangkan tidak hanya pada dunia budaya tetapi juga social, politik dan ekonomi. Regime orde baru Suharto dikritisi karena politik penjawaan Indonesia selama puluhan tahun. Di dalam politik, administrasi, pemerintahan dan pegawai negeri sipil perspektif, penjawaan ini terkadang di persepsikan negative karena mengandung element terburuk dari budaya jawa, seperti social hirarki yang kokoh, authoritarianism (patuh buta pada pemimpin) dan arbitrariness. Sebuah perkembangan yang terkadang disebut sebagai "Mataramisation" dan "feudalisation", ditemani oleh kesukaan untuk menunjukkan status dan arogansi.[107] Sebuah tipikal penjelasan negative dari priyayi yang berperilaku seperti anggota dari kelas atas jawa.

Program transmigrasi yang memindah orang dari daerah padat penduduk jawa ke pulau Indonesia lain seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesian New Guinea, juga di kritisi sebagai pemercepat dan pem-promosi proses penjawaan di Indonesia. Masalah ini juga di bertambah dengan perkembangan masalah ketidak adilan, dimana pulau lain kurang dikembangkan dan perang social di daerah mereka, yang berkebalikan dengan perkembangan infrastruktur dan distribusi kekayaan terlihat hanya menginginkan fokus di jawa.

Negara dengan kasus rasisme terburuk

[sunting | sunting sumber]

Saat maraknya covid-19, rasisme kembali terjadi yaitu masyarakat Asia yang mendapat diskriminasi, karena orang-orang menganggap bahwa orang orang Asia adalah penyebab munculnya virus COVID-19. Menurut stop AAPI, setidaknya terdapat 500 insiden diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Asia dan dari Maret 2020 hingga Februari 2021 telah mencapai 3.785 laporan.

Mayoritas laporan mencatat 68% merupakan pelecehan verbal. Sementara 11% melibatkan serangan fisik. Puncaknya terjadi pada kasus penembakan di tempat spa Asia di Atlanta yang menewaskan 8 orang pada Maret lalu.

Daftar negara yang melaporkan kasus rasisme

[sunting | sunting sumber]

1. Prancis

Beberapa anak keturunan Asia seperti China, Vietnam, Korea, dan Jepang dikabarkan telah dikucilkan dan diejek oleh teman-temannya di sekolah menegah Paris. Ini karena asal-usul etnis mereka.

Restoran China, Thailand, Kamboja, dan Jepang telah melaporkan penurunan pelanggan. Skala penurunan berkisar antara 30 hingga 50%.

2. Jerman

Majalah mingguan Der Spiegel pernah menerbitkan sampul kontroversial yang dianggap oleh beberapa orang menyalahkan China atas wabah tersebut dan memicu kebencian Anti-Asia atau xenofobia.

Kedutaan Besar China di Berlin telah mengakui peningkatan kasus permusuhan terhadap warganya sejak wabah. Pada 1 Februari 2020, seorang warga negara Tiongkok berusia 23 tahun di Berlin dilaporkan menerima penghinaan rasis dan kemudian dipukuli oleh dua penyerang tak dikenal, dalam sebuah insiden yang diklasifikasikan oleh polisi sebagai "xenofobia".

3. Belanda

Kasus paling banyak ditemukan dalam beberapa kolom komentar dalam postingan mengenai virus corona.

Pada 8 Februari 2020, sekelompok mahasiswa Tiongkok yang tinggal di asrama mahasiswa Universitas Wageningen menemukan bahwa lantai mereka telah dirusak. Kerusakan termasuk bendera Cina robek dari pintu siswa dan robek serta dinding dirusak dengan penghinaan bahasa Inggris.

4. Australia

Pada tanggal 20 Maret 2020, seorang siswa yang mengenakan masker di Hobart, Tasmania diberi tahu, "Anda terkena virus" dan "kembali ke negara Anda" sebelum ditinju sehingga menyebabkan matanya memar dan kacamata pecah. Alasan penyerangan tersebut sebagian disebabkan oleh perbedaan budaya dalam penggunaan masker di budaya Timur dan Barat.

Restoran dan perusahaan China di Sydney dan Melbourne juga tercatat telah mengalami penurunan bisnis yang dramatis, dengan perdagangan menurun lebih dari 70%.

5. India

Tak hanya di dunia Barat, di India sentimen Anti-Asia dan Anti-Oriental juga berhembus kencang. Sebuah survei yang dilaksanakan The Takshashila Institution menemukan bahwa 52,8% responden India merasa istilah seperti "Virus China" dan "Pandemi Made in China" tidak bersifat rasis.

Tak hanya itu, Presiden unit Negara Bagian dari partai berkuasa Bharatiya Janata atau BJP di West Bengal Dilip Ghosh pernah menyatakan bahwa China telah "menghancurkan alam" dan "itulah mengapa Tuhan membalas dendam terhadap mereka." Pernyataan tersebut kemudian dikecam oleh konsulat China di Kolkata, menyebut mereka "salah."

