Lompat ke isi

Keramik Hijau Goryeo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 21 April 2010 02.30 oleh Cun Cun (bicara | kontrib) (+commons)
Keramik Hijau Goryeo
Nama Korea
Hangul
고려청자
Hanja
Alih AksaraGoryeo cheongja
McCune–ReischauerKoryŏ ch'ŏngja

Goryeo Cheongja atau Keramik Hijau Goryeo adalah keramik hijau (seladon) yang awalnya diproduksi pada masa Dinasti Goryeo (918-1392) di Korea.[1] Keramik yang berciri-khas warna biru-kehijauan ini dihasilkan dengan teknik glasir yang diperkenalkan dari Dinasti Song. [2]Seniman Goryeo mengembangkan teknik baru yang dinamakan Sanggam.[2] Teknik sanggam adalah menyelipkan potongan tanah liat untuk membentuk gambar atau ilustrasi dibawah glasir. [3] Hal inilah yang membuat keramik hijau Goryeo begitu terkenal karena keindahan desain dan pola coraknya. Produk Keramik Hijau Goryeo yang banyak dibuat adalah vas, mangkuk, pot, teko, tempayan, cawan, pembakar dupa, kotak perhiasan, guci dan sebagainya.[4]

Sejarah

Teknik membuat keramik hijau (Hanzi:青瓷, qīngcí, Bahasa Korea:청자, Cheongja) diperkenalkan dari Dinasti Song di masa pemerintahan Dinasti Goryeo (918-1392).[4] Seniman Goryeo menciptakan Teknik Sanggam untuk menghasilkan kreasi keramik yang baru dan berbeda daripada keramik hijau Cina.[2] Pada masa Dinasti Goryeo, kepopuleran keramik hijau mencapai Cina dan banyak bangsa lain yang mengagumi keindahannya.[4] Para seniman asal Cina bahkan menjulukinya sebagai salah satu dari "harta karun paling indah di bawah langit".[5] Keramik hijau pada saat itu menjadi komoditas perdagangan antara Goryeo dengan bangsa-bangsa lain.[2] Di Goryeo sendiri keramik hijau dinikmati kalangan bangsawan dan menjadi dekorasi karya seni yang menghiasi istana kerajaan dan kuil-kuil Buddha.[6]

Kualitas dan produksi keramik hijau menurun semenjak bangsa Mongol menginvasi Goryeo pada tahun 1231. [7] Pada abad ke-14, peralatan keramik diproduksi dalam jumlah besar untuk keperluan masyarakat kelas atas dan menengah.[4] Faktor lain yang menyebabkan menurunnya popularitas keramik hijau adalah karena produksi yang sangat banyak sehingga menyebabkan kualitasnya semakin menurun, selain itu semakin banyak jenis makanan yang diperkenalkan di Goryeo sehingga berbagai jenis perabot makan yang baru bermunculan.[4]

Periode Dinasti Goryeo berakhir pada tahun 1392 dan Dinasti Joseon mengganti ideologi negara berdasarkan Konfusianisme yang diikuti dengan memudarnya minat akan keramik hijau yang bernafaskan Buddhisme.

Pada tahun 1910, ketika Jepang mulai menjajah Korea, kesenian membuat keramik hijau serta berbagai jenis keramik lain tidak bisa bertahan.[8] Barulah pada tahun 1950-an teknik membuat keramik hijau yang hampir punah kembali dihidupkan oleh seniman-seniman yang masih bertahan seperti Ko-Chung (Ji Jae-Seob) dan Chon-Jin.[8] Ji Jae-seob saat ini adalah salah seorang pengrajin yang dianugerahi sebagai aset nasional hidup oleh pemerintah Korea Selatan.[8]

Pola

Keramik hijau berpola burung bangau.

Keramik hijau Goryeo merefleksikan pemikiran Buddhisme yang saat itu merupakan ideologi negara.[8] Masyarakat Goryeo menuangkan pemikiran Buddhisme ke dalam keramik hijau dan mengimajinasikan warna biru hijau-kehijauan sebagai warna dari nirwana. [8] Pola-pola yang dikreasikan pun memiliki makna dalam kepercayaan tradisional Korea dan Buddhisme, contohnya pola tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan.[1]

Proses pembuatan dan teknik sanggam

Proses pembuatan keramik hijau merupakan yang tersulit dibanding cara membuat keramik jenis lain karena diperlukan prosedur-prosedur yang rumit.[8] Pada awalnya para pengrajin di zaman Goryeo meniru gaya keramik Cina, namun lama-kelamaan mulai menemukan sendiri gaya mereka. [9] Para pengrajin Goryeo mempelajari teknik keramik hijau Song dan motif dekorasinya, sehingga pada awalnya gaya mereka serupa dengan motif keramik Song yang dihasilkan di Cina Selatan – seperti motif bunga teratai, peoni, burung nuri dan ilustrasi itik di kolam.[9]

