Sejarah homoseksualitas
Sejarah homoseksualitas dapat ditilik dari masa Mesir Kuno, sementara itu sikap masyarakat terhadap hubungan sesama jenis telah berubah dari waktu ke waktu dan berbeda secara geografis. Bermula dari mengharapkan semua pria terikat dalam hubungan sesama jenis, dalam kesatuan sederhana, melalui penerimaan, dalam pemahaman praktik tersebut merupakan dosa kecil, menekannya melalui penegakan hukum dan mekanisme pengadilan, hingga dalam pengharaman hubungan tersebut praktik homoseksual dijerat dengan hukuman mati
Dalam kumpulan kajian sejarah dan etnografi budaya pra-industri, "penolakan terhadap homoseksualitas dilaporkan sebesar 41% dari 42 budaya; Sebesar 21% budaya menerima dan/atau mengabaikan homoseksualitas, dan 12% melaporkan tidak ada konsep seperti itu. Dari 70 catatan etnografis, 59% melaporkan homoseksualitas tidak ada atau jarang terjadi dan 41% menunjukkan homoseksualitas ada atau dianggap biasa."[1]
Dalam budaya yang dipengaruhi oleh agama-agama Ibrahim, hukum dan gereja menetapkan sodomi sebagai pelanggaran terhadap hukum Tuhan atau kejahatan terhadap alam. Namun, penjatuhan hukuman kepada pelaku seks anal dari kalangan homoseksual sudah tercatat sejarah sebelum lahirnya agama Kristen. Hal ini dilaporkan sering terjadi di zaman Yunani Kuno; "ketidakwajaran" ini dapat ditelusuri kembali hingga ke era Plato.[2]
Banyak tokoh sejarah yang diduga gay atau biseksual seperti Socrates, Lord Byron, Edward II, dan Hadrian.[3] Sejumlah ilmuwan, seperti Michel Foucault, menganggap pelabelan gay atau biseksual ini berbahaya bagi pengenalan anakronistik sebuah konstruksi seksualitas kontemporer yang tidak muncul pada masa itu,[4] tetapi banyak kalangan yang menentang ini.[5]
Argumen umum kalangan konstruksionis menyatakan bahwa tidak ada seorang pun di zaman kuno atau Abad Pertengahan yang mengalami homoseksualitas sebagai suatu karakteristik penentu seksualitas yang bersifat eksklusif dan permanen. John Boswell membalas argumen ini dengan mengutip tulisan-tulisan Yunani kuno Plato,[6] yang menggambarkan individu-individu tersebut menunjukkan homoseksualitas eksklusif.
Menurut wilayah
Afrika
Meskipun sering diabaikan atau ditekan oleh penjelajah dan penjajah dari Eropa, penduduk asli Afrika memiliki berbagai bentuk ekspresi homoseksual. Antropolog Stephen O. Murray dan Will Roscoe melaporkan bahwa perempuan di Lesotho melakukan sanksi sosial berupa "hubungan erotis jangka panjang" yang disebut motsoalle.[7] E. E. Evans-Pritchard juga mencatat bahwa prajurit laki-laki suku Azande di Kongo utara rutin mengambil kekasih laki-laki muda antara usia dua belas dan dua puluh, yang membantu tugas rumah tangga dan berpartisipasi dalam seks interkrural dengan suami mereka yang lebih tua. Namun, praktik ini telah mati sejak awal abad 20, setelah bangsa Eropa menguasai negara-negara Afrika, tetapi sempat diceritakan kalangan tetua kepada Evans-Pritchard.[8]
Khnumhotep dan Niankhkhnum, pasangan homoseksual pertama yang tercatat dalam sejarah, adalah pasangan laki-laki dari Mesir Kuno, hidup sekitar tahun 2400 SM. Pasangan ini digambarkan dalam posisi hidung mencium, pose paling intim dalam seni Mesir, dan dikelilingi oleh apa yang tampaknya menjadi warisan dan istri mereka. Penafsiran ini diragukan oleh arkeolog lain, seperti David O'Connor yang meyakini bahwa mereka berdua mungkin adalah saudara, kemungkinan saudara kembar.
