Abdul Karim Al-Jili
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP47Dhorifah (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 27 Juni 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 15 Mei 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP47Dhorifah (Kontrib • Log) 3818 hari 332 menit lalu. |
Abdul Karim Al-Jili bernama lengkap Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili.[1] Ia lahir di Baghdad pada awal Muharam 782 H (sekitar 1355/1356 M) dan meninggal dunia di Zabid, Yaman utara.[1] Namun, ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 826 H (1421/1422 M).[1] Al Jili masih memiliki pertalian darah dengan Syaikh Abdul qadir Al Jilani.[1] Penisbatan sebutan Jili atau Jilani pada namanya mengandung dua konotasi.[1] Pertama, karena ia masih mempunyai hubungan darah dengan suku Arab (suku Rabi'ah), yang bertempat tinggal di Jilan (Kilan), sebuah provinsi dalam wilayah Persia yang terletak di sebelah selatan Laut Kaspia.[1][2] Kedua, karena dia dilahirkan di distrik Jil yang berada di wilayah kota Baghdad.[1]
Konsep Ajaran
Al Jili sangat populer dengan ajaran dan konsep tasawufnya tentang al Insan al Kamil (Manusia Paripurna). Menurutnya, Insan Kamil ialah manusia ideal yang paripurna, yang menampilkan citra Tuhan secara utuh.[1] Konsep ini berakar dari pandangan bahwa pada mulanya Tuhan Tuhan berada dalam kesendirian (mujarrad-Nya.[1] Menurut Al Jili, ini disebabkan karena Dia ingin menyaksikan citra diri-Nya, dari sinilah Tuhan menciptakan alam semesta ini.[1] Konsep ini berkembang di kalangan golongan Syiah.[1] Bagi mereka, yang dapat mencapai derajat Insan Kamil adalah hanya Imam Ma'shum atau imam yang terjaga dari dosa, yakni kalangan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra.[1]