Lompat ke isi

Kṣitigarbha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 Desember 2012 02.20 oleh Irsan-lin (bicara | kontrib)
Kṣitigarbha
Rupang Ksitigarbha di Gunung Osore
Rupang Ksitigarbha di Gunung Osore
Sanskerta:  Kṣitigarbha
অবলোকিতেশ্বর
Tionghoa:  HT: 地藏菩薩, 地藏王菩薩
HS: 地藏菩萨, 地藏王菩萨
Pinyin: Dìzàng Púsà, Dìzàng Wáng Púsà
Wade-Giles: Ti Tsang, Ti Tsang Wang Pu Sa
Jepang:  地蔵 Jizō, 地蔵菩薩 Jizō Bosatsu, 地蔵王菩薩 Jizōō Bosatsu
Thailand:  พระกษิติครรภ์โพธิสัตว์ Phra Ksitikhan Phothisatt
Tibet:  Sai Nyingpo
Korea:  지장, 지장보살, ji jang, ji jang bosal
Vietnam:  Địa Tạng Vương
Informasi
Dipuja oleh:  Mahayana, Vajrayana
Attribute:  tekad agung

Ksitigarbha (Sanskerta: क्षितिगर्भ Kṣitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang Bodhisattva Mahasattva, biasanya dimanifestasikan dalam bentuk seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", atau "Rahim Bumi". Ksitigarbha terkenal oleh komitmen sumpahnya untuk mengambil tanggung jawab atas seluruh mahluk di enam alam, pada masa antara kematian Buddha Gautama (Shakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga oleh komitmen sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan sebelum alam neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva yang menolong semua manusia yang terjatuh dalam alam neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhikkhu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat yang berkuasa untuk membuka pintu alam neraka dan sebuah mutiara / permata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan alam neraka.


Ikthisar

Ksitigarbha adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. 3 bodhisattva lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara.

Dalam beberapa gua di Dunhuang dan longmen sebelum era Dinasti Tang, Ia digambarkan dalam bentuk bodhisattva yang terbaik dan terindah. Setelah Dinasti Tang, penggambarannya meningkat menjadi seorang bhikkhu, membawa rosario dan sebuah tongkat.

Nama lengkapnya dalam naskah China adalah(Hanzi sederhana: 大願地藏菩萨; Hanzi tradisional: 大願地藏菩薩; Pinyin: Dàyuàn Dìzàng Púsà), atau Bodhisattva Raja Tekad Mulia "Dizang, diucapkan sebagai Dayuan Dizang Pusa dalam bahasa Mandarin, Daigan Jizō Bosatsu dalam bahasa Jepang, Chijang Posal dalam bahasa Korea.

Ini adalah sebuah acuan akan janjinya, yang tercatat di dalam beberapa sutra, bertanggungjawab untuk mengajar semua makhluk di enam alam, pada masa antara kematian Buddha Gautama dan kebangkitan Buddha Maitreya. Karena peran penting ini, tempat suci Ksitigarbha sering kali memiliki peran utama dalam vihara-vihara Mahayana ketimuran.


Di Cina

Gunung Jiuhua di Anhui dianggap sebagai tempat Ksitigarbha. Merupakan salah satu dari empat gunung besar umat Buddha di China, dan ditempati lebih dari 300 vihara. Sekarang ini, 95 vihara dari 300 vihara tersebut terbuka untuk umum. Pegunungan ini merupakan tempat tujuan yang terkenal bagi para peziarah yang memberikan persembahan kepada Ksitigarbha.

Di beberapa daerah, percampuran berbagai agama tradisi telah membuat Ksitigarbha menajdi lebih dikenal sebagai dewa [Taoisme|agama Tao]], meskipun tugas-tugasnya berbeda dengan yang dikerjakan oleh Ksitigarbha. Contohnya, di Hong Kong and sekitarnya perantauan komunitas orang Cina, biasanya patungnya ditemukan di dalam gedung peringatan umat Buddha dan vihara-vihara umat Tao.


Di Jepang

Patung bodhisattva Jizō di vihara Mibudera di Jepang, depicted with children and bibs.

Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. Sejak tahun 1980, ia dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirkan, keguguran atau aborsi janin, dalam ritual mizuko kuyō (水子供養). Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberangi Sungai Sanzu mistis seorang diri kehidupan berikutnya karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak dan karena mereka telah membuat orangtuanya menderita. Dipercaya bahwa Jizō menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai penebusan dosa, dengan menyembunyikan mereka dari para roh jahat dalam jubahnya, dan membiarkan mereka mendengar mantra-mantra.

