Lompat ke isi

Aksara Jawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 Februari 2014 08.39 oleh 180.241.73.168 (bicara) (→‎Urutan Huruf: perbaikan pengucapan)
Aksara Jawa
ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
Jenis aksara
Abugida
BahasaJawa
Sunda
Madura
Sasak
dll
Periode
± abad 13 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Java, 361 Sunting ini di Wikidata, ​Jawa
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Javanese
U+A980U+A9DF
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀),[1] adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak[2] Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.

Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad 19.[1] Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi SIL Graphite, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

Ciri-ciri

Suku kata /ka/ ditulis dengan satu huruf. Tanda baca dapat mengubah, menambahkan, atau menghilangkan vokal suku kata tersebut. Huruf memiliki beberapa bentuk untuk menulis nama, pengejaan asing, dan konsonan bertumpuk

Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap huruf pada aksara Jawa melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi huruf. Aksara ditulis tanpa spasi (scriptio continua)[3], dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata.

Huruf dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Huruf dasar terdiri dari 20 konsonan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi huruf kapital, huruf arkaik, dan huruf yang dimodifikasi. Semua jenis huruf ini memiliki bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis tumpukan konsonan.

Kebanyakan huruf selain huruf dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retroflex yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno karena pengaruh bahasa Sansekerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.

Sejumlah tanda baca mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing[3]. Beberapa tanda baca dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Terdapat tanda-tanda yang setara dengan koma, titik, titik dua, serta kutip, dan terdapat pula tanda membuka puisi/tembang, mengawali surat, dll[4].

Aksara Jawa memiliki digitnya senditi yang terdiri dari angka 0-9. Tujuh diantaranya memiliki bentuk yang mirip dengan aksara. Sejumlah tanda baca dapat digunakan untuk membedakan angka yang muncul dalam teks.[2]

Sejarah

Aksara Jawa sedang diajarkan pada sekolah periode kolonial.

Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sansekerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar.[2] Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap. Pada abad 17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan[5] atau hanacaraka berdasarkan lima huruf pertamanya.

Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan-kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, diantaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang.[6] Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.

Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa.[7] Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, diantaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,[7] dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006.[8][9] KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.

Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,[1] dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

Huruf

Cerita Amir Hamzah dalam tulisan tangan aksara Jawa

Sebuah huruf dasar tanpa tanda baca disebut sebagai sebuah aksara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​), yang merepresentasikan suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya.[3] Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dimana dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:

  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua huruf setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.

Nglegéna

Terdapat 20 huruf dasar bernama aksara nglegéna (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦔ꧀ꦊꦒꦺꦤ) untuk menulis bahasa Jawa modern, yaitu:

Aksara Nglegéna
ha na ca ra ka da ta sa wa la
/ɔ tʃɔ ɽɔ ɭɔ
pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
ɖɔ dʒɔ ɲɔ ɡɔ ʈɔ ŋɔ
  • Huruf 'ha' juga dapat dibaca sebagai 'a'.

Murda

Aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦩꦸꦂꦢ) atau aksara gedé digunakan seperti halnya huruf kapital dalam tulisan latin, kecuali untuk menandakan awal suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf pertama suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, dan apabila huruf pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, huruf kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan.

Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak lazim digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena umumnya hanya bentuk pasangannya yang dipakai.[2]

Aksara Murda
na ca ka ta sa pa nya ga ba

Swara

Vokal murni umumnya ditulis dengan huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan kosong) dengan tanda baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga huruf yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦱ꧀ꦮꦫ) yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara swara digunakan. Swara juga digunakan untuk mengeja kata bahasa asing. Unsur Argon semisal, ditulis dengan swara. [10][7]

Aksara swara
a i u é/è o
a/ɔ i u e/ɛ o
Aksara swara tambahan[10]
aa ii uu ai au
ai au

Mahaprana

Mahaprana, secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat", adalah huruf yang awalnya merepresentasikan bunyi teraspirasi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno dan terjemahan Sansekerta, namun sekarang tidak lagi dipakai. Mahaprana jarang muncul dan karenanya seringkali tidak dibahas dengan baik[2] atau sepenuhnya dilewatkan dalam buku aksara Jawa.

