Lompat ke isi

Tuanku Nan Renceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tuanku Nan Renceh adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan penjajahan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri dari tahun 1803-1838. Tidak banyak diketahui data mengenai tokoh ini, selain seorang figur karismatik, ia juga dikenal keras dalam menegakkan syariat Islam. Sedangkan dari catatan Belanda, tokoh ini merupakan sosok antagonis, dan dianggap bertanggung jawab atas adanya tindakan kekerasan di Dataran Tinggi Padang.

Nama asli dari Tuanku Nan Renceh adalah Abdullah. Ia lahir di Nagari Kamang pada tahun 1780 dan meninggal dunia dalam perang Padri. Ia merupakan murid dari Tuanku Nan Tuo.[1] Ia kemudian menjadi guru yang banyak melahirkan pejuang perang Padri.

Kedatangan tiga orang haji dari Mekah tahun 1803 telah mengilhami Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mulai mengumandangan jihad atas segala bid'ah di Minangkabau.[1] Ide-ide pembaharuan yang diterapkan Tuanku Nan Renceh terhadap perubahan kebiasaan masyarakat termasuk model sistem adat matrilineal mendapat tantangan dari para penghulu pada beberapa nagari di Minangkabau sehingga kemudian melahirkan gerakan Paderi dengan pendekatan konflik.[2]

Rujukan

  1. ^ a b Azra, A., (2004), The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0824828488.
  2. ^ Susanto, B., Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial, Kanisius, ISBN 9792119817.

Daerah Kamang ini terletak 12 kilometer sebelah timur dari Bukittinggi di distrik Agam, salah satu dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan di jantung Minangkabau, Sumatera Barat. Sungai Batang Agam berjalan melewati kawasan ini dan, pada abad kesembilan belas itu, setidaknya 12 nagari besar (Desa-desa Minangkabau) terdapat di daerah ini. Dalam periode itu masyarakat hidup sebagian dari petani (sawah) dengan daerah persawahan yang luas, bila kita menuju daerah perbukitan, lahan padi mekin berkurang, penduduk desa menyibukkan diri dengan kerajinan kayu dan tenun, atau menanam tanaman berharga seperti tebu, bawang, kentang, kopi dan cassia (kulit kayu manis liar) pada lahan kering di perbukitan. Seorang pengamat Belanda di bagian hilir dari daerah, Bukit Kamang, mencatat pada tahun 1832 bahwa, "... Dilihat dari atas, memberikan penampilan sebuah taman tertutup dengan bukit-bukit kecil, di mana rumah-rumah dinaungi/tertutup oleh pohon buah-buahan dan pohon-aren dan dikelilingi oleh pisang dan tebu...Posisinya di lereng pegunungan dengan sungai yang mengalir melalui distrik/daerah ini, sedangkan kebun kopi banyak menghasilkan keuntungan “. Basis ekonomi Kamang, adalah berdagang ke luar daerah, daerah Kamang-Bukit adalah salah satu nagari zaman dahulu yang ada di daerah Kecamatan Kamang Magek sekarang. Dahulu ada Nagari Pauah, Nagari Kamang-Bukit, Nagari Tangah, Nagari Hilir. Sekarang Kamang-Bukit mencakup jorong Pakan Sinayan, Bansa, Babukik, Halalang. Daerah ini memang memiliki sawah yang cukup luas, namun tidak semua keluarga memiliki lahan yang luas, untuk itu mereka mengusahakan penghidupan mereka pada kegiatan tukang dan berdagang. Di daerah ini ada juga lahan kering dengan tanaman perdagangan (ladang) yang seperti pisang, tebu, jagung, telur-tanaman, cabai, kacang tanah, mentimun. Desa-desa di Kamang bukit mengalami perkembangan ekonomi di akhir abad kedelapan belas melalui permintaan dunia untuk kopi dan kulit kayu manis. Dari tahun 1740-an Eropa membutuhkan kulit kayu manis, berlanjut dengan permintaan masyarakat dunia tahun 1790 untuk mendapatkan kopi, hasilnya masyarakat berebut menanam kulit kayu manis dan kopi di Minangkabau khususnya di Kamang bukit. Kamang memenuhi kebutuhan internalnya akan beras