Kadang kala, patung Jizō diletakkan oleh masyarakat disertai oleh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di dunia bawah (tindakan tersebut berasal dari tradisi membangun stupa sebagai tindakan membuat kebajikan). Kadang-kadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, atau dengan mainan, yang diletakkan disana sebagai tanda kedukaan para orangtua agar membantu anak mereka yang telah meninggal dan berharap agar Jizō secara khusus melindungi mereka. Kadangkala, persembahan diberikan oleh para orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Jizō karena menyelamatkan anak mereka dari penyakit serius. Wajah Jizō umumnya dibuat lebih seperti muka bayi agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.

Karena ia terlihat seperti penyelamat jiwa yang menderita di dunia bawah, biasanya patungnya terletak di kuburan. Ia juga dipercaya sebagai dewa pelindung wisatawan, dan di Jepang, patung Jizō diletakan di pinggir jalan sehingga mudah terlihat. Para petugas pemadam kebarakan juga dipercaya berada di bawah lindungan Jizō.

Sumber

Red-bibbed patung Jizō di Nikko

Kisah tentang Ksitigarbha diceritakan dalam Kitab Komitmen Mulia Bodhisattva Ksitigarbha, salah satu kitab Buddhis aliran Mahayana yang paling terkenal. Kitab ini seperti yang didengar telah dikhotbahkan oleh Sang Buddha (menjelang akhir hidupnya) kepada ibu-Nya di alam surga Trayastrimsa sebagai rasa berbakti dan pengucapan syukur atas jasa ibunya yang tercinta, Māyādevī agar ibu-Nya dapat terbebas dari tiga alam penderitaan (triloka) selamanya dan dilahirkan di alam Buddha. [1] Dinyatakan bahwa praktik Ksitigarbha rasa bakti seperti sebuah kematian, yang mana pada akhirnya mengakibatkan ia membuat tekad agung untuk menyelamatkan semua makhluk.

Sebagai Gadis Suci

Dalam Kitab Komitmen Mulia Bodhisattva Ksitigarbha, Sang Buddha menyatakan bahwa berjuta-juta kalpa tahun yang lalu, Ksitigarbha adalah seorang putri Brahmana dengan nama "Gadis Suci". Ia sangat khawatir setelah ibunya meninggal, karena ibunya seringkali merendahkan ajaran budha, dharma dan sangha Tiga Permata.

Untuk menyelamatkan ibunya dari dosa dan siksaan dari Neraka, putri Brahmana ini menjual semua miliknya dan menggunakan uang tersebut untuk melakukan ibadah dan menabur kebajikan, dengan memberikan persembahan-persembahan setiap hari kepada Buddha pada masa silam, yang dikenal sebagai Buddha Padma Samadhi Svara Raja. Dengan air mata ia berdoa sepenuh hati agar ibunya dapat terbebas dari penderitaan api neraka dengan meminta petunjuk dari Sang Buddha di alam mana ibunya Vatri kini berada. [2]

Ketika ia memohon petunjuk kepada Sang Budha di dalam vihara, ia mendengar suara yang memberitahunya untuk segera pulang ke rumah, duduk bermeditasi, sambil merenungkan (melafalkan) nama Sang Budha Padma Samadhi Svara Raja jika ia ingin mengetahui dimana ibunya berada sekarang. Ia melakukan seperti yang dianjurkan dan kesadarannya dibawa ke Alam Neraka dimana ia bertemu salah seorang penguasa Neraka yang bernama Amagadha memberitahukan kepadanya bahwa melalui jasa kebajikan dan doa-doanya yang sepenuh hati, berkat itu ibunya Vatri telah terbebas dari Neraka dan telah dilahirkan ke alam yang lebih baik. Putri Brahmana ini sangat sukacita, tetapi penglihatannya akan berbagai penderitaan siksaan di alam Neraka telah menyentuh hatinya. Ia timbul belas kasihan yang besar dan berkomitmen (janji) untuk menyerahkan seluruh hidupnya selama kehidupan berkalpa-kalpa lamanya untuk menyelamatkan semua jiwa jiwa terbebas dari penderitaan siksaan Neraka sampai Neraka menjadi kosong barulah dia berhenti.[3]

Sebagai Seorang Bhikkhu

Lukisan Ksitigarbha, Goryeo Korea, setelah abad ke 14
Ji Jang Bosal as Penguasa Tertinggi atas Dunia Bawah, , setelah abad ke 18

Ada legenda lain mengenai bagaimana perwujudan Ksitigarbha ada di Cina, dan memilih bodhimandanya menjadi Gunung Jiuhua, salah satu Empat Gunung Suci di Cina dalam Buddhisme.

