Lompat ke isi

Teori pensinyalan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Desember 2012 12.54 oleh Sulhan (bicara | kontrib) (Pensinyalan berbiaya dalam berburu: : perbaikan kalimat dan kata.)

Dalam Biologi evolusioner, teori pensinyalan adalah sebuah badan dari pekerjaan teoritis membedah komunikasi antara individu. Pusat pertanyaannya adalah kapan organisme yang memiliki konflik kepentingan diharapkan berkomunikasi secara "jujur". Model matematika di mana organisme memberi sinyal tentang kondisinya kepada individu lain sebagai bagian dari suatu strategi stabil evolusioner adalah bentuk dasar dari penelitian dalam bidang ilmu ini [butuh rujukan].

Seleksi seksual

Dalam seleksi seksual, sifat-sifat dipilih lewat tekanan seleksi pasangan, dan pensinyalan bisa menjadi salah satu dari sifat-sifat tersebut. Sebagai contohnya, pejantan katak pohon abu, Hyla versicolor, menghasilkan suatu teriakan yang digunakan untuk menarik betina. Sekali betina memilih jantan, hal ini berarti memilih gaya tertentu dari teriakan pejantan, yang menyebarkan suatu kemampuan pensinyalan tertentu. Sinyal tersebut, dalam konteks ini, bisa saja teriakan itu sendiri, intensitas teriakan, gaya variasinya, pengulangan, dll.

Beragam hipotesis

Jenis teriakan apa yang pejantan gunakan untuk memastikan dia akan diterima betina? Beragam hipotesis menjelaskan kenapa betina akan memilih hanya satu teriakan di antara yang lain. Dalam kasus teriakan gabungan (dengan lebih dari satu sinyal dimodulasikan), koevolusi dari teriakan pejantan dengan kesukaan betina dapat memperumit sebuah jawaban yang sederhana. Hipotesis bias sensoris mengajukan bahwa sinyal-sinyal yang sudah ada sebelumnya dapat dibuat lebih atraktif dengan menambahkan sinyal-sinyal baru dan asing. Hipotesis preferensi tersembunyi menjelaskan teriakan yang sukses sebagai yang paling mampu menyamai beberapa 'preferensi tersembunyi' pada betina.[1]

Sinyal-sinyal jujur

Dalam biologi, sinyal merupakan sifat, termasuk struktur dan perilaku, yang telah berkembang secara spesifik karena mereka mengubah perilaku penerima sinyal dengan suatu cara yang menguntungkan si pengirim sinyal. [2] Sifat-sifat atau aksi-aksi yang menguntungkan penerima secara ekslusif disebut dengan petunjuk. Saat seekor burung yang waspada secara sengaja memberikan sebuah teriakan peringatan akan adanya pemangsa dan pemangsa menyerah berburu, suara tersebut adalah sebuah sinyal. Saat burung pencari makan secara tidak sengaja membuat suatu suara gemerisik dedaunan yang menarik perhatian pemangsa dan meningkatkan risiko dimangsa, suara tersebut adalah sebuah 'petunjuk'.

Sistem pensinyalan dibentuk oleh tingkat di mana pemberi dan penerima sinyal memiliki keuntungan resiprokal. Seekor burung yang waspada memperingatkan adanya pemangsa mengintai adalah mengkomunikasikan sesuatu yang berguna kepada pemangsa: bahwa ia telah terdeteksi oleh mangsanya; sebaiknya berhenti menghabiskan waktu mengintai mangsa yang telah waspada tersebut, yang tidak mungkin ditangkap lagi. Saat pemangsa menyerah, pensinyal dapat kembali mengerjakan hal lainnya. Sekali pemangsa yang mengintai terdeteksi, mangsa yang memberi sinyal dan pemangsa yang menerima sinyal memiliki keuntungan resiprokal yaitu menghentikan berburu. [3] [4]

Di antara spesies, keuntungan resiprokal secara umum meningkat secara kekeluargaan. [5] Kekeluargaan adalah pusat dari model-model pensinyalan antara kerabat, misalnya saat anak burung meminta dan bersaing makanan dari orang tua mereka. [6] [7] Perbedaan antara sinyal dan petunjuk tidak begitu jelas, dan mungkin tidak berguna bagi imun, endokrin, dan saraf pensinyalan antara sel-sel dalam suatu individu, paling tidak pada tingkat bahwa semua sel-sel tersebut adalah turunan kloningan dari sebuah telur yang dibuahi dan tidak ada konflik kepentingan antara mereka.[butuh rujukan]

Konsep kejujuran dalam komunikasi hewan adalah kontroversial karena ia sangat susah untuk menentukan maksud dan penggunaan, sebagai suatu kriteria untuk membedakan penipuan dari kejujuran, sebagaimana yang kita lakukan dalam interaksi manusia. [8] Karena hal tersebut, ahli biologi yang menggunakan frasa "sinyal jujur" menggunakannya dalam artian statistik. Sinyal-sinyal biologis, seperti teriakan peringatan atau bulu ekor yang gemerlapan, dianggap jujur jika mereka berkorelasi dengan, atau secara terpercaya memprediksi, sesuatu yang berguna bagi penerima. Dalam penggunaan ini, kejujuran adalah suatu korelasi yang berguna antara sifat sinyal (yang ahli ekonomi sebut dengan "informasi publik" karena ia dengan mudah terlihat) dan suatu nilai yang tak terobservasi bagi penerima sinyal (yang ahli ekonomi acu sebagai "informasi privat" dan ahli biologi menyebutnya sebagai "kualitas"). Sinyal biologis jujur tidak perlu secara sempurna bersifat informatif, mengurangi ketidakpastian ke angka nol; mereka hanya perlu untuk jujur "secara rata-rata" untuk berpotensi berguna. [9] Pada akhirnya nilai dari informasi yang disinyalkan bergantung kepada tingkat di mana ia membolehkan penerima sinyal untuk meningkatkan kesesuaiannya. [10]

Sinyal tak-jujur

Karena adanya keuntungan resiprokal dan konflik kepentingan dalam kebanyakan sistem pensinyalan hewan, permasalahan dasar dalam permainan pensinyalan evolusioner adalah ketakjujuran atau kecurangan. Kenapa burung pencari makan tidak memberikan teriakan peringatan setiap waktu, atau secara acak (alarm palsu), jaga-jaga jika ada pemangsa di sekitar? Jika burung merak dengan ekor yang lebih besar lebih disukai oleh merak betina, kenapa tidak semua burung merak memperlihatkan ekor yang besar? Terlalu banyak kecurangan akan mengacaukan korelasi pada dasar sistem, menyebabkannya menjadi hancur. Penerima harus mengacuhkan sinyal-sinyal jika mereka tidak berguna dan pensinyal tidak harus menggunakan sinyal-sinyal yang berharga jika ia tidak akan mengubah perilaku dari penerima dengan cara-cara yang menguntungkan pensinyal. Apa yang mencegah kecurangan dari mengganggu stabilitas sistem pensinyalan? Ia mungkin tampak jelas bahwa biaya memperlihatkan sinyal-sinyal merupakan bagian penting dari jawaban. Namun, memahami bagaimana biaya dapat menstabilkan suatu korelasi "jujur" antara sifat sinyal publik dan kualitas sinyal privat telah menjadi proses yang panjang dan menarik. Jika banyak hewan dalam suatu kelompok mengirimkan sinyal-sinyal tak-jujur, maka seluruh sistem pensinyalan mereka akan runtuh, menyebabkan kesesuaian yang lemah dari kelompok secara keseluruhan. Setiap sinyal tak-jujur melemahkan integritas dari sistem pensinyalan, sehingga melemahkan kemampuan dari kelompok.

Contoh dari sinyal tak-jujur datang dari kepiting Fiddler seperti Uca lactea mjoebergi, yang telah diperlihatkan menggertak dalam hal kemampuan bertarung mereka. Saat menumbuhkan kembali cepitan yang hilang, seekor kepiting akan sesekali menumbuhkan ulang sebuah capit yang lemah untuk mengintimidasi kepiting dengan capit yang kecil tapi lebih kuat. [11] [12] Proporsi dari sinyal tak-jujur sangat rendah sehingga ia tidak bermanfaat bagi kepiting lain untuk menguji kejujuran dari sinyal tersebut, karena bertarung bisa membahayakan dan mahal.

