Aksara Jawa
Aksara Jawa | |
---|---|
Jenis aksara | Abugida
|
Bahasa | Jawa Sunda (sebagai Cacarakan) |
Periode | sekitar abad ke-16 hingga sekarang |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Aksara kerabat | Bali Batak Baybayin Bugis Incung Lampung Makassar Rejang Sunda |
ISO 15924 | |
ISO 15924 | Java, 361 , Jawa |
Pengkodean Unicode | |
Nama Unicode | Javanese |
U+A980–U+A9DF | |
Aksara Jawa, atau dikenal dengan nama Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) atau Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀), adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar, bahasa Sunda[1], dan bahasa Sasak[1]. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.
Sejarah
Aksara Jawa-Hindu
Dalam periode ini aksara Jawa mengikuti sistem Sanskerta Panini, yaitu mengikuti urutan ka-ga-nga (ini adalah urutan yang sama yang digunakan di Unicode aksara Jawa)
Referensi: [2]
Sedangkan menurut Prof. Zoetmulder, ejaan aksara Jawa adalah sebagai berikut:
Dalam susunan abjad Jawa di atas belum ada penggolongan serta pemisahan aksara Murda seperti yang dikenal sekarang dalam setiap susunan abjad Jawa, dalam susunan abjad Jawa pra Islam di atas masih ditemukan beberapa aksara yang keberadaanya wajib hadir untuk menuliskan kata – kata Jawa kuna, dan aksara – aksara tersebut pada susunan aksara Jawa – Islam sedikit mengalami perubahan terutama sekali setelah adanya peran pemerintah kolonial Belanda untuk meresmikan tata eja aksara Jawa kala itu. Perubahan tersebut menghasilkan pengelompokan aksara Murda seperti yang dikenal sampai saat ini.
Aksara Jawa-Islam
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada dekade awal perkembangan Islam di Jawa, dan campur tangan bangsa asing (pemerintah Kolonial Hindia Belanda) belum mendominasi ranah politik dan kekuasaan di Jawa. Masa ini berlangsung kurang lebih jaman Demak – akhir Pajang, dan tulisan dalam periode ini diwakili tata tulis aksara Jawa yang terdapat pada teks serat Suluk Wujil dan serat Ajisaka. Pada periode ini aksara Jawa diurutkan menggunakan urutan ha-na-ca-ra-ka yang disusun untuk mempermudah penghapalan dan pengingatannya dengan cara yang kreatif yaitu dengan menyusun dalam suatu fragmen pendek yang menarik yang dikaitkan dengan mitos Ajisaka. Fragmen tersebut terdiri dari 4 baris masing‐masing terdiri dari 5 aksara, menyerupai metrum atau puisi/Sekar Kawi[3]:
- hana caraka (ana utusan)
- data (sabanjuré) sawala (= suwala –kêrêngan)
- pada jayanya (babag kekuwatané)
- maga (ma‐ang‐ga) batanga (bangké) = mangawak bangké = palastra !
Dalam periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana) karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.
Kemudian periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di tanah Jawa.
Aksara Jawa-Kolonial
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996).
Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin.
Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Aksara Jawa Modern
Periode ini adalah periode perkembangan aksara Jawa setelah zaman Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, antara lain diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka), serta Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagai Tatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah disesuaikan dengan Ejaan Suwandi.
Kemudia, untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang pada tanggal 15-20 Juli 1991, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun anggaran 1992/1993 memutuskan ditetapkan penyelenggaraan kegiatan penyusunan pedoman penulisan aksara Jawa. Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata.
Pada Kongres Bahasa Jawa II 1996 dikeluarkanlah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta: No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.[4].
Pada tanggal 17 dan 18 Mei 1996 para ahli bahasa Jawa dari Provinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkumpul di Yogyakarta dan menghasilkan buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama. Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
Bentuk aksara
Tulisan jawa adalah sebuah abugida. Setiap huruf konsonannya memiliki vokal inheren /a/ atau /ɔ/ dalam posisi terbuka, yang diubah dengan penempatan tanda baca tertentu, seperti halnya huruf Arab. Namun berbeda dengan huruf Arab, tanda baca vokal wajib ditulis jika diperlukan. Perlu diperhatikan bahwa tulisan Arab aslinya bersifat abjad, yakni hanya memiliki konsonan saja. Tanda baca dalam tulisan Arab hanya dipakai untuk teks penting, dan pengguna aslinya dapat membaca tulisan arab tanpa tanda baca.
