Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP12Mutia (bicara). Untuk sementara waktu (hingga ), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 11 April. Halaman ini terakhir disunting oleh BP12Mutia (Kontrib • Log) 3832 hari 312 menit lalu. |
Sejarah
Kelahiran institusi purbakala berkaitan dengan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.[1]. Sebelum institusi kepurbakalaan lahir, pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang bernama Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera.[1] Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang ditemukan di Jawa dan Madura.[1] Oleh pemerintah Hindia Belanda, Brandes diangkat sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L. Leydie Melville.[1] Pada tahun 1905, ia meninggal dunia dan jabatannya baru diisi pada tahun 1910 oleh Dr. N.J. Krom.[1] Pada awal menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, Krom menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat. Karena itu harus dibentuk suatu lembaga oleh pemerintah.[1] Atas perjuangannya, dengan surat keputusan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda No. 13 tanggal 14 Juni 1913 berdirilah Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie sebagai badan tetap yang bertugas dalam bidang kepurbakalaan.[1]Sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst yang pertama adalah Dr. N.J. Krom yang menduduki jabatan ini hingga tahun 1915 karena harus kembali ke Belanda. Dengan kembalinya Krom ke Belanda, diangkat Dr. F.D.K Bosch sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst pada tahun 1916. Bosch memimpin lembaga ini selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya banyak hal yang dilakukan untuk kemajuan kearkeologian di Hindia-Belanda ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian, arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi sehingga arkeologi Indonesia mulai berdiri tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan arkeologi di negara-negara lain.[1]
Masa Peralihan
Dalam perjalanan sejarahnya, Oudheidkundige Dienst mengalami pasang-surut tergantung dari pemerintah yang berkuasa, tetapi tugasnya tetap mengurusi barang-barang purbakala. Pada waktu pendudukan Jepang, Oudheidkundige Dienst namanya berubah dan lebih menjurus kepada mengurusi barang purbakala, yaitu Kantor Urusan Barang-barang Purbakala. Nama dan tugasnya berlangsung selama masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan (1942-1947). Pada tahun 1946 terjadi dualisme instansi, satu di bawah pemerintah Indonesia yang tetap memakai nama Kantor Urusan Barang-barang Purbakala, dan satu di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia. Di bawah Belanda namanya tetap Oudheidkundige Dienst dengan dikepalai oleh Ir. J.L. van Romondt. Karena tidak mempunyai arsip sebagai akibat peperangan, van Romondt membuka kantor cabang di Makassar. Setelah keadaan pergolakan agak mereda, pada tahun 1947 nasib kepurbakalaan Indonesia diurus oleh Oudheidkundige Dienst dengan pimpinannya Dr. A.J. Bernet Kempers. Masa tenang berlangsung hingga tahun 1950. Kemudian pada tahun ini namanya berubah lagi menjadi Bahagian Purbakala dari Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat. Kemudian pada tahun 1951 organisasi sudah lebih mantap, dan namanya kembali lagi menjadi Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Lembaga ini dipimpin oleh Kempers hingga tahun 1953. Setelah itu digantikan oleh tenaga Indonesia, yaitu Drs. R. Soekmono yang telah lulus dari Universitas Indonesia. Dinas Purbakala berada di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Nama instansi ini di bawah kepemimpinan Drs. Soekmono terus disandang hingga tahun 1958. Setelah itu kembali diubah menjadi Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional (DPPN) hingga tahun 1963/1964. Pada masa ini terdapat tiga buah kantor cabang, yaitu DPPN cabang Prambanan, DPPN cabang Gianyar, dan DPPN cabang Mojokerto.