Dalam Dinasti Han Timur, selama pemerintahan Kerajaan Ming, agama Buddha mulai berkembang, mencapai puncaknya di era Dinasti Tang, dan pada akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea. Pada waktu itu, para bhikkhu dan pelajar tiba dari negara-negara mereka untuk mencari Dharma di Cina. Salah satu peziarah adalah bekas pangeran yang berasal dari Silla yang dalam romanisasi Korea adalah Kim Kiaokak (Cina: Jin Qiaojue(金喬覺)) dan menjadi seorang bhikkhu dengan nama Simpanan Bumi (Juga panggil Jijang, dalam bahasa Korea Dizang).[4] Ia datang ke daerah Anhui menuju Gunung Jiuhua. Setelah pendakiannya, ia memutuskan untuk membangun sebuah pondok di dalam daerah pegunungan agar ia dapat berkembang.

Menurut catatan, bhikkhu tersebut digigit oleh ular berbisa, tapi ia tidak bergerak, bahkan membiarkan ular itu pergi. Seorang wanita yang lewat di sana dan melihat kejadian tersebut memberikan obat-obatan kepada bhikkhu ini untuk mengobatinya dari racun ular itu, seperti anaknya sendiri. Untuk beberapa tahun, bhikkhu tersebut melanjutkan meditasinya di pondoknya sendiri, sampai suatu hari, seorang pelajar bernama Chu-Ke membiarkan sekelompok teman dan keluarga mengunjungi gunung itu. Melihat seorang bhikkhu bermeditasi di pondok, mereka pergi dan melihat keadaannya. Mereka melihat bahwa mangkuk bhikkhu itu tidak ada makanan sedikitpun, dan rambutnya telah tumbuh kembali.

Merasa kasihan terhadap bhikkhu itu, Pelajar Chu memutuskan untuk membangun sebuah vihara sebagai persembahan kepada bhikkhu itu. Seluruh kelompok segera turun gunung untuk membahas rencana pembangunan vihara. Gunung Jiuhua juga merupakan aset kekayaan seseorang yang bernama elder Wen-Ke, yang berkewajiban membangun vihara di gunung miliknya. Oleh sebab itu, Wen-Ke dan kelompok pendaki gunung itu sekali lagi bertanya kepada bhikkhu berapa banyak lahan yang ia butuhkan.

Bhikkhu itu menjawab bahwa ia membutuhkan sebidang tanah yang dapat ditutupi oleh kasayanya. Merasa bingung bila selempang kain tidak mungkin cukup untuk membangun sebuah vihara, bhikkhu itu mengejutkan mereka ketika ia melempar kasaya tersebut ke udara, dan ukuran jubahnya melebar menutupi seluruh pegunungan! Tetua Wen-Ke akhirnya memutuskan untuk menyerahkan seluruh pegunungan itu kepada bhikkhu, dan menjadi pelindungnya. Tak berselang lama kemudian, anak laki-laki Wen ke juga meninggalkan kehidupan rumahtangga untuk menjadi seorang bhikkhu.

Bhikkhu itu tinggal di Gunung Jiuhua selama tujuhpuluhlima tahun dan meninggal pada usia sembilanpuluhsembilan tahun. tiga tahun setelah nirvananya, makamnya dibuka,hanya untuk memperlihatkan bahwa tubuhnya tidak membusuk. karena bhikkhu itu membiarkan cara hidupnya penuh dengan kesulitan, banyak orang memiliki intuisi untuk meyakini bahwa sesungguhnya ia adalah transformasi dari tubuh Ksitigarbha.

Tubuh Bhikkhu yang diawetkan masih dapat dilihat dewasa ini di vihara yang ia bangun di Gunung Jiuhua.

Ikonografi

Ikonografi Tradisional

Di dalam ikonografi Buddhist, Ksitigarbha biasany digambarkan dengan kepala yang tercukur, memakai jubah bhikkhu sederhana (tidak seperti kebanyakan bodhisattva lainnya, yang berpakaian seperti bangsawan India). Di tangan kirinya, Ksitigarbha memegang permata pengabul permohonan; di tangan kanannya, ia memegang tongkat yang disebut dalam bahasa Jepang sebuah shakujo (錫杖) (tongkat bergemerincing), yang digunakan untuk memperingati para serangga dan binatang kecil lainnya akan kehadirannya, sehingga ia tidak akan secara tidak sengaja menyakiti mereka. Tongkat semacam itu secara tradisional dibawa oleh bhikhhu-bhikkhu tingkat tinggi dari vihara Buddhis negara Cina. Biasanya, kadangkala Ksitigarbha terlihat memakai sebuah mahkota yang menggambarkan lima dhyani Buddha, yang dikenakan oleh bhikkhu-bhikkhu negara Tibet dan Cina dalam ritual-ritual Tantric.