Amerika
Di antara penduduk asli Amerika sebelum masa penjajahan Eropa, bentuk umum hubungan sesama-jenis terjadi dalam sosok individu Dua-Roh. Biasanya individu ini dikenali sejak awal, masing-masing diberi pilihan oleh orang tua mereka untuk mengikuti jalan, dan setelah sang anak menentukan pilihannya, ia akan dibesarkan dengan cara yang sesuai dan akan mempelajari kebiasaan dari gender yang telah dipilih. Individu Dua-Roh umumnya adalah seorang dukun terpandang dan dihormati karena kekuatannya yang melampaui dukun-dukun lainnya. Mereka biasanya berhubungan seksual dengan anggota suku biasa dengan jenis kelamin yang sama.
Individu homoseksual dan transgender juga umum didapati di sejumlah peradaban pra-penaklukan di Amerika Latin, seperti Aztek, Maya, Quechua, Moche, Zapotek, dan Tupinambá di Brasil.[9][10]
Para penakluk Spanyol terkejut dengan penemuan praktik sodomi yang dilakukan secara terbuka di kalangan penduduk pribumi, dan mereka berusaha untuk membinasakan praktik itu dengan menundukkan berdache (istilah dalam bahasa Spanyol untuk individu dua-roh) di bawah kekuasaan mereka melalui hukuman berat, termasuk penghukuman mati di depan umum, dibakar dan diterkam oleh sekawanan anjing.[11]
Asia Timur
Di Asia Timur, cinta sesama-jenis telah tercatat sejak awal sejarah.
Homoseksualitas di Cina, dikenal dengan sebutan "kenikmatan buah terlarang", "potongan lengan baju", atau "adat selatan", telah tercatat sejak tahun 600 SM. Istilah-istilah halus/eufemistik digunakan untuk menggambarkan perilaku, bukan identitas (baru-baru ini beberapa kalangan pemuda China cenderung halus menggunakan istilah "Brokeback,"断背duanbei yang merujuk kepada pria homoseksual, diadaptasi dari film Brokeback Mountain karya sutradara Ang Lee).[12] Hubungan homoseksual ditandai oleh perbedaan umur dan posisi sosial. Namun, contoh cinta dan interaksi seksual sesama-jenis tergambar dalam novel klasik Dream of the Red Chamber yang nampak familiar bagi pengamat sekarang seperti halnya cerita-cerita roman heteroseksual pada masa itu.
Homoseksualitas di Jepang, dikenal sebagai shudo atau nanshoku telah didokumentasikan selama lebih dari seribu tahun dan memiliki beberapa kaitan dengan kehidupan monastik Buddhis dan tradisi samurai. Budaya cinta sesama jenis melahirkan tradisi yang kuat dalam seni lukis dan sastra Jepang yang mendokumentasikan dan merayakan hubungan tersebut.
Di Thailand, Kathoey, atau "ladyboy," telah menjadi corak masyarakat Thailand selama berabad-abad, dan raja-raja Thailand memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan. Meski kathoey meliputi kebancian atau kekedian, tapi secara umum keberadaan mereka diterima dalam budaya Thailand sebagai gender ketiga. Mereka umumnya diterima oleh masyarakat, dan negara tidak pernah memiliki hukum yang melarang homoseksualitas atau perilaku homoseksual.
Eropa
Dokumen pertama dari Barat (dalam bentuk karya sastra, obyek seni, dan materi mitografik) yang menceritakan hubungan sesama jenis, berasal dari Yunani Kuno.