Bahkan rasisme tak hanya terjadi di negara negara eropa saja bahkan di asia sendiri masih saja ada oknum oknum tidak bertanggung jawab yang sangat senang membuat huru hara di antara masyarakat.

Countermeasures (melawan balik) rasisme

[sunting | sunting sumber]

Melalui policy (aturan) pemerintah

[sunting | sunting sumber]
  1. Affirmative action : Affirmative action (terkadang disebut juga reservations, alternative access, positive discrimination atau positive action dalam hukum dan aturan yang berada di negara lain). Hal ini bermakna untuk membuat aturan dan praktek dalam pemerintahan atau organisasi yang menguntungkan grup marginal atau minoritas dengan menyamakan gaji, meningkatkan edukasi dan mempromosikan diversity (keaneragaman), persamaan dalam social dan memperbaiki dugaan yang salah, menyakiti, serta halangan, hal ini disbut juga substantive equality.
  2. Anti-discrimination law : atau non-discrimination law merujuk ke aturan yang di buat untuk mencegah diskriminasi suatu grup, grup ini sering disebut protected group/grup yang dilindungi atau protected classes.[108] Hukum tentang Anti-discrimination bermacam macam tergantung pada tipe diskriminasi yang dilarang dan grup yang di lindungi oleh legislation.[109][110]
  3. Anti-racism : Anti-racism meliputi ide dan politik yang digunakan untuk menangani racial prejudice, systemic racism dan oppression dari suatu ras atau grup.
  4. Colorblind (buta warna dalam melihat ras): ideologi colorblind (ras) bertujuan untuk memperlakukan setiap individu secara sama tanpa pandang bulu dan warna. Meskipun ideologi ini mendapat kritik karena berakibat orang menjadi tidak nyaman dengan keaneragaman/perbedaan, tidak menerima pengalaman negative tentang rasisme, menolak warisan budaya, dan menerima perspektif keunikan diri sendiri.[111][112]
  5. Fighting Discrimination : The Fighting Discrimination Program dari Human Rights First yang focus pada kekerasan yang dikenal sebagai hate crimes atau bias crimes. Karena persamaan merupakan cornerstone dari perlindungan hak asasi manusia, diskriminasi dan semua bentuknya adalah pelanggaran HAM.
  6. Hukum negara hate speech  : adalah aturan tentang berbicara ke publik dengan kebencian atau menyemangati untuk berbuat kekerasan ke orang atau grup berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, atau sexual orientation. [113]
  7. Racial integration : atau integration (penggabungan) termasuk desegregation (proses mengakhiri system racial segregation), meratakan halangan untuk bekerja sama, menciptakan kesempatan yang sama tanpa memperdulikan ras dan pembangunan budaya yang berdasar tradisi keanekaragaman, dibandingkan dengan mengubah suatu ras minoritas menjadi ras mayoritas. Desegregration merupakan urusan legal dan integration merupakan urusan social.
  8. Reappropriation : (reappropriation, reclamation, or resignification)[114] adalah proses budaya yang mana grup mengeklaim kembali kata-kata atau artifak yang sebelumnya digunakan untuk merendahkan grup tersebut.

Melalui sosial

[sunting | sunting sumber]
  1. Cultural pluralism : adalah sebuah istilah yang digunakan saat grup yang lebih kecil berada dalam social yang lebih besar dan tetap menjaga keunikan identitas budaya mereka, dimana nilai dan praktik mereka diterima oleh budaya yang dominan dan menyediakan konsistensi hukum dan nilai dari social yang lebih besar.[115]
  2. Multiculturalism : The term multiculturalism mempunyai jangkauan makna yang luas di sosiologi, filosofi politik dan percakapan sehari-hari. Di dalam sosiologi dan penggunaan sehari-hari hal ini bermakna sama dengan ethnic pluralism, dua istilah ini yang sering digunakan sebagai sinonim dan untuk cultural pluralism adalah kumpulan dari berbagai grup etnis dan budaya yang hidup dalam satu masyarakat.[116]
  3. Social integration : adalah proses bergabungnya orang baru atau minoritas ke dalam suatu stuktur social dari suatu masyarakat. Social integration dan economic integration serta identity integration merupakan tiga dimensi utama dalam proses menjadi orang baru di dalam masyarakat yang menerima mereka. Social integration yang lebih tinggi berkontribusi terhadap mendekatkan jarak social antar grup dan mempunyai nilai dan praktek yang lebih konsisten yakni untuk membawa kebersamaan berbagai etnis tanpa memperdulikan bahasa, kasta, creed dll. Hal ini memberikan akses ke seluruh aspek masyarakat kepada orang baru dan menghilangkan segregation/pemisahan ras.[117]
  4. Nonviolence : adalah suatu praktek personal yang tidak menyakiti orang lain dalam kondisi apapun. Hal ini mungkin datang dari kepercayaan bahwa untuk mencapai suatu tujuan tidak perlu untuk menyakiti orang lain, hewan atau lingkungan dan hal ini merujuk ke general philosophy dari tidak ada kekerasan. Hal ini mungkin berdasarkan moral, agama, prinsip spiritual atau alasan yang mungkin strategic atau pragmatis[118]
  5. Toleration : adalah saat kita memperbolehkan/mengizinkan suatu perbuatan, ide, ideologi, suatu obyek/seseorang untuk membenci, tidak setuju atau tidak sejalan dengan kita.