Setiap huruf konsonan dalam aksara Jawa memiliki bentuk subskrip, disebut pasangan, untuk membentuk klaster konsonan. Beberapa huruf memiliki bentuk 'kapital', namun huruf ini hanya digunakan untuk nama orang atau tempat, tidak untuk awal sebuah kalimat. Terdapat sejumlah huruf yang diadaptasikan untuk kata serapan dan bunyi asing yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Terdapat pula angka, sejumlah tanda baca yang berfungsi untuk mengawali paragraf, mengawali surat, mengawali puisi, menandakan tengah puisi, dan mengakhiri puisi, serta tanda koma, titik, kurung, kutip dan penanda angka.
Huruf Jawa ditulis miring ke kanan dan tanpa spasi (scriptio continua), karena itu pembaca harus mengenal tulisan dan bahasa Jawa untuk mengidentifikasikan batas antar kata.
Konsonan dasar (aksara nglegena)
Untuk menulis bahasa Jawa modern, digunakan 20 konsonan dasar yang disebut sebagai aksara nglegena. Namun untuk menulis bahasa Jawa Kuno, digunakan 33 konsonan dasar. Huruf-huruf tambahan ini merepresentasikan suara yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Jawa modern, yang kemudian digunakan sebagai huruf 'kapital' dalam ortografi kontemporer.
ha (ꦲ)|| na (ꦤ)|| ca (ꦕ)|| ra (ꦫ)|| ka (ꦏ) | ||||
da (ꦢ)|| ta (ꦠ)|| sa (ꦱ)|| wa (ꦮ)|| la (ꦭ) | ||||
pa (ꦥ)|| dha (ꦢ)|| ja (ꦗ)|| ya (ꦪ)|| nya (ꦚ) | ||||
ma (ꦩ)|| ga (ꦒ)|| ba (ꦧ)|| tha (ꦛ)|| nga (ꦔ) | ||||
Huruf "ha" dapat merepresentasikan vokal kosong, yang digunakan dengan tanda baca untuk membentuk huruf vokal independen.
Pasangan
Ketika sebuah konsonan kosong (konsonan yang vokal inherennya ditekan virama) muncul ditengah kalimat, tanda baca pangkon untuk menekan vokal inheren tidak digunakan. Namun huruf setelah konsonan kosong tersebut berubah menjadi bentuk subskrip yang bernama pasangan. Setiap huruf konsonan Jawa memiliki pasangan, dengan bentuk dan penataan yang beragam. Namun umumnya, pasangan berada dibawah garis penulisan dan memiliki bentuk yang berbeda dari konsonan dasarnya. Pasangan dapat digabungkan dengan maksimum dua tanda baca menyambung untuk membentuk klaster konsonan.
Beberapa pasangan perlu disambungkan dengan huruf dasar (dengan cara yang sama seperti tanda baca suku) seperti na, wa, dan nya, beberapa ditulis segaris dengan huruf dasar, seperti pa, sa, dan ha. Pasangan ka, ta, dan la hanya memiliki bentuk unik apabila ditulis tanpa tanda baca menyambung. Ketika ditulis dengan suku atau pengkal semisal, bentuk kedua huruf tersebut menjadi sama dengan huruf dasarnya, namun tetap ditulis dibawah garis. Huruf seperti ya dan ra memiliki bentuk pasangan yang persis sama seperti huruf dasarnya.
ha | na | ca | ra | ka |
da | ta | sa | wa | la |
pa | dha | ja | ya | nya |
ma | ga | ba | tha | nga |
Tanda baca konsonan
Terdapat dua macam tanda baca konsonan, yaitu tanda baca pengakhir konsonan (sandhangan panyigeging wanda) dan tanda baca penyisip konsonan (sandhangan wyanjana).
Tanda Baca Pengakhir Konsonan
Panyangga | Cêcak | Wingyan | Layar | Pangkon |
kaṃ | kang | kah | kar | -k |
ꦏ ꦀ || ꦏꦁ || ꦏꦃ || ꦏꦂ || ꦏ꧀ |
Catatan:
- Panyangga biasanya hanya digunakan untuk silabel suci Hindu, Om.
- Pangkon digunakan untuk menghilangkan vokal inheren suatu vokal, namun hanya digunakan pada akhir kalimat. Apabila sebuah konsonan tanpa vokal muncul ditengah kalimat, digunakan bentuk pasangan (lihat bagian pasangan).