Dalam dokumen-dokumen tersebut, homoseksualitas laki-laki digambarkan dalam sebuah dunia tempat hubungan dengan perempuan dan dengan para pemuda adalah fondasi penting kehidupan cinta seorang laki-laki. Hubungan sesama jenis dipandang sebagai bangunan institusi sosial yang berbeda dari waktu ke waktu dan antara satu kota dengan yang lainnya. Praktik formal homoseksualitas, seringkali berupa hubungan erotis (juga seringkali ditekan) antara laki-laki dewasa dan remaja lajang. Praktik ini dinilai atas keuntungan pedagogisnya dan sebagai alat kontrol populasi, meski kadang-kadang disalahkan karena menyebabkan gangguan. Plato sempat memuji manfaat hubungan homoseksual dalam tulisan-tulisan awalnya[13] tetapi dalam karya-karya terakhirnya, ia mengusulkan pelarangan terhadap praktik hubungan homoseksual.[14] Dalam Simposium (182B-D), Plato menyamakan penerimaan homoseksualitas dengan demokrasi, dan penindasan terhadapnya dengan despotisme, "..homoseksualitas seperti halnya filsafat dipandang sebagai aib yang memalukan bagi kaum barbar di bawah pemerintahannya yang lalim, karena tampaknya bukan merupakan kepentingan bagi beberapa penguasa pemerintahan untuk memiliki pemikiran besar yang diangkat dalam bidang-bidang mereka (hal-hal yang mereka pelajari mereka), atau pada persahabatan yang kuat atau pernikahan sipil, seperti kebanyakan cenderung dilakukan oleh kaum homoseksual ".[6] Dalam karyanya Politik, Aristoteles menolak ide-ide Plato tentang penghapusan homoseksualitas (2,4); Ia menjelaskan bahwa kaum barbar seperti bangsa Kelt menempatkan kalangan homoseksual secara terhormat (2.6.6), sedangkan bangsa Kreta menggunakan homoseksualitas sebagai alat untuk mengatur populasi (2.7.5).[6]
Homoseksualitas perempuan pada zaman kuno jarang diketahui. Sappho, lahir di pulau Lesbos, merupakan tokoh yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan penyair lirik kanonik oleh bangsa Yunani. Kata sifat yang berasal dari nama dan tempat kelahirannya (Sapphic dan Lesbian) akhirnya diterapkan ke homoseksualitas perempuan pada abad ke-19.[15][16] Puisi-puisi Sappho banyak bercerita tentang hasrat dan cinta tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh-tokoh di dalam banyak puisinya berbicara tentang cinta dan kegilaan pada perempuan (kadang berbalas, kadang tidak), namun hanya didapati sedikit deskripsi keintiman fisik antara perempuan yang kerap diperdebatkan.[17][18] Selain itu, tidak ada bukti bahwa Sappho mendirikan sekolah khusus perempuan.
Pada zaman Romawi Kuno, kemolekan tubuh kaum lelaki muda tetap menjadi objek seksual para pria dewasa, tetapi sebuah ikatan hubungan hanya terjadi antara pria lajang yang lebih tua dan budak atau pemuda yang dibebaskan yang mengambil peran 'penerima' dalam seks. Semua kaisar kecuali Claudius memiliki kekasih laki-laki. Kaisar Hadrianus terkenal karena hubungannya dengan Antinous, tetapi kaisar Kristen Theodosius I menetapkan hukum pada 6 Agustus 390 M, mengutuk pasangan laki-laki pasif untuk dibakar di tiang. Menjelang akhir pemerintahannya, kaisar Justinianus, memperluas pelarangan praktik homoseksualitas hingga ke pasangan aktif (pada tahun 558 M), memperingatkan bahwa perilaku tersebut dapat mengarah pada kehancuran kota karena "murka Tuhan". Meskipun demikian, pemungutan pajak dari rumah pelacuran laki-laki yang diperuntukan bagi kaum homoseksual terus dikumpulkan sampai akhir pemerintahan Anastasius I pada 518 M.