Tanah liat dibentuk di roda putar dan setelah terbentuk menjadi dibiarkan menjadi sedikit kering.[8] Setelah itu permukaannya diukir untuk membentuk pola yang diinginkan sehingga membentuk ceruk-ceruk.[8] Dalam ceruk pola tersebut diisi dengan tanah liat berwarna putih, hijau tua atau merah sesuai ilustrasi yang diukir, kemudian dikeringkan dalam waktu yang lama, bisa sampai berbulan-bulan tergantung cuaca.[8] Setelah mengering keramik lalu dibakar di dalam tungku. Sebagian besar keramik yang dibakar hancur dalam tungku.[8] Keramik yang berhasil lalu dikeluarkan dan diteliti, bila pembakaran kurang sempurna keramik tersebut akan sengaja dihancurkan si pengrajin.[8] Keramik yang melewati proses pembakaran sempurna lalu diberi glasir, setelah itu dibakar lagi dengan suhu yang lebih tinggi.[8] Pembakaran ini akan menyebabkan keramik tersebut menghasilkan warna biru-kehijauan yang diinginkan pengrajin.[8] Keramik yang berhasil melewati proses glasir akan menghasilkan ilustrasi yang semi-transparan dan lebih terang. [8]

Warna dari keramik hijau ini juga bergantung pada faktor bahan-bahan yang membuatnya, terutama kandungan besi dalam tanah liat serta bahan-bahan glasir yang terbuat dari besi-oksida, mangan-oksida dan kwarsa juga tingkat pembakaran dalam tungku.[9] Suhu tungku umumnya berada atau sekitar 1150 °C dan level oksigen dalam tungku diturunkan dalam beberapa tahap pembakaran.[9] Walaupun saat ini para pengrajin moderen mencoba untuk membuat keramik hijau yang serupa dengan warna asli Goryeo, namun mereka tidak mampu melakukannya dan karya mereka dirasa masih belum menyamai kesempurnaan keramik asli Goryeo.[8] Para pengrajin Goryeo menyebut keramik yang mereka hasilkan dengan istilah "pisaek cheongja" atau "keramik hijau warna rahasia" yang berwarna hijau-giok.[4]

Analisis ilmiah yang dilakukan oleh Vandiver (1991) menyatakan bahwa bahan pola yang ditempelkan pada Goryeo Cheongja bukanlah tanah liat hitam atau putih seperti yang banyak dipercayai selama ini, tapi para pengrajin Goryeo menggunakan bahan magnetit untuk pola hitam dan kwarasa untuk warna putih.[4] Mereka juga berhasil menguasai teknik sulit untuk membuat pola glasir merah dengan menggunakan tembaga-oksida dalam pemantauan pembakaran yang sangat teliti dalam tungku.[4]

Catatan sejarah yang paling awal yang menyebutkan tentang teknik sanggam adalah ukiran di makam Mun Kong Yu yang berangka tahun 1159, namun masih belum bisa dipastikan.[4] Dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknik sanggam ada kaitannya dengan berkembangnya kerajinan alat perunggu.[4] Berbagai peralatan ritual agama Buddha seperti kundika (penampung air), vas bunga, dan pembakar dupa memiliki pola desain yang berwarna keperakan.[4] Semakin banyaknya peralatan yang menggunakan teknik ini menyebabkan keramik hijau dengan pola sanggam mencapai puncaknya di awal abad ke-13 dan terus diproduksi sampai akhir periode Goryeo (1392). [4]

Terdapat beberapa bentuk keramik hijau yang juga memiliki arti masing-masing, umumnya terinspirasi dari alam.

  • Cham-wae, jenis vas yang berbentuk melon. [10]
  • Maebyeong, jenis vas yang berbahu lebar dan tinggi, melambangkan wanita. [11]
  • Jubyeong, jenis vas yang berleher langsing dan panjang, melambangkan pria.
  • Kundika, jenis penampung air yang digunakan dalam ritual agama Buddha. [12]

Tungku

Tungku pembakaran keramik dibuat bertingkat (naik) dengan kemiringan yang alami untuk mengalirkan udara dan nyala api ke arah atas lewat beberapa ruangan.[4] Tungku yang dibangun dari balok-balok batu bata ini membakar dalam suhu 1200-1300° C, dengan tinggi 8 meter dan lebar rata-rata dari 1,2 - 1,5 meter.[4] Pada awalnya tunguku hanya memiliki sebuah ruangan namun berkembang menjadi beberapa buah ruangan dan menjelang abad ke-14, tungku-tungku mulai dibangun dengan bahan tanah liat.[4]

Artefak keramik hijau telah ditemukan di situs-situs makam Goryeo serta tungku di Buan (Jeolla Utara) dan Gangjin (Jeolla Selatan).[4] Kedua tungku ini terletak dekat dengan pesisir pantai yang menandakan bahwa lokasi tersebut tidak hanya banyak memiliki pasokan tanah liat yang bermutu dan kayu bakar, tapi juga karena lebih mudah dan aman untuk mengirimkan produksi keramik lewat laut daripada jalur darat yang bergunung-gunung.[4]

