D&R (majalah)
Kategori | politik |
---|---|
Frekuensi | mingguan |
Sirkulasi | +/- 10 ribu |
Penerbit | PT Temprint |
Terbitan pertama | 1968 (Terbit kembali 1996) |
Perusahaan | PT Analisa Kita |
Negara | Indonesia |
Bahasa | Bahasa Indonesia |
ISSN | No.059/SK/MENPEN/SIUPP/C.2/1986 SIUPP No.059/SK/MENPEN/SIUPP/C.2/1986 |
D&R adalah salah satu majalah politik ternama di Indonesia. Awal berdiri majalah yang dimiliki oleh PT Analisa Kita ini dikenal sebagai Majalah Detektif & Romantika yang menampilkan berita kriminal dan misteri. Pasca pembredelan Majalah TEMPO oleh pemerintah Orde Baru tahun 1994, PT Grafiti Pers yang sebelumnya menerbitkan TEMPO membeli PT Analisa Kita dan mengambil alih majalah tersebut dan menerbitkannya dalam format baru. Maka nama Detektif & Romantika diubah menjadi D&R dan melakukan perubahan total pada konten berita, yang semula kriminal dan misteri menjadi berita politik. Sama dengan TEMPO, majalah D&R menitikberatkan liputan investigasi pada setiap penerbitannya.
Sejarah: Awal Berdiri
Setelah Majalah TEMPO dibredel oleh pemerintahan Suharto, melalui Menteri Penerangan Harmoko, awak redaksi TEMPO terpecah dan bekerja dibeberapa media. Sebagian besar bekerja dengan Media Indonesia menerbitkan koran Media Indonesia Minggu (MIM). Beberapa bergabung dengan Gatra. Sisanya masih mencari tempat yang pas untuk menuangkan idealisme jurnalistiknya. Disaat yang sama, PT Grafiti Pers sebagai penerbit Majalah Tempo berencana menerbitkan majalah baru. Alasan utamanya adalah untuk ‘menampung’ dokumentasi dan buku-buku diperpustakan TEMPO yang saat itu bisa dikatakan terbesar kedua setelah perpustakaan KOMPAS.[1]
Pada tahun 1996, PT Grafiti Pers membeli perusahaan PT Analisa Kita; dimana salah satu produknya adalah majalah Detektif & Romantika. Saat majalah ini diambil alih statusnya sudah vakum atau tidak lagi terbit selama bertahun tahun, tanpa awak redaksi namun tercatat masih memiliki pemimpin redaksi yang non aktif yakni Gusti Imran.
Pertengahan tahun 1996, edisi percobaan terbit. Namun kini namanya tidak lagi Detektif & Romantika namun menjadi Majalah D&R. Semula awak redaksi akan ditempatkan dikantor TEMPO dijalan Proklamasi 72 Jakarta. Namun dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan dipihak Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Departemen Penerangan tentang keterkaitan D&R dan TEMPO. Akhirnya diputuskan menyewa ruangan disalah satu gedung dijalan Salemba, Jakarta. Tepat didepan kampus Universitas Indonesia.
1996-1998
Saat akan meluncurkan edisi perdana, situasi politik ibukota yang memanas pecah pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. Kantor [[redaksi] Majalah D&R di Salemba luluh terbakar dan menghanguskan sebagian dokumentasi foto dan berkas. Manajemen PT Grafiti Pers memutuskan majalah tetap berjalan. Kantor redaksi kemudian pindah ke Cikini II no 10. Edisi perdana Majalah D&R tidak lama pun terbitlah dengan mengangkat peristiwa 27 Juli 1996 sebagai berita utama dan foto Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi covernya.
Edisi percobaan dan edisi pertama mendapat sambutan positif dari kalangan mahasiswa maupun LSM yang saat itu mulai bergerak melawan pemerintah Orde Baru. Majalah D&R dianggap sebagai simbol perlawanan dan sebagai bacaan alternatif karena saingannya, GATRA dinilai terlalu pro pemerintah.[2]
Sukses dikalangan muda, tapi Majalah D&R mengalami kesulitan untuk menggarap iklan. Sebagian besar perusahaan pada saat itu merasa khawatir jika memasang iklan akan dianggap terafiliasi dan se-aliran dengan Majalah D&R dalam melawan pemerintah. Tidak hanya itu, dijajaran redaksi juga mengalamai masalah yang sama, saat harus mewawancarai narasumber dilapangan. Rata-rata narasumber (pejabat, pelaku bisnis dan aparat) merasa takut untuk berbicara di D&R karena akan diasosiasikan sebagai memiliki satu idealisme. Itu sebabnya, narasumber narasumber D&R sebelum reformasi (tepatnya sebelum 1999) adalah orang orang yang memang berseberangan dengan pemerintah saat itu dan yang berani melakukan perlawanan. Sebut saja Ali Sadikin, Jendral Darsono, Adnan Buyung Nasution, Romo Sandyawan dan lain lain. Mereka inilah yang menjadi critical mass bagi perjalanan Majalah D&R diawal penerbitan dan sepanjang dua-tiga tahun berikutnya.
Dengan berbagai kesulitan iklan dan operasional peliputan saat itu, Majalah D&R konsisten terbit setidaknya 10 ribu eksemplar setiap edisi.
Diprotes Oleh Pemerintah ORBA
Tahun 1997, Majalah D&R nyaris ditutup oleh pemerintah akibat sampul (cover) disalah satu penerbitannya.