Selama era Renaisans, kota-kota kaya di utara Italia - Florence dan Venesia khususnya - terkenal karena praktik cinta sesama jenis, melibatkan sebagian besar populasi laki-laki dan terbentang di sepanjang pola klasik Yunani dan Roma.[19][20] Meskipun banyak penduduk laki-laki yang terlibat dalam hubungan sesama jenis, Gli Ufficiali di Notte (Polisi Malam), tetap menuntut, menjatuhkan denda, dan memenjarakan sebagian besar mereka. Runtuhnya masa-masa kebebasan artistik dan erotisme dibawa oleh pendeta Girolamo Savonarola. Di Eropa Utara, diskursus artistik mengenai sodomi berbalik melawan pendukung awalnya seperti seniman Rembrandt, yang dalam karya Pemerkosaan Ganymede tidak lagi menggambarkan Ganymede sebagai pemuda yang menyerahkan kesediaannya sebagai abdi, tetapi seorang bayi menangis yang diserang oleh burung pemangsa.
Hubungan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh terkemuka, seperti Raja James I dari Inggris dengan Adipati Buckingham, kerap menjadi sorotan. Pemberitaan tentang hubungan mereka tersebar di jalan-jalan dalam selebaran anonim bertuliskan: "Dunia ini b'rubah, entah gimana, sekarang pria mencumbu pria, tidak lagi wanita; ...Raja James I dan Buckingham: Benar adanya, ia telah melepaskan diri dari dekapan sang istri demi bermesraan dengan Ganimede tercintanya "(Mundus Foppensis, atau The Fop Display'd, 1691).
Love Letters Between a Certain Late Nobleman and the Famous Mr. Wilson diterbitkan tahun 1723 di Inggris dan dianggap sebagai novel oleh beberapa pemikir modern. Pada novel populer, Fanny Hill, edisi 1749 karya John Cleland, terdapat adegan homoseksual, tapi konten tersebut dihapuskan pada edisi tahun 1750. Pada era perjuangan awal homoseksualitas di Inggris, sekitar tahun 1749, Thomas Cannon menerbitkan sebuah buku berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplified, tapi segera ditarik dari peredaran. Termasuk isi dalam buku yang menyebutkan, "Hasrat Tidak Wajar adalah Sebuah Istilah yang Kontradiktif; Sangat Tidak Masuk Akal. Hasrat adalah Dorongan Kasih Sayang yang Datang dari Bagian Terdalam Seorang Manusia."[21] Sekitar tahun 1785, Jeremy Bentham menulis pembelaan yang lain, tapi tidak pernah diterbitkan sampai tahun 1978.[22] Sementara itu, penghukuman mati untuk kasus-kasus sodomi terus berlanjut di Belanda hingga tahun 1803, dan di Inggris hingga 1835.
Antara tahun 1864 dan 1880 Karl Heinrich Ulrichs menerbitkan sebuah buku yang terdiri dari dua belas traktat, berjudul Research on the Riddle of Man-Manly Love. Pada tahun 1867, Ulrichs menjadi pria homoseksual pertama yang secara terbuka membela homoseksualitas dengan mengajukan resolusi untuk mendesak pencabutan Undang-Undang Anti-Homoseksual di Kongres Pakar Hukum Jerman di Munich. Buku berjudul Sexual Inversion karya Havelock Ellis, terbit pada tahun 1896, menantang teori yang menyatakan homoseksualitas adalah keabnormalan beserta stereotip-stereotip yang direkatkan pada individu-individu homoseksual, dan ia juga menekankan pada keberadaan homoseksualitas yang tersebar dimana-mana dengan prestasi intelektual dan prestasi di bidang seni.[23] Meskipun jurnal medis seperti ini (yang ditulis sebagian dalam bahasa Latin untuk mengaburkan rincian isi berbau seksual) tidak secara luas dibaca oleh masyarakat umum, tapi hal ini menjadi tonggak munculnya Komite Humanitarian Ilmiah Magnus Hirschfeld yang berkampanye selama tahun 1897-1933 melawan hukum anti-sodomi di Jerman, serta sebuah gerakan informal tersembunyi di kalangan intelektual dan penulis Inggris yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Edward Carpenter dan John Addington Symonds. Bermula pada tahun 1894 dengan Homogenic Love, aktivis dan penyair sosialis Edward Carpenter menulis sejumlah artikel dan pamflet pro-homoseksual, dan mengaku sebagai homoseksual dalam bukunya My Days and Dreams tahun 1916. Pada tahun 1900, Elisar von Kupffer menerbitkan sebuah antologi puisi homoseksual dari zaman kuno sampai eranya pada masa itu berjudul Lieblingminne Freundesliebe und in der Weltliteratur. Tujuannya adalah untuk memperluas sudut pandang publik terhadap homoseksualitas yang selama ini dipandang hanya sebagai masalah kedokteran dan biologi, tetapi juga dapat ditinjau sebgai kajian etika dan budaya. Sebagai bentuk penentangannya, Reich Ketiga menargetkan orang-orang LGBT dalam peristiwa Holocaust.
Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan
Dalam sejumlah budaya Muslim di Timur Tengah, praktik homoseksual yang bersifat egaliter dan tersebar di segala usia individu, masih tersebar luas dan terselubung. Di wilayah beriklim sedang dan sub-tropis yang membentang dari India Utara ke Sahara Barat, pola hubungan sesama jenis tersebar, pada tiap gender atau tiap rentang usia atau keduanya. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan egaliter yang muncul pada pola hubungan barat menjadi lebih sering ditemui, meskipun mereka tetap langka. Pada hubungan seks sesama jenis di beberapa negara Muslim, pemerintahnya menerapkan hukuman mati seperti: Arab Saudi, Iran, Mauritania, Nigeria utara, Sudan, dan Yaman.[24]
Tradisi seni dan sastra bermunculan membangun homoseksualitas di Timur Tengah. Di negara-negara Arab pada abad pertengahan dan Persia, penyair muslim - kadang Sufi - menulis syair-syair pujian bagi para remaja lelaki tampan pembawa anggur yang melayani mereka di kedai-kedai minum. Di mayoritas daerah, praktik ini bertahan hingga masa modern, seperti yang didokumentasikan oleh Richard Francis Burton, Andre Gide, dan lain-lain.
Di Persia homoseksualitas dan ekspresi homoerotik ditoleransi di banyak tempat umum, dari biara-biara dan seminari-seminari hingga bar, kamp militer, pemandian, dan kedai kopi. Pada masa Safawiyyah awal (1501-1723), rumah-rumah prostitusi laki-laki (amrad khane) secara hukum diakui, dan membayar pajak. Penyair Persia, seperti Sa'di (wafat tahun 1291), Hafiz (wafat tahun 1389), dan Jami (wafat tahun 1492), menulis puisi penuh dengan sindiran homoerotik. Dua bentuk paling umum yang didokumentasikan adalah perilaku seks komersial dengan transgender muda laki-laki atau laki-laki yang berpura-pura sebagai transgender yang dicontohkan oleh penari-penari köçek dan bacchá, dan praktik spiritual Sufistik saat para penyair mengagumi keindahan bentuk seorang anak untuk memasuki keadaan yang bahagia dan melihat sekilas keindahan Tuhan.
Sekarang, pemerintah di Timur Tengah sering mengabaikan, membantah keberadaan, atau mengkriminalkan homoseksualitas. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, pada pidatonya di Universitas Columbia tahun 2007, menegaskan bahwa tidak ada kaum gay di Iran. Kaum gay ada di Iran, tetapi kebanyakan mereka tetap merahasiakan seksualitasnya karena takut sanksi pemerintah atau ditolak oleh keluarga mereka.[25]
Hukum Manu, dasar hukum Hindu, menyebutkan "jenis kelamin ketiga", yaitu anggota-anggota yang mungkin terlibat dalam ekspresi gender non-tradisional dan aktivitas homoseksual.[26]
Kepulauan Pasifik
Hubungan sesama jenis banyak ditemui di masyarakat Melanesia (khususnya di Papua Nugini) dan telah menjadi bagian yang menyatu dengan budaya sampai pertengahan abad yang lalu. Suku Etoro dan Marind-anim, misalnya, memandang heteroseksualitas sebagai dosa sementara homoseksualitas diterima secara umum. Dalam suku Etoro, misalnya, suku ini percaya bahwa kekuatan manusia, kekuatan vitalnya, ditemukan dalam air maninya. Suku ini mengajarkan dan percaya bahwa anak muda harus menelan air mani dari anggota suku yang lebih tua untuk menjadi dewasa. Hal ini secara harfiah diterjemahkan ke dalam hubungan homoseksual antara anak dan mentornya. Sang anak akan "dibuahi" (secara oral, anal, atau topikal, tergantung pada suku) selama beberapa tahun hingga tiba pada saat anak laki-laki tersebut telah tumbuh menjadi seorang pria yang kelak menjadi mentor untuk anak muda lain di sukunya. Pada saat itu, ia dinyatakan lulus pada kekuatan hidup. Suku Etoro juga percaya bahwa jika seorang wanita tidak hamil, dia telah menyia-nyiakan kekuatan hidup dan dianggap berada dalam kasta yang lebih rendah.