Sejarah

Pertanyaan apakah individu-individu dari spesies yang sama mungkin tidak akan mencoba untuk menipu satu sama lain diangkat oleh Richard Dawkins dan John Krebs pada tahun 1978. Pemikiran ini ditimbulkan oleh penggunaan suatu pandangan evolusi gen egois sampai penggunaan dari ancaman. Dawkins dan Krebs mengkritik ahli etologi sebelumnya, seperti Nikolaas Tinbergen dan Desmond Morris di antara lainnya, karena mendukung pandangan bahwa tampilan tersebut digunakan "untuk kebaikan dari spesies". Dawkins dan Krebs (dan Krebs dan Dawkins, 1982) berargumen bahwa komunikasi tersebut seharusnya dilihat sebagai suatu lomba senjata evolusioner di mana pensinyal berkembang menjadi lebih baik dalam memanipulasi penerima, sementara penerima berkembang menjadi lebih tahan terhadap manipulasi.

Model teoritis permainan dari perang atrisi digunakan terhadap masalah, dan tampak menyarankan bahwa memperlihatkan ancaman seharusnya tidak untuk menyampaikan informasi handal apapun tentang intensi (Caryl, 1979).

Metafora olahraga rintangan

Pada tahun 1975, Amotz Zahavi mengajukan suatu model verbal tentang bagaimana biaya sinyal dapat membatasi kecurangan dan menstabilkan suatu korelasi "jujur" antara sinyal yang diobservasi dan kualitas yang tak terobservasi, berdasarkan pada suatu analogi pada sistem olahraga rintangan. [13] [14] Ia menyebut ide ini dengan prinsip rintangan. Tujuan dari suatu sistem olahraga rintangan adalah untuk mengurangi kesenjangan dalam performansi, membuat kontes tersebut lebih kompetitif. Dalam balap kuda, kuda yang pada hakekatnya lebih cepat diberi beban lebih berat untuk dibawa di bawah pelana mereka. Dalam golf amatir, pegolf yang lebih baik memiliki pukulan lebih sedikit dikurangi dari skor mentah mereka. Hal ini menciptakan korelasi antara rintangan dan kinerja tanpa-rintangan, dan jika rintangan bekerja sebagaimana seharusnya. Jika Anda tidak tahu apapun tentang perlombaan dua kuda atau dua pegolf amatir kecuali rintangan mereka, Anda bisa menyimpulkan kuda atau pegolf mana yang memiliki kinerja yang lebih baik pada masa lalu, dan pesaing mana yang paling mungkin untuk menang: kuda dengan rintangan berat lebih besar dan pegolf dengan rintangan pukulan lebih kecil. Secara analogi, jika ekor burung merak berperan sebagai sistem rintangan, dan merak betina tidak tahu apapun tentang dua burung merak kecuali ukuran ekor mereka, dia bisa "menyimpulkan" bahwa merak dengan ekor yang lebih besar memiliki kualitas intrinsik tidak teramati yang lebih besar, dalam artian bahwa ia lebih mampu membayar biaya menampilkan ekor (di sini, "menyimpulkan" adalah istilah untuk pemikiran bahwa betina yang lebih memilih ekor yang lebih besar berada pada keuntungan selektif). Biaya menampilkan dapat mencakup biaya sosial ekstrinsik, dalam bentuk pengujian dan hukuman oleh saingan, serta biaya produksi intrinsik. [15]

Esensi ide di sini adalah intuitif dan kemungkinan dianggap sebagai kebajikan kuno. Ia diartikulasikan secara bagus oleh Kurt Vonnegut, dalam cerita singkatnya tahun 1961, Harrison Bergeron. [16] Dalam pandangan masa depan Vonnegut, Jendral Rintangan menggunakan berbagai mekanisme rintangan untuk mengurangi ketimpangan dalam performansi. Seorang pendukung di suatu balet berkomentar: "sangat mudah untuk melihat bahwa dia adalah penari yang paling kuat dan anggun, bagi dia kantong-kantong rintangan adalah sama besarnya dengan yang dipakai oleh pria dua ratus pon." Zahavi menginterpretasikan analogi ini berarti bahwa kualitas burung merak yang tinggi terhadap ekor yang lebih besar mensinyalkan kemampuan mereka untuk "membuang" sesuatu yang lebih penting dengan membayarnya dengan ekor yang lebih besar. Hal ini sama dengan gagasan Veblen bahwa konsumsi menyolok dan pemborosan simbol status dapat mensinyalkan kekayaan. [17]

Kesimpulan Zahavi berakhir pada interpretasi verbalnya dari suatu metafora, dan awalnya, prinsip rintangan tidak begitu diterima oleh para ahli biologi evolusioner.[14] Namun, pada tahun 1984, Nur dan Hasson [18] menggunakan teori sejarah kehidupan untuk memperlihatkan bagaimana perbedaan dalam biaya pensinyalan, dalam bentuk biaya ketahanan-reproduksi, dapat menstabilkan sistem pensinyalan hampir sama dengan yang dibayangkan Zahavi. Satu dasawarsa kemudian, beberapa makalah menggunakan model genetis juga mulai menyarankan bahwa gagasan tersebut mungkin bekerja, paling tidak beberapa kali. [19] Kebuntuan dipatahkan pada tahun 1990 oleh Alan Grafen, [20] yang mengembangkan model pemenuhan kesesuaian kecil yang sangat kompleks dari permainan pensinyalan evolusioner dan mendapatkan kesimpulan bahwa, dengan beberapa asumsi, sistem pensinyalan mirip-rintangan dapat stabil secara evolusioner, jika pensinyal dengan kualitas lebih besar mengeluarkan biaya ketahanan lebih kecil untuk sinyal-sinyal mereka.

Mekanisme rintangan yang spesifik dan secara luas digunakan diajukan tahun 1982: seleksi seksual dimediasi-parasit. [21] Ia mengajukan bahwa karena suatu perlombaan ko-evolusioner tanpa-henti antara tuan dan parasit mereka, sinyal-sinyal yang terpilih secara seksual adalah indikator dari kesehatan. Gagasan ini menyebabkan semakin banyaknya penelitian terhadap hubungan antara sinyal terpilih secara seksual, parasit dan pilihan pasangan selama tahun 80-an dan awal 90-an.

Karena awal 90-an perhatian telah beralih ke arah gagasan bahwa carotenoid memiliki peran ganda tapi secara resiprokal tidak sesuai dengan fungsi imun dan pensinyalan. [22] Karena hewan tidak bisa mensintesis carotenoid de novo, mereka harus mendapatkannya dari makanan. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa hewan dengan sinyal seksual bergantung-carotenoid sebenarnya memperlihatkan kemampuan mereka untuk "membuang" carotenoid untuk sinyal seksual dengan bayaran sistem imun mereka. Hipotesis ini telah mejadi topik pekerjaan yang ekstensif (yaitu, [23] ) Ornamen-ornamen bergantung-carotenoid yang berwarna merah, jingga dan kuning tersebut dihipotesiskan sebagai suatu bentuk umum dari suatu rintangan kemampuan imun, [24] dan suatu mekanisme spesifik di mana prinsip rintangan bisa bekerja. Tapi bagaimana ornamen-ornamen seksual yang bergantung-carotenoid bisa sebagai bentuk mekanisme umum dan spesifik dari hipotesis rintangan kemampuan-imun?

Evaluasi ulang pensinyalan biologis versus olahraga rintangan

Upaya-upaya untuk menguji prinsip rintangan secara empiris belum ditentukan, sebagian karena interpretasi yang tidak konsisten dari metafora Zahavi dan model kesesuaian kecilnya Grafen, dan sebagian lagi karena hasil-hasil empiris yang saling bertentangan: dalam beberapa penelitian, individu dengan sinyal-sinyal yang lebih besar tampak membayar biaya lebih besar, di penelitian lain mereka tampai membayar biaya lebih kecil. [25] [26] Analisis teori terbaru telah menemukan sebuah penjelasan yang memungkinkan bagi hasil-hasil empiris yang tidak konsisten tersebut. Sekumpulan makalah oleh Getty [27] [28] [29] [30] memperlihatkan bahwa bukti Grafen tentang prinsip rintangan berdasarkan pada kritis penyederhanaan asumsi bahwa pensinyal menukarkan biaya demi keuntungan dengan suatu cara tambahan, sama dengan cara manusia menanam uang untuk meningkatkan pendapatan pada nilai mata uang yang sama. Pembuktian Grafen secara formal mirip dengan monografi klasik tentang pensinyalan ekonomi pasar oleh peraih Nobel Michael Spence. [31] Asumsi bahwa pertukaran biaya dan keuntungan dengan suatu cara tambahan bisa saja valid untuk beberapa sistem pensinyalan biologis, tapi tidak valid untuk biaya bertahan -- biaya keuntungan reproduksi yang diasumsikan menjembatani evolusi dari sinyal terpilih secara seksual. Kesesuaian bergantung pada produksi keturunan dan hal ini merupakan fungsi perkalian dari suksesnya reproduksi pada individu yang masih hidup dikalikan probabilitas dari masih hidup, memberikan investasi pada sinyal-sinyal. [18]

Biaya ketahanan-reproduksi tidak berhubungan dengan olahraga rintangan dengan cara apapun yang sederhana, berguna. Intuisi Zahavi adalah benar dalam makna umum bahwa "perbedaan dalam biaya" dapat menstabilkan evolusi dari suatu sistem pensinyalan "jujur", tapi dalam sinyal terpilih secara seksual, "perbedaan dalam biaya" menurun secara proporsional (atau logaritmik) terhadap biaya marginal. [30] Perhitungan tersebut dapat diinterpretasikan memiliki makna bahwa pensinyal kualitas tinggi lebih efisien dalam merubah biaya sinyal menjadi keuntungan reproduktif. Analisa ulang ini melemahkan ide bahwa pensinyal kualitas tinggi memperlihatkan kemampuan mereka untuk membuang lebih karena pola dari biaya sinyal absolut di antara para pensinyal dari kualitas yang berbeda tetap belum bisa ditentukan. Bergantung pada bentuk spesifik dari pertukaran di dalam sistem apapun, pensinyal kualitas tinggi bisa membayar lebih atau kurang untuk sinyal besar daripada yang pensinyal kualitas rendah bayarkan untuk sinyal kecil. Hal ini mungkin menjelaskan kenapa data empiris mengenai hubungan antara sinyal dan biaya sangat tidak konsisten.

