Lompat ke isi

Solihin Gautama Purwanegara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 September 2013 03.26 oleh Yakusa47 (bicara | kontrib)
Solihin Gautama Purwanegara
Berkas:Solihin GP.jpg
Gubernur Jawa Barat 10
Masa jabatan
1970 – 1974
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Mashudi
Pengganti
Aang Kunaefi
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Solihin Gautama Purwanegara

21 Juli 1926 (umur 98)
Belanda Tasikmalaya, Jawa Barat, Hindia Belanda
KebangsaanIndonesia Indonesia
ProfesiMiliter
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Solihin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin (lahir 21 Juli 1926) adalah Gubernur Jawa Barat periode 1970 - 1974. Ia memiliki perhatian yang besar untuk mengatasi rawan pangan di wilayah Indramayu, dengan cara memasyarakatkan padi gogo rancah. Upayanya memperlihatkan hasil sehingga terus dikembangkan. Lahir dalam keluarga bangsawan, dikenal sebagai tokoh yang merakyat. Karier militernya dimulai ketika pecah revolusi, sebagai komandan TKR Bogor, kemudian bergabung ke Kodam Siliwangi. Buku tentang Solihin GP http://issuu.com/dpklts/docs/solihin_gp_the_trouble_shooter

Cerita Unik Solihin G. P. dengan Ali Sadikin

Menjadi kepala daerah di dua wilayah yang berbatasan memang memerlukan kerjasama untuk membangun kawasan. Namun, tak jarang karenanya justru perselisihan terjadi.

Misalnya saja, Gubernur Jawa Barat periode 1970-1974, Solihin GP, yang pernah merasa dilecehkan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Bagaimana ini bisa terjadi?

Kisah ini berawal saat Mang Ihin, sapaan akrab Solihin, hendak sowan ke Ali Sadikin di Jakarta. Sebagai gubernur Jabar yang baru, Mang Ihin merasa perlu berkonsultasi dengan Bang Ali, sapaan Ali, tentang bagaimana membangun wilayah.

Saat Mang Ihin menjadi gubernur Jabar pada 1970, Bang Ali sudah empat periode memimpin Jakarta. Prestasi-prestasi Bang Ali membangun Jakarta itulah yang membuat Mang Ihin merasa perlu berkonsultasi dengan gubernur ibu kota negara itu.

Nah, pada saat berbincang-bincang itu Mang Ihin merasa dilecehkan. Dalam 'Cendramata 80 Tahun Solihin GP' diceritakan, Mang Ihin tersinggung karena Bang Ali ingin 'mengambil' wilayah perbatasan yang menurutnya tidak bisa diurus oleh Jawa Barat.

"Jawa Barat tidak bisa melakukan pembangunan, sedangkan saya didesak oleh masyarakat agar memperluas daerah perbatasan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk itu, agar diikhlaskan saja saya membangun daerah perbatasan itu. Apalagi kan kita sama-sama dilahirkan di Jawa Barat," kata Bang Ali sambil menunjuk peta Kabupaten Bekasi, Tangerang dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor.

"Wah ini kurang ajar banget," kata Mang Ihin dalam hati.

Meski merasa dilecehkan oleh Bang Ali, Mang Ihin tetap tersenyum. Alih-alih naik pitam, dia justru menyindir balik Bang Ali kenapa dia tidak sekalian saja menyatukan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.

"Kalau Bang Ali ahli strategi yang ulung dan hebat, jadikan saja Jawa Barat dan DKI Jakarta satu provinsi," sindir Mang Ihin kepada Bang Ali.

Tidak jelas, bagaimana selanjutnya kisah saling sindir itu. Namun, yang jelas perbincangan itu membawa kebaikan bagi dua provinsi. Baik Mang Ihin, maupun Bang Ali kemudian saling berlomba-lomba untuk membangun wilayahnya. Saat itulah, terjadi istilahnya 'perang daerah' atau 'perang wilayah' di perbatasan Jawa Barat dan DKI.

Setelah itu, wilayah Jawa Barat tak kalah maju. Industri semen Kaisar dan Tiga Roda dibangun di Bekasi. Kemudian pabrik tekstil di Tangerang. Menyadari cuaca Puncak yang sejuk, Mang Ihin juga membangun tempat rekreasi Taman Safari.

Setelah berhasil membangun wilayah perbatasan, Mang Ihin pun mengajak Bang Ali ke Puncak. Dia memperlihatkan bagaimana arus lalu lintas dari Jakarta ke Jawa Barat juga tidak kalah dari arah sebaliknya. Artinya, tiap provinsi sudah punya magnet masing-masing sebagai hasil dari pembangunan.

Hmm...sungguh persaingan yang positif bagi kemajuan rakyat.[1]

Penyerahan Mesin Huller Kepada Bekas Pejuang Pembantu Logistik

Presiden Soeharto menyerahkan mesin Huller (penggiling padi) kepada Hudori dari desa Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hudori adalah bekas pejuang yang memberikan makanan kepada pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Solichin, dan Pangdam Siliwangi, Mayjen. AJ Witono, dalam perang kemerdekaan. Hudori kini menjadi petani, dan ketika ditemui Preisden dalam kunjungan incognito-nya beberapa waktu lalu, keadaannya sangat menyedihkan. Penyerahan dilakukan melalui Gubernur Jawa Barat, Solichin GP, di Bina Graha hari Rabu, 06 Mei 1970,

Sementara itu sebuah “padi traktor” akan diserahkan kepada desa Karang Luas Lor, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah melalui Residen Banyumas. [2]

Kisah Petani Jawa Barat tidak Mengenal Presiden Soeharto

Presiden Soeharto memulai kunjungan incognito[3] ke Jawa Barat dan Jawa Tengah tanggal 06 April 1970. Kunjungan yang diadakan bertepatan dengan awal pelaksanaan tahun kedua Pelita I ini, merupakan inspeksi langsung Presiden Soeharto di daerah pedesaan. Tempat-tempat yang ditinjau adalah desa-desa Binong, Subang, Sindang, dan Kertasmaya, semuanya di Propinsi Jawa Barat. Di tempat-tempat tersebut Jenderal Soeharto berdialog dengan para petani, disamping melihat secara langsung pembangunan jalan, pengairan dan irigasi di pedesaan Jawa Barat itu. Satu hal yang perlu dicatat, tak satu pejabat pun di setiap tempat yang beliau kunjungi, yang mengetahui kehadiran Pak Harto.

Entah dari mana informasinya, keesokan paginya ketika Pak Harto sedang berdialog dengan salah seorang petani, muncul Gubernur Jawa Barat Solihin G. P.. Sesaat setelah berdialog, petani mempersilahkan rombongan Pak Harto untuk singgah dirumahnya. Setiba di rumah petani, Pak Solichin menanyakan, siapa yang sedang berbicara dengan dirinya itu? Petani menjawab, petugas pertanian. Pak Solichin kemudian menunjukkan gambar Presiden Soeharto yang kebetulan dipasang di dinding rumah petani. Dengan perasaan malu, kikuk dan salah-tingkah, petani memohon maaf, karena tidak mengenali wajah Presiden Soeharto. [4]

Tim Pemberantasan Korupsi dan Laporan BIMAS

Presiden Soeharto memanggil Gubernur Jawa Barat, Solichin GP, untuk menghadap dan melaporkan masalah Bimas di daerahnya tanggal 18 Februari 1970. Solichin telah melaporkan kepada Presiden bahwa dari jumlah Rp. 5,8 milyar untuk kredit Bimas di Jawa Barat, telah dapat dikembalikan sebanyak Rp. 4,5 milyar. Sedangkan sisanya yang Rp. 1 milyar lebih itu masih diusut oleh pemerintah daerah Jawa Barat. Dalam hubungan ini Presiden menginstruksikan agar para pejabat yang terlibat dalam penyalahgunaan uang bimas diajukan ke pengadilan. Keesokan harinya, tanggal 18 Februari 1970 Presiden Soeharto telah memutuskan untuk mempertemukan Team Pemberantasan Korupsi dengan Komisi Empat. [5]

Lihat pula

Rujukan

Didahului oleh:
Mashudi
Gubernur Jawa Barat
1970 - 1974
Diteruskan oleh:
Aang Kunaefi