Gereja Trinitas, Cengkareng
Gereja Trinitas, Cengkareng | |
---|---|
Berkas:50334 129733095947 8222 n.jpg | |
Koordinat: 6°8′49.33216″S 106°43′30.20812″E / 6.1470367111°S 106.7250578111°E | |
Lokasi | Jl. Pulo Bira Besar Kompleks TNI AL Kodamar Cengkareng |
Jumlah anggota/umat | 20430 ( 2011 ) |
Situs web | http://trinitas.or.id |
Administrasi | |
Keuskupan | Keuskupan Agung Jakarta |
Klerus | |
Jumlah Imam | 5 |
Imam yang bertugas | Pastor Peter Kurniawan Subagyo OMI |
Parokial | |
Stasi | 3 |
Jumlah lingkungan | 147 |
Gereja Trinitas adalah gereja katolik yang terletak di Jakarta Barat, Indonesia. Gereja Trinitas menaungi umat katolik yang tinggal dalam wilayah paroki Cengkareng. Gereja ini terdiri dari 31 wilayah , 147 lingkungan, 6145 KK.
Pastor Paroki
Kongregasi Amalkasih Darah Mulia (ADM) dan Jesus Maria Joseph (JMJ). Imam OMI yang kini sedang berkarya di Paroki Cengkareng hanya 4 orang saja. Marilah kita mengenal lebih dekat satu per satu dari mereka:
Romo Peter Kurniawan Subagyo, OMI
Lahir di Melbourne, 16 Agustus 1953, Romo Peter – begitu Beliau biasa disapa – menghabiskan masa kecil dan mudanya di Melbourne. Beliau masuk seminari di tahun 1972 dan ditahbiskan sebagai imam di Gereja St. Michael, North Melbourne, 24 November 1978. Selepas menerima tahbisan imamat, Romo yang murah senyum, jenaka, dan ramah ini berkarya di Paroki Sefton, Sydney, Australia selama 5 tahun. Cita-citanya menjadi Misionaris OMI tercapai saat Beliau diutus ke Indonesia di tahun 1983. Tugas pertama yang diemban Beliau adalah sebagai Asisten di Seminari Tinggi OMI, Condongcatur, Yogyakarta. Di tahun 1985, Romo Peter diutus berkarya di Paroki Cengkareng, sebagai Pastor Kepala Paroki, menggantikan Romo Petrus McLaughlin, OMI. Selama 5 tahun Romo Peter menggembalakan umat muda Cengkareng yang kala itu sedang mengusahakan berdirinya gedung gereja impian mereka. Dalam masa itulah gedung gereja berhasil dibangun dan diresmikan pada 21 Februari 1990 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Bapak Wiyogo Atmodarminto dan diberkati oleh Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ. Mengakhiri masa karyanya di Cengkareng, di bulan Agustus 1990 Romo