Tanda Baca Penyisip Konsonan
Cakra | Kêrêt | Pengkal |
kra | krê | kya |
ꦏꦽ || ꦏꦾ |
Catatan:
- Bentuk cakra yang ditunjukkan disini sebenarnya adalah bentuk ligatur yang telah menjadi standar.
- Cakra dan pengkal dapat digabungkan dengan tanda baca suku.
Konsonan tambahan
Murda dan Mahaprana
Beberapa huruf Jawa memiliki bentuk murda yang hampir setara dengan huruf kapital pada huruf latin. Namun murda hanya digunakan untuk menuliskan nama gelar, nama diri, nama geografi, atau nama lembaga, tidak untuk awal kalimat. Apabila sebuah nama ingin dikapitalisasi, suku kata pertamanya ditulis dengan aksara murda. Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku pertama, maka suku kata kedua yang dikapitalisasi. Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku kata kedua, maka suku kata ketiga yang dikapitalisasi, dan seterusnya. Jika diperlukan dan hurufnya tersedia, seluruh nama tersebut dapat ditulis dengan murda.
Huruf dasar | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦟ || Na murda | |||
ꦖ || Ca Murda | |||
ꦑ || Ka murda | |||
ꦡ || Ta murda | |||
ꦯ || Sa murda | |||
ꦦ || Pa murda | |||
ꦘ || Nya murda | |||
ꦓ || Ga murda | |||
ꦨ || Ba murda |
Mahaprana berarti "dibaca dengan hembusan besar". Huruf-huruf ini merepresentasikan bunyi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno, namun tidak lagi dipakai dalam bahasa Jawa modern. Karena ortografi yang tidak terdefinisi dengan baik, sebagian huruf mahaprana kadang dianggap sebagai huruf murda.
Huruf dasar | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦰ || Sa mahaprana | |||
ꦞ || Dha mahaprana | |||
ꦙ || Ja mahaprana | |||
ꦜ || Tha mahaprana |
Rekan
Kebanyakan bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa asli ditulis dengan huruf yang bunyinya mendekati ditambah tanda cecak telu. Huruf semacam ini disebut rekan atau rekaan, dan dapat dibagi menjadi dua jenis; rekan untuk menulis bunyi dari bahasa Arab, dan rekan untuk huruf latin dan bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda. Terdapat dua jenis rekan lainnya yang kurang dikenal, yakni rekan untuk bahasa Sunda dan bahasa Cina. Namun rekan untuk bahasa Cina sangat jarang ditemui, dan tidak diikut-sertakan dalam range Unicode.
ꦥ꦳ || ꦐ || ꦮ꦳ || ꦗ꦳ | |||
fa | qa | va | za |
fa | qa | va | d͡ʒa |
ꦱ꦳ || ꦲ꦳ || ꦏ꦳ || ꦢ꦳ || ꦗ꦳ || ꦰ꦳ || ꦝ꦳ || ꦛ꦳ || ꦘ꦳ || ꦔ꦳ || ꦒ꦳ || ꦥ꦳ || ꦐ | ||||||||||||
tsa | ḥa | kha | dza | za | ṣa | ḍa | ṭa | ẓa | a' | gha | fa | qa |
θa | ħa | xa | ða | d͡ʒa | sˤa | ðˤa | tˤa | dˤa | ʔ | ɣa | fa | qa |
|| ꦉꦴ || ꦋ | ||
nya | rêu | lêu |
ɳa | rɤ | lɤ |
the | se | nie | hwe | yo | syo |
Lainnya
Basic letter | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦬ || Ra agung | |||
ꦉ || Pa cêrêk | |||
ꦊ || Nga lêlêt |
- Ra agung digunakan untuk menulis nama orang yang dihormati, layaknya huruf murda. Namun huruf ini berada dalam kategorinya sendiri, dan tidak dilabeli murda.
- Pa cêrêk merepresentasikan silabel rê, dan menggantikan setiap kombinasi ra + pêpêt.
- Nga lêlêt merepresentasikan silabel lê, dan menggantikan setiap kombinasi la + pêpêt.
Vokal dasar (aksara swara)
Aksara swara adalah huruf yang merepresentasikan sebuah bunyi vokal mandiri, dimana terdapat lima untuk vokal dasar, tiga untuk vokal panjang, dua untuk diftong, dan satu variasi kuno dimasukkan ke range Unicode. Setiap hurufnya memiliki bentuk sandhangan untuk mengubah vokal inheren konsonan, dengan pengecualian sandhangan tarung, pêpêt dan tolong yang tidak mempunyai bentuk huruf mandiri.