Harta nasional dan artefak

Pada masa Goryeo, banyak keramik hijau yang dijadikan objek penguburan dalam makam-makam yang menyebabkan masih banyak artefak-artefak keramik hijau yang ditemukan utuh di sekitar Gaegyeong (sekarang Kaesong, Korea Utara), contohnya dari makam Raja Jeongjong (bertahta 945-949).[4]

Pada saat penjajahan Jepang pada tahun 1910, banyak karya seni keramik hijau yang dibawa dan dikoleksi oleh kolektor barang antik Jepang.[8] Contoh keramik hijau terkenal adalah Jukmun, berada di Ewha Womans University, dan Moranmunmae di Museum Nasional Korea.

Pada tahun 2003, ribuan keramik hijau telah ditemukan dalam kedalaman laut di Pulau Bian, Gunsan. [13] Dari penemuan tersebut diketahui bahwa keramik hijau tersebut serupa dengan keramik hijau yang ditemukan di situs makam nomor 27 dan 28 di Desa Yucheon, Buan, sehingga dipercaya artefak ini diproduksi di Desa Yucheon.[13] Diperkirakan pada abad ke-12 setelah diberangkatkan dari pelabuhan Julpo dekat Yucheon, kapal pembawa keramik tersebut akan menuju ibukota (Gaegyeong) atau kota lain, namun mengalami musibah di tengah laut dan akhirnya karam.[13] Artefak keramik hijau ini terdiri dari berbagai jenis peralatan seperti cawan dan mangkuk yang sebagian besar tak memiliki pola, kemungkinan sebelum teknik sanggam ditemukan.[13] Selain itu ciri-cirinya adalah kasar dan tidak elegen, yang menunjukkan bahwa peralatan ini dibuat oleh pengrajin biasa.[13]

Harta Nasional Nomor 68

Keramik hijau tipe Maebyeong, Harta Nasional Nomor 68.

Cheongja-unhak-sanggam-mun-maebyeong adalah sebuah maebyeong yang dikenal sebagai keramik hijau sanggam yang paling bermutu sehingga dijadikan sebagai Harta Nasional Korea Selatan Nomor 68.[14] Maebyeong ini berukuruan tinggi 42,1 cm yang membuatnya sebagai vas keramik hijau antik terbesar di Korea.[14] Di permukaannya diberi ilustrasi burung bangau yang dikelilingi lingkaran hitam dan putih.[14] Pola burung bangau berwarna putih dan mata serta sayap dan kakinya berwarna hitam.[14]

Harta Nasional Nomor 68 ini pernah menjadi koleksi Chun Hyung-pil.[14] Chun membeli keramik ini seharga 20.000 Won dari seorang broker Jepang di tahun 1935.[14] Kini, keramik ini tersimpan di Museum Seni Gansong di Seoul.[14]

Seniman

  • Ahli keramik hijau Goryeo: Cho Ki-jung, Ko Chung, Bang Cheol-Ju, Kim Bok-han, Kim Se-ryong

Galeri

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris)About Korean Celadon, koreanarts. Diakses pada 17 April 2010.
  2. ^ a b c d (Inggris)Nahm. Ph. D, Andrew (2009). A Panorama of 5000 Years: Korean History. Hollym International Corp, Elizabeth, New Jersey. ISBN 093087868X. 
  3. ^ (Inggris)Kang, Kyung-suk (2008). Korean Ceramics. Korea Foundation. ISBN 89-86090-30-9. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris)Pak, Young Sook (2003). Earthenware and Celadon. Laurence King Publishing. ISBN 1-85669-360-0. 
  5. ^ (Inggris)Gangjin Celadon, Home of "the finest celadon under heaven"
  6. ^ (Inggris)Korean Ceramics, Its History and Evolution, visitkorea. Diakses pada 19 April 2010.
  7. ^ (Inggris)Goryeo Celadon, daegu. Diakses pada 19 April 2010.
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Inggris)KOREAN CELADON POTTERY, zanzibarart. Diakses pada 17 April.
  9. ^ a b c d (Inggris)Goryeo Celadon, metmuseum. Diakses pada 19 April 2010.
  10. ^ (Inggris)Melon-shaped celadon vase, britishmuseum. Diakses pada 19 April 2010.
  11. ^ (Inggris)Maebyeong, metmuseum. Diakses pada 19 April 2010.
  12. ^ (Inggris)Treasure of Goryeo Metalwork: Kundika with Inlaid Design, koreana. Diakses pada 19 April 2010.
  13. ^ a b c d e (Inggris)Jeonju Museum - Celadon Porcelain Excavated from Bian-do, emuseum. Diakses pada 21 April 2010.
  14. ^ a b c d e f g (Inggris)National Treasure No. 68, kbs. Diakses pada 21 April 2010.

Pranala luar