Lembaga Penelitian
Masih di bawah kepemimpinan Soekmono, setelah tahun 1963/1964, DPPN kembali berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Nama ini terus disandang hingga tahun 1975. Di akhhir masa jabatan Drs. Soekmono, di bawah kepemimpinan Dra. Ny. Satyawati Suleiman terjadi re-strukturisasi organisasi yang mengakibatkan perubahan nama. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penelitian, LPPN fungsinya dipecah menjadi dua bagian, yaitu Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang menangani masalah-masalah administratif dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia dan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (Pus. P3N). Pada tahun 1975 dengan terbitnya Surat Keputuan Mendikbud No. 079/0/1975 mengenai pembentukan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional sebagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan penelitian arkeologi. Perubahan nama menjadi Pus. P3N tidak berlangsung lama. Pada tahun 1978, ketika dipimpin oleh Dr. R.P. Soejono nama lembaga berubah lagi menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Secara organisasi berada di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Identitas sebagai lembaga penelitian arkeologi menjadi lebih jelas. Pada saat itu dibuka dua Unit Pelaksana Teknis (UPT) (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium (Lab. Paleo-ekologi dan Radiometri di Bandung dan Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antropologi di Yogyakarta). Kerjasama dengan luar negeri yang telah dirintis oleh Dra. Ny. Satyawati Suleiman lebih diperluas lagi pada masa Dr. R.P. Soejono. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dipimpin oleh Kepala Pusat dalam jenjang eselon IIA. Sebagai pelaksana tugas dalam bidang penelitian arkeologi nasional, Puslit Arkenas, mempunyai kedudukan langsung di bawah Menteri, namun dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Puslit Arkenas mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dan membina penelitian dalam bidang arkeologi nasional, dan mempunyai fungsi: 1. Merumuskan kebijakan menteri dan kebijakan teknis dalam bidang penelitian arkeologi nasional; 2. Melaksanakan dan membina penelitian arkeologi nasional; 3. melaksanakan urusan tata usaha pusat. Sementara itu, Direktorat Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978 ketika dipimpin oleh Drs. Uka Tjandrasasmita, nama lembaga berubah menjadi Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Lembaga ini secara organisasi berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum tahun 1978 lembaga ini mempunyai UPT yang bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) di Prambanan (Jawa Tengah), Bogem (D.I. Yogyakarta), Trowulan (Jawa Timur), Gianyar (Bali), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Kemudian pada tahun 1989 ditambah lagi dengan UPT di Banda Aceh (Nangroe Aceh Darussalam), Batusangkar (Sumatra Barat), Jambi (Jambi), dan Banten (Banten). Sejak masa kepemimpinan Dra. Ny. Satyawati Suleiman dan dilanjutkan Dr. R.P. Soejono dilakukan kerjasama penelitian arkeologi, antara lain dengan Ecole franςaise d’Extrê-Orient (EFEO, Perancis), SEAMEO Project in Arcaheology and Fine Arts (SPAFA, Proyek kerjasama Mentri-mentri Pendidikan dan Kebudayaan Asia Tenggara di bidang arkeologi dan kesenian), Toyota Foundation, Japan Foundation, dan Ford Foundation. Melalui kerjasama ini bidang penelitian arkeologi maju pesat. Kerjasama masih terus berlanjut sampai dengan masa kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambary. Puslit Arkenas di bawah kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambari berkembang lebih luas lagi. Pada saat ini dibuka delapan UPT, yaitu Balai Arkeologi Palembang, Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Bandung (Lab, Palrad terpaksa dilikuidasi dan digabungkan dengan Balai), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antropologi dilepas dan dikembalikan ke Universitas Gajah Mada.
Masa Ambang Keruntuhan
Krisis moneter yang berkepanjangan yang mengakibatkan pergolakan politik, terjadi perubahan kekuasaan dan perubahan dalam organisasi pemerintahan. Pada tahun 2000 Puslit Arkenas yang semula berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kemudian berada dalam struktur di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namanya berubah menjadi Pusat Arkeologi. Sementara itu, Ditlinbinjarah yang juga berada di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, dan namanya berubah menjadi Direktorat Purbakala. Pada tahun 2001 terjadi lagi perubahan kekuasaan yang disusul dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Mentri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pusat Arkeologi juga berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi, dan Direktorat Purbakala berubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman. Kedua instansi tersebut berada dalam struktur Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. UPT dari Direktorat Purbakala dan Permuseuman yang semula bernama Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala kemudian berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Dimulai dengan kabar yang beredar pada bulan April-Mei 2003, mengabarkan bahwa akan terjadi penghapusan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata dan digabungkan kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Kabar menjadi kenyataan setelah turun Keputusan Presiden No. 29, 30, 31, dan 32 tertanggal 26 Mei 2003 yang isinya tentang pembubaran Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata dan dilebur pada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pada struktur yang baru ini nasib Pusat Penelitian Arkeologi berubah menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan saudaranya Direktorat Purbakala dan Permuseuman menjadi Asisten Deputi Urusan Purbakala dan Permuseuman berada di bawah Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala. Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala merupakan UPT dari Deputi Bidang Bidang Sejarah dan Purbakala. Kata “Urusan” mengingatkan kita pada Kantor Urusan Barang-barang Purbakala ketika Zaman Jepang (1942-1947). Hanya karena negara menjelang pailit, haruskah kita kembali seperti pada Zaman Jepang? Sebagai sebuah institusi penelitian, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Unit Pelaksana Teknisnya mempunyai tenaga peneliti yang cukup memadai sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini. Peneliti-peneliti tersebut, selain berlatar belakang pendidikan arkeologi, juga ada yang berlatar belakang pendidikan geologi, biologi, sejarah, dan antropologi. Seluruhnya tersebar dalam berbagai jenjang Jabatan Fungsional, mulai dari Asisten Peneliti, Ajun Peneliti, Peneliti, dan Ahli Peneliti.