Perlu diperhatikan bahwa huruf vokal mandiri dapat digantikan dengan aksara "ha" sebagai konsonan kosong, diikuti dengan tanda baca vokal yang sesuai. Bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah hanya digunakan untuk menuliskan nama atau kata serapan, sementara untuk kata asli bahasa Jawa, digunakan aksara "ha". Sebagai contoh, anak (anak) ditulis dengan aksara "ha" (ꦲꦤꦏ꧀), begitu halnya iwa (ikan), dengan tambahan tanda baca vokal "i" (ꦲꦶꦮ). Sementara itu, nama seperti Ali (ꦄꦭꦶ) dan Irawan (ꦆꦫꦮꦤ꧀) ditulis dengan bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah.
a | i | u | e | o |
ꦄ || ꦆ || ꦈ || ꦌ || ꦎ |
aa | ii | uu | ai | au | i Kawi |
ꦄꦴ || ꦇ || ꦈꦴ || ꦍ || ꦎꦴ|| ꦅ |
Catatan:
- Vokal panjang aa, ii, dan uu tidak diromanisasi dengan tanda baca macron.
- I kawi adalah varian kuno vokal i mandiri.
- Ai dan au masing-masing merepresentasikan diftong /ai/ dan /au/. Namun keduanya tidak dipakai dalam teks berbahasa Jawa karena bahasa Jawa tidak mengenal diftong. Kedua huruf ini berguna untuk mengtranskripsikan bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia dan Melayu.
Tanda baca vokal
Disebut sandhangan swara, tanda baca ini dipakai sebagai pengubah bunyi vokal dalam tulisan Jawa. Selain vokal yang terdapat pada bentuk mandiri, terdapat beberapa sandhangan yang tidak mempunyai bentuk mandiri unik. Sandhangan tersebut adalah pěpět untuk vokal /ə/, pěpět-tarung yang digunakan dalam penulisan Sunda untuk vokal /ɤ/, serta tolong yang juga digunakan dalam penulisan Sunda untuk vokal /o/.
Tanpa sandhangan, sebuah konsonan dibaca dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Untuk mengetahui kapan kedua vokal tersebut digunakan, terdapat peraturan untuk menentukan vokal inheren yang dipakai sebuah konsonan:
- Konsonan dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila huruf sebelumnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan dibaca dengan vokal /a/ apabila huruf setelahnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan awal sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, dengan pengecualian apabila dua huruf setelahnya merupakan huruf dasar tanpa sandhangan, maka konsonan tersebut dibaca dengan vokal /a/.
a | i | u | e | o | ě |
- | Wulu | Suku | Taling | Taling-tarung | Pěpět |
ꦏ || ꦏꦶ || ꦏꦸ || ꦺꦏ || ꦺꦏꦴ || ꦏꦼ |
aa | ii | uu | ai | au | ěu | o Sunda |
Tarung | Wulu mělik | Suku měndut | Dirga mure | Dirga mure-tarung | Pěpět-tarung | Tolong |
ꦏꦴ || ꦏꦷ || ꦏꦹ || ꦻꦏ || ꦻꦏꦴ || ꦏꦼꦴ || ꦏꦵ |
Angka
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 0 |
꧑ || ꧒ || ꧓ || ꧔ || ꧕ || ꧖ || ꧗ || ꧘ || ꧙ || ꧐ |
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal ꧖ (6) dengan ꦌ (aksara e), dan ꧗ (7) dengan ꦭ (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:
ꦱꦼꦭꦱ ꧇꧑꧙꧇ ꦩꦉꦠ꧀ ꧇꧒꧐꧑꧓꧇
Di beberapa kasus, angka Arab menggantikan peran angka Jawa.