Aksara Mahaprana
dha sa ja tha

Lain-lain

Pa cerek dan nga lelet awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/ dan /l̥/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sansekerta. Ortografi kontemporer menggunakan keduanya sebagai huruf konsonan[2] yang bernama aksara ganten atau "aksara pengganti", yaitu huruf dengan vokal /ə/ yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepet dan la+pepet.[10] Karena sudah memiliki vokal tetap, kedua huruf tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal. Keduanya juga memiliki bentuk pasangan. Secara historis, ra agung digunakan oleh sejumlah penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan.[2] Ka sasak merupakan transliterasi tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa Sasak.

Aksara lain-lain
pa cerek nga lelet ra agung ka sasak
ra qa

Rekan

Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu diatas huruf yang bunyinya mendekati.[2][4] Huruf semacam itu disebut sebagai rekan atau rekaan, yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Cina.

Rekan Latin
fa qa va za
Rekan Arab
tsa ḥa kha dza za ṣa ḍa ṭa ẓa a' gha fa qa
θa ħa xa ða za sˤa ðˤa tˤa dˤa ʔ ɣa fa qa
Rekan Sunda
nya reu leu
ɳa
Rekan Cina
the se nie hwe yo syo

Pasangan

Untuk menulis suatu konsonan murni, tanda baca pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar. Namun pangkon hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan terjadi di tengah kalimat, huruf pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀) digunakan. Pasangan adalah huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia terpasang. Misal, apabila huruf na dipasangkan dengan pasangan da, maka akan dibaca nda.[2]

Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Tanda baca yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di bawah dipasang pada pasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah huruf dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan satu pasangan, dan pasangan dapat dipasang dengan sejumlah tanda baca. Dalam teks lama, pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan lain sebagai pengecualian karena dianggap sebagai tanda baca.

Pasangan Nglegéna
ha na ca ra ka da ta sa wa la
pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Pasangan Murda
na ca ka ta sa pa nya ga ba
Pasangan Mahaprana
dha sa ja tha
Pasangan lain-lain
pa cerek nga lelet ra agung ka sasak

Sandhangan

Sandhangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda baca (berbeda dengan tanda baca teks seperti koma atau titik) yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arab. Selain itu, sandhangan juga memiliki sejumlah fungsi lain.

Vokal

Tanda baca vokal disebut sebagai sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ), dan merupakan tanda baca yang paling umum. Terdapat lima sandhangan untuk bahasa Jawa modern. Tanda baca vokal tidak boleh digunakan lebih dari satu dalam sebuah aksara, dengan pengecualian tarung yang dapat digunakan dalam beberapa kombinasi terbatas, semisal taling-tarung. Terdapat pula kombinasi pepet-tarung, namun hanya digunakan dalam transkripsi bahasa Sunda. Sebuah tarung tunggal juga dapat merepresentasikan -a panjang (/aː/), namun vokal tersebut hanya digunakan dalam bahasa Jawa Kuno.[10] Tanda baca vokal dapat digunakan bersama tanda baca konsonan.

Dalam teks tertentu, wulu dan pepet hanya dibedakan dari ukurannya; wulu lebih kecil dan pepet lebih besar. Namun perbedaan ukuran ini kadang kurang kentara dalam tulisan tangan atau teks kaligrafik.