Meskipun demikian, semenjak masuknya Kristen oleh misionaris Eropa, banyak masyarakat Melanesia yang menolak hubungan sesama jenis.[27]
Gender ketiga juga dapat ditemui di Kepulauan Pasifik. Contohnya, di Samoa, ada gender ketiga yang disebut fa'afafine. Fa'afafine adalah anak laki-laki kemayu yang dibesarkan sebagai perempuan, dan punya peran gender tersendiri dalam masyarakat Samoa.[28]
Pertimbangan historiografis
Istilah "homoseksualitas" diciptakan pada abad ke-19, sementara istilah "heteroseksualitas" dibuat setelahnya masih pada abad yang sama. Istilah "biseksual" diciptakan pada abad ke-20 saat identitas seksual ditentukan kalangan mayoritas sehingga perlu label bagi mereka yang umumnya tidak hanya tertarik pada satu jenis kelamin. Sejarah seksualitas manusia tidak hanya berbicara sejarah seksualitas kaum heteroseks saja dan sejarah seksualitas kaum homoseks, tetapi mengenai cara melihat konsepsi yang lebih luas sebuah peristiwa sejarah dari sudut pandang konsep modern kita saat ini atau konsep seksualitas yang diambil dari definisi yang paling luas atau harfiah.
Penggambaran tokoh-tokoh sejarah sering disertakan dengan identitas seksual seperti straight, biseksual, gay, atau queer. Pendukung praktik homoseksual mengatakan bahwa hal itu dapat menyoroti isu-isu seperti historiografi yang bersifat diskriminatif, misalnya, dengan menghapuskan catatan sejarah pengalaman seksual sesama jenis tokoh-tokoh terkemuka, atau karya seni dan sastra buah hasil percintaan sesama jenis, dan sebagainya. Berlawanan dengan itu, beberapa peneliti pro-LGBT tetap berpegang pada teori-teori homoseksualitas, mengeliminasi kemungkinan lain.
Namun, banyak akademisi menganggap penggunaan label sebagai masalah karena perbedaan masyarakat dalam mengkonstruksikan orientasi seksual dan karena konotasi istilah-istilah modern seperti "queer." Misalnya, di banyak masyarakat perilaku seks sesama jenis dan tidak ada identitas seksual yang dibangun. Akademisi biasanya bekerja menentukan kata-kata yang akan digunakan beserta konteksnya. Para pembacanya diingatkan untuk menghindari asumsi terhadap identitas tokoh-tokoh sejarah berdasarkan penggunaan istilah yang disebutkan di atas.
Yunani Kuno
Pria-pria Yunani memiliki kebebasan yang besar dalam ekspresi seksual mereka, sementara kebebasan istri-istri mereka sangat terbatas dan hampir tidak bisa bergerak tanpa pengawasan. Dikatakan bahwa seorang wanita bisa melakukan perjalanan dengan bebas di sekitar kota hanya jika ia sudah cukup tua hingga tidak dipertanyakan istri siapa, tapi ibu siapakah dia.