Melalui edukasi

[sunting | sunting sumber]
  1. Diversity training : adalah semua program yang digunakan untuk membuat positif interaksi antar grup/ras dan mengurangi prejudice (berprasangka buruk) dan diskriminasi serta umumnya mengajari individu yang berbeda untuk bekerja sama secara efektif.
  2. Anti-bias curriculum : adalah kurikulum yang mengusahakan untuk menentang prejudice (menganggap buruk) seperti rasisme, sexism, ableism, ageism, weightism, homophobia, classism, colorism, heightism, handism, diskriminasi agama dan bentuk-bentuk kyriarchy yang lain.[119]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Racism,Definition of racism from the Cambridge Academic Content Dictionary © Cambridge University Press
  2. ^ "racism - Definitions from Dictionary.com". 
  3. ^ "Document equating ethnocentrism with racism". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-19. Diakses tanggal 2007-01-21. 
  4. ^ "Document equating views against miscegenation with racism". 
  5. ^ "race (n2)". Online Etymology Dictionary. Retrieved 21 February 2016.
  6. ^ Webster's Ninth New Collegiate Dictionary. Merriam-Webster, Inc. 1983. p. 969. ISBN 0-87779-508-8.
  7. ^ Garner, Steve (2009). Racisms: An Introduction. Sage. Archived from the original on 2019-04-01. Retrieved 2017-06-21.
  8. ^ "Racism". The Canadian Encyclopedia. 2013. Archived from the original on 8 June 2019. Retrieved 21 February 2016.
  9. ^ "Framework decision on combating racism and xenophobia". Council Framework Decision 2008/913/JHA of 28 November 2008. European Union. Retrieved 3 February 2011.
  10. ^ "International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination". UN Treaty Series. United Nations. Archived from the original on 4 August 2011. Retrieved 3 February 2011.
  11. ^ Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 106. ISBN 978-602-99802-0-2. 
  12. ^ "How Love and Hate Influence Health and Racial Equity". RWJF (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13. 
  13. ^ Fibbi, Rosita; Midtbøen, Arnfinn H.; Simon, Patrick (2021). "Migration and Discrimination". IMISCOE Research Series. doi:10.1007/978-3-030-67281-2. ISSN 2364-4087. Adorno’s theory of the authoritarian personality (Adorno et al. 1950) is iconic for highlighting intrapsychic factors as causes of blatant discrimination. Echoing Freud’s psychoanalysis, this theory argues that individuals inclined to conservatism, nationalism, and fascism tend to develop a rigid personality, think in rigid categories, express conventional beliefs, and often identify with and submit themselves to authority figures. According to Adorno, individuals with authoritarian personalities develop aversion toward differences to their own values and norms and thus express an overt negative attitude toward minority groups. 
  14. ^ National aids trust (February 2003). "THE PSYCHOLOGY OF PREJUDICE" (PDF). NAT (Fact sheet 7): 1. 
  15. ^ Crandall, Christian S.; Eshleman, Amy (2003). "A justification-suppression model of the expression and experience of prejudice". Psychological Bulletin. 129 (3): 414–46. doi:10.1037/0033-2909.129.3.414. PMID 12784937. S2CID 15659505.
  16. ^ Stephan, Walter G.; Ybarra, Oscar; Morrison, Kimberly Rios (2009). "Intergroup Threat Theory". In Nelson, Todd D. (ed.). Handbook of Prejudice, Stereotyping, and Discrimination. Psychology Press. Taylor and Francis Group. pp. 44. ISBN 9780805859522.
  17. ^ Sidanius, Jim; Pratto, Felicia; Bobo, Lawrence (1996). "Racism, conservatism, Affirmative Action, and intellectual sophistication: A matter of principled conservatism or group dominance?". Journal of Personality and Social Psychology. 70 (3): 476–90. CiteSeerX 10.1.1.474.1114. doi:10.1037/0022-3514.70.3.476.
  18. ^ Weir, K. (2023, May 18). Raising anti-racist children. Monitor on Psychology, 52(4)
  19. ^ Roberts, Steven O.; Bareket-Shavit, Carmelle; Dollins, Forrest A.; Goldie, Peter D.; Mortenson, Elizabeth (2020-11). "Racial Inequality in Psychological Research: Trends of the Past and Recommendations for the Future". Perspectives on Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 15 (6): 1295–1309. doi:10.1177/1745691620927709. ISSN 1745-6916. 
  20. ^ "Terror Management Theory | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13. 
  21. ^ "The Psychology of Racism | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13. 