Tugas
Tugas Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sebagai institusi adalah menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala yang berada dalam wilayah Hindia-Belanda, membuat rencana dan tindakan penyelamatan bangunan purbakala dari keruntuhan, pengukuran dan penggambaran peninggalan purbakala serta menelitinya lebih dalam.[1] Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dibawah naungan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata yang bertugas melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan arkeologi. Dalam melaksanakan tugas Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menyelenggarakan fungsi : Pelaksanaan urusan tata usaha; Penyusunan rencana dan program kegiatan, pengembangan sistem dan metoda, serta hubungan kerja sama penelitian dan pengembangn Arkeologi; Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dokumentasi dan publikasi data penelitian dan pengembangan Arkeologi; Pembinaan jabatan fungsional di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.[2].
Karakter Arkeolog
Pusat Penelitian Arkelogi Nasional menghimpun peneliti dengan berbagai karakter yaitu Para arkeolog dengan penggunaan istilah saya. Adapun tipe-tipe para arkeolog adalah :
1. Arkeolog Kaca Mata Kuda : Arkeolog yang seperti ini maksudnya ditujukan kepada mereka yang melihat arkeologi sebagai sebuah disiplin Ilmu murni, yang tidak wajib dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Penelitian yang dilakukan hanya mencari dan memililih situs penelitian yang kaya akan data arkeologi saja untuk didalami secara sistemastis dan ilmiah. Meskipun terkadang situs itu tidak begitu memiliki banyak potensi untuk dikaji dari sudut pandang ilmu lain. Keunggulan : Hasil penelitian sangat mendalam dan paling bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya dari sudut pandang Ilmu Arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Hasil penelitian paling sulit digunakan untuk kepentingan diluar ilmu arkeologi.
2. Arkeolog Kapal Selam : Arkeolog yang seperti ini adalah karakter peneliti yang bekerja tanpa mendapatkan publikasi luas terhadap segala kegiatan penelitiannya. Alasan kurang mandapat publikasi dapat bermacam-macam. Bisa saja karena dia memang tidak suka dipublikasikan atau justru dia malah kurang memahami dan tahu tentang arti penting suatu kegiatan publikasi. Keunggulan : Disebabkan banyak yang tidak tahu penelitian apa yang sedang dia kerjakan, maka dia tidak terlalu mendapatkan tekanan dari kepentingan luar sampai penelitiannya selesai. Maka kedalaman berita hasil penelitinya dapat sesuai dengan keinginannya (tapi belum tentu sangat mendalam seperti tipe / karakter arkeolog kaca mata kuda). Namun justru karena itu, suatu saat hasil penelitiannya masih bisa digunakan sebagai acuan data oleh kepentingan para peneliti lain termasuk dari non ilmu arkeologi. Kekurangan : Karya-karya hasil penelitiannya tidak banyak yang mengetahui apalagi memanfaatkan hasil penelitiannya. Kemungkinan besar tersimpan utuh di ruangannya sendiri atau di ruang arsip / perpustakaan instansi tempat dia bekerja. Kalaupun telah diterbitkan dalam bentuk buku, kemungkinan salah sasaran penyebar-luasan atau diperparah dengan penampilan fisik buku yang tidak menarik dari luar sehingga sangat sulit orang tertarik membaca buku tersebut. Umumnya tipe arkeolog seperti ini kurang terkenal meskipun pada akhirnya dia sampai memiliki gelar tertinggi dalam karier seorang peneliti (Profesor Riset / Ahli Peneliti Utama)
