Keramik Hijau Goryeo
Goryeo ware | |
Nama Korea | |
---|---|
Hangul | 고려도자기, 고려청자, 고려자기 |
Hanja | |
Alih Aksara | Goryeo dojagi, Goryeo cheongja, Goryeo jagi |
McCune–Reischauer | Koryŏ tojagi, Koryŏ ch'ŏja, Koryŏ chagi |
Goryeo Cheongja atau Keramik Hijau Goryeo adalah keramik hijau (seladon) yang awalnya diproduksi pada masa Dinasti Goryeo (918-1392) di Korea.[1] Keramik yang berciri-khas warna biru-kehijauan ini dihasilkan dengan teknik glasir yang diperkenalkan dari Dinasti Song. Seniman Goryeo mengembangkan teknik baru yang dinamakan Sanggam. Teknik sanggam adalah menyelipkan potongan tanah liat untuk membentuk gambar atau ilustrasi dibawah glasir yang tidak dilakukan oleh pembuat keramik hijau Cina. Hal inilah yang membuat keramik hijau Goryeo begitu terkenal karena keindahan desain dan pola coraknya, bahkan menjadi komoditas perdagangan Goryeo dengan negara-negara lain seperti Cina dan Timur Tengah. Produk Keramik Hijau Goryeo yang banyak dibuat adalah vas, mangkuk, pot, teko, tempayan, cawan, pembakar dupa, kotak perhiasan dan sebagainya.
Sejarah
Teknik membuat keramik hijau (Hanzi:青瓷, qīngcí, Bahasa Korea:청자, Cheongja) diperkenalkan dari Dinasti Song di masa pemerintahan Dinasti Goryeo (918-1392). Seniman Goryeo menciptakan Teknik Sanggam untuk menghasilkan kreasi keramik yang baru dan berbeda daripada keramik hijau Cina. Pada masa Dinasti Goryeo, kepopuleran keramik hijau mencapai Cina dan banyak bangsa lain yang mengagumi keindahannya. Para seniman asal Cina bahkan menjulukinya sebagai salah satu dari "sepuluh harta karun di bawah langit". Keramik hijau pada saat itu menjadi komoditas perdagangan antara Goryeo dengan bangsa-bangsa lain. Di Goryeo sendiri keramik hijau dinikmati kalangan bangsawan dan menjadi dekorasi karya seni yang menghiasi istana kerajaan dan kuil-kuil Buddha.
Kualitas dan produksi keramik hijau menurun semenjak bangsa Mongol menginvasi Goryeo pada tahun 1231. Periode Dinasti Goryeo berakhir pada tahun 1392 dan Dinasti Joseon mengganti ideologi negara berdasarkan Konfusianisme yang diikuti dengan memudarnya minat akan keramik hijau yang bernafaskan Buddhisme.
Pada tahun 1910, ketika Jepang mulai menjajah Korea, kesenian membuat keramik hijau serta berbagai jenis keramik lain tidak bisa bertahan. Barulah pada tahun 1950-an teknik membuat keramik hijau yang hampir punah kembali dihidupkan oleh seniman-seniman yang masih bertahan seperti Ko-Chung (Ji Jae-Seob) dan Chon-Jin. Ji Jae-seob saat ini adalah salah seorang pengrajin yang dianugerahi sebagai harta nasional hidup oleh pemerintah Korea Selatan.
Pola
Keramik hijau Goryeo merefleksikan pemikiran Buddhisme yang saat itu merupakan ideologi negara. Masyarakat Goryeo menuangkan pemikiran Buddhisme ke dalam keramik hijau dan mengimajinasikan warna biru hijau-kehijauan sebagai warna dari nirwana. Pola-pola yang dikreasikan pun memiliki makna dalam kepercayaan tradisional Korea dan Buddhisme, contohnya pola tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan.
- Burung bangau, melambangkan keabadiaan atau umur panjang.
- Lingkaran, melambangkan matahari
- Ikan, melambangkan realisasi yang besar
- Bunga teratai, melambangkan kasih Buddha.
- Harimau, melambangkan pelindung dan kehangatan.
- Peoni, melambangkan kekayaan dan penghargaan.
- Naga, melambangkan keagungan.
- Itik, melambangkan jabatan perdana menteri.