  22. ^ "Terror Management Theory: Thinking about death can bring out the worst in us". www.jcu.edu.sg (dalam bahasa Inggris). 2022-05-17. Diakses tanggal 2024-07-13. 
  23. ^ a b "The Neuroscience of Racism | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-14. The findings in the review article by Molenberghs (2013) make one thing clear: Racism is a highly complex problem, not only on the societal level but also in the brain. There is no single brain area involved in racism. Instead, a complex network of brain regions involved in social categorization, self-perception, empathy, pain, and face perception is involved in racism and other forms of in-group bias and out-group discrimination. 
  24. ^ Omi, Michael; Winant, Howard (1986). Racial Formation in the United States / From the 1960s to the 1980s. Routledge & Kegan Paul. p. 64. ISBN 978-0-7102-0970-2. We employ the term racialization to signify the extension of racial meaning to a previously racially unclassified relationship, social practice, or group.
  25. ^ St Louis, Brett (2005). "Racialization in the "zone of ambiguity"". In Murji, Karim; Solomos, John (eds.). Racialization: Studies in Theory and Practice. Oxford University Press. pp. 29–50. ISBN 0199257035.
  26. ^ Hoyt, Carlos (2016-01-19). The Arc of a Bad Idea: Understanding and Transcending Race. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-938627-7 – via Google Books.
  27. ^ Gans, Herbert J. (2017). "Racialization and racialization research". Ethnic and Racial Studies. 40 (3): 341–352. doi:10.1080/01419870.2017.1238497. ISSN 1466-4356. S2CID 152204468.
  28. ^ Popowich, Sam. "Research Guides: Race, Racialization and Racism: Key Concepts". libguides.uwinnipeg.ca (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-15. [...]Processes of racialization begin by attributing racial meaning to people's identity and, in particular,[...]. 
  29. ^ "THE PROCESS OF "RACIALIZATION"". www.yorku.ca. Diakses tanggal 2024-07-15. THE PROCESS OF RACIALIZATION “LABELS” AND “STIGMATIZES” A MINORITY GROUP BY LINKING IT WITH RACE ====>STIGMATIZATION: REFERS TO A MARK OF DISGRACE IMPOSED ON AN INDIVIDUAL BY OTHER INDIVIDUALS OR A SOCIAL GROUP. IN POPULAR USAGE IT OFTEN REFERS TO ANY NEGATIVE SANCTION OR DISAPPROVAL FOR NONCONFORMITY. AN UNDESIRABLE DIFFERENTNESS OF AN INDIVIDUAL THAT DISQUALIFIES HIM OR HER FROM FULL SOCIAL ACCEPTANCE. SOCIOLOGISTS ORIGINALLY USED THE TERM TO SHOW HOW HUMANS NOT ONLY SEEK TO CONTROL THE PHYSICAL WORLD BUT THE SOCIAL WORLD. ====>[...]MARGINALIZATION: REFERS TO THE STATUS OF A GROUP WHO DOES NOT HAVE FULL AND EQUAL ACCESS TO THE SOCIAL ECONOMIC, CULTURAL, AND POLITICAL INSTITUTIONS OF SOCIETY. 
  30. ^ Gans, Herbert J. (2017). "Racialization and racialization research". Ethnic and Racial Studies. 40 (3): 341–352. doi:10.1080/01419870.2017.1238497. ISSN 1466-4356. S2CID 152204468.
  31. ^ Meer, Nasar (2013-03-01). "Racialization and religion: race, culture and difference in the study of antisemitism and Islamophobia". Ethnic and Racial Studies. 36 (3): 385–398. doi:10.1080/01419870.2013.734392. ISSN 0141-9870. S2CID 144942470.
  32. ^ Joshi, Khyati Y. (2006-09-01). "The Racialization of Hinduism, Islam, and Sikhism in the United States". Equity & Excellence in Education. 39 (3): 211–226. doi:10.1080/10665680600790327. ISSN 1066-5684. S2CID 145652861.
  33. ^ Maldonado, Marta Maria (July 2009). "'It is their nature to do menial labour': The racialization of 'Latino/A workers' by agricultural employers". Ethnic and Racial Studies. 32 (6): 1026. doi:10.1080/01419870902802254. S2CID 143635150. 'It is their nature to do menial labour': the racialization of 'Latino/a workers' by agricultural employers
  34. ^ Maldonado, Marta Maria (Winter 2006). "Racial Triangulation of Latino/a Workers by Agricultural Employers". Human Organization. 65 (4): 360. doi:10.17730/humo.65.4.a84b5xykr0dvp91l.
  35. ^ Schill, Michael; Wachter, Susan (2001). "Principles to Guide Housing Policy at the Beginning of the Millennium". Cityscape: 5–19. CiteSeerX 10.1.1.536.5952.
  36. ^ Blundell, Jonathan (2014). Cambridge IGCSE® sociology coursebook. Cambridge, United Kingdom : Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-64513-4.
  37. ^ "What Is Social Stratification?". Archived from the original on 4 March 2021. Retrieved 11 March 2021.
