Lompat ke isi

Taman Nasional Kayan Mentarang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Taman Nasional Kayan Mentarang

Berkas:Lokasi tnkm.gif
Taman Nasional Kayan Mentarang

Pengantar

Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai Cagar Alam oleh Menteri Pertanian RI. Kemudian pada tahun 1996, atas desakan masyarakat lokal (adat) dan rekomendasi dari WWF, kawasan ini dirobah statusnya menjadi Taman Nasional agar kepentingan masyarakat lokal dapat diakomodasikan. TNKM memiliki kawasan hutan primer dan skunder tua terbesar yang masih tersisa di Pulau Kalimantan dan seluruh Asia Tenggara. Nama Kayan Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman nasional, yaitu Sungai Kayan disebelah selatan dan Sungai Mentarang disebelah Utara. Dengan luas lahan sekitar 1, 35 juta hektar, hamparan hutan ini membentang di bagian Utara Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia. Sebagian besar kawasan masuk dalam Kabupaten Malinau dan sebagian lagi masuk dalam Kabupaten Nunukan.

Kawasan TNKM terletak pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar 2500 meter di atas permukaan laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi sedimen dan vulkanis. Tingginya tingkat perusakan hutan di Kalimantan dan banyaknya bagian hutan yang beralih fungsi, menyebabkan kawasan TNKM menjadi sangat istimewa dan perlu mendapat prioritas tinggi dalam hal pelestarian keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat yang masih tersisa.

Keanekaragaman Hayati

Berkas:Hutan tnkm.jpg
Hutan Dataran Rendah di wilayah Adat Punan Tubu

Tipe-tipe utama adalah hutan Dipterokarp, hutan Fagaceae-Myrtaceae atau hutan Ek, hutan pegunungan tingkat tengah dan tinggi (di atas 1000 meter di atas permukaan laut), hutan agathis, hutan kerangas, hutan rawa yang terbatas luasnya, serta suatu tipe khusus “hutan lumut” dipuncak-puncak gunung diatas ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. Selain itu, terdapat pula berbagai jenis hutan sekunder.

Jenis flora yang dilaporkan ada dalam kawasan ini diantaranya termasuk 500 jenis anggrek dan sedikitnya 25 jenis rotan. Selain itu juga telah berhasil diinventaris 277 jenis burung termasuk 11 jenis baru untuk Kalimantan dan Indonesia, 19 jenis endemik dan 12 jenis yang hampir punah. Beberapa jenis yang menarik diantaranya adalah 7 jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan Kalimantan dan jenis-jenis Raja Udang. TNKM juga merupakan habitat bagi banyak jenis satwa dilindungi seperti banteng (Bos javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), trenggiling (Manis javanica), macan dahan (Neofelis nebulosa), landak (Hystrix brachyura), rusa sambar (Cervus unicolor) dan lain sebagainya. Pada musim-musim tertentu di padang rumput di hulu Sungai Bahau, berkumpul kawanan banteng (Bos javanicus) yang muncul dari kawasan hutan disekitarnya dan menjadi sebuah pemandangan yang menarik untuk disaksikan.

Keanekaragaman Budaya
Di dalam dan di sekitar TNKM ditemukan beraneka ragam budaya yang merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi untuk dilestarikan. Sekitar 21.000 ribu orang dari bermacam etnik dan sub kelompok bahasa, yang dikenal sebagai Suku Dayak, bermukim didalam dan disekitar taman nasional. Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan mendiami sekitar 50 desa yang ada didalam kawasan TNKM.

Ditemukannya kuburan batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan peninggalan suku Ngorek, mengindikasikan bahwa paling tidak sejak kurang lebih 400 tahun yang lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini. Peninggalan arkeologi yang paling padat ini , diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting untuk pulau Borneo.

Masyarakat didalam kawasan taman nasional masih sangat bergantung pada pemanfaatan hutan sebagai sumber penghidupan, seperti kayu, tumbuhan obat, dan binatang buruan. Mereka juga menjual tumbuhan dan binatang hasil hutan, karena hanya ada sedikit peluang untuk mendapatkan uang tunai. Pada dasarnya masyarakat mengelola sumber daya alam secara tradisional dengan mendasarkan pada variasi jenis. Sebagai contoh banyak varietas padi ditanam, beberapa jenis kayu digunakan untuk bahan bangunan, banyak jenis tumbuhan digunakan untuk obat, dan berbagai jenis satwa buruan.