Seperti bodhisattva-bodhisattva lainnya, Ksitigarbha biasanya terlihat berdiri diatas bunga teratai, melambangkan pembebasannya dari karma roda kelahiran kembali. Wajah dan kepala Ksitigarbha juga ideal, merupakan ciri dari mata ketiga, telinga memanjang dan atribut-atribut standart lainnya dari seorang manusia yang tercerahkan.

Ikonografi yang terkenal di Jepang

Mizuko Jizō statues at the cemetery at Zōjō-ji in Tokyo. Each one is dedicated to a dead baby or unborn fetus.

Vihara Narihira Santosen di Katsushika, Tokyo terdiri dari ketenaran "Jizō Terbatas" Ōoka Tadasuke, yang berasal dari Edo Period. Ketika diajukan permohonan diberikan dihadapan Jizō, para pemohon mengikat patung tersebut dengan sebuah tali. Bila permohonan dikabulkan, pemohon melepas tali tersebut. Pada tahun baru, tali-tali dari permohonan yang tak terkabul digunting oleh pendeta vihara. Sifat merusak patung Jizō adalah dasar cerita dari film J-Horror Shibuya Kaidan. Seri animasi Gadis Neraka juga berdasarkan dari legenda Jizou.

Akasagarbha

Ksitigarbha memiliki saudara kembar yang dikenal sebagai Ākāśagarbha (虛空藏 ;Ch. Xūkōngzàng, Jap. Kokuzo), "Gudang Kosong". Sementara itu secara teologikal sama pentingnya, Ākāśagarbha secara keseluruhan tidak begitu terkenal seperti Ksitigarbha.

Phra Malai

Dalam ajaran agama Buddha Theravada, kisah tentang seorang bhikkhu yang bernama Phra Malai, yang memiliki kualitas yang sama dengan Ksitigarbha, dikenal di seluruh Asia Tenggara, terutama di Thailand dan Laos. Legenda mengatakan bahwa ia adalah seorang arahat dari Sri Lanka, yang mencapai kekuatan luar biasa melalui kebajikannya dan hasil dari meditasi. Ia juga dihormati sebagai pengganti Maudgalyayana, murid utama Buddha yang memiliki pencapaian luar biasa.

Dalam cerita ini, bhikkhu yang saleh dan penuh kasih sayang ini turun ke Neraka untuk memberikan ajaran-ajaran dan memberikan kenyamanan bagi para makhluk neraka yang menderita di sana. Ia juga mempelajari bagaimana para makhluk neraka dihukum berdasarkan dosa-dosa mereka di neraka yang berbeda-beda.

Mantra-Mantra

Statue of Jizō in the Toi gold mine, Shizuoka Prefecture, Japan.

Dalam Shingondan sekolah-sekolah lainnya di Asia Timur Buddhis Esoterik, mantra Ksitigarbha berasal dari "Treasury of Mantras" bagian dari Mahavairocana Sutra. Pengaruh mantra ini adalah menghasilkan "Samadhi Alam Adamantine Indestructible Conduct." Mantra ini adalah sebagai berikut:[5]

namaḥ samantabuddhānāṃ, ha ha ha, sutanu svāhā

Dalam Buddhis negara Cina, berikut adalah mantra yang dilafalkan untuk memohon perlindungan kepada Ksitigarbha:

námó dìzàng wáng púsà (南無地藏王菩萨)

Di Negara Tibet, mantra berikut berhubungan dengan Ksitigarbha:

oṃ kṣitigarbha bodhisattva yaḥ

Dalam Shingon, mantra digunakan dalam upacara agama umum adalah:[6]

on kaka kabi sanmaei sowaka

Referensi

  1. ^ Ksitigarbha Sutra - Bab Satu: Keajaiban di Istana Surga Trayastrimsa: - "Demikian yang telah kudengar. sewaktu Buddha berdiam di Surga Trayastrimsa untuk membabarkan Dharma kepada ibunya."
  2. ^ http://www.buddhanet.net/e-learning/history/tstang-txt.htm Ti Tsang P'usa: Ksitigarbha Bodhisattva
  3. ^ http://www.buddhanet.net/e-learning/history/tstang-txt.htm Ti Tsang P'usa: Ksitigarbha Bodhisattva
  4. ^ 释地藏金乔觉考
  5. ^ Giebel, Rolf. The Vairocanābhisaṃbodhi Sutra. Berkeley: Numata Center, 2005
  6. ^ Shingon Buddhism and Jizo

Pranala luar