  38. ^ "6.S: Social Stratification (Summary)". 13 December 2016. Archived from the original on 12 December 2019. Retrieved 11 March 2021.
  39. ^ "What Is Social Stratification, and Why Does It Matter?". Archived from the original on 16 April 2021. Retrieved 11 March 2021.
  40. ^ Longerich, Peter. "The Nazi Racial State". BBC. Retrieved 23 August 2020.
  41. ^ "Nation of Islam". Southern Poverty Law Centre. Retrieved 23 August 2020.
  42. ^ "Loyal White Knights of the Ku Klux Klan". Anti-Defamation League (ADL). Retrieved 23 August 2020.
  43. ^ "The End of Apartheid". US Department of State Archive. 7 January 2008. Retrieved 23 August 2020.
  44. ^ "xenophobia - European Commission". home-affairs.ec.europa.eu. Archived from the original on 1 July 2024. Retrieved 17 March 2024.
  45. ^ Kundnani, Arun (1 October 2002). "An Unholy Alliance? Racism, Religion and Communalism". Race & Class. 44 (2): 71–80. doi:10.1177/0306396802044002976. ISSN 0306-3968. S2CID 145013667.
  46. ^ Lawrence, Keith; Keleher, Terry (2004). "Chronic Disparity: Strong and Pervasive Evidence of Racial Inequalities" (PDF). Poverty Outcomes: 24. Retrieved 28 November 2018.
  47. ^ James, Carl E. (8 February 1996). Perspectives on Racism and the Human Services Sector: A Case for Change (2nd Revised ed.). University of Toronto Press. p. 27.
  48. ^ Yancey-Bragg, N'dea (15 June 2020). "What is systemic racism? Here's what it means and how you can help dismantle it". USA Today. Retrieved 29 August 2020.
  49. ^ Mountz, Alison (2009). Key Concepts in Political Geography. Sage. p. 328.
  50. ^ Said, Edward (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books. p. 357.
  51. ^ Gregory, Derek (2004). The Colonial Present. Blackwell publishers. p. 4.
  52. ^ Said, Edward (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books. p. 357.
  53. ^ Said, Edward (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books. p. 357,260.
  54. ^ Russel, Edward (2002). The Knights of Bushido. p. 238.; Bix, Herbert (2001). Hirohito and the making of modern Japan. pp. 313–314, 326, 359–360.; Wolferen, Karel van (1989). The Enigma of Japanese Power. pp. 263–272.
  55. ^ Paulino, Edward (December 2006). "Anti-Haitianism, Historical Memory, and the Potential for Genocidal Violence in the Dominican Republic". Genocide Studies International. 1 (3): 265–288. doi:10.3138/7864-3362-3R24-6231. eISSN 2291-1855. ISSN 2291-1847.
  56. ^ Hechter, Michael (2000). Containing Nationalism. Oxford University Press. p. 7. ISBN 978-0198297420.
  57. ^ Gellner, Ernest (1983). Nations and Nationalism. Cornell University Press. p. 1. ISBN 978-0801475009.
  58. ^ Brubaker, Rogers (1996). Nationalism reframed: Nationhood and the national question in the New Europe. Cambridge University Press. p. 15. ISBN 978-0-521-57649-9.
  59. ^ Smith, Anthony. Nationalism: Theory, Ideology, History. Polity, 2010. pp. 9, 25–30; James, Paul (1996). Nation Formation: Towards a Theory of Abstract Community. London: Sage Publications. Archived from the original on 6 October 2021. Retrieved 15 September 2019.
  60. ^ Finlayson, Alan (2014). "5. Nationalism". In Geoghegan, Vincent; Wilford, Rick (eds.). Political Ideologies: An Introduction. Routledge. pp. 100–102. ISBN 978-1317804338.
  61. ^ Smith, Anthony. Nationalism: Theory, Ideology, History. Polity, 2010. pp. 9, 25–30;
  62. ^ Yack, Bernard. Nationalism and the Moral Psychology of Community. University of Chicago Press, 2012. p. 142
  63. ^ Triandafyllidou, Anna (1998). "National Identity and the Other". Ethnic and Racial Studies. 21 (4): 593–612. doi:10.1080/014198798329784.
  64. ^ Smith, A.D. (1981). The Ethnic Revival in the Modern World. Cambridge University Press.
  65. ^ Smith, Anthony. Nationalism: Theory, Ideology, History. Polity, 2010. pp. 9, 25–30;
  66. ^ Mylonas, Harris; Tudor, Maya (2023). "Varieties of Nationalism: Communities, Narratives, Identities". Cambridge University Press. doi:10.1017/9781108973298. ISBN 9781108973298. S2CID 259646325. Archived from the original on 7 July 2023. Retrieved 4 July 2023. a broad scholarly consensus that the nation is a recent and imagined identity dominates political science
  67. ^ Turda, Marius; Weindling, Paul J., eds. (2007). Blood and Homeland: Eugenics and Racial Nationalism in Central and Southeast Europe, 1900–1940. Budapest: Central European University Press. ISBN 9789637326813.