Sandhangan swara
i u e é/è o
Wulu Suku Pepet Taling Taling-tarung
ꦏꦶ || ꦏꦸ|| ꦏꦼ || ꦏꦺ || ꦏꦺꦴ
ki ku ke/kɛ ko
Sandhangan swara tambahan[10]
aa ii uu ai au eu
Tarung Wulu melik Suku mendut Dirga muré Dirga muré-tarung Pepet-tarung
ꦏꦴ || ꦏꦷ || ꦏꦹ || ꦏꦻ || ꦏꦻꦴ || ꦏꦼꦴ
kaː kiː kuː kai kau

Konsonan

Terdapat dua jenis tanda baca konsonan, tanda baca pengakhir (sandhangan panyigeging wanda, ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ), dan tanda baca penyisip (sandhangan wyanjana, ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦮꦾꦤ꧀ꦗꦤ.[7] Panyangga, cecak, and wignyan are memiliki fungsi yang sama seperti halnya karakter Devanagari candrabindu, anusvara, dan visarga.[2] Pangkon memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmi lain, yakni untuk menghilangkan vokal suatu huruf dasar untuk membentuk konsonan akhir. Namun beberapa konsonan akhir mempunyai tanda baca khusus, dimana dalam kasus tersebut pangkon tidak boleh digunakan. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon. Seperti halnya tanda baca vokal, tanda baca konsonan tidak boleh digunakan lebih dari satu dalam satu huruf, namun boleh digunakan bersama dengan tanda baca vokal.

Sandhangan panyigeging wanda
Panyangga Cecak Wignyan Layar Pangkon
kaṃ kang kah kar -k
ꦏꦀ || ꦏꦁ || ꦏꦃ || ꦏꦂ || ꦏ꧀
  • Panyangga umumnya hanya digunakan untuk simbol suci Om.[10]
Sandhangan wyanjana
Cakra Keret Pengkal
kra kre kya
ꦏꦿ || ꦏꦽ || ꦏꦾ
  • Cakra mempunyai dua bentuk, ligatura dan inisial yang ditunjukkan pada contoh diatas. Bentuk kedua lebih sering digunakan.
  • Keret tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal karena telah memiliki vokal /ə/.

Angka

Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:

Angka
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga nol

Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.[3]

Sebagian besar angka Jawa memiliki bentuk yang mirip dengan karakter silabel Jawa, yaitu 1 dengan ga, 2 dengan nga lelet, 6 dengan e, 7 dengan la, 8 dengan pa murda, dan 9 dengan ya. Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks diapit dengan penanda angka yang disebut pada pangkat. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:

ꦱꦼꦭꦱ꧇꧑꧙꧇ꦩꦉꦠ꧀꧇꧒꧐꧑꧓꧇

Terkadang, pada lungsi digunakan sebagai penanda angka,[10] dan terkadang angka Jawa sepenuhnya digantikan dengan angka Arab untuk menghindari kemiripan.

Tanda Baca

Wadana dari Babad Tanah Jawi abad 19, menunjukkan kecendrungan hiasan pada tanda baca Jawa.

Tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus.

Pada umum
Nama Gambar Fungsi
Pada adeg
Kurung atau petik
Pada adeg-adeg
Mengawali suatu paragraf
Pada piseleh dan Berfungsi seperti halnya pada adeg
Pada lingsa
koma
Pada lungsi
titik

Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.[3]

1. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.

2. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.

Special Pada
Nama Gambar Fungsi
Rerengan dan Mengapit judul
Pada luhur
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi
Pada madya
Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama
Pada andhap
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah
Pada guru
Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat
Pada pancak
Mengakhiri suatu surat
Purwa pada
atau
Menandakan awal suatu puisi
Madya pada
Menandakan tembang baru dalam suatu puisi
Wasana pada
Menandakan akhir puisi.[3][4]

Tanda baca khusus memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental, dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.[2]

Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:

Pada lain-lain
Nama Gambar
Tirta tumétés
Isèn-isèn
Pada rangkep

Tirta tumétés dan Isèn-isèn berguna untuk menandakan kesalahan menulis.[10] Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan salah satu dari dua tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumétés digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isèn-isèn digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penulis dari Yogyakarta ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka akan ditulis:

ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ

Pada wu---luhur

Penulis dari Surakarta akan menulis:

ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ[2]


Pangrangkep menandakan kata berulang (rangkep)[10], seperti pada kata "kupu-kupu" yang ditulis menjadi "kupu2". Karakter ini pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢), namun tidak memiliki fungsi angka dalam aksara Jawa. Karakter tersebut diproposalkan sebagai karakter independen karena sifat dwi-arah angka Arab.[2]

Urutan Huruf

Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun membentuk puisi atau pangram sempurna yang menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal mula terciptanya aksara Jawa[11], sebagai berikut;

yang penerjemahannya sebagai berikut:

Terdapat dua utusan/pembawa pesan. Yang berbeda pendapat. (Mereka berdua) sama kuatnya. Inilah mayat mereka.