dengan mempertahankan desa-desa untuk bertanam padi dan sebagian pindah ke perdagangan tanaman kopi dan kulit kayu manis. Awalnya mereka berutang terlebih dahulu untuk modal mengembangkan kulit kayu manis dan kopi. Daerah ini memiliki ketinggian yang cocok di pegunungan untuk komoditas itu. Dengan adanya sawah, tradisi dagang dan majunya perkebunan kopi dan kulit kayu manis akhirnya mereka bisa berkembang. Seperti di seluruh daerah Minangkabau, Kamang yang dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat milik garis keturunan yang diatur dengan suku, masing-masing berasal dari satu nenek moyang yang sama dan dipimpin oleh seorang penghulu. Secara bertahap, dari abad keenam belas, Islam datang dengan dari Aceh menembus desa-nagari, dan mempengaruhi aturan garis keturunan yang telah ada dan berkembang di daerah Minangkabau. Islam merambah kehidupan Minangkabau di awali dari surau, surau telah seperti rumah di mana laki-laki muda setelah pubertas tinggal, jauh dari rumah. Rumah diperuntukkan sebagai tempat tinggal perempuan dan anak-anak. Penganut Islam mulai belajar untuk lebih dekat dengan Allah atau berusaha mencari jalan untuk dekat dengan sang Khalik nya, hal ini lebih berkembang dibanding pemberian ilmu dan pelajaran tentang hukum resmi Islam. Sufi berkonsentrasi pada mengikuti tarekat (Arab= Tarika, jalan, jalan) yang ditetapkan oleh guru atau Syekh, yang dipelajari di sekolah mereka selama bertahun-tahun. Tarekat dan sekolah bisa beradaptasi dengan sistem yang ada di surau Minangkabau tanpa gangguan, sehingga menjadi bagian dari kehidupan desa dan diterima dengan damai. Tarekat sufi utama yang berkembang di Agam adalah Syattariyah. Kita tidak tahu pasti berapa banyak guru tarekat Syattariyah yang ada di sekolah Kamang, tapi kita bisa tahu bahwa, ilmu-ilmu Islam yang diajarkan di surau Minangkabau di awal abad kesembilan belas dengan kekuatan tarekat Syattariyah . Surau-surau di Kamang dan surau di Agam umumnya dibagi dalam: 1. Surau kecil milik garis keturunan tertentu atau dengan dasar suku di kampung atau dusun tertentu, disini dipelajari membaca Quran yang diajarkan oleh murid-murid Syekh yang lebih maju dan lebih paham tentang tulis baca Al Quran. Kadang-kadang satu desa memiliki tiga atau lebih surau kecil. 2. Surau yang lebih besar yang dipimpin oleh seorang guru yang disebut oleh penduduk 'tuanku', dengan murid yang lebih banyak dan yang sangat dihormati disebut 'tuanku Syekh’. Surau ini seperti bisa dikatakan sekolah-sekolah agama, muridnya banyak juga datang dari jarak yang cukup jauh. Mereka benar-benar berutang kesetiaan kepada tuanku mereka, setidaknya dalam kasus sekolah yang lebih besar akan ada dimobilisasi oleh para tuanku dan juga untuk pemenuhan kebutuhan mereka akan kebutuhan harian (makan-minum). Di surau, tuanku dan pembantu seniornya akan mengajarkan agama Islam, dengan alur (kurikulum): 1. Ilmu pertama dimulai dengan mempelajari baca Alquran. Syattariyah adalah terekat dengan perintah ortodoks dan kaku, dengan menggunakan buku-buku instruksi serupa dengan yang di Jawa, siswa belajar bahasa Arab, terutama tata bahasa, sebagai dasar dari semua studi lanjut bagi mereka. 2. Setelah membaca Quran, mereka mempelajari fikih atau studi tentang hukum Islam, syariat, dalam rangka untuk mempelajari kewajiban seorang Muslim yang baik. 3. Pada tingkat lanjut tuanku dan guru dalam berbagai surau besar akan mengajarkan aturan tertentu, metode dan praktik-praktik keagamaan yang merupakan 'jalan' yang ditetapkan oleh urutan mereka sendiri bagi pencari jalan mendekatkan diri pada Allah. Syekh memiliki kemampuan kajian rahasia Ilmu (pengetahuan esoteris) mengenai metode pertahanan diri, berarti membuat diri kebal dalam menghadapi senjata dan