Pensinyalan berbiaya dan diploid dinamis Fisherian

Upaya untuk menemukan bagaimana biaya dapat membatasi suatu korelasi "jujur" antara sinyal publik dan kualitas privat di antara pensinyal dibangun dalam model strategis dari permainan pensinyalan, dengan banyak asumsi-asumsi yang disederhanakan. Model-model tersebut sering digunakan untuk pensinyalan terpilih seksual pada hewan diploid, tapi mereka jarang menggabungkan fitur penting reproduksi seksual yang ditunjukkan oleh Ronald Fisher pada awal abad 20-an: jika memang ada "gen pilihan" terkait dengan pemilihan pada betina sebagaimana "gen sinyal" terkait dengan sifat penampilan pada pejantan, betina yang pemilih seharusnya condong kawin dengan pejantan yang mencolok. Selama beberapa generasi, anak dari si pejantan yang mencolok seharusnya juga membawa gen yang terkait dengan anak perempuan yang pemilih dan anak perempuan pemilih juga seharusnya membawa gen yang terkait dengan anak yang mencolok. Korelasi ini bisa mengenalkan evolusioner dinamis yang dikenal sebagai pelarian Fisherian. Russell Lande mendalami hal ini dengan model genetik kuantitatif dan pekerjaannya menginspirasi penelitian yang paling aktif mengenai kerangka genetis kuantitatif. [19] Analisis ini menyingkapkan bahwa diploid dinamis Fisherian adalah sangat sensitif terhadap biaya pensinyalan dan pencarian. Model terbaru telah mulai menjembatani ruang antara pensinyalan-berbiaya dan tradisi pelarian-Fisherian dengan mengembangkan kerangka kerja yang menggabungkan keduanya secara simultan. [32] [33] Model ini mengenali bahwa jika kesesuaian bergantung pada ketahanan dan reproduksi, memilih anak lelaki yang seksi dan perempuan yang pemilih (dalam model stereotipikal) dapat adaptif, meningkatkan kesesuaian sebanyak memiliki anak lelaki dan perempuan yang sehat.

Contoh-contoh

Warna-warna musim gugur
Warna musim gugur berbiaya bagi pohon tapi pohon yang berwarna cerah bisa mengurangi jumlah parasitnya; aphid di sisi lain mungkin menyukai pohon tanpa daun karena mereka adalah pohon dengan pertahanan kimiawi yang lebih sedikit.
Tentu saja aphid tampak lebih memilih menghindari pohon dengan daun-daun cerah dan spesies pohon dengan daun cerah memiliki spesies aphid yang khusus berbeda dari pohon yang tidak memiliki daun-daun cerah.
Bila warna musim gugur bisa jadi rintangan sebenarnya, memungkinkan bahwa sinyal tersebut tidak terlalu berbiaya untuk diproduksi.
Warna musim gugur bisa menjadi suatu "indeks", sebuah sinyal yang tetap terjaga jujur oleh batasan-batasan bukan karena biaya.
Topik ini masih diperdebatkan.
  • Melompat, sebagai contohnya pada Kijang Thomson, dikatakan sebagai pensinyalan: kijang meloncat mendekati pemangsa bukannya melarikan diri, untuk mensinyalkan kekuatan.

Sinyal-sinyal jujur manusia

Perilaku manusia juga berperan sebagai contoh sinyal berbiaya. Bukti untuk pensinyalan berbiaya telah ditemukan dibanyak area interaksi manusia, termasuk pengambilan risiko, berburu, dan agama. Secara umum, sinyal tersebut menyediakan informasi tentang kualitas fenotipe seseorang atau kecenderungan kerjasama.

Pensinyalan berbiaya dalam berburu

Permainan berburu yang besar telah dikaji secara ekstensif sebagai suatu sinyal dari keinginan lelaki untuk mengambil risiko fisik, sebagaimana juga memperlihatkan kekuatan dan kerjasama (Bliege Bird et al. 2001; Gurven dan Hill 2009; Hawkes 1990; Weissner 2002). Teori Pensinyalan Berbiaya (TPB) adalah suatu alat yang berguna untuk memahami pembagian makanan di antara pemburu pengumpul karena ia bisa digunakan pada situasi di mana pembalasan tertunda bukan suatu penjelasan yang pantas. (Bliege Bird and Bird 1997; Gurven et al. 2000; Hawkes 1993). Contoh khusus yang tak konsisten dengan hipotesis pembalasan tertunda adalah pada saat seorang pemburu berbagi hasil buruannya tanpa diskriminasi dengan semua anggota dari kelompok yang besar (Wiessner 1996). Dalam situasi ini, individu yang berbagi daging tidak memiliki kontrol terhadap apakah kebaikannya akan dibalas atau tidak, dan membonceng menjadi strategi yang atraktif bagi yang menerima daging. Membonceng adalah orang yang menarik keuntungan dari hidup berkelompok tanpa berkontribusi pada pemeliharaannya (Barrett et al. 2002). Untungnya, TPB bisa membawa resolusi untuk beberapa kekosongan yang hipotesis pembalasan tertunda tidak bisa penuhi (Sosis 2000; Smith dan Bliege Bird 2000). Hawkes (1991, 1993) telah menyarankan bahwa pria mentargetkan permainan besar dan secara publik (di depan umum, anggota komunitas lainnya) membagi daging dengan tujuan untuk memperlihatkan atensi sosial atau untuk "pamer". Atensi yang disukai ini dapat meningkatkan reputasi pemburu dengan menyediakan informasi tentang kualitas fenotipenya. Pensinyal kualitas tinggi lebih sukses dalam memperoleh pasangan dan sekutu. Maka, TPB membantu dalam mengurai barisan teka-teki evolusioner manusia karena ia dapat menjelaskan perilaku pemborosan dan altruistik. (Getty 1998; Grafen 1990; Johnstone 1995, 1997; Smith dan Bliege Bird 2000; Zahavi 1975, 1977).

Supaya efektif, sinyal berbiaya harus memenuhi kriteria tertentu (Bliege Bird et al. 2001; Hawkes dan Bliege Bird 2002; Zahavi 1975). Kriteria pertama mengharuskan pensinyal menanggung tingkat biaya dan keuntungan berbeda untuk perilaku pensinyalan. Kedua, tingkat biaya dan keuntungan harus merefleksikan kualitas fenotipe pensinyal. Ketiga, informasi yang disediakan oleh suatu sinyal musti diarahkan pada penonton dan mudah diakses. Penerima bisa saja siapapun yang merasa diuntungkan dari informasi yang pensinyal kirim, seperti pasangan potensial, sekutu, atau lawan. Kejujuran terjamin saat hanya individu dengan kualitas tinggi dapat membayar harga untuk menghasilkan sinyal tersebut. Makanya, biaya tinggi dari pensinyalan jujur membuat tidak mungkinnya bagi individu dengan kualitas-rendah untuk meniru sinyal dan menipu penerima (Bliege Bird et al. 2001; Hawkes dan Bliege Bird 2002; Zahavi 1975).

