Lompat ke isi

Imam Besar Yahudi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 13 September 2010 07.59 oleh Luckas-bot (bicara | kontrib) (bot Menambah: fi:Ylipappi)
Imam Besar Yahudi dan seorang Lewi pada masa Israel Kuno.

Imam Besar atau Imam Agung adalah jabatan yang paling tinggi di dalam agama Yahudi.[1] Imam Besar Yahudi dipercaya sebagai wakil umat Yahudi di hadapan Allah, serta berperan sebagai pengantara yang kudus antara umat dengan Allah.[1] Peran sentral dari Imam Besar di dalam keagamaan orang Yahudi terlihat ketika Imam Besar bertugas untuk mempersembahkan ritus kurban tahunan di Bait Suci yang terletak di kota Yerusalem.[1] Di dalam ritus tahunan tersebut, hanya Imam Besar yang diizinkan masuk ke dalam ruang Maha Suci dari Bait Suci.[1] Di dalam Perjanjian Baru, yang tercatat menjabat sebagai Imam Besar adalah Anas (Lukas 3:2, Yohanes 18:13–14, Kisah Para Rasul 4:6) dan Kayafas (Matius 26:3, Yohanes 11:49, Kisah Para Rasul 4:6).[1]

Latar Belakang

Jabatan Imam Besar telah ada sejak dibangunnya Bait Suci oleh Raja Salomo.[1] Pada saat kerajaan Israel terbagi dua, keluarga Imam Zadok berkuasa di Yerusalem, sedangkan Israel Utara dikuasai imam-imam yang diangkat Yerobeam.[1] Sebelumnya, jabatan imam telah lebih dulu berkembang di Israel dan berfungsi di bidang ritus dan hukum keagamaan.[1] Kemudian ketika tanah Israel menjadi perebutan politis antara dinasti Ptolemeus dan Seleukid pada masa pasca-Pembuangan, muncul kontroversi mengenai Imam Besar yang diwarnai dengan persaingan politis untuk menjadi Imam Besar.[1] Hal tersebut dipicu oleh helenisasi yang dilakukan oleh penguasa-penguasa asing di Palestina.[1] Kontroversi peran politis Imam Besar terus berlanjut selama pemberontakan Makabe hingga masa kemerdekaan Yahudi di bawah pemerintahan Hasmoni.[1]

Peran Imam Besar

Persembahan Kurban

Menurut peraturan Yahudi, hanya Imam Besar yang diperbolehkan masuk ke dalam ruang maha suci di Bait Suci, yakni satu tahun sekali pada hari raya Penebusan (dalam bahasa Ibrani disebut Yom Kippur).[2] Di dalam ruang maha suci tersebut, Imam Besar melakukan ritus pengurbanan darah domba sebagai ganti dosa seluruh rakyat Yahudi di hadapan Allah.[2]

Menjadi Kepala Petugas Bait Suci

Petugas Bait Suci dapat dibagi menjadi dua, kaum imam dan kaum Lewi.[3] Para imam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok atas dan kelompok bawah.[3] Imam-imam yang tergolong kelompok bawah seringkali termasuk kaum miskin, bahkan melarat, sedangkan imam kalangan atas termasuk di dalamnya orang-orang dari golongan aritokrat.[3] Imam yang termasuk golongan atas adalah Imam Besar dan imam-imam kepala, yang merupakan mantan imam-imam besar, atau dari anggota-anggota keluarga imam yang dari situ Imam Besar dipilih.[3]

Kemudian di dalam Bait Suci terdapat bendahara berjumlah tiga orang, yang tugasnya adalah mengelola seluruh pendapatan dan harta benda yang dimiliki Bait Suci.[1] Selain itu, terdapat juga pengawal Bait Suci, seperti ketika mereka yang ditugaskan untuk menangkap Yesus (Yohanes 18:3, 12), menangkap para rasul (Kisah Para Rasul 5:24–26), dan mengawal kubur Yesus (Matius 27:65).[4] Imam Besar adalah orang yang mengepalai seluruh petugas Bait Suci tersebut.

Pemimpin Umat Yahudi

Pada masa setelah Pembuangan, kedudukan Imam Besar cukup penting secara politis, sehingga posisi tersebut selalu diawasi dengan ketat oleh penguasa politik, baik raja-raja, seperti Herodes Agung dan keturunannya, maupun oleh pejabat pemerintahan Romawi.[3] Imam Besar dipilih, diangkat, dan, bila dianggap perlu, dipecat oleh penguasa politik.[3] Akibatnya, para Imam Besar kerap kali agak korup dan jabatan tersebut sering berganti-ganti dengan cara kotor.[3] Selain itu, Imam Besar memiliki kecenderungan untuk berkompromi terhadap penguasa politik asing dan juga budaya Yunani.[5]

Akhir Riwayat Jabatan Imam Besar

Sebagaimana kaum Saduki dan lembaga Sanhedrin, jabatan Imam Besar berakhir ketika Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M.[4] Setelah itu, yang berkembang bukan lagi lembaga keimaman melainkan apa yang disebut Yudaisme Rabinik.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 322-324
  2. ^ a b (Inggris)Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press. P. 37.
  3. ^ a b c d e f g C. Groenen. 1984. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal 42-43.
  4. ^ a b (Indonesia)John Stambaugh, David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 111-114.
  5. ^ (Indonesia)Lawrence E. Toombs. 1978. Di Ambang Fajar Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 56-57