  68. ^ Leoussi, Athena, ed. (2001). Encyclopedia of Nationalism. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers. ISBN 9781412822558.
  69. ^ Smith, Anthony D. (1987) [1986]. The Ethnic Origins of Nations. Oxford and New York: Blackwell. ISBN 9780631152057.p. 134-138, 144–149.
  70. ^ Smith, Anthony D. (2009). Ethno-symbolism and Nationalism: A Cultural Approach. London and New York: Routledge. ISBN 9781135999483.p. 61-80.
  71. ^ Smith, Anthony D. (1981). The Ethnic Revival in the Modern World. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780521232678.p. 18
  72. ^ Roshwald, Aviel (2001). Ethnic Nationalism and the Fall of Empires: Central Europe, the Middle East and Russia, 1914–1923. London and New York: Routledge. ISBN 9781134682539.
  73. ^ Muller, Jerry Z. (2008). "Us and Them: The Enduring Power of Ethnic Nationalism". Foreign Affairs. 87 (2): 18–35. JSTOR 20032578.
  74. ^ Rangelov, Iavor (2013). Nationalism and the Rule of Law: Lessons from the Balkans and Beyond. Cambridge University Press. pp. 19–44. doi:10.1017/CBO9780511997938. ISBN 9780511997938.
  75. ^ Yilmaz, Muzaffer Ercan (2018). "The Rise of Ethnic Nationalism, Intra-State Conflicts and Conflict Resolution". Journal of TESAM Akademy. 5 (1): 11–33. doi:10.30626/tesamakademi.393051.
  76. ^ "Ethnic cleansing". United Nations. United Nations Office on Genocide Prevention and the Responsibility to Protect. Retrieved December 20, 2020.
  77. ^ Walling, Carrie Booth (2000). "The history and politics of ethnic cleansing". The International Journal of Human Rights. 4 (3–4): 47–66. doi:10.1080/13642980008406892. S2CID 144001685. Most frequently, however, the aim of ethnic cleansing is to expel the despised ethnic group through either indirect coercion or direct force, and to ensure that return is impossible. Terror is the fundamental method used to achieve this end. Methods of indirect coercion can include: introducing repressive laws and discriminatory measures designed to make minority life difficult; the deliberate failure to prevent mob violence against ethnic minorities; using surrogates to inflict violence; the destruction of the physical infrastructure upon which minority life depends; the imprisonment of male members of the ethnic group; threats to rape female members, and threats to kill. If ineffective, these indirect methods are often escalated to coerced emigration, where the removal of the ethnic group from the territory is pressured by physical force. This typically includes physical harassment and the expropriation of property. Deportation is an escalated form of direct coercion in that the forcible removal of 'undesirables' from the state's territory is organised, directed and carried out by state agents. The most serious of the direct methods, excluding genocide, is murderous cleansing, which entails the brutal and often public murder of some few in order to compel flight of the remaining group members.13 Unlike during genocide, when murder is intended to be total and an end in itself, murderous cleansing is used as a tool towards the larger aim of expelling survivors from the territory. The process can be made complete by revoking the citizenship of those who emigrate or flee.
  78. ^ Schabas, William A. (2003). "'Ethnic Cleansing' and Genocide: Similarities and Distinctions". European Yearbook of Minority Issues Online. 3 (1): 109–128. doi:10.1163/221161104X00075. The Commission considered techniques of ethnic cleansing to include murder, torture, arbitrary arrest and detention, extrajudicial executions, sexual assault, confinement of civilian populations in ghetto areas, forcible removal, displacement and deportation of civilian populations, deliberate military attacks or threats of attacks on civilians and civilian areas, and wanton destruction of property.
  79. ^ The danger of overstretching the term can be avoided...The goal of ethnic cleansing is to permanently remove a group from the area it inhabits...There is a popular dimension to ethnic cleansing because there are people needed to threaten with violence, to evict homes, organize mass transports, and to prevent the return of the unwanted...The main goal of ethnic cleansing was the removal of a group from a certain territory The Oxford Handbook of Postwar European History. (2012). United Kingdom: OUP Oxford.