Tingginya keragaman jenis yang dimanfaatkan, akan memperkecil kemungkinan jenis-jenis tadi mengalami tekanan. Pengelolaan tradisional tersebut pada dasarnya sangat sejalan dengan konservasi hutan dan hidupan liar. Sayangnya, peraturan tradisional atau adat sering tidak dipedulikan oleh pendatang yang terus meningkat untuk mengambil sumber daya dari kawasan. Perubahan yang cepat dari matapencaharian tradisional ke ekonomi membuat orang tergoda untuk mengabaikan adat.

Pengelolaan Kolaboratif

Berkas:SKSignBupati.jpg
Penandatanganan SK Pengelolaan Kolaboratif oleh Bupati

Pengelolaan hutan tradisional yang dikembangkan pada saat tombak dan sumpit digunakan, terkesampingkan oleh senjata api, gergaji mesin dan jala. Dengan peralatan yang semakin modern, orang semakin mudah untuk menangkap binatang dan mengumpulkan tumbuhan lebih banyak. Belum lagi kegiatan pencurian kayu, pengambilan produk-produk hutan komersial dan pembangunan jalan yang mulai mengancam sumberdaya alam yang ada didalam taman nasional.

Dengan munculnya berbagai ancaman tersebut, masyarakat yang ada didalam dan disekitar taman nasional dianggap sebagai aset yang paling tepat untuk menjaga dan mengelola sumberdaya alam yang ada di TNKM. Selain itu, adanya desentralisasi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota, dan Propinsi, juga merupakan asset penting untuk menjaga dan mengelola sumberdaya alam TNKM.

WWF Indonesia, bekerjasama dengan para pihak terkait (stakeholders), yaitu Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Pemerintah Daerah, Masyarakat Lokal (Adat) dan Lembaga-lembaga Internasional, berupaya mendayagunakan asset-aset penting tadi sebagai suatu peluang dan sekaligus kekuatan untuk menemukan model baru dalam pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Dengan kearifan yang tinggi, para pihak terkait sepakat untuk mencoba membangun suatu model Pengelolaan Kolaboratif (Co-management) bagi TNKM.

Pada tanggal 4 April 2003, Menteri Kehutanan RI menetapkan Pengelolaan Kolaboratif untuk TNKM melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 1213, 1214, 1215/Kpts-II/2002. Ini merupakan tonnggak sejarah baru dalam pengelolaan Taman Nasional di Indonesia yang selama ini pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Prinsip pengelolaan kolaboratif TNKM meliputi enam aspek, yaitu: berbasiskan masyarakat (community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders), berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdsasarkan Rencana Pengelolaan (Management Plan)Taman Nasional yang syah.

Kelembagaan
Bentuk kolaboratif diwujudkan kedalam sebuah wadah organisasi yang disebut sebagai Dewan Penentu Kebijakan (DPK) TNKM. Keanggotaan DPK TNKM terdiri dari: Bupati Malinau (Ketua merangkap anggota), Bupati Nunukan (Wakil Ketua merangkap anggota), Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) TNKM (Wakil Ketua merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Malinau (Sekretaris I merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Nunukan (Sekretaris II merangkap anggota), Kepala BKSDA Kalimantan Timur (Bendahara merangkap anggota), dan para anggota lainnya terdiri dari Perwakilan FoMMA (4 orang), Ketua Bappeda Kalimantan Timur, Direktur Konservasi Kawasan PHKA, serta Kepala Sub Direktorat Kawasan Pelestarian Alam PHKA.

Tugas pokok DPK TNKM antara lain: membantu Pemerintah mengelola TNKM, bersama Pemerintah menentukan kebijaksanaan pengelolaan TNKM sesuai aspirasi para pihak, memberi saran dan pertimbangan dalam pembangunan TNKM, mengusulkan pembentukan Badan Pengelola TNKM kepada Menteri Kehutanan, dan berkoordinasi dengan Dirjen PHKA. Kegiatan pengelolaan TNKM dilaksanakan oleh Badan Pengelola TNKM yang unsur-unsurnya terdiri dari Masyarakat lokal (Adat), BKSDA/PHKA, dan LSM.

Landasan telah dibangun, namun membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti misalnya gejolak politik, kepastian hukum, kesiapan dan dukungan para pihak. Saat ini, WWF Indonesia-Kayan Mentarang Project yang telah aktif di kawasan TNKM sejak 1980-an, sedang memfokuskan kegiatannya pada implementasi Rencana Pengelolaan TNKM dan mempersiapkan para pihak untuk melaksanakan Pengelolaan Kolaboratif TNKM.