Bliege Bird dkk. (2001) mengobservasi perburuan kura-kura dan menombak ikan dalam komunitas Meriam di Torres Strait di Australia. Di sana, hanya beberapa pria Meriam yang mampu mengumpulkan laba kalori tinggi dari sejumlah waktu yang digunakan berburu kura-kura atau memancing (kcal/h) dibandingkan dengan pria lain. Disebabkan tangkapan harian ikan dibawa ke rumah dengan tangan dan kura-kura biasanya disajikan pada perayaan besar, anggota dari komunitas tahu kapan pria sukses setelah memancing dan berburu. Saat anggota komunitas ditanya untuk mengetahui pemburu yang terbaik, mereka menyebutkan nama pria yang paling dipercaya membawa daging kura-kura dan ikan kembali ke komunitas. Maka, berburu kura-kura dianggap sebagai sinyal berbiaya karena pria Meriam memiliki perbedaan tingkat sukses untuk berburu dan memancing, dan anggota komunitas mereka menggunakan informasi publik ini untuk menilai kualitas dari setiap pemburu. Lebih lanjut, berburu kura-kura dan menombak ikan membutuhkan waktu dan energi lebih dan menghasilkan peningkatan yang rendah secara signifikan dalam kcal/h daripada mencari makan pada kerang. Pengumpulan kerang yang sukses bergantung hanya pada jumlah waktu yang didekasikan untuk mencari, jadi ia bukan aktivitas yang optimal sebagai sinyal bagi kemampuan atau kekuatan. Hal ini menyarankan bahwa peningkatan energisitas bukanlah alasan utama pria ikut serta dalam berburu kura-kura dan menombak ikan. Dalam penelitian selanjutnya, Smith et al. (2002) menemukan bahwa pemburu Meriam yang sukses mendapatkan keuntungan sosial dan kesuksesan reproduktif yang lebih besar daripada pria pemburu yang kurang berkemampuan.

Marlowe (2010) melaporkan bahwa Hadza juga berpartisipasi dalam berbagi makanan. Pensinyalan berbiaya bisa menjadi suatu faktor penting dalam menjelaskan perilaku ini karena mereka yang membagi makanan mendapatkan keuntungkan reputasi. Pendapat bahwa pemburu umumnya berbagi untuk membekali keluarga mereka atau untuk mendapatkan keuntungan balasan tidak dapat dicatat untuk semua pembagian daging yang terjadi. Sebagai contohnya, dalam komunitas ini, anak muda sering memberikan daging mereka walaupun mereka belum memiliki istri atau anak. Malahan, berbagi makanan yang susah didapat menyediakan informasi tentang kualitas fenotipe dari donor (Hawkes 2001). Kualitas ini termasuk penglihatan yang bagus, koordinasi, kekuatan, pengetahuan, ketahanan, atau keberanian. Sangat umum bagi pemburu Hadza untuk berpasangan dengan istri yang lebih subur, perkerja keras daripada dengan yang bukan pemburu (Hawkes et al. 2002). Wanita diuntungkan dari berpasangan dengan pria yang memiliki kualitas tersebut karena ada kemungkinan pada anak mereka akan diturunkan kualitas yang meningkatkan kesesuaian dan kebertahanan. Istri juga akan diuntungkan dari tingginya status sosial suami mereka. Oleh karena itu, berburu adalah sinyal yang dipercaya dari kualitas fenotipe karena ia berbiaya dan dapat disebarkan kepada komunitas (Smith et al. 2000).

Di antara pria dari pulau karang Ifaluk, teori pensinyalan berbiaya dapat menjelaskan kenapa pria mengobori ikan (Sosis 2000). Mengobori ikan adalah metoda ritualisasi ikan pada Ifaluk di mana pria menggunakan obor terbuat dari daun kelapa kering untuk menangkap tuna besar. Persiapan untuk pengoboran ikan membutuhkan investasi waktu lebih dan membutuhkan kerjasama yang besar. Karena biaya waktu dan energi untuk persiapan, pengoboran ikan menghasilkan kehilangan kalori bagi nelayan. Karena itu, Sosis (2000) beralasan bahwa pengoboran ikan adalah suatu rintangan yang digunakan untuk mensinyalkan produktifitas pria. Pengoboran ikan adalah pekerjaan memancing yang paling terkenal di Ifaluk. Wanita dan individu lain dari komunitas biasaya menghabiskan waktu mengamati sampan saat mereka berlayar melewati batu karang. Sebagai tambahan, ritual-ritual lokal membantu menyebarkan informasi tentang nelayan mana yang sukses dan meningkatkan reputasi nelayan selama musim pengoboran ikan. Beberapa perilaku ritual dan batasan diet secara jelas membedakan antara pengobor ikan dari pria lainnya. Pertama, pria hanya dibolehkan mengobori ikan jika mereka berpartisipasi pada hari pertama dari musim pemancingan. Komunitas mengetahui siapa yang berpartisipasi pada hari tersebut, dan dapat dengan mudah mengenali pengobor ikan. Kedua, pengobor ikan mendapatkan semua makanan mereka di rumah sampan dan dilarang makan beberapa jenis makanan. Anggota komunitas berperan sebagai penerima sinyal dan sering mendiskusikan kualitas dari setiap individu yang berpartisipasi dalam pertunjukan berbiaya tersebut. Di Ifaluk, wanita mengklaim bahwa mereka mencari pasangan yang bekerja keras (Sosis et al. 1998). Dengan perbedaan pembagian pekerjaan seksual di Ifaluk, perindustrian memiliki karakteristik nilai tinggi pada pria (Sosis 1997). Pengoboran ikan menyediakan wanita dengan informasi yang dipercaya terhadap etika kerja dari pasangan yang prospektif. Pertunjukan yang bisa diamati ini sesuai dengan kriteria dari suatu sinyal jujur berbiaya seperti yang diajukan oleh Smith dan Bliege Bird (2000).

Dalam kebanyakan kasus manusia, reputasi kuat yang dibangun lewat pensinyalan berbiaya meningkatkan status sosial seorang pria dibandingkan status pria yang sinyalnya kurang sukses (Kelly 1995; Dowling 1968; Wiessner 1996). Di antara kelompok pencari makan Kalahari utara, pemburu tradisional biasanya menangkap paling banyak dua atau tiga kijang setiap tahun (Lee 1979). Thomas (1959) mencatat anekdot tentang pemburu yang biasanya sukses:

"Dikatakan oleh dia bahwa dia tidak akan kembali dari berburu sebelum membunuh paling tidak satu rusa, atau sesuatu yang besar. Maka orang yang terhubung dengan dia memakan daging yang lumayan dan popularitasnya bertambah."

Walaupun pemburu tersebut berbagi daging, dia tidak melakukannya dalam kerangka resiprosikal (Thomas 1959). Model umum dari pensinyalan berbiaya bukanlah resiprosikal; melainkan, individu yang berbagi mendapatkan pasangan dan teman (Bliege Bird et al. 2001; Zahavi 1975). Model TPB bisa digunakan untuk situasi dalam kelompok pencari makan Kalahari di mana berbagi sering kepada orang lain yang memiliki sedikit yang diberikan sebagai balasan. Pemburu muda termotivasi untuk memperlihatkan anggota komunitas yang memiliki anak perempuan sehingga dia bisa mendapatkan istri pertamanya. Pemburu tua bisa termotivasi untuk menarik atensi dari wanita yang tertarik dengan hubungan tanpa kawin, atau menjadi saudara perempuan istri (Lee 1993; Shostak 1981). Di kelompok Kalahari utara ini, membunuh hewan besar mengindikasikan bahwa seorang pria telah menguasai seni berburu dan mampu mendukung sebuah keluarga (Marshall 1976). Secara umum, banyak wanita mencari pria yang bagus berburu, memiliki karakter yang sesuai, dermawan, dan akan memberikan keuntungan hubungan sosial (Lee 1979; Marshall 1976; Shostak 1981). Karena kemampuan berburu adalah syarat untuk kawin, pria yang bagus dalam berburu memasuki masa kawin lebih dahulu. Terakhir, teori pensinyalan berbiaya memiliki kapasitas untuk menjelaskan banyak segi yang membingungkan dari strategi pencari makan manusia -- ia memiliki potensi untuk merasionalkan tontonan mencari makan yang boros karena individu dengan kualitas tinggi mendapatkan keuntungan yang tinggi dari memproduksi tontonan berbiaya tinggi (Hawkes et al. 2002).

Resiko fisik sebagai suatu sinyal berbiaya

Selain berburu, TPB bisa digunakan pada situasi lain yang mengikutkan sifat fisik dan risiko luka fisik atau kematian (Bleige Bird et al. 2001; Nell 2002; Farthing 2005). Penelitian terhadap mengambil risiko fisik adalah penting karena informasi mengenai kenapa orang, terutama pria muda, ikut serta dalam aktivitas berisiko dapat membantu dalam perkembangan dari program pencegahan (Farthing 2005; Nell 2002). Mengemudi ugal-ugalan secara khususnya merupakan masalah mematikan di antara remaja dan anak muda di masyarakat barat (Nell 2001). Zahavi (1975) menyarankan bahwa seorang pria yang melakukan risiko fisik mengirimkan pesan bahwa dia memiliki kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk bertahan pada aktivitas berbahaya yang ekstrim. Nell (2001) menggunakan hipotesis Zahavi (1975) untuk menjelaskan tingginya mengemudi ugal-ugalan di antara remaja pria di Amerika Serikat. Dia menyarankan bahwa pria menggunakan bertahan dari situasi mengemudi risiko-tinggi (kecepatan tinggi, keracunan, dll.) sebagai suatu sinyal dari semua kualitas fenotipe mereka. Sinyal ini diarahkan kepada teman dan pasangan potensial.