cara-cara konsultasi risalah numerologi untuk memutuskan hari baik atau hari yang menguntungkan. Sebuah surau besar akan menarik ratusan siswa. Secara ekonomi, minat mereka mengharuskan mereka untuk mampu mencari jalan untuk pemenuhan kebutuhan dengan jalan sistem perekonomian berdagang di desa. Dengan tumbuhnya perdagangan kopi dan kulit kayu manis di Kamang dari akhir abad kedelapan belas, maka masuk akal lah untuk menduga bahwa semua murid surau harus telah mengambil bagian yang cukup besar di dalam system itu . Beberapa deskripsi dari bagian akhir abad kesembilan belas, termasuk satu pada tahun 1886 dari bagian dari Limapuluh Kota cukup dekat Kamang: "Saya melihat ada berbagai bangunan kayu kecil, sementara kira-kira di tengah berdiri dua surau besar, dibagian surau kecil ada gubuk kecil, sebagai dapur dan sejumlah pohon kelapa yang sangat sarat dengan buah. Pada surau kecil terdapat tumpukan tinggi dan tampak persis seperti lapau [ Toko desa kecil] terutama karena terlihat adanya tergantung tandan pisang dan buah lainnya, di jendela yang jelas untuk dijual. " Dari sini disimpulkan bahwa siswa perlu aktif untuk berjualan-berdagang hasil bumi untuk mendukung studi mereka. Selain berdagangan buah dan kebutuhan sehari-hari ada beberapa siswa akan menulis buku Arab kecil untuk pemula atau buku yang mengajar car yang benar dalam berdoa, dan menjualnya. Ada juga siswa lainnya mengembangkan kerajinan seperti pertukangan. Tapi hal penting lainya adalah bahwa semua murid harus membantu tuanku untuk mengolah sawah nya. Para siswa juga tergantung pada sedekah dari masyarakat umum. Dan sejumlah besar surau di Kamang menunjukkan bahwa penduduk desa secara kolektif di dorong untuk menata hidup dengan gaya hidup Islam. Guru Minagkabau masa itu mengikuti kecenderungan ortodoksi umum di seluruh dunia Melayu. ketika keuntungan dari kulit kayu manis dan perdagangan kopi mulai membanjiri ke desa-desa Kamang bukit Agam. Dari hal itu muncullah keinginan untuk penataan kembali nilai-nilai di masyarakat dengan pembaharuan ajaran ortodoks para tuanku. Tuanku di Agam perlu berubah. Syattariyah pindah dari pantai beberapa waktu abad ketujuh belas oleh rute perdagangan ke desa-nagari. Perkembangan syattariah di beberapa daerah mulai menjadi lebih modern dan makin maju. Namun tidak halnya di Kamang. Sehingga tampaknya untuk perkembangan berikutnya Kamang memasuki tahap reformasi dengan cara yang jauh lebih sensasional, di sini tidak ada neo-Sufisme, Sufisme direformasi dan diinterpretasikan dengan cara baru di Empat Angkat. Model masyarakat islam ideal dikembangkan oleh ajaran Muhammad 'Abd al-Wahhab (1703-1792), meskipun kita tidak tahu sejauh mana Paderi dari Kamang memahami pendekatan Wahhabi. Mereka mencoba mengikuti Wahhabi dalam mencoba menumbuhkan sebuah komunitas Islami di Kamang. Himbauan Abd al-Wahhab untuk reformasi masyarakat Islam berpusat pada hal ketauhidan, kehidupan muslim, cara mendekatkan diri dengan Tuhan. Umat Islam waktu itu dan generasi Muslim sebelumnya, telah mengabaikan hal ini. Hal yang bertentangan dengan paham Wahhabi adalah adanya keyakinan yang nunjukkan keyakinan pada adanya sesuatu kekuatan atau seseorang selain Allah dan dengan demikian dianggap syirik. Abd al-Wahhab, menjelaskan bahwa masyarakat Mushrikun (orang-orang syirik) perlu untuk di lawan. Mengucapkan syahadat (pengakuan iman) tidak cukup untuk membuat satu seorang menjadi muslim sejati, sehingga komunitas muslim perlu mendapat petunjuk-pengajaran bahwa mereka bisa menjadi orang yang hidup sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Alquran dan sunah dan membuat mereka ideal. Para Wahhabi di Mekkah mereka hadir selalu dalam kegiatan Shalat bersama, dengan larangan dilarang merokok