Pria juga dapat mencari remaja laki-laki sebagai pasangan seperti yang ditunjukkan dalam beberapa dokumen terdahulu tentang hubungan pederastik sesama jenis yang berasal dari Yunani Kuno. Seringnya, lelaki lebih disukai dibanding perempuan. Sebuah peribahasa kuno mengatakan, "Perempuan untuk bisnis, laki-laki untuk kesenangan." Meskipun budak laki-laki bisa dibeli, remaja laki-laki bebas harus dilamar, dan disebutkan bahwa ayah remaja laki-laki tersebut harus menyetujui hubungan itu. Hubungan homoseksual semacam itu tidak menggantikan pernikahan antara pria dan wanita, namun terjadi sebelum dan bersamaan dengan pernikahan lawan jenis. Seorang pria dewasa biasanya tidak memiliki pasangan laki-laki dewasa, meskipun sering ada pengecualian (di antaranya Alexander Agung) tetapi ia akan menjadi erastes (kekasih) ke eromenos muda (yang dicintai). Dover menyatakan bahwa eromenos tidak pantas untuk berhasrat, karena hal itu tidak bersifat maskulin. Didorong oleh keinginan dan kekaguman, seorang erastes akan mengabdikan dirinya untuk menyediakan pendidikan yang diperlukan eromenos-nya untuk tumbuh di masyarakat. Pada era sekarang ini, teori Dover dipertanyakan sehubungan dengan bukti-bukti berupa puisi cinta dan karya seni kuno yang menunjukkan ikatan emosional antara erastes dan eromenos, bertolak belakang dengan yang diakui para peneliti sejarah terdahulu. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penduduk Yunani kuno meyakini sperma adalah sumber pengetahuan, dan bahwa hubungan sesama jenis telah digunakan untuk menurunkan kearifan dari erastes ke eromenos.
Romawi Kuno
- Pendewaan sosok Antinous, berserta pemujaan terhadap medali, patung, kuil, kota, ramalan, dan konstelasinya, sangatlah terkenal, tapi kenangan akan sosok Hadrian masih tidak dihormati. Namun, kita mencatat bahwa dari lima belas kaisar Roma pertama, Claudius adalah satu-satunya yang jatuh cinta dengan benar - Edward Gibbon.
Dikatakan bahwa Yulius Caesar, pada usia dua puluh, berselingkuh dengan Raja Nicomedes dari Bitinia. Seorang lawan politiknya pernah berkata, "Dia adalah pria yang diidamkan setiap wanita dan wanita yang diidamkan pria."
Abad Pertengahan
Melalui periode abad pertengahan, homoseksualitas pada umumnya dikutuk dan dianggap sebagai pesan moral dari kisah Sodom dan Gomora. Sejarawan memperdebatkan apakah ada tokoh homoseksual dan biseksual menonjol saat ini, namun juga masih diperdebatkan benar-tidaknya keterlibatan hubungan sesama jenis tokoh-tokoh seperti Edward II, Richard si Hati Singa, Philip II Augustus, dan William Rufus.
Sejarawan Allan A. Tulchin baru-baru ini berpendapat bahwa bentuk pernikahan sesama jenis oleh laki-laki terjadi di Prancis Abad Pertengahan, dan mungkin sejumlah daerah lainnya di Eropa. Ada kategori hukum yang disebut "enbrotherment" (affrèrement) yang memungkinkan dua orang untuk berbagi tempat tinggal, menggabungkan harta, dan hidup sebagai pasangan menikah. Pasangan berbagi "satu roti, satu anggur, satu tas."[29] Artikel ini mendapat perhatian cukup besar di pemberitaan berbahasa Inggris, mungkin karena Tulchin telah menemukan bentuk paling awal dari pernikahan sesama jenis.[30] Pandangan Tulchin telah juga memicu kontroversi, karena menentang pandangan umum bahwa periode abad pertengahan merupakan salah satu periode yang paling anti-gay dalam sejarah.
Catatan kaki
- ^ Adolescence and puberty By John Bancroft, June Machover Reinisch, hal. 162
- ^ "... sow illegitimate and bastard seed in courtesans, or sterile seed in males in defiance of nature." — Plato, dalam Laws (Book VIII p.841 edition of Stephanus or p.340, edition of Penguin Books, 1972).