Dalam penelitian mengenai perilau umum mengenai resioko, Farthing (2005) menguji persepsi mahasiswa dan mahasiswa terhadap pengambilan risiko dan menggunakan TPB pada hasilnya. Hasil penelitian menyarankan bahwa beberapa tipe risiko dilihat lebih disukai daripada yang lainnya. Resiko fisik untuk keuntungan bagi oran lain (risiko heroik) menerima penilaian yang lebih positif daripada risiko yang mengikutkan obat dan risiko fisik yang tidak menguntungkan orang lain. Tambahan, pria dan wanita menilai beberapa tingkat dari risiko heroik bagi pasangan dan teman sesama jenis. Pria menilai tingkat lebih tinggi dari melakukan risiko heroik pada teman sesama jenis dan tingkat risiko heroik lebih rendah yang dilakukan pasangan wanita. Wanita menilai risiko heroik lebih tinggi pada pasangan pria dan risiko heroik lebih rendah yang dilakukan oleh teman sesama jenis. Farthing (2005) menyarankan bahwa wanita lebih tertarik kepada pria yang cenderung secara fisik melindungi mereka dan anak mereka, jadi mereka menyukai perlakuan risiko heroik tingkat tinggi. Dia juga mempostulasi bahwa pria menyukai risiko heroik tingkat tinggi yang dilakukan teman pria karena melakukan risiko heroik mengindikasikan bahwa pria lain dapat menjadi sekutu yang baik untuk membentuk koalisi.

Di masyarakat barat, donor darah sukarelah adalah lebih bentuk umum, walau kurang ekstrim, dari mengambil risiko. Lyle et al. (2009) adalah yang pertama menerapkan teori evolusioner terhadap fenomena donasi darah manusia di mana donor tidak menerima kompensasi uang. Biaya dari donasi ini adalah sakit, ketakutan, resiko infeksi, dan kehilangan waktu (Schreiber et al. 2006). Dalam suatu penelitian, mereka mengajukan bahwa jika donasi darah merupakan kesempatan untuk mengirimkan sinyal berbiaya, maka para pendonor akan memiliki biaya anggapan rendah dari mendonasi, secara nyatanya akan mengamali biaya donasi yang rendah, dan akan dianggap oleh orang lain sebagai dermawan dan sehat secara fisik (Zahavi 1975; Lyle et al. 2009). Lewat sekumpulan pertanyaan survei, Lyle et al. (2009) mengkaji perilaku umum dari donor dan non-donor di antara suatu populasi anak-anak kuliahan. Data survei mengindikasikan bahwa, karena donor darah diperiksa untuk sejumlah penyakit dan kesehatan, pengetahuan mengenai status darah pendonor bisa memberikan informasi terpercaya tentang kesehatan umum dari pendonor. Sebagai tambahan, keinginan untuk mendonasi darah mengindikasikan kurangnya stres dan ketakutan terhadap sakit dan jarum. Lyle et al. (2009) mengajukan bahwa penerima sinyal mungkin mengasumsikan bahwa kurang takutnya pensinyal saat mengalami sakit adalah memberitahu bagaimana pensinyal akan merespon terhadap situasi stres lainnya. Maka, TPB bisa berguna untuk menjelaskan kenapa manusia memilih mendonasi darah tanpa dibayar. Baik donor dan non-donor mengekspresikan bahwa mereka memiliki perspeksi tertentu tentang kesehatan, kedermawaan, dan kemampuan pendonor darah untuk bekerja dalam situasi stres (Lyle et al. 2009).

Agama sebagai sinyal berbiaya

Adanya ritual agama berbiaya seperti sunat pada pria, kekurangan makanan dan air, dan bahkan konsumsi bahan beracun (lihat contohnya pada Memegang ular) telah menyajikan sebuah paradoks bagi ilmuwan evolusioner. Dalam artian, kepercayaan beragama yang soleh tampak sebagai suatu sifat penyesuain diri (Tuzin 1982). Banyak psikolog evolusioner telah mengajukan bahwa agama muncul sebagai suatu makna dari meningkat dan terjaganya kooperasi dalam kelompok (Steadman dan Palmer 2008). Kooperasi adalah dasar dari organisasi soaial dari manusia dan mengarah pada perilaku altruistik (Bulbulia 2004). Pensinyalan berbiaya membantu mempromosikan perilaku altruistik karena sinyal yang mahal memberikan informasi tentang kualitas suatu individu (Zahavi 1975). Irons (2001) mengajukan bahwa semua agama memiliki ritual berbiaya dan rumit, yang dilakukan secara publik, dengan tujuan untuk mendemonstrasikan loyalitas dan komitmen kepada anggota kelompok agama yang lain. Dengan cara ini, anggota kelompok meningkatkan persekutuannya terhadap kelompok dengan mensinyalkan bahwa mereka ikut dalam mempromosikan keinginan kelompok sebagaimana halnya mampu dengan mudah mengidentifikasi anggota lain. Namun, saat ukuran kelompok meningkat di antara manusia, ancaman dari penumpang gratis ikut tumbuh juga (Barrett et al. 2002). TPB mencatat hal ini dengan mengajukan bahwa ritual agama tersebut adalah cukup berbiaya untuk menghalangi penumpang gratis memperoleh keuntungan dari produksi kolektif dari kebaikan keagamaan (Iannaccone 1992). (Lihat Psikologi evolusioner agama)

Asal mula

William Irons (1996) adalah salah satu pendukung pertama dari penggunaan TPB untuk menjelaskan perilaku agama berbiaya. Dia berargumen bahwa tampilan keagaaman yang susah-dipalsukan ini berperan sebagai satu cara untuk meningkatkan baik kepercayaan dan solidaritas dalam suatu komunitas, memproduksi keuntungan emosional dan ekonomis. Dia mendemonstrasikan sinyal-sinyal tampilan di antara Yomut Turkmen di Iran utara membantu mengamankan persetujuan dagang (Irons 1996). Tontonan yang "sok pamer" tersebut mensinyalkan kepada orang asing dan anggota kelompok komitmen mereka kepada Islam.

Richard Sosis, antropolog dari Universitas Connecticut, sejak itu menjadi salah satu pendukung terdepan dari gagasan tersebut (Bulbulia 2004). Dia telah melakukan banyak penelitian pembanding terhadap agama dan komunitas sekular. Pada satu kasus, dia mampu mendemonstrasikan bahwa orang dalam komunitas agama adalah empat kali lebih mungkin hidup lebih lama daripada lawan sekular mereka (Sosis 2000). Dia juga mendemonstrasikan bahwa umur panjang tersebut secara positif berkorelasi dengan jumlah kebutuhan berbiaya yang dituntut dari anggota komunitas beragama tersebut (Sosis dan Bressler 2003). Namun, ada kontroversi mengenai korelasi antara agama dan meningkatnya umur dikarenakan adanya variabel-variabel membingungkan (Hood et al. 2009).

Lawrence Iannaccone juga telah meneliti efek dari sinyal berbiaya pada komunitas beragama. Dia menemukan dari sebuah laporan survei umum bahwa saat semakin ketatnya suatu gereja, pengunjung dan kontribusi kepada gereja tersebut meningkat secara proporsional (1992). Efeknya, orang lebih suka berpartisipasi dalam sebuah gereja yang lebih memiliki tuntutan keras terhadap anggotanya.

Contoh-contoh

Penelitian oleh Sosis dan Irons, sebagaimana peneliti lainnya, telah menyediakan banyak contoh untuk mendukung hipotesis mereka. Bradley Ruffle dan Richard Sosis (2003) menguji keterkaitan antara ritual agama dan perilaku kooperatif di Israel kibbutz. Kibbutz adalah komune masa modern di mana setiap anggota dari kibbutz menerima pembagian merata dari pendapatan yang dihasilkannya. Hal ini memberikan sebuah kesempatan bagi penumpang gratis secara keuntungan dibagi rata, tidak melihat profesinya. Dalam eksperimen ini, anggota dari kibbutz, yang sekular dan agamis, disuruh bermain "permainan sumber kolam-bersama" mencerminkan permasalahan sehari-hari yang dihadapi oleh komunitas tersebut. Dalam kibbutzisme itu, kooperasi dan pengendalian-diri diperlukan untuk mencegah tenggelamnya sumber bersama. Dengan mengikutkan anggota kibbutz yang sekular dan agamis, Sosis dan Ruffle mampu melihat jika ritual agama mempengaruhi perilaku kooperatif bahwa saat dibandingkan dengan anggota sekular yang hidup di bawah batasan-batasan sosial yang sama.