tembakau dan melarang memakai pakaian sutra dan penggunaan Rosario (semacam tasbih yang dibuat orang non muslim). Pada jam shalat tentara Wahhabi berpatroli di jalan-jalan bersenjatakan tongkat besar dan menyuruh penduduk ke masjid walau dengan kekerasan. Mereka mengutuk para siswa dan Syekh dari sufi karena mereka menilai mereka dekat Allah dan karena itu mereka menentang ibadah di makam-makam orang suci dan praktek menggunakan orang lain untuk bersyafaat dengan Allah. Mereka sering menghancurkan makam, termasuk makam di Mekkah dan kubah penutup makam Muhammad di Madinah karena seringnya orang-orang melakukan ritual disana. Dengan 1.804 Wahhabi yang berada dalam kendali penuh dari Hejaz. Para Wahhabi di Mekkah membantai penduduk di sebuah pemukiman dalam perjalanan mereka ke Mekah karena tetap melakukan hal yang bertentangan dengan Islam. Kamang adalah daerah pertama di Agam dan semua Minangkabau yang mengadopsi semangat Wahhabi Arab sebagai model untuk reformasi masyarakat Islam Minangkabau. Kekayaan baru yang diperoleh masyarakat dari perdagangan telah memungkinkan semakin banyak individu untuk melakukan ibadah haji dan mereka menjadi peka terhadap perkembangan di kota suci. Jamaah dari Minangkabau yang berada di Mekkah ketika itu melihat banyak orang ditangkap oleh kelompok Wahhabi karena melakukan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam. Setelah kembali, mereka memberitakan untuk adanya revolusi fundamentalis di Minangkabau. Sosok Tuanku Nan Renceh tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Putra Kamang bertubuh kecil ini diyakini pula sebagai salah seorang tokoh proklamator dan lokomotif utama Gerakan Paderi pada awal abad ke-19 silam. Nama asli dari Tuanku Nan Renceh adalah Abdullah. Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah, keturunan suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Pengetahuan Agama dan pengetahuan umum Tuanku Nan Renceh pada awalnya diperoleh dengan melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam. Abdullah kemudian melanjutkan masa menuntut ilmunya ke Ulakan Pariaman. Kampung Tuanku Nan Renceh sendiri saat itu telah aktif dalam budidaya kopi dan kayu kulit kayu manis, dan memberi hasil berupa kekayaan bagi masyarakat disana. Bergeraknya kelompok wahhabi berawal pada tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran Wahhabi saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya. Haji miskin sekembalinya ke kampong halaman di pandai sikek, berniat melakukan perubahan, tetapi ia di usir dan tak berhasil dalam usaha itu. Bagi Abdullah Tuanku Nan Renceh, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran. Dalam pikirannya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu. Ternyata benar. Ketika bertemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan oleh kaum Wahabi di jazirah Arab. Haji Miskin datang ke Bansa sekitar 1805, Tuanku Nan Renceh dan salah saeorang Tuanku (Tuanku Nan Gapuk) mengikuti prinsip ajaran aliran Wahhabi. Sebuah reformasi seluruh masyarakat itu harus dicari, di mana Muslim itu harus tegas dibedakan dari non-Muslim. Sekarang yang akan diserang tidak hanya desa penjahat, namun desa-desa yang secara lahiriah terhormat tapi disana masyarakatnya dapat dianggap sebagai bukan Muslim sejati karena penggunaan opium, tembakau, betelnut, sabung ayam minuman beralkohol, dan perjudian. Untuk pertama kali rezim Paderi diperkenalkan ke Kamang. Dalam catatan Buku Tuanku Rao banyak diungkapkan bahwa adanya pembentukan Markas besar dengan pendidikan agama Islam serta Benteng Kamang . Disana juga dibangun angkatan bersenjata dengan keunggulan Janytsar Cavallry Islam yang bisa merekrut 32.000 personil tentara dengan keunggulan tehnik pertempuran berkuda (cavalry) dibawah binaan Haji Piobang dan Haji Sumanik . Sedangkan Haji Miskin dengan kemampuan bertempur di padang pasir (hermet), terkenal dengan pertarungan hidup mati dalam hindari maut di padang pasir Timur Tengah. Konon kedua Haji tersebut sudah terlatih dengan pertempuran Cavallary dengan tentara Turki. Sehingga sekarang di daerah Aia Tabik kita bisa menemukan sebuah makam dengan batu nisan bertulis nama Syech Istambul yaitu seorang pelatih masukan dari Turki. Di Bansa, Tuanku Nan Renceh mendirikan sebuah dewan khusus, disini pedagang yang pernah dirampok bisa mengajukan permohonan ganti rugi, ia juga menyusun daftar desa bandit (desa yang mempertahankan tradisi yang bertentangan dengan Islam) dan desa penjahat dan memulai serangkaian serangan terhadap mereka, bersama para siswanya. Menurut laporan Belanda berdasarkan keterangan dari berbagai daerah Minangkabau tahun 1830-an, Tuanku Nan Renceh bertubuh tipis dan kecil perawakannya, tetapi memiliki emosi yang tinggi, matanya "berkaca dengan api yang tidak biasa ". Salah seorang kerabat Tuanku Nan Renceh sendiri ternyata diam-diam menggunakan opium dan tembakau, ia di adili dan membiarkan mayatnya (tidak di urus secara Islami) . Semua orang merasa takut dengan Kamang Bukit di distrik Agam, tempat tinggal Nan Renceh. Dia menghapuskan suku atau administrasi keturunan di Kamang - baik Bansa (sebuah jorong di Kamang Mudiak sekarang), Magek, Salo, dan Koto Baru. Serangan kelompok Paderi biasanya keluar desa untuk menyerang kelompok non-Muslim (yang tidak taat akan aturan Islam) dan juga menyerang kelompok-kelompok kafir Belanda, hal yang ditentang juga adalah sabung ayam. Di desa-desa atau nagari yang dikuasai kelompok Paderi semua sabung ayam, judi dan penggunaan tembakau, opium, sirih-pinang dan minuman keras dihapuskan. Pendukung Paderi mengganti pakaian normal mereka dengan pakaian panjang mencapai ke pergelangan kaki, laki-laki memakai jenggot sebagai tanda , dan sorban putih. Perempuan Paderi terselubung dan mengenakan pakaian hitam. Tidak ada bagian tubuh yang boleh dihiasi dengan perhiasan emas dan pakaian sutra. Sholat lima kali sehari dibuat wajib. Sebuah sistem denda dilembagakan untuk pelanggaran aturan-aturan ini. Hukum Islam ditegakkan di desa-desa. Dalam tahun 1820-an, pengikut golongan radikal itu makin banyak di Luhak Nan Tigo. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara jenggot, yang mencukurnya didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden); memotong gigi didenda seekor kerbau; lutut terbuka didenda 2 suku; wanita yang tidak pakai burka didenda 3 suku; memukul anak didenda 2 suku; menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 suku; memanjangkan kuku, jari dipotong; merentekan uang didenda 5 shilling; meninggalkan shalat pertama kali didenda 5 suku, jika mengulanginya dihukum mati. Usai shalat Shubuh di surau-surau, Tuanku Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan langsung diinterogasi. Andai belum shalat karena tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak juga menunaikan shalat--ditandai dengan batu tapakan yang tidak basah--maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari. Nan Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat berjamaah. Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Di daerah Kaluang pernah terjadi suatu pemeriksaan majid dan surau disana, karena banyaknya masjid dan mushalla yang tidak menyelenggarakan shalat 5 waktu, menyebabkan Tuanku Nan Rencah marah dan memerintahkan untuk di bakar, hanya 1 surau yang masih rutin dengan kegiatan keagamaan. Surau ini tidak di bakar, sehingga dinamai Surau Tingga (satu-satunya surau yang di tinggalkan-tidak dibakar, karena rutin dengan kegiatan keagaannya). Tuanku Nan Renceh membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan, yaitu: 1. Tuanku di Kubu Sanang, 2. Tuanku di Ladang Lawas, 3. Tuanku di Padang Luar, 4. Tuanku di Galuang, 5. Tuanku di Kota Hambalau, 6. Tuanku di Lubuk Aur, 7. Tuanku di Bansa, 8. Tuanku Nan Renceh, Bala bantuan Belanda yang dikirim dari Batavia untuk mengatasi perang Paderi yang makin berkobar di Minangkabau, dan membuat pasukan Belanda yang ada menjadi kewalahan dan nyaris kalah. Hal itu karena sejak 1832 telah bersatunya pasukan Paderi dan pasukan adat yang awalnya berselisih sejak. Mereka melakukan pertemuan rahasia di lereng Gunung Tandikat dengan hasil akan bersatu padu menentang Belanda, dan menghapus perselisihan dan pertenetangan selama ini. 11 Januari 1833 pimpinan Paderi diserahkan dan dipercayakan pada Tuanku Imam Bonjol, sebagai pengganti Tuanku Nan Renceh. Setelah bantuan dari Batavia sampai ke Minangkabau, hal ini berlanjut dengan berbagai serangan ke daerah Kamang. Pada tanggal 9 dan 10 Juli 1833 Kamang diserang dari 4 penjuru : 1. Dari jurusan Suliki melalui Bukit Batu Bajak, Melewati daerah batas antara Agam dan limapuluh kota, dipimpin oleh Mayor De Quay. 2. Dari jurusan Bukittinggi melalui Guguak Bulek, Gadut, Tilatang, dibawah pimpinan Van Der Taak. 3. Dari jurusan Bukittinggi melalui tanjung alam, kapau, bukik kuliriak, magek, pintu koto, dibawah pimpinan mayor du bus. 4. Dari jurusan Baso melaui salo, dipimpin oleh overste elout dan kapten riezs.

Pada tanggal 9 juli, pasukan paderi mampu menahan serangan belanda, bahkan mayor du bus dan 100 pasukan lainnya tewas. Elout da reisz dipukul mundur. Namun di tanggal 10 juli, dengan turun nya pasukan belanda dari suliku membuat pasukan paderi terkepung, dan kalah.Pasukan Belanda terbukti terlalu kuat dan pada bulan Juli semua desa Kamang diambil. Semangat perlawanan di Kamang tetap kuat, namun, meskipun semangat religius masih menyala namun sekarang mengambil bentuk lain dari ajaran yang dianut oleh Paderi dan pasti tampaknya telah secara bertahap pindah kembali ke konsep dan lembaga pra-Paderi. Seorang perwira Belanda menulis tentang periode Januari 1834: "Selama beberapa bulan di sana telah tinggal di Kampung dari Batuputih di Kabupaten Agam Kamang. Disitu orang Paderi diakui dan di anggap orang suci dan menyebut dirinya Daulat. Karena itu ketenaran sebagai seorang suci telah menarik banyak orang, dengan karakter itu ia memunculkan fanatisme penduduk, ia memiliki banyak pengikut. Dia mengingatkan orang-orang untuk tidak lagi mematuhi Bupati Agam, tetapi di suruh untuk membunuhnya. Ia meyakinkan mereka (penduduk) bahwa pasukan kita (pasukan Belanda) di kemudian hari akan diwajibkan untuk meninggalkan dataran tinggi untuk pergi ke daerah pesisir/pantai ". Orang suci itu mengatakan pada pengikutnya bahwa ia telah mengepung seorang perwira Belanda dengan roh-roh jahat dan dengan ini telah memaksa dia untuk meninggalkan posnya, dia juga memaksa pasukan Belanda lainnya untuk kembali. Sejumlah besar orang berbondong-bondong menemui orang suci itu, bahkan dari kabupaten pesisir, dan pada pertemuan besar diadakan di Batuputih itu memutuskan untuk menolak perintah Belanda untuk bekerja di jalan (mempekerjakan penduduk untuk membuat jalan). Kamang kembali menjadi sebuah kamp bersenjata dan personil Belanda beberapa tentara diserang di jalan-jalan sekitar Bukittinggi. Benteng Belanda juga dibakar. Belanda membalas dengan melakukan pembakaran di Batuputih Kamang, tapi daerah ini tetap terkenal karena menentang kekuasaan Belanda. Cerita tentang meninggalnya sosok penting dari kelompok paderi yaitu Tuanku Nan Renceh memeiliki beberapa versi, hal itu akibat tidak diketahuinya berita tentang kematian beliau secara pasti dan tertulis. Dari beberapa versi yang ada di masyarakat diantanya : 1. Tuanku Nan Renceh meninggal dalam masa perang paderi, dan dibawa ke kampung Bansa, dan dikebumikan disana, di kampong Pisang, Jorong Bansa. 