Peristiwa ini berawal dari hasil Pemilihan Umum legistlatif yang (lagi lagi) memenangkan Golkar. Pemilihan presiden yang saat itu dilakukan oleh MPR pun sudah diprediksi akan memilih dan mengangkat kembali Suharto sebagai presiden. Isu ini diputuskan akan diangkat oleh D&R sebagai berita utama. Tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan cerita: ‘lagi lagi Suharto’ ini kedalam bahasa visual cover. Setelah melakukan diskusi panjang lebar dengan bagian desain diputuskan redaksi akan memakai “kartu” sebagai visualnya.
Walau diawal terbit tidak ada protes, tapi beberapa hari sesudahnya sampul ini dipermasalahkan oleh Menteri Penerangan Hartono yang kemudian membawa majalah tersebut ke (mantan) Presiden Suharto. Tak lama sesudahnya, pihak Kejaksaan Agung (waktu itu dikepalai oleh Jaksa Agung Singgih) pun menelpon redaksi Majalah D&R dan meminta pemimpin redaksinya datang untuk diperiksa oleh Kejagung.
Saat peristiwa ini terjadi, telah terjadi pergantian dimana Margiono menjadi pimred secara ''de facto''/formal (tapi non aktif) dan Bambang Bujono yang menjadi pimred aktif dalam kegiatan redaksional sehari hari. Keduanya pun memenuhi panggilan dari Kejagung. Dari Kejaksaan Agung, berkas kasus ini sempat diserahkan ke Mabes Polri karena kejagung tidak menemukan ada bukti bukti unsur politis (subversi) dibalik pemilihan cover tersebut.
Hingga terjadi pergantian pemerintahan dari Suharto menuju BJ Habibie, kasus ini tidak juga tertuntaskan dan akhirnya dianggap kadaluarsa. Namun, selama beberapa bulan sempat mengundang pro dan kontra baik dikalangan media maupun aparat penegak hukum sendiri.
Diprotes Gubernur Sulawesi Selatan
Tahun 1998 Pemimpin Redaksi Majalah D&R, Margiono serta Pelaksana Harian D&R Bambang Bujono juga sempat diperiksa karena adanya laporan dari Gubernur Sulawesi Selatan, Mayjen TNI Palaguna. Pejabat daerah tersebut merasa telah dicemarkan nama baiknya oleh tulisan di Majalah D&R, perihal dugaan korupsi miliaran rupiah yang dilakukan oleh Sang Gubernur.
Dalam tulisannya, Majalah D&R menuding bahwa Gubernur Palaguna merogoh kocek sebesar Rp 13 miliar untuk biaya perkawinan ketiga anaknya.Ia diduga meminta sumbagan dari sejumlah bupati dan walikotamadya yang juga korup. D&R juga menulis, Palaguna juga memungut komisi dari para bupati dan walikotamadya untuk proyek-proyek pembangunan daerah. Ia juga diberitakan mengambil keuntungan dari pembelian mobil Pajero sebagai kendaraan dinas para bupati di Sulsel.
Atas laporan Palaguna, Pemred Margiono dan Pelaksana Harian Bambang Bujono menghadapi ancaman hukuman paling lama satu tahun penjara. Polisi menjaring kedua wartawan itu dengan Pasal 310 KUHP.[3]
Paska Reformasi
Sesudah reformasi, dibawah kepemimpinan BJ Habibie, perubahan terjadi dibanyak lini urusan kebebasan pers[4]. Direksi PT Grafiti Pers bersepakat untuk kembali menerbitkan Majalah TEMPO. Semula seluruh awak redaksi D&R akan direkrut oleh TEMPO tapi karena adanya keinginan untuk D&R tetap berdiri maka kedua majalah ini terbit secara terpisah. Itu artinya Majalah D&R harus mencari pemilik baru untuk menggantikan keberadaan PT Grafiti Pers yang hanya akan menerbitkan TEMPO.
Posisi PT Grafiti Pers selanjutnya digantikan oleh The Jakarta Post group per 1 Oktober 1998.
Pergantian kepemilikan yang terburu-buru, tanpa dibarengi staregi bisnis yang matang dan mapan membuat Majalah D&R kesulitan secara keuangan. Masalahnya masih tetap pada urusan iklan. Cap sebagai majalah anti pemerintah tetap membuat sungkan perusahaan untuk bekerjasama.
Tahun 1999, Majalah D&R juga mengalami gugatan dari tokoh Pemuda Pancasila yaitu Yorris Rawerai. Yorris berencana akan mengadukan Majalah D&R ke Polda Metro Jaya atas pemuatan wajahnya pada sampul D&R dengan judul "AWAS PROVOKATOR". Gambar sampul dan tulisan tersebut seakan akan menuduh Yorris sebagai provokator. Edisi 31 January 1999 tersebut sebenarnya menanggakat isu utama tentang kerusuhan di Ambon.[5] Tidak jelas bagaimana kelanjutan dari kemarahan Yorris terhadap Majalah D&R. Kasus ini redup dan hilang dengan sendirinya.
Edisi terakhir Majalah D&R terbit dibulan Februari 2000. Dan sejak itu vakum terbit hingga saat ini.
Referensi
- ^ Wawancara Pemimpin Redaksi Majalah D&R Bambang Bujono pada 29 September 2014
- ^ Mosco, Vincent (2009). Politic Economic of Communication, 2nd edition
- ^ http://www.minihub.org/siarlist/msg00815.html
- ^ https://www.academia.edu/4802382/Dinamika_Pers_Indonesia_di_Era_Reformasi
- ^ http://www.minihub.org/siarlist/msg01892.html