Tanda-tanda Baca (pada)
Nama | Gambar | Font | Fungsi |
---|---|---|---|
Pada adeg-adeg | ꧋ || align="left"|Mengawali suatu teks atau paragraf. | ||
Pada adeg | ꧊ || align="left"| Tanda kutip. | ||
Pada piseleh | ꧌ dan ꧍ || align="left"|Tanda kutip, namun dengan penekanan lebih. | ||
Pada lingsa | ꧈ || align="left"|Tanda koma. | ||
Pada lungsi | ꧉ || align="left"|Tanda titik | ||
Pada pangkat | ꧇ || align="left"|Menandakan angka | ||
Pada rerengan | ꧁ dan ꧂ || align="left"|Menandakan judul. | ||
Pada tirta tumetes | ꧞ || align="left"|Menandakan salah tulis. | ||
Pada isen-isen | ꧟ || align="left"|Menandakan salah tulis. | ||
Pangrangkep | ꧏ || align="left"|Menandakan kata berulang (reduplikasi atau dwilingga). | ||
Pada guru | ꧋꧆꧋ ||align="left"|Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat. | ||
Pada pancak | ꧉꧆꧉ ||align="left"|Mengakhiri surat. | ||
Pada luhur | ꧅ ||align="left"|Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi. | ||
Pada madya | ꧄ ||align="left"|Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama. | ||
Pada andhap | ꧃ ||align="left"|Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah. | ||
Purwa pada | ||align="left"|Mengawali sebuah tembang/puisi. | ||
Madya pada | ||align="left"|Memulai bait baru dalam sebuah tembang/puisi. | ||
Wasana pada | ||align="left"|Mengakhiri suatu tembang/puisi. |
Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.
- Koma tidak diperlukan setelah sebuah kata yang berujung pangkon.
- Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
Tirta tumetes dan Isen-isen memiliki fungsi unik yang sekarang tidak ditemukan lagi dalam ortografi Jawa modern. Apabila terjadi kesalahan penulisan di sebuah teks Jawa, bagian yang salah diberikan salah satu dari dua tanda perbaikan diatas sebanyak tiga kali. Tirta tumetes digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isen-isen digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penulis dari Yogyakarta ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka akan ditulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pada wu---luhur
Penulis dari Surakarta akan menulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢) yang menandakan kata berulang. Dari segi bentuk, angka arab dua (٢) dan pangrangkep (ꧏ) sama persis. Kedua karakter ini dibedakan agar tidak terjadi rendering penulisan dwi-arah, mengingat Jawa ditulis dari kiri ke kanan dan Arab ditulis dari kanan ke kiri. Menariknya, metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang masih sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2". Metode ini bahkan masih resmi pada ejaan Republik hingga akhirnya dihilangkan pada EYD tahun 1972.
Penulisan kata
Kata dasar
Kata dasar yang suku pertamanya dapat dilafalkan secara bervariasi, penulisan suku pertama pada kata dasar itu sesuai dengan pelafalan yang dikehendaki. Misalnya: bae/wae, punika/menika, nagara/negara, wasana/wusana, warna/werna, perlu/prelu, makaten/mekaten, dll. Kala dasar yang suku pertamanya mengandung unsur bunyi ɔ terutup nasal, suku kedua (terakhir) terbuka mengandung unsur bunyi ɔ, suku pertama ditulis tanpa sandangan taling tarung, sesuai dengan ejaan bahasa Jawa dengan huruf Latin. Misalnya: tampa, kandha, rangka, sangga, dll. Kata dasar yang suku kata pertamanya mengandung unsur bunyi ɔ terbuka, suku kata kedua (terakhir) mengandung unsur bunyi ɔ tertutup, kedua suku kata itu ditulis dengan sandangan taling tarung.
Kata turunan
Akhiran
Kata turunan yang bentuk dasamya berakhir konsonan, apabila mendapatkan akhiran yang berwujud vokal atau akhiran yang berawal vokal, konsonan akhir bentuk dasar itu ditulis rangkap. Misalnya: adus->adusa (ditulis adussa), pangan->panganan (ditulis pangannan), kacang->kacange (ditulis kacangnge), kancing->kancingen (ditulis kancingngen). Kata turunan yang bentuk dasamya berakhir vokal atau konsonan n (sigeg na), apabila bentuk dasar itu mendapatkan akhiran -i (konfiks me-i dalam bahasa Indonesia) atau akhiran -ana (akhiran -lah dalam bahasa Indonesia) akan muncul bunyi konsonan n di antara bentuk dasar dan akhiran tersebut, dan selalu dalam bentuk aksara na rangkap (na diberi pasangan na). Misalnya: mari->mareni (ditulis marenni)/marenana (ditulis marennana), takon->nakoni (ditulis nakonni)/takonana (ditulis takonnana), tunggu->nunggoni (ditulis nunggonni)/tunggonana (ditulis tunggonnana), pépé->mèpèni (ditulis mèpènni)/pèpènana (ditulis pèpènnana). Kata turunan yang bentuk dasamya berakhir vokal, apabila bentuk dasar itu mendapatkan akhiran -é (akhiran -nya dalam bahasa Indonesia) akan muncul bunyi konsonan n di antara bentuk dasar dan akhiran tersebut, namun aksara 'na'-nya tidak dirangkap.