- Bunga krisan, melambangka kesehatan dan kesejahteraan.
- Pohon cemara, melambangkan kerajaan dan kesetiaan.
Proses pembuatan
Proses pembuatan keramik hijau merupakan yang tersulit dibanding cara membuat keramik jenis lain karena diperlukan prosedur-prosedur yang rumit. Pada awalnya para pengrajin di zaman Goryeo meniru gaya keramik Cina, namun lama-kelamaan mulai menemukan sendiri gaya mereka. Para pengrajin Goryeo mempelajari teknik keramik hijau Song dan motif dekorasinya, sehingga pada awalnya gaya mereka serupa dengan motif keramik Song yang dihasilkan di Cina Selatan – seperti motif bunga teratai, peoni, burung nuri dan ilustrasi itik di kolam.
Tanah liat dibentuk di roda putar dan setelah terbentuk menjadi dibiarkan menjadi sedikit kering. Setelah itu permukaannya diukir untuk membentuk pola yang diinginkan sehingga membentuk ceruk-ceruk. Dalam ceruk pola tersebut diisi dengan tanah liat berwarna putih, hijau tua atau merah sesuai ilustrasi yang diukir, kemudian dikeringkan dalam waktu yang lama, bisa sampai berbulan-bulan tergantung cuaca. Setelah mengering keramik lalu dibakar di dalam tungku. Sebagian besar keramik yang dibakar hancur dalam tungku. Keramik yang berhasil lalu dikeluarkan dan diteliti, bila pembakaran kurang sempurna keramik tersebut akan sengaja dihancurkan si pengrajin. Keramik yang melewati proses pembakaran sempurna lalu diberi glasir, setelah itu dibakar lagi dengan suhu yang lebih tinggi. Pembakaran ini akan menyebabkan keramik tersebut menghasilkan warna biru-kehijauan yang diinginkan pengrajin. Keramik yang berhasil melewati proses glasir akan menghasilkan ilustrasi yang semi-transparan dan lebih terang.
Warna dari keramik hijau ini juga bergantung pada faktor bahan-bahan yang membuatnya, terutama kandungan besi dalam tanah liat serta bahan-bahan glasir yang terbuat dari besi-oksida, mangan-oksida dan kwarsa juga tingkat pembakaran dalam tungku. Suhu tungku umumnya berada atau sekitar 1150ºC dan level oksigen dalam tungku diturunkan dalam beberapa tahap pembakaran. Walaupun saat ini para pengrajin moderen mencoba untuk membuat keramik hijau yang serupa dengan warna asli Goryeo, namun mereka tidak mampu melakukannya dan karya mereka dirasa masih belum menyamai kesempurnaan keramik asli Goryeo.
Terdapat beberapa bentuk keramik hijau yang juga memiliki arti masing-masing, umumnya terinspirasi dari alam.
- Cham-wae, jenis vas yang berbentuk melon.
- Maebyeong, jenis vas yang berbahu lebar dan tinggi, melambangkan wanita.
- Jubyeong, jenis vas yang berleher langsing dan panjang, melambangkan pria.
- Kundika, jenis penampung air yang digunakan dalam ritual agama Buddha.
Tungku
Dua tempat penghasil keramik hijau Goryeo masih bertahan di Korea saat ini, yakni di kabupaten Gangjin dan Gochang di provinsi Jeolla Selatan. Kedua tempat ini telah memproduksi Cheongja sejak zaman Dinasti Goryeo. Terdapat sekitar 188 buah tungku pembakaran keramik di desa-desa yang tersebar di Kabupaten Gangjin seperti di desa Yongunni, Gyeyulli, Sadangni, and Sudongni.
Harta nasional
Pada masa Goryeo, banyak keramik hijau yang dijadikan objek penguburan dalam makam-makam yang menyebabkan masih banyak artefak-artefak keramik hijau yang ditemukan utuh.
Pada saat penjajahan Jepang pada tahun 1910, banyak karya seni keramik hijau yang dibawa dan dikoleksi oleh kolektor barang antik Jepang.
Seniman
- Ahli keramik hijau Goryeo: Cho Ki-jung, Ko Chung, Bang Cheol-Ju, Kim Bok-han, Kim Se-ryong
Referensi
- ^ (Inggris)About Korean Celadon, koreanarts. Diakses pada 17 April 2010.