Aksara Jawa juga dapat disusun dengan urutan kaganga yang mengikuti kaidah Sansekerta Panini.[2] Urutan ini dipakai untuk mengatur aksara Jawa pada periode Hindu-Buddha, dan sekarang dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. Urutannya sebagai berikut:

ISO k kh g gh c ch j jh ñ ṭh ḍh t th d dh n p ph b bh m y r l v ś s h
IPA k ɡ ɡʱ ŋ tʃʰ dʒʱ ɲ ʈ ʈʰ ɖ ɖʱ ɳ t̪ʰ d̪ʱ n p b m j ɾ l ʋ ʃ ʂ s ɦ
Javanese || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || || ||

Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan diatas. Huruf disusun berdasarkan sekuensi hanacaraka, namun huruf murda dan mahaprana diikutsertakan beserta bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna untuk menulis bahasa asing. Urutannya sebagai berikut:

ha na nna ca cha ra rra ka kha
|| || || || || || || ||
da dha ta tha sa sha ssa wa la
|| || || || || || || ||
pa pha dda ddha ja jha ya nya jnya
|| || || || || || || ||
ma ga gha ba bha tta ttha nga
|| || || || || || ||


Penggunaan diluar bahasa Jawa

Bahasa Sunda

Aksara Jawa juga dapat digunakan untuk menulis bahasa Sunda. Namun aksara dimodofikasi dan dikenal dengan nama Cacarakan. Salah satu perbedaan terlihat dari tidak digunakannya huruf dha dan tha, sehingga konsonan dasarnya hanya terdiri dari 18 huruf. Perbedaan juga terlihat dari penggunaan kombinasi tanda baca pepet-tarung untuk vokal /ɤ/,[10], penyederhanaan vokal /o/ menjadi tanda baca tunggal tolong,[10] dan bentuk huruf "nya" yang berbeda[10].

Bahasa Bali

Aksara Bali pada dasarnya hanyalah varian tipografik. Seperti Sunda, Bali juga tidak menggunakan huruf dha dan tha. Namun karakter yang tidak digunakan lagi di Jawa masih digunakan untuk menulis kata serapan Sansekerta dan Jawa Kuno.[12]

Hanacaraka gaya Jawa
Hanacaraka gaya Jawa
Hanacaraka gaya Bali
Hanacaraka gaya Bali
Hanacaraka gaya Jawa Hanacaraka gaya Bali

Bahasa Indonesia dan Asing

Sebuah mall di Surakarta, Jawa Tengah.

Karena sifatnya yang fonetis, aksara Jawa dapat dipakai untuk menulis bahasa Indonesia dan kata serapan bahasa asing. Hal ini dapat dilihat pada tempat-tempat umum di wilayah berbahasa Jawa, terutama di Surakarta dan sekitarnya. Kata dari bahasa asing ditulis sebagaimana kata tersebut diucap, bukan berdasarkan pengejaannya. Sebagai contoh, "Solo Grand Mall" ditransliterasikan menjadi ꦱꦺꦴꦭꦺꦴꦒꦿꦺꦤ꧀ꦩꦭ꧀ yang secara harfiah ditransliterasikan kembali menjadi "solo gren mol".