  80. ^ Joireman, Sandra Fullerton. Peace, preference, and property : return migration after violent conflict. University of Michigan. p. 49. Violent conflict changes communities. "Returnees painfully discover that in their period of absence the homeland communities and their identities have undergone transformation, and these ruptures and changes have serious implications for their ability to reclaim a sense of home upon homecoming." The first issue in terms of returning home is usually the restoration of property, specifically the return or rebuilding of homes. People want their property restored, often before they return. But home means more than property, it also refers to the nature of the community. Anthropological literature emphasizes that time and the experience of violence changes people's sense of home and desire to return, and the nature of their communities of origin. To sum up, previous research has identified factors that influence decisions to return: time, trauma, family characteristics and economic opportunities.
  81. ^ Bulutgil, H. Zeynep (2018). "The state of the field and debates on ethnic cleansing". Nationalities Papers. 46 (6): 1136–1145. doi:10.1080/00905992.2018.1457018. S2CID 158519257.p.1136
  82. ^ Garrity, Meghan M (September 27, 2023). "'Ethnic Cleansing': An Analysis of Conceptual and Empirical Ambiguity". Political Science Quarterly. 138 (4): 469–489. doi:10.1093/psquar/qqad082.
  83. ^ Kirby-McLemore, Jennifer (2021–2022). "Settling the Genocide v. Ethnic Cleansing Debate: Ending Misuse of the Euphemism Ethnic Cleansing". Denver Journal of International Law and Policy. 50: 115.
  84. ^ United Nations (2019). "Genocide Background". United Nations Office on Genocide Prevention and the Responsibility to Protect. Archived from the original on 17 April 2023. Retrieved 20 April 2023.
  85. ^ Office of the UN Special Adviser on the Prevention of Genocide (2014). "Legal definition of genocide" (PDF). United Nations. Archived (PDF) from the original on 30 January 2016. Retrieved 22 February 2017.
  86. ^ Voice of America (15 March 2016). "What Is Genocide?". Voice of America. Archived from the original on 11 August 2017. Retrieved 22 October 2017.
  87. ^ "art. 2", Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, U.N.T.S., vol. 78, 9 December 1948, p. 277
  88. ^ Harmon, Amy; Mandavilli, Apoorva; Maheshwari, Sapna; Kantor, Jodi (13 June 2020). "From Cosmetics to NASCAR, Calls for Racial Justice Are Spreading". The New York Times.
  89. ^ a b BULLARD, ROBERT D. (2003). "Confronting Environmental Racism in the 21st Century". Race, Poverty & the Environment. 10 (1): 49–52. ISSN 1532-2874. JSTOR 41554377.
  90. ^ Bullard, Robert D (2001). "Environmental Justice in the 21st Century: Race Still Matters". Phylon. 49 (3–4): 151–171. doi:10.2307/3132626. JSTOR 3132626.
  91. ^ Dinc, Pinar (28 March 2022). "Environmental Racism and Resistance in Kurdistan". The Commentaries. 2 (1): 39–48. doi:10.33182/tc.v2i1.2189. ISSN 2754-8805.
  92. ^ Smith, Anthony D; Hou, Xiaoshuo; Stone, John; Dennis, Rutledge; Rizova, Polly, ed. (2015-12-07). The Wiley Blackwell Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Nationalism (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1). Wiley. doi:10.1002/9781118663202.wberen398. ISBN 978-1-4051-8978-1. 
  93. ^ Coates, Rodney (2007). Coates, Rodney (ed.). Covert Racism. Lieden, The Netherlands: Brill.
  94. ^ Kanter JW, Williams MT, Kuczynski AM, Manbeck KE, Debreaux M, Rosen DC (December 1, 2017). "A Preliminary Report on the Relationship Between Microaggressions Against Black People and Racism Among White College Students". Race and Social Problems. 9 (4): 291–299. doi:10.1007/s12552-017-9214-0. ISSN 1867-1748. S2CID 4792728.
  95. ^ RSJI (Racial & Social Justice Initiative) (Agustus 2021). "4 TYPES OF RACISM" (PDF). RSJI City of Seattle Office for Civil Rights. 
  96. ^ Rodriguez, Junius (2011). Slavery in the Modern World: A History of Political, Social, and Economic Oppression. ABC-CLIO. p. 179. ISBN 978-1-85109-783-8.
  97. ^ Khurshutov, Asan (2007). Екзамен за второй день четверть (in Russian). Simferopol: VGMI Tavriya. p. 116. ISBN 9789664351437. OCLC 261297982.