3. Arkeolog Pohon Rindang : Arkeolog yang seperti ini adalah arkeolog yang lebih menganggap kalau profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi bukan termasuk kategori tujuan utama hidupnya (ada faktor-faktor kebetulan dia dapat bekerja di instansi tersebut). Karena faktor kebetulan tersebut, maka instansi tersebut cenderung sekedar menjadi tempat berteduh saja. Peneliti itu kemungkinan besar tidak menseriusi pekerjaannya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi. Yang lebih ironis menganggap kalau profesinya sebagai PNS hanya sampingan pemenuhan kebutuhan hidup belaka ditengah-tengah masa kini yang semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan. Maka karakter seperti ini kemudian akan berusaha mencari / menemukan kepuasan bekerja dibidang lain. Tentunya sekalian motivasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari gaji PNS. Kelebihan : Dalam tiap kegiatan penelitian, lebih suka diatur, tidak perlu wajib memikirkan sepenuhnya kegiatan penelitian. Dia tidak terlalu berambisi mengejar karier penelitinya,karena kemungkinan besar dia telah memiliki kesibukan yang lebih dia pentingkan diluar instansi tempat dia bekerja. Maka cenderung dia terhindar bersitegang dengan sesama peneliti. Dapat bekerjasama dalam setiap penelitian sebagai seorang anggota tim (bukan ketua tim). Kekurangan : Paling tidak memiliki kontribusi untuk memajukan penelitian arkeologi. Apabila ada banyak peneliti yang memiliki tipe seperti ini, maka akan semakin cepat instansi penelitian arkeologi dibubarkan oleh pemerintah.
4. Arkeolog Selebritis : Kebalikan dari karakter / tipe arkeolog kapal selam, paling banyak mendapatkan publikasi luas dan dikenal publik. Idealnya terkenal karena profesinya tersebut. Keunggulan : Akibat sering muncul / diberitakan oleh media publik, sehingga sangat membantu dalam kegiatan mempublikasikan ilmu arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Dia sering dipublikasikan, mungkin karena dia pintar mengemas berita penelitiannya sehingga menarik untuk dikonsumsi publik. Namun yang ditakutkan apabila lebih mengutamakan performence dari pada kedalaman dan tingkat kebenaran hasil penelitiannya tersebut. Bahkan mungkin segala publikasi tentang penelitiannya (sehingga membuat dia menjadi terkenal) sangat jauh dari kebenaran sesungguhnya. Atau ironisnya, dia menjadi terkenal karena sesuatu publikasi yang tanpa disengaja turut mempublikasikan profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi.
5. Arkeolog Multi Talent : Arkeolog yang seperti ini menurut saya adalah tipe / karakter arkeolog idaman. Dia mampu tampil dan menguasai pekerjaan tidak hanya di dalam kepakaran penelitian arkeologi saja. Namun dapat tampil menguasai kepakaran ilmu selain arkeologi yang lain, tentunya dapat dikaitkan dengan ilmu arkeologi tersebut. Sebagai contoh : para peneliti yang memiliki gelar S-1 arkeologi kemudian melanjutkan studi mengambil gelar S-2 di jurusan non arkeologi. Atau sebaliknya bagi peneliti yang memiliki gelar S-1 non arkeologi kemudian mengambil gelar S-2 Arkeologi. Harapannya ketika dia berbicara dalam kapasitas sebagai peneliti yang bekerja di instansi penelitian Arkeologi, dia juga mahir menguasai kepakaran di bidang lain yang memperkaya berita penelitian arkeologi tersebut. Menurut saya, sangat ideal diharapkan apabila di setiap instansi penelitian arkeologi, semua penelitinya memiliki kriteria tipe seperti ini. Maka akan terjadi kerjasama yang saling mengisi dengan aneka macam kepakaran masing-masing, bukan menjadi persaingan akibat berada di bidang kepakaran yang sama.[1]
Garis Besar Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i j Bambang Budi Utomo,Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional. "Sejarah Berdiri". Jakarta. Diakses tanggal 10 Mei 2014. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "website" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. "Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Tugas Pokok dan Fungsi". Jakarta. Diakses tanggal 10 Mei 2014.