Font

Perbandingan tampilan beberapa font Jawa
JG Aksara Jawa, oleh Jason Glavy
Tuladha Jejeg, oleh R.S. Wihananto
Aturra, oleh Aditya Bayu
Adjisaka, oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten

Pada tahun 2013, terdapat sejumlah font pendukung aksara Jawa yang beredar luas: Hanacaraka/Pallawa oleh Teguh Budi Sayoga,[13] Adjisaka oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten,[14] JG Aksara Jawa oleh Jason Glavy,[15] Carakan Anyar oleh Pavkar Dukunov,[16] dan Tuladha Jejeg oleh R.S. Wihananto,[17] yang berbasiskan teknologi Graphite (SIL). Font lain yang edaran terbatas termasuk Surakarta yang dibuat oleh Matthew Arciniega pada 1992 untuk screen font Mac,[18] dan Tjarakan yang dikembangkan AGFA Monotype sekitar tahun 2000.[19] Terdapat juga font berbasis symbol bernama Aturra yang dikembangkan Aditya Bayu sejak 2012-2013.[20]

Karena kompleksitas aksara Jawa, banyak font aksara Jawa menggunakan metode input non-konvensional dibanding aksara Brahmi lain, dan memiliki sejumlah masalah. Semisal, penggunaan JG Aksara Jawa dapat menimbulkan konflik dengan tulisan lain karena font tersebut menggunakan kode berbagai tulisan selain Jawa.[21]

Secara teknis, dapat dikatakan bahwa font Tuladha Jejeg adalah yang paling lengkap. Font tersebut mampu menampilkan bentuk kompleks dan mendukung semua karakter Jawa dengan basis Unicode. Hal ini dicapai dengan penggunaan teknologi teknologi Graphite (SIL). Namun karena tidak banyak tulisan yang butuh dukungan sekompleks Jawa, penggunaan terbatas pada program yang mendukung Graphite, seperti browser Firefox, dan Thunderbird email client. Font ini juga digunakan untuk tampilan aksara Jawa di Wikipedia Jawa.[10]

Keyboard layout aksara Jawa

Unicode

Aksara Jawa resmi dimasukkan kedalam Unicode sejak Oktober, 2009, dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Javanese[1][2]
Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x
U+A99x
U+A9Ax
U+A9Bx ꦿ
U+A9Cx
U+A9Dx
Catatan
1.^Per Unicode versi 14.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong


Galeri

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ a b c AGFA Monotype: Javanese. Info aksara Jawa
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n Proposal pengkodean aksara Jawa dalam UCS
  3. ^ a b c d e f Soemarmo, Marmo. "Javanese Script." Ohio Working Papers in Linguistics and Language Teaching 14.Winter (1995): 69-103.
  4. ^ a b c Daniels, Peter T and William Bright. The World's Writing Systems. Ed. Peter T Daniels and William Bright. New York: Oxford University Press, 1996.
  5. ^ Campbell, George L. Compendium of the World's Languages. Vol. 1. New York: Routledge, 2000.
  6. ^ Gallop, Annabel T. Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation, 2012. (baca online disini)
  7. ^ a b c d Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusantara, 2003. (baca online disini)
  8. ^ Makalah dari KBJ I
  9. ^ Makalah dari KBJ III
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m Wihananto, R.S. Panduan Fonta Unicode Aksara Jawa (download PDF disini)
  11. ^ "Javanese Characters and Aji Saka". Joglosemar. Diakses tanggal 29 March 2012. 
  12. ^ Ida Bagus Adi Sudewa (14 May 2003). "The Balinese Alphabet, v0.6". Yayasan Bali Galang. Diakses tanggal 9 November 2013. 
  13. ^ Teguh Budi Sayoga (September 2004). "Hanacaraka". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  14. ^ Ki Demang Sokowanten (1 November 2009). "Adjisaka". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  15. ^ Jason Glavy (16 December 2006). "JG Aksara Jawa". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  16. ^ Pavkar Dukunov (Nov 25, 2011). "Carakan Anyar". Hanang Hundarko. Diakses tanggal 9 November 2013. 
  17. ^ R.S. Wihananto. "Tuladha Jejeg, Javanese Unicode font". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  18. ^ Matthew Arciniega's page
  19. ^ AGFA Monotype: Javanese. Glyph repertoire
  20. ^ Aditya Bayu Perdana (1 September 2013). "Aturra, font for Javanese". Diakses tanggal 9 November 2013. 
  21. ^ Pitulung: Aksara Jawa

Pranala luar