Selain perkecualian di atas, kata turunan yang bentuk dasamya berakhir vokal jika diberi akhiran, maka kata turunan itu ditulis sesuai dengan pelafalannya (tidak selalu sesuai dengan penulisan Latinnya). Misalnya: turu->turua (ditulis turuwa), bali->balia (ditulis baliya), dst.
Awalan
Kata turunan yang dibentuk dari kala dasar mendapatkan awalan (prefiks) nasal 'ang-', 'an-', 'am-', 'any-' (awalan me-/men-/mem-/meng-/meny- dalam bahasa Indonesia), apabila bunyi (konsonan atau vokal) awal kata dasamya luluh (bersenyawa dengan awalan nasalnya), aksara 'ha' yang mengawali awalan nasal itu dapat dituliskan ataupun tidak. Misalnya: isi->ngisi juga dapat ditulis angisi (hangngisi), tantang->nantang juga dapat ditulis anantang (hanantang), puter->muter juga dapat ditulis amuter (hamuter), sebar->nyebar juga dapat ditulis anyebar (hanyebar). Namun apabila bunyi awal kata dasamya tidak luluh, aksara 'ha' yang mengawali awalan nasal itu harus dituliskan. Misalnya: dadi->andadi (bukan ndadi), buwang->ambuwang (bukan mbuwang), gawa->anggawa (bukan nggawa), jaluk->anjaluk (bukan njaluk).
Kata ulang dan majemuk
Kata turunan yang dibentuk melalui proses prereduplikasi atau dwipurwa, penulisan suku awal yang diulang itu sesuai dengan pelafalannya.
Kata turunan yang dibentuk melalui proses reduplikasi penuh atau dwilingga, apabila bentuk dasamya berawal vokal dan berakhir konsonan, vokal awal bentuk dasar itu tidak berubah (tidak dirangkap) walaupun pelafalannya terdengar dirangkap. Misalnya abang->abang-abang (bukan abang-ngabang), anget->anget-anget (bukan anget-tanget), iris->iris-iris (bukan iris-siris), enak->enak-enak (bukan enak-kenak). Demikian pula halny6a dengan kata majemuk, walaupun secara pelafalan terdengar dirangkap, namun penulisannya sama dengan tulisan Latinnya. Misalnya: bedhil angin (tidak ditulis bedhil langin), mangan ati (tidak ditulis mangan nati), mangsuk angin (tidak ditulis mangsuk kangin), buntut urang (tidak ditulis buntut turang).
Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa
Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 3 yakni:
- Ngetumbar
- Mbata Sarimbag
- Mucuk eri
Berdasarkan Daerah Asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa :
- Jogjakarta
- Surakarta
- Lainnya
Berkas:Aj-ngtmbr.png
Berkas:Carakan Gagrag Pujakesuma.png
Berkas:Carakan Gagrag Linge.png
Perbandingan aksara Jawa dan aksara Bali
Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar | Hanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar |
Penulisan Aksara Jawa dalam Cacarakan Sunda
Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara "Nya" dituliskan dengan menggunakan aksara "Na" yang mendapat pasangan "Nya". Sedangkan Aksara "Da" dan "Tha" tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri "É" dan "Eu", sandhangan "eu" dan "tolong"
Penggunaan aksara Hanacaraka
Aksara hanacaraka masih diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah berbahasa Jawa sampai sekarang [5] (Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), sebagai bagian dari muatan lokal dari kelas 3 hingga kelas 5 SD.[6] Walaupun demikian, penggunaannya dalam surat-surat resmi/penting, surat kabar, televisi, media luar ruang, dan sebagainya sangatlah terbatas dan terdesak oleh penggunaan alfabet Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom menggunakan aksara Jawa. Penguasaan aksara ini dianggap penting untuk mempelajari naskah-naskah lama, tetapi tidak terlihat usaha untuk menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Usaha-usaha revivalisasi bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan atau kampung. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya usaha ke arah pengembangan ortografi/tipografi aksara ini.[6]
Integrasi dalam sistem komputer
Aksara Jawa banyak digunakan dalam percetakan Hindia-Belanda abad 19, namun perkembangannya berhenti menjelang Perang Dunia II dan perlahan-lahan mulai digantikan[7] dengan sistem ortografi Latin yang dikenalkan Belanda. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, aksara Jawa bahkan dilarang digunakan. Ketika sistem informasi elektronik muncul, terjadi sejumlah usaha revitalisasi aksara Jawa dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem komputer, yang telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem van der Molen) dan pada 1987 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan[8]. Integrasi ini diperlukan agar setiap karakter dalam aksara Jawa memiliki kode unik yang diakui di seluruh dunia. Namun karena penggunaan yang menurun dan kompleksitas rendering, upaya ini berjalan dengan lambat.