2. Tuanku Nan Renceh meninggal karena diserang musuh beliau. Pada masa hidupnya Tuanku Nan Renceh tidak dapat didekati dan dijatuhkan oleh siapa pun dari kalangan musuh beliau. Untuk itu mereka (musuh Tuanku nan Rencah) telah bersepakat mencari jalan dan mendatangi beliau beramai-ramai dengan memegang sebatang galah panjang setiap seorang. Mereka mengelilingi beliau dan menggunakan galah panjang tersebut untuk menjatuhkan Tuanku Nan Rencah. Setelah beliau terjatuh mereka beramai-ramai menoreh kulit beliau dengan pisau cukur ( amat tajam) hingga beliau meninggal dunia. 3. Tuanku Nan Renceh meninggal karena di tinggam oleh musuh beliau di surau Mejan-Bansa dan di makamkan di tanah bako beluau (Dt. Mangkudun-suku Pisang). 4. Tuanku Nan Renceh dalam sebuah versi cerita tentang meninggalnya diawali dengan sekembali dari peperangan membentu Tuanku Imam Bonjol di Kumpulan-Bonjol (setelah meninggalnya Tuanku Nan Renceh, perjuangan kelompok Paderi dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang sebelumnya adalah salah seorang panglima dari Tuanku nan Renceh) beliau kedatangan seorang tamu yang tak beliau kenal dengan membawa Al-Quran dan tongkat. Dalam perkiraannya tamu ini adalah utusan Belanda yang di suruh untuk menemui Tuanku Nan Renceh, dan kemudian menyerangnya dengan kebatinan untuk membunuh beliau. Setelah pertemuan itu ternyata di daerah Baso, Belanda dan anak buahnya membuat patung yang di perkirakan mirip dengan Tuanku Nan Renceh. Disandarkan di kayu Miza, dan dengan ilmu kebatinan dan jampi-jampi ditembaki. Saat itu Tuanku Nan Renceh yang sedang mengembala itik di dekat surau mejan tersungkur dan meninggal. 5. Menurut beberapa sumber yang saya kutip ada juga yang menyatakan Tuanku nan Renceh meninggal karena sakit, bukan karena berperang dengan Belanda. Tapi walau berbagai versi yang ada, satu hal yang pasti bahwa semangat juang dan banyak nilai-nilai positif telah di ajarkan oleh Nyiak Enceh (sebutan dari masyarakat setempat bagi Tuanku Nan Renceh) bagi kita semua. Pada Januari 1835 ada lagi gejolak di sana, yang juga melibatkan orang suci, dan pasukan Belanda kembali dikirim masuk ke Kamang. Pergolakan Islam berikutnya di Kamang adalah tahun 1908, meski ada gladi resik atau persiapan untuk itu pada tahun 1896. Dalam aturan sementara kolonial Belanda atas Minangkabau, diperkenalkan sistem regulasi budi daya kopi paksa hal ini diperkenalkan pada tahun 1847 untuk mendukung keuangan negara. Dalam hal administratif, Kamang seperti daerah lainnya di Agam yang ditetapkan laras dengan larashoofd untuk mengawasi produksi kopi. Tapi rakyat Kamang yang dalam jangka panjang telah menunjukkan perlawanan mereka terhadap kekuasaan kolonial melakukan perlawanan dengan cara lain, bagi yang tidak melawan secara peperangan atau perjuangan bersenjata, secara khusus mereka pindah ke tanaman lain selain kopi. Pada saat yang sama mereka menghabiskan sebagian besar energi mereka dalam membangun jaringan luas surau Islam dikhususkan untuk tarekat Syattariyah dulunya walau sebagian telah hancur selama periode Padri. Masyarakat Kamang melakukan upaya untuk menghindari rodi dan pekerjaan lainnya di jalan-jalan dan proyek untuk membangun infrastruktur untuk sistem budidaya kopi dan memberikan lebih banyak waktu untuk belajar di surau, menarik diri dari kedua lingkungan fisik dan intelektual mereka. Bahkan sekolah-sekolah sekuler yang sudah mulai berkembang sebelumnya di desa-desa Paderi tidak didukung oleh rakyat Kamang. Mereka menyibukkan diri dengan mendalami agama.