Dalam Yahudi, praktek agama pria termasuk obligasi untuk sembahyang secara kolektif tiga kali sehari, mengikuti hukum diet kosher, dan berpakaian sederhana. Menariknya, wanita tidak diperlukan untuk melakukan ritual berbiaya tiga kali sehari bersama-sama. Lebih lanjut, bila ritual pria dilakukan secara publik, kebutuhan agama wanita secara umumnya dilakukan secara privat. Seseorang yang menggunakan TPB akan memperkirakan bahwa dikotomi ini akan mengakibatkan perilaku kerjasama lebih besar pada pria daripada wanita.

Hasil dari eksperimen ini memperlihatkan bahwa: Pertama, pria lebih kooperatif terhadap anggota pria lainnya dari komune mereka daripada wanita. Kedua, pria yang menghadiri synagogue ditemukan lebih kooperatif daripada pria yang tidak menghadiri synagogue. Tampaknya tidak ada korelasi serupa pada wanita beragama. Ketiga, pria dan wanita sekular memperlihatkan tingkat kooperasi yang sama. Terakhir, anggota agama pria ditemukan sebagai subpopulasi yang lebih kooperatif dibandingkan baik anggota agama sekular yang pria dan wanita. Perbedaan antara pria dan wanita memperlihatkan pentingnya pensinyalan berbiaya publik dalam memprediksi kooperasi (Ruffle dan Sosis 2003).

Contoh dari perilaku kooperatif telah diobservasi dalam beberapa agama lainnya. Orbell et al. (1992) melakukan permainan dilema tahanan pada pelajar universitas di wilayah yang sebagian besar Mormon di Utah dan di sebuah kota di Oregon, yang memiliki pengunjung gereja paling rendah di Amerika Serikat. Dalam sub-kelompok beragama, frekuensi dari mengunjungi gereja secara positif berkorelasi dengan lazimnya perilaku kooperatif. Namun, dalam sub-kelompok sekular di Oregon dan Utah, tidak ada korelasi antara kedua atribut tersebut.

Terdapat juga bukti bagi adanya sinyal agama berbiaya lewat seleksi seksual. Di Bay Islands, Honduras, Irons (2001) menginvestigasi bagaimana pria melihat wanita berdasarkan apakah wanita mengunjungi gereja secara regular atau tidak. Pria mengklaim bahwa mereka menganggap wanita yang sering mengunjungi gereja lebih layak sebagai pasangan jangka-panjang karena mereka melihat wanita tersebut lebih mungkin sebagai "istri yang dipercaya". Dalam sebuah komunitas di mana ketaatan secara ekstrim sangat penting, wanita yang mengunjungi gereja dianggap lebih baik atau berkualitas tinggi.

Terdapat juga penelitian terhadap peningkatan ekonomi dari kesolehan beragama. Ensminger (1997) berargumen bahwa penyebaran Islam lewat Afrika adalah hasil dari kelebihan perdagangan dihasilan oleh konversi ke Islam. Dia mengklaim bahwa ritual agama pada Islam berfungsi sebagai kontrak sosial antara orang di Afrika. Sinyal-sinyal ini membantu mereka membentuk kepercayaan dengan pasangan dagang walaupun jarak yang jauh di mana perdagangan harus dilakukan. Akibatnya, sinyal berbiaya dari Islam mengurangi penumpang gratis dari mengacaukan persetujuan dagang dan membolehkan kesepatakan lebih efisien dan menguntungkan.

Kritik

Selain dukungan eksperimen bagi hipotesis ini, ia sangat kontroversial dan banyak kritik yang melawannya. Salah satu kritik yang umum adalah bahwa kesolehan adalah, kenyataannya, sangat mudah dipalsukan. Mengunjungi pelayanan beragama, yang mana diperlukan pada beberapa agama, dapat dilakukan oleh hampir semua orang. Oleh karena ut, jika pengunjung memberikan penumpang gratis sebuah keuntungan maka tidak ada yang menghentikan mereka dari mengeksploitasinya (Rees 2011). Walau kritik ini tidak mungkin sepenuhnya ditolak, ia gagal melihat fakta bahwa hipotesis tersebut memprediksi bahwa orang-orang lebih mungkin mengikuti suatu kelompok agama dan berkontribusi saat ritual dari kelompok tersebut berbiaya (Iannacone 1992).

Kritik lain secara khusus bertanya: kenapa agama? Tidak terlihat adanya keuntungan evolusioner bagi agama berkembang dibandingkan sinyal komitmen lainnya seperti nasionalitas dll., sebuah kesalahan yang Irons sendiri akui (Bulbulia 2004). Namun, memungkinkan bahwa memperkuat ritual beragama sebagaimana balasan intrinsik dan sistem hukuman yang ditemukan pada agama membuatnya sebagai kandidat yang ideal untuk meningkatkan kooperasi sesama kelompok.

Terakhir, terdapat juga kurangnya bukti yang cukup bagi peningkatan dalam kesesuaian sebagai hasil dari kooperasi beragama. Jika ini masalahnya, maka semakin sulit untuk menerapkan apa yang seleksi alamiah lakukan (Bulbulia 2004). Namun, telah ada bukti keuntungan dari agama itu sendiri, seperti meningkatnya usia, membaiknya kesehatan, membantu selama krisis, dan lebih baiknya orang secara psikologi (Sosis 2002) [sumber tepercaya?]. Maka, hipotesis pensinyalan berbiaya menyediakan penjelasan utama bagi agama, sementara keuntungan langsung yang disebutkan adalah penjelasan perkiraan. Oleh karena itu tidak mungkin secara langsung mengkaitkan kooperasi untuk meningkatkan kesesuaian karena mereka adalah analisis dengan tingkat yang berbeda.