  98. ^ Bagalova, Zuleykhan; Dolinova, G.; Samodurov, Yuri (1999). Чечня: право на культуру. Moscow: Polinform. pp. 44–46. ISBN 5935160013. OCLC 51079021.
  99. ^ Pohl, J. Otto (15 January 2012). "Soviet Apartheid: Stalin's Ethnic Deportations, Special Settlement Restrictions, and the Labor Army: The Case of the Ethnic Germans in the USSR". Human Rights Review: 205–224.
  100. ^ a b Mayne, Alan (1999). From Politics Past to Politics Future: An Integrated Analysis of Current and Emergent Paradigms. Westport, Connecticut: Praeger. p. 52. ISBN 978-0-275-96151-0.
  101. ^ Leander (15 June 2015). "Despite the 1994 political victory against apartheid, its economic legacy persists by Haydn Cornish-Jenkins". South African History Online. Archived from the original on 2 May 2018. Retrieved 2 May 2018.
  102. ^ Moeti, Thato (27 April 2018). "Apartheid legacy haunts SA economy". www.sabcnews.com. SABC News. Archived from the original on 19 November 2018. Retrieved 2 May 2018.
  103. ^ Hirsch, Alan (6 April 2018). "Ramaphosa's tough job on fixing Apartheid legacy". The Conversation Africa. AllAfrica.
  104. ^ Msimang, Sisonke (12 December 2017). "All Is Not Forgiven: South Africa and the Scars of Apartheid". Foreign Affairs. No. January/February 2018. ISSN 0015-7120. Retrieved 20 November 2023.
  105. ^ "Selasa 060499, NASIONAL - Kerusuhan Meletus Lagi di Sambas: 56 Orang Ditahan". zkarnain.tripod.com. Diakses tanggal 2024-07-19. 
  106. ^ Rush, James R. (2020-05-28). Adicerita Hamka. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-06-4406-6.
  107. ^ Mulder, Niels (2005). Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java. Kanisius. hlm. 53. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-03. Diakses tanggal 2020-07-02.
  108. ^ Levit, Nancy (2012-05-01). "Changing Workforce Demographics and the Future of The Protected Class Approach". Lewis & Clark Law Review. Rochester, NY. SSRN 2033792.
  109. ^ Readler, Chad A. (1997–1998). "Local Government Anti-Discrimination Laws: Do They Make a Difference". University of Michigan Journal of Law Reform. 31: 777. Retrieved 2018-07-09.
  110. ^ Comparative Perspectives on the Enforcement and Effectiveness of Antidiscrimination Law – Challenges and Innovative Tools | Marie Mercat-Bruns | Springer. Ius Comparatum – Global Studies in Comparative Law. Springer. 2018. ISBN 9783319900674.
  111. ^ Williams, Ph.D., ABPP, Monnica (December 27, 2011). "Colorblind Ideology Is a Form of Racism". Psychology Today. Diakses tanggal 21 Juli 2024. 
  112. ^ Ansell, Amy E. (March 2006). "Casting a Blind Eye: The Ironic Consequences of Color-Blindness in South Africa and the United States". Critical Sociology. 32 (2–3): 333–356. doi:10.1163/156916306777835349. ISSN 0896-9205. S2CID 143485250.
  113. ^ "Hate speech". Cambridge Advanced Learner's Dictionary & Thesaurus. Cambridge University Press.
  114. ^ Brontsema, Robin (2004-06-01). "A Queer Revolution: Reconceptualizing the Debate Over Linguistic Reclamation". Colorado Research in Linguistics. 17 (1). doi:10.25810/dky3-zq57. ISSN 1937-7029. Archived from the original on 2021-07-18. Linguistic reclamation, also known as linguistic resignification or reappropriation, refers to the appropriation of a pejorative epithet by its target(s).
  115. ^ Hazard, William R.; Stent, Madelon (1973). "Cultural Pluralism and Schooling: Some Preliminary Observations". Cultural Pluralism in Education: A Mandate for Change. New York: Appleton-Century-Crofts. p. 13.
  116. ^ Reynolds, Cecil R.; Fletcher-Janzen, Elaine, eds. (2008). "Pluralism, Cultural". Encyclopedia of Special Education. pp. 1591–1592. doi:10.1002/9780470373699.speced1627. ISBN 978-0-470-37369-9.
  117. ^ Alba, Richard; Nee, Victor (1997). "Rethinking Assimilation Theory for a New Era of Immigration". International Migration Review. 31, 4 (4): 826–874. doi:10.1177/019791839703100403. PMID 12293207. S2CID 41839076.
  118. ^ A clarification of this and related terms appears in Gene Sharp, Sharp's Dictionary of Power and Struggle: Language of Civil Resistance in Conflicts, Oxford University Press, New York, 2012.
  119. ^ What is Anti-Bias Education? Archived 2004-12-12 at the Wayback Machine Anti-Defamation League Quotation: "Anti-bias education takes an active, problem solving approach that is integrated into all aspects of an existing curriculum and a school's environment."