Unicode
Pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998, Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara Jawa ke Unicode. Selanjutnya sekitar 2002, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa[9] yang diedarkan secara bebas dan juga mengajukan proposal ke Unicode. Namun kedua proposal ini tidak diterima, dan baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara Jawa.
Kemudian semenjak Kongres Bahasa Jawa (KBJ) 2006, mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna. Sejak gelaran KBJ IV di Semarang pada tahun 2006, usaha untuk meregistrasi aksara Jawa dalam standar Unicode mulai intensif dilaksanakan. Tim khusus Registrasi Unicode aksara Jawa berhasil dibentuk dengan dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung), Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Kerja keras selama kurang lebih 3 tahun ini akhirnya membuahkan hasil dengan telah diterimanya aksara Jawa sebagai aksara yang diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.[10] Dalam pernyataan resmi di situs Unicode, disebutkan orang-orang yang terlibat dalam upaya penstandaran aksara Jawa ini adalah: Bagiono Djokosumbogo, Michael Everson (teknis), Hadiwaratama (ketua tim), Donny Harimurti, Sutadi Purnadipura, dan Ki Demang Sokowaten. [11][12]
Sebenarnya dalam aksara-aksara Nusantara, aksara Jawa merupakan yang ke-5 untuk diakui Unicode, setelah aksara Bugis, aksara Bali (keduanya sejak 5.0[13][14]), aksara Rejang dan aksara Sunda (keduanya sejak 5.1[15]) telah diakui. Dibandingkan dengan aksara Bali (aksara Nusantara lain dengan kompleksitas yang sama dilihat dari segi rendering) aksara Jawa perlu waktu pengembangan yang lebih lama hingga akhirnya diterima dalam Unicode.
Blok
Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
Javanese[1][2] Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF) | ||||||||||||||||
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | A | B | C | D | E | F | |
U+A98x | ꦀ | ꦁ | ꦂ | ꦃ | ꦄ | ꦅ | ꦆ | ꦇ | ꦈ | ꦉ | ꦊ | ꦋ | ꦌ | ꦍ | ꦎ | ꦏ |
U+A99x | ꦐ | ꦑ | ꦒ | ꦓ | ꦔ | ꦕ | ꦖ | ꦗ | ꦘ | ꦙ | ꦚ | ꦛ | ꦜ | ꦝ | ꦞ | ꦟ |
U+A9Ax | ꦠ | ꦡ | ꦢ | ꦣ | ꦤ | ꦥ | ꦦ | ꦧ | ꦨ | ꦩ | ꦪ | ꦫ | ꦬ | ꦭ | ꦮ | ꦯ |
U+A9Bx | ꦰ | ꦱ | ꦲ | ꦳ | ꦴ | ꦵ | ꦶ | ꦷ | ꦸ | ꦹ | ꦺ | ꦻ | ꦼ | ꦽ | ꦾ | ꦿ |
U+A9Cx | ꧀ | ꧁ | ꧂ | ꧃ | ꧄ | ꧅ | ꧆ | ꧇ | ꧈ | ꧉ | ꧊ | ꧋ | ꧌ | ꧍ | ꧏ | |
U+A9Dx | ꧐ | ꧑ | ꧒ | ꧓ | ꧔ | ꧕ | ꧖ | ꧗ | ꧘ | ꧙ | ꧞ | ꧟ | ||||
Catatan |
Font
Dalam situsnya, Unicode memberikan kredit kepada Michael Everson dan Jason Glavy yang telah menyumbangkan font untuk aksara Jawa[16]. Saat ini terdapat beberapa font aksara Jawa yang banyak beredar, seperti Hanacaraka/Pallawa (oleh Teguh Budi Sayoga) yang berdasarkan ANSI[17][18], Adjisaka (oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten)[19], JG Aksara Jawa (oleh Jason Glavy)[20], Carakan Anyar (oleh Pavkar Dukunov)[21], serta Tuladha Jejeg (oleh R.S. Wihananto) yang berdasarkan teknologi font pintar Graphite SIL[22].