Lihat juga

Catatan

  1. ^ {{cite journal  | author = H. Carl Gerhardt, Sarah C Humfeld and Vincent T Marshall  | year = 2007  | title = Temporal order and the evolution of complex acoustic signals  | journal = Proceedings of the Royal Society B  | volume = 274  | pages = 1789–1794  | publisher = Royal Society Publishing  | location = London, UK  | doi = 10.1098/rspb.2007.0451  | url = http://rspb.royalsocietypublishing.org/content/274/1619/1789.full.pdf+html  | format = online, print  | accessdate = 2009-09-15  | quote = A first step in understanding the evolution of complex signals is to identify the factors that increase the effectiveness of compound signals with two different elements relative to a single-element signal. Are there, for example, characteristics of novel elements that make a compound call more attractive to prospective mates than a single established element alone? Or is any novel element that increases sensory stimulation per se likely to have this effect?  | pmid = 17507330  | issue = 1619  | pmc = 2173945  }}
  2. ^ Bradbury, J. W.; Vehrenkamp, S. L. (1998). Principles of animal communication. Sunderland, MA: Sinauer. ISBN 0-87893-100-7. 
  3. ^ Bergstrom, C. T.; Lachmann, M. (2001). "Alarm calls as costly signals of antipredator vigilance: the watchful babbler game". Anim. Behav. 61 (3): 535–543. doi:10.1006/anbe.2000.1636. 
  4. ^ Getty, T. (2002). "The discriminating babbler meets the optimal diet hawk". Anim. Behav. 63 (2): 397–402. doi:10.1006/anbe.2001.1890. 
  5. ^ Johnstone, R. A. (1998). "Conspiratorial whispers and conspicuous displays: Games of signal detection". Evolution. 52 (6): 1554–1563. doi:10.2307/2411329. JSTOR 2411329. 
  6. ^ Godfray, H. C. J. (1995). "Evolutionary theory of parent-offspring conflict". Nature. 376 (6536): 133. doi:10.1038/376133a0. 
  7. ^ Johnstone, R. A. (1999). "Signaling of need, sibling competition, and the cost of honesty". PNAS. 96 (22): 12644–12649. doi:10.1073/pnas.96.22.12644. 
  8. ^ Getty, T. (1997). "Deception: the correct path to enlightenment?". Trends Ecol. & Evol. 12 (4): 159–160. doi:10.1016/S0169-5347(97)89783-2. PMID 21238014. 
  9. ^ Johnstone, R. A.; Grafen, A. (1993). "Dishonesty and the handicap principle". Anim Behav. 46 (4): 759–764. doi:10.1006/anbe.1993.1253. 
  10. ^ Dall, S. R. X.; Giraldeau, L; Olsson, O; McNamara, J; Stephens, D (2005). "Information and its use by animals in evolutionary ecology". Trends Ecol. & Evo. 20 (4): 187–193. doi:10.1016/j.tree.2005.01.010. PMID 16701367. 
  11. ^ "Fiddler crabs reveal honesty is not always the best policy". British Ecological Society. 2008-11-13. Diakses tanggal 2008-11-19. 
  12. ^ Lailvaux, Simon P (2008-11-11). "Regenerated claws dishonestly signal performance and fighting ability in the fiddler crab Uca mjoebergi". Functional Ecology. British Ecological Society. 23 (2): 359. doi:10.1111/j.1365-2435.2008.01501.x. ISSN 1365-2435. Diakses tanggal 2008-11-18. 
  13. ^ Zahavi, A. (1975). "Mate selection – selection for a handicap". J. Theor. Biol. 53 (1): 205–214. doi:10.1016/0022-5193(75)90111-3. PMID 1195756. 
  14. ^ a b Zahavi, A. and Zahavi, A. (1997) The Handicap Principle, Oxford University Press
  15. ^ Searcy, W.A. & S. Nowicki (2005) The evolution of animal communication: reliability and deception in signaling systems. Princeton University Press, Princeton (NJ)
  16. ^ Vonnegut, K. (1961) Harrison Bergeron. Fan. Sci. Fict. Mag. Oct., 5–10
  17. ^ Veblen, T. (1899) The Theory of the Leisure Class: an Economic Study of Institutions, Penguin
  18. ^ a b Nur, N.; Hasson, O. (1984). "Phenotypic plasticity and the handicap principle". J. Theor. Biol. 110 (2): 275–297. doi:10.1016/S0022-5193(84)80059-4. 
  19. ^ a b McElreath, R & R. Boyd. (2007) Mathematical Models of Social Evolution. Univ. Chicago Press, Chicago
  20. ^ Grafen, A. (1990). "Biological signals as handicaps". J. Theor. Biol. 144 (4): 517–546. doi:10.1016/S0022-5193(05)80088-8. PMID 2402153. 
  21. ^ Hamilton, W.D.; Zuk, M. (1982). "Heritable true fitness and bright birds: a role for parasites?". Science. 218: 384–387. doi:10.1126/science.7123238. 
  22. ^ Lozano, G. A. (1994). "Carotenoids, parasites, and sexual selection". Oikos. 70: 309–311. doi:10.2307/3545643. 
  23. ^ McGraw, K.J.; Ardia, D. R.   (2003). "Carotenoids, immunocompetence, and the information content of sexual colors: An experimental test". Am. Nat. 162: 704–712. 
  24. ^ Folstad, I.; Karter, A.J.   (1992). "Parasites, bright males, and the immunocompetence handicap". Am. Nat. 139: 603–622. 
  25. ^ Møller, A. P.; Christe, P.; Lux, E. (1999). "Parasitism, host immune function, and sexual selection". Quarterly Review of Biology. 74: 3–20. 
  26. ^ Kotiaho, J.S. (2001). "Costs of sexual traits: a mismatch between theoretical considerations and empirical evidence". Biological Reviews. 76 (3): 365–376. doi:10.1017/S1464793101005711. PMID 11569789. 
  27. ^ Getty, T. (1998). "Handicap signalling: when fecundity and viability do not add up". Anim. Behav. 56 (1): 127–130. doi:10.1006/anbe.1998.0744. PMID 9710469. 
  28. ^ Getty, T. (1998). "Reliable signalling need not be a handicap". Anim. Behav. 56 (1): 253–255. doi:10.1006/anbe.1998.0748. PMID 9710484. 
  29. ^ Getty, T. (2002). "Signaling health versus parasites". Am. Nat. 159 (4): 363–371. doi:10.1086/338992. PMID 18707421. 
  30. ^ a b Getty, T (2006). "Sexually selected signals are not similar to sports handicaps". Trends Ecol. & Evol. 21 (2): 83–88. doi:10.1016/j.tree.2005.10.016. 
  31. ^ Spence, A.M. (1974) Market Signaling, Information Transfer in Hiring and Related Processes, Harvard University Press
  32. ^ Eshel, I.; Sansone, Emilia; Jacobs, Frans (2002). "A long-term genetic model for the evolution of sexual preference: the theories of Fisher and Zahavi re-examined". J. Math. Biol. 45: 1–25. doi:10.1007/s002850200138. 
  33. ^ Kokko, H.; Brooks, R.; McNamara, J. M.; Houston, A. I. (2002). "The sexual selection continuum". Proc. Roy. Soc. Lond. B. 269 (1498): 1331–1340. doi:10.1098/rspb.2002.2020. PMC 1691039alt=Dapat diakses gratis. PMID 12079655. 
  34. ^ Hamilton and Brown (2001) Autumn tree colours as a handicap signal. PDF Proc. R. Soc. B 268:1489–1493
  35. ^ Archetti,  M (2000). "The origin of autumn colours by coevolution. PDF" (PDF). J. Theor. Biol. 205 (4): 625–630. doi:10.1006/jtbi.2000.2089. PMID 10931756. 

