Lompat ke isi

Budaya organisasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya.[1] Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.[2]

Budaya organisasi sebagai istilah deskriptif

Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak.[2] Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.[2]

Penelitian mengenai budaya organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka:[2]

Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja, seperti bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.[2]

Asal muasal budaya organisasi

Ingvar Kamprad, pendiri IKEA. Sumber dari budaya organisasi yang tumbuh di IKEA adalah pendirinya.

Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu.[2] Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.[3]

Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut[2]. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.[2] Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.[2] Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara.[4] Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka.[4] Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan.[4] Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.[4] Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu.[4] Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.[4]

Karakteristik budaya organisasi

Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi.[5]

  • Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
  • Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, d perhatian pada hal-hal detail.
  • Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
  • Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
  • Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
  • Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
  • Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

Pengaruh budaya

Fungsi-fungsi budaya

Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi.[2]

Batas

Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi dan membedakannya dengan organisasi lainnya.[2]

Identitas

Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.[2]

Komitmen

Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.[2]

Stabilitas

Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.[2]

Pembentuk sikap dan perilaku

Budaya bertindak sebagai mekanisme alasan yang masuk akal (sense-making) serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.[2] Fungsi terakhir inilah yang paling menarik[6]. Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut, budaya mendefinisikan aturan main:

Dalam definisinya, bersifat samar, tanmaujud, implisit, dan begitu adanya. Tetapi, setiap organisasi mengembangkan sekmpulan inti yang berisi asumsi, pemahaman, dan aturan-aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-hari di tempat kerja... Hingga para pendatang baru mempelajari aturan, mereka tidak diterima sebagai anggota penuh organisasi. Pelanggaran aturan oleh pihak eksekutif tinggi atau karyawan lini depan membuat publik luas tidak senang dan memberi mereka hukuman yang berat. Ketaatan pada aturan menjadi basis utama bagi pemberian imbalan dan mobilitas ke atas.[7]

Budaya sebagai beban

Hambatan untuk perubahan

Budaya menjadi kendala manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi.[2] Hal ini paling mungkin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis[2]

  • Hambatan bagi keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan, atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks.[8]
  • Hambatan bagi akuisisi dan merger. Secara historis, faktor kunci yang diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk.[2] Belakangan ini, kesesuaian budaya juga menjadi fokus utama.[2]

Menciptakan budaya organisasi yang etis

Isu dan kekuatan suatu budaya memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. [9] Budaya sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah, sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain juga hasil.[9]

Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam menciptakan budaya yang lebih etis[9].

Model peran yang visibel

Mengomunikasikan harapan yang etis adalah salah satu cara menciptakan budaya organisasi yang etis.

Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya diambil[9].

Komunikasi harapan etis

Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi.[9]

Pelatihan etis

Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar, tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.[9]

Referensi

  1. ^ Schein, E. H. (Inggris)Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass, 1985. hal. 168
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 2, Jakarta: Salemba Empat. Hal.256-266
  3. ^ Schein, E. H. (Inggris)"the Role of the Founder in Creating Organizational Culture," The Leader of the Future, San fransisco: Jossey Bass, 1996, hal. 61-62.
  4. ^ a b c d e f Schein, E. H. (Inggris)"Leadership and Organizational Culture," The Leader of the Future, San Fransisco: Jossey Bass, 1996, hal. 61-62.
  5. ^ O'Reilly; Chatman, J; Caldwell, D. F. (Inggris)"People and Organizational Culture: A Profile Comparison Approach to Assessing Person-Organization Fit," Academy of Management Journal, hal. 487-516.
  6. ^ O'Reilly, C. A. "Culture as Social Control: Corporations, Cults, and Commitment," Research in Organizational Behavior, Greenwich, CT: JAI Press, 1996, hakl. 157-200.
  7. ^ Deal, T. E. (Inggris)"Culture: A New Look Through Old Lenses," Journal of Applied Behavioral Science, November 1996, hal. 501
  8. ^ Lndsay. (Inggris)"Paradoxes of Organizational Diversity," Proceedings of the 50th Academy of Management Conference, San Fransisco, 1990, hal 374-378.
  9. ^ a b c d e f Victor, B.; Cullen, J. B. (Inggris)"The Organizational Bases of Ethical Work Climates," Administrative Science Quarterly, Maret 1988, hal. 101-125.

Templat:Link GA