Dari segi teknis, semua font diatas memiliki kekurangannya masing-masing. Semisal, JG Aksara Jawa dapat menimbulkan konflik dengan sistem tulisan lain karena font tersebut menggunakan kode aksara-aksara seperti Limbu (1900-194F), Tai Le (1950-197F), New Tai Lu (1980-19DF), Simbol Khmer (19E0-19FF), Bugis/Lontara (1A00-1A1F), Tai Tham (1A20-1AAD), Bali (1B00-1B7F), dan Sunda (1B80-1BBF). Tidak mengherankan karena font JG Aksara Jawa dibuat tahun 2003, sebelum aksara Jawa masuk Unicode. Font Adjisaka juga memiliki masalah yang serupa. Sementara itu, font Tuladha Jejeg hanya dapat menampilkan pasangan dan bentuk kompleks lainnya di program yang memanfaatkan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox, Thunderbird email client, dan beberapa prosesor kata open source.
Font lain yang beredar dengan cakupan tidak begitu luas adalah Surakarta.</ref>[23] yang dibuat Matthew Arciniega pada tahun 1992 sebagai screen font untuk Mac, dan Tjarakan yang dikembangkan sekitar tahun 2000 oleh perusahaan bernama AGFA Monotype.[24][25] Kemudian terdapat juga font Jawa berbasis simbol Aturra yang dikembangkan oleh Aditya Bayu sekitar 2012-2013. [26]
Program konversi
Selain itu sebelum terdaftar di Unicode, aksara Jawa juga pernah beredar font serta software aksara Jawa oleh Yanis Cahyono pada tahun 2001 yang diberi nama "Aljawi"[27], hampir bersamaan disusul Ermawan Pratomo membuat font hanacaraka pada tahun 2001[butuh rujukan]. Selain itu ada pula program pengkonversi font Carakan-Latin oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html[28], dan Setya Amrih Prasadja yang membuat font Rama Setya yang berdasarkan Serat Rama Cirebonan[29] dan Hanacaraka JG Setya (turunan JG Aksara Jawa). Program konversi lain yang beredar antara lain adalah OnScreen Keyboard Jawa oleh Wisudyantoro [30][31]
Catatan kaki
- ^ a b Everson M. 2008. Proposal for encoding the Javanese script in the UCS. Project Report.
- ^ http://ganeshana.org/in/file/artikel/budaya/09022009/Lampiran%202%20Aks%20Vokal%20dan%20Semivokal%206-2-09%20Panini.pdf
- ^ Telaah Abjad Hanacaraka
- ^ Pedoman Penulisan Aksara Jawa
- ^ Bahasa Jawa? Ih, "Boring" Banget. Kompas daring 25-09-2006. Diakses 6-5-2009.
- ^ a b Abdul Wahab. Masa depan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Nawala.
- ^ AGFA Monotype: Javanese
- ^ Ibu Sedyati: http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-13818
- ^ http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-3246
- ^ Unicode 5.2.0
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/techcontrib.html
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/editorial.html lebih lanjut tentang Michael Everson
- ^ http://www.unicode.org/versions/Unicode5.0.0/Acknowledge.pdf
- ^ Proses komputerisasi aksara Bali
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/techcontrib.html
- ^ http://www.unicode.org/charts/fonts.html
- ^ http://hanacaraka.fateback.com/dok&down.htm
- ^ http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-2759
- ^ http://www.adjisaka.com/
- ^ http://www.reocities.com/jglavy/asian.html
- ^ https://sites.google.com/site/hanacarakan/font
- ^ https://sites.google.com/site/jawaunicode/
- ^ http://luc.devroye.org/fonts-46330.html
- ^ AGFA Monotype: Javanese script
- ^ Aksara Jawa dalam Unicode
- ^ http://alteaven.deviantart.com/art/Aturra-Java-365645184
- ^ font aksara jawa standar yogyakarta (aljawi)
- ^ Carakan. Aplikasi pengkonversi Aksara Jawa Hanacaraka ke aksara Latin (vica versa)
- ^ http://smada-zobo.jimdo.com/unduhan/
- ^ http://wisudyantoro.blogspot.com/2010/05/onscreen-keyboard-jawa.html
- ^ keyboard jawa versi online dan transliterasi online oleh Yayong Ditya K