- ^ Roman Homosexuality, Craig Arthur Williams, hal.60
- ^ (Foucault 1986)
- ^ Thomas K. Hubbard, Review of David M. Halperin, How to Do the History of Homosexuality. in Bryn Mawr Classical Review 2003.09.22
- ^ a b c (Boswell 1980)
- ^ Murray, Stephen (ed.) (1998). Boy Wives and Female Husbands: Studies of African Homosexualities. New York: St. Martin's Press. ISBN 0312238290.
- ^ Evans-Pritchard, E. E. (December, 1970). Sexual Inversion among the Azande. American Anthropologist, New Series, 72(6), 1428–1434.
- ^ Pablo, Ben (2004), "Latin America: Colonial", glbtq.com, diakses tanggal 2007-08-01
- ^ Murray, Stephen (2004). "[[Mexico]]". Dalam Claude J. Summers. glbtq: An Encyclopedia of Gay, Lesbian, Bisexual, Transgender, and Queer Culture. glbtq, Inc. Diakses tanggal 2007-08-01. Konflik URL–wikilink (bantuan)
- ^ Mártir de Anglería, Pedro. (1530). Décadas del Mundo Nuevo. Quoted by Coello de la Rosa, Alexandre. "Good Indians", "Bad Indians", "What Christians?": The Dark Side of the New World in Gonzalo Fernández de Oviedo y Valdés (1478–1557), Delaware Review of Latin American Studies, Vol. 3, No. 2, 2002.
- ^ "Most frequently used new coinages in daily Chinese", Jongo News, August 20, 2007, diakses tanggal 2007-09-07
- ^ Plato, Phaedrus dalam Symposium
- ^ Plato, Laws, 636D & 835E
- ^ Douglas Harper (2001). "Lesbian". Online Etymology Dictionary. Diakses tanggal 2009-02-07.
- ^ Douglas Harper (2001). "Sapphic". Online Etymology Dictionary. Diakses tanggal 2009-02-07.
- ^ Denys Page, Sappho and Alcaeus, Oxford UP, 1959, pp. 142–146.
- ^ (Campbell 1982, hlm. xi–xii)
- ^ Rocke, Michael, (1996), Forbidden Friendships: Homosexuality and male Culture in Renaissance Florence, ISBN 0-195122-92-5
- ^ Ruggiero, Guido, (1985), The Boundaries of Eros, ISBN 0-195034-65-1
- ^ Gladfelder, Hal (May 2006) In Search of Lost Texts: Thomas Cannon's 'Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplified", Institute of Historical Research
- ^ Journal of Homosexuality (ISSN 0091-8369) Volume: 3 Issue: 4 , Volume: 4 Issue: 1
- ^ Ellis, Havelock; Symonds, John Addington (1975), Sexual Inversion, Arno Press, ISBN 0405073631 (reprint)
- ^ ILGA:7 countries still put people to death for same-sex acts
- ^ Fathi, Nazila (September 30, 2007). "Despite Denials, Gays Insist They Exist, if Quietly, in Iran". New York Times. Diakses tanggal 2007-10-01.
- ^ Penrose, Walter (2001). Hidden in History: Female Homoeroticism and Women of a "Third Nature" in the South Asian Past, Journal of the History of Sexuality 10.1 (2001), p.4
- ^ Herdt, Gilbert H. (1984), Ritualized Homosexuality in Melanesia, University of California Press, hlm. 128–136, ISBN 0520080963
- ^ Saleimoa Vaai, Samoa Faamatai and the Rule of Law (Apia: The National University of Samoa Le Papa-I-Galagala, 1999).
- ^ Allan A. Tulchin, "Same-Sex Couples Creating Households in Old Regime France: The Uses of the Affrèrement," The Journal of Modern History. Volume 79, Issue 3, Page 613–647, Sep 2007. [1]
- ^ The Telegraph [2], NPR [3]