Bacaan lebih lanjut

  • Archetti, M.   (2000). "The origin of autumn colours by coevolution". J. Theor. Biol. 205: 625–630. doi:10.1006/jtbi.2000.2089. PMID 10931756. 
  • Barrett L, Dunbar R, Lycett.J (2002) Human evolutionary psychology. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Print.
  • Bliege Bird, R; Bird, DW   (1997). "Delayed reciprocity and tolerated theft". Current Anthropology. 38: 49–78. 
  • Bliege Bird, R; Smith, E; Bird, D.   (2001). "The Hunting Handicap: Costly Signaling in Human Foraging Strategies". Behavioral Ecology and Sociobiology. 50: 9–19. 
  • Bulbulia, J.   (2004). "The cognitive and evolutionary psychology of religion". Biology and Philosophy. 19: 655–686. 
  • Caryl, P. G. (1979). "Communication by agonistic displays: what can games theory contribute to ethology?". Behaviour. 68: 136–169. doi:10.1163/156853979X00287. 
  • Connelly, B.L.; Certo, S.T.; Ireland, R.D.; Reutzel, C. (2011). "Signaling Theory: A Review and Assessment". Journal of Management. 37 (1): 39–67. 
  • Dawkins, R. & Krebs, J. R. 1978: Animal signals: information or manipulation? in Behavioural Ecology: an evolutionary approach 1st ed. (Krebs, J. R. &, Davies, N.B., eds) Blackwell: Oxford, pp 282–309.
  • Knight, C. 1998. Ritual/speech coevolution: a solution to the problem of deception. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy & C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 68-91. 
  • Dowling, JH (1968). "Individual ownership and the sharing of game in hunting societies". American Anthropology. 70 (3): 502–507. doi:10.1525/aa.1968.70.3.02a00040. 
  • Ensminger, J. (1997). "Transaction costs and Islam:explaining conversion in Africa". J Inst Theor Econ. 153: 4–29. 
  • Enquist, M. (1985). "Communication during aggressive interactions with particular reference to variation in choice of behaviour". Animal Behaviour. 33 (4): 1152–1161. doi:10.1016/S0003-3472(85)80175-5. 
  • Getty, T (1998). "Handicap signaling: when fecundity and viability do not add up". Animal Behavior. 56: 127–130. doi:10.1006/anbe.1998.0744. PMID 9710469. 
  • Grafen, A. (1990). "Biological signals as handicaps". Journal of Theoretical Biology. 144 (4): 517–546. doi:10.1016/S0022-5193(05)80088-8. PMID 2402153. 
  • Gurven, M; Hill, K (2009). "Why do men hunt?". Current Anthropology. 50: 51–73. doi:10.1086/595620. 
  • Gurven, M; Hill, K; Hurtado, A; Lyles, R; Lyles, Richard (2000). "Food transfers among Hiwi foragers of Venezuela: tests of reciprocity". Human Ecology. 28 (2): 171–218. doi:10.1023/A:1007067919982. 
  • Hamilton, W.D.; Brown, S.P. (2001). "Autumn tree colours as a handicap signal". Proc. R. Soc. B. 268 (1475): 1489–1493. doi:10.1098/rspb.2001.1672. PMC 1088768alt=Dapat diakses gratis. PMID 11454293. 
  • Hawkes K (1990) Why do men hunt? Some benefits for risky choices. In: Cashdan E (ed) Uncertainty in tribal and peasant economies. Westview, Boulder, pp 145–166.
  • Hawkes, K (1991). "Showing off: tests of another hypothesis about men's foraging goals". Ethol Sociobiol. 12: 29–54. doi:10.1016/0162-3095(91)90011-E. 
  • Hawkes, K (1993). "Why hunter-gatherers work". Current Anthropology. 34: 341–362. 
  • Hawkes, K; O'Connell, JF; Blurton Jones, NG (2001). "Hadza meat sharing". Evol Hum Behav. 22 (2): 113–142. doi:10.1016/S1090-5138(00)00066-0. PMID 11282309. 
  • Hawkes, K; Bliege Bird, R (2002). "Showing off, handicap signaling, and the evolution of men's work". Evolutionary Anthropology. 11 (2): 58–67. doi:10.1002/evan.20005. 
  • Hood R, Hill P, Spilka B (2009) The Psychology of Religion: An Empirical Approach. New York: Guilford Press.
  • Iannaccone, LR. (1992). "Sacrifice and Stigma: Reducing Free-Riding in Cults, Communes, and Other Collectives". Journal of Political Economy. 100 (2): 271–291. doi:10.1086/261818. 
  • Irons W. (1996) "Morality as an Evolved Adaptation" in Investigating the Biological Foundations of Morality, J.P. Hurd (ed.) Lewiston: Edwin Mellon Press, pp 1–34.
  • Irons W. (2001) "Religion as a hard-to-fake sign of commitment," in The Evolution of Commitment, Randolph Nesse (ed.) New York: Russell Sage Foundation, pp. 292–309.
  • Johnstone, RA (1995). "Sexual selection, honest advertisement and the handicap principle: reviewing the evidence". Biol Rev. 70 (1): 1–65. doi:10.1111/j.1469-185X.1995.tb01439.x. PMID 7718697. 
  • Johnstone RA (1997) The evolution of animal signals. In: Krebs JR, Davies NB (eds) Behavioural ecology: an evolutionary approach. Blackwell, Oxford, pp 155–178.
  • Kelly RL (1995) The foraging spectrum: diversity in hunter-gatherer lifeways. Washington: Smithsonian Institute Press.
  • Kirkpatrick, M (1986). "The handicap mechanism of sexual selection does not work". American Naturalist. 127 (2): 222–240. doi:10.1086/284480. 
  • Krebs, J. R. and Dawkins, R. 1984: Animal signals: mind-reading and manipulation. in Behavioural Ecology: an evolutionary approach, 2nd ed (Krebs, J. R. &, Davies, N.B., eds), Sinauer: pp 380–402
  • Lachmann, M.; Szamado, S.; Bergstrom, C.T. (2001). "Cost and conflict in animal signals and human language". PNAS. 98 (23): 13189–13194. doi:10.1073/pnas.231216498. PMC 60846alt=Dapat diakses gratis. PMID 11687618. 
  • Lee RB (1979) The !Kung San: men, women and work in a foraging society. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Lee R (1993). The Dobe Ju/’hoansi. New York: Harcourt Brace.
  • Lozano, G. A. (1994). "Carotenoids, parasites, and sexual selection". Oikos. 70 (2): 309–311. doi:10.2307/3545643. 
  • Luxen, M.F.; Buunk, B.P. (2006). "Human Intelligence, fluctuating asymmetry and the peacock's tail: General Intelligence (g) as an honest signal of fitness". Personality & Individual Differencces. 41 (5): 897–902. 
  • Lyle H, Smith E, Sullivan R. (2009). Blood Donations as Costly Signals of Donor Quality. Journal of Evolutionary Psychology 4: 263 - 286.
  • Madkour, T.M.; Barakat, A.M.; Furlow, F.B. (1997). "Neonatal cry quality as an honest signal of fitness". Evolution & Human Behavior. 18 (3): 175–193. doi:10.1016/S1090-5138(97)00006-8. 
  • Marlowe FW (2010) The Hadza: Hunter-gatherers of Tanzania. Berkely: University of California Press.
  • Marshall L (1976). The !Kung of Nyae Nyae. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Maynard Smith, J. (1994). "Must reliable signals always be costly?". Animal Behaviour. 47 (5): 1115–1120. doi:10.1006/anbe.1994.1149. 
  • Maynard Smith, J and Harper, D. 2004: Animal Signals
  • Nell, V. (2002). "Why Young Men Drive Dangerously: Implications for Injury Prevention". Current Directions in Psychological Science. 11 (2): 75–79. doi:10.1111/1467-8721.00172. 
  • Orbell, J; Goldman, M; Mulford, M; Dawes, R. (1992). "Religion, Contest, and Constraint Toward Strangers". Rationality and Society. 4 (3): 291–307. doi:10.1177/1043463192004003004. 
  • Pentland, Alex (Sandy) "Honest Signals"(2008) Cambridge, Massachusetts: MIT Press
  • Rees, T. (2009). "Is Personal Insecurity a Cause of Cross-National Differences in the Intensity of Religious Belief?". Journal of Religion and Society. 11: 1–24. 
  • Ruffle, B; Sosis, R. (2007). "Does it Pay to Pray? Costly Ritual and Cooperation," The B.E". Journal of Economic Analysis and Policy. 7 (1): 1–35. 
  • Schreiber, G; Schlumpf, K; Glynn, S; Wright, D; Tu, Y; King, M; Higgins, M; Kessler, D; Gilcher, R; et al. (2006). "Convenience, the Bane of Our Existence, and Other Barriers to Donating". Transfusion. 46 (4): 545–553. doi:10.1111/j.1537-2995.2006.00757.x. PMID 16584430. 
  • Shostak M (1981). Nisa: the life and words of a !Kung Woman. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Smith, EA; Bliege Bird, R (2000). "Turtle hunting and tombstone opening: public generosity as costly signaling". Evol Hum Behav. 21 (4): 245–261. PMID 10899477. 
  • Smith, E; Bliege Bird, R; Bird, D (2002). "The Benefits of Costly Signaling: Meriam Turtle Hunters". Behavioral Ecology. 14: 116–126. 
  • Sosis R (1997) The Collective Action Problem of Male Cooperative Labor on Ifaluk Atoll. Unpublished PhD Thesis, University of New Mexico.
  • Sosis, R; Feldstein, S; Hill, K (1998). "Bargaining theory and cooperative fishing participation on Ifaluk Atoll". Human Nature. 9 (2): 163–203. doi:10.1007/s12110-998-1002-5. 
  • Sosis, R (2000). "Costly signaling and torch fishing on Ifaluk Atoll". Evol Hum Behav. 21 (4): 223–244. doi:10.1016/S1090-5138(00)00030-1. PMID 10899476. 
  • Sosis, R. (2000). "Religion and intra-group cooperation: preliminary results of a comparative analysis of utopian communities". Cross-Cultural Research. 34: 70–87. doi:10.1177/106939710003400105. 
  • Sosis, R; Bressler, E. (2003). "Cooperation and commune longevity: a test of the costly signaling theory of religion". Cross-Cultural Research. 37 (2): 211–239. doi:10.1177/1069397103037002003. 
  • Sosis R and Ruffle B. (2003). Religious Ritual and Cooperation: Testing for a Relationship on Israeli Religious and Secular Kibbutzim. Current Anthropology, 44(5): 713-722.
  • Sosis, Richard. 2003. Signaling,Solidarity,and the Sacred:The Evolution of Religious Behavior. Evolutionary Anthropology: Issues, News, and Reviews, 12, no. 6: 264–274.
  • Steadman L and Palmer C. (2008).The Supernatural and Natural Selection: Religion and Evolutionary Success. Paradigm Publishers. Print.
  • Thomas EM (1959) The harmless people. New York: Knopf.
  • Tuzin D. (1982) "Ritual Violence among the Ilahita Arapesh." Rituals of Manhood: Male Initiation in Papua New Guinea, G.H. Herdt, ed. Berkeley: University of California Press. p 321-356.
  • Wiessner P (1996) Leveling the hunter: constraints on the status quest in foraging societies. In: Wiessner P, Schiefenhovel W (eds) Food and the status quest. Berghahn, Providence, RI, pp 171–192.
  • Wiessner, P (2002). "Hunting, healing, and hxaro exchange: A long-term perspective on !Kung (Ju/'hoansi) large-game hunting". Evol Hum Behav. 23: 407–436. 
  • Zahavi, A. (1975). "Mate selection — a selection for a handicap". Journal of theoretical Biology. 53 (1): 205–214. doi:10.1016/0022-5193(75)90111-3. PMID 1195756. 
  • Zahavi, A. (1977). "The cost of honesty (Further remarks on the handicap principle)". Journal of theoretical Biology. 67 (3): 603–605. PMID 904334. 
  • Zahavi A (1977) Reliability in communication systems and the evolution of altruism. In: Stonehouse B, Perrins CM (eds) Evolutionary ecology. Macmillan, London, pp 253– 259 ohnstone RA (1995) Sexual selection, honest advertisement and the handicap principle: reviewing the evidence. Biol Rev 70:1–65.
  • Zahavi, A. (1977). "The Testing of the Bond". Animal Behavior. 25: 246–247. doi:10.1016/0003-3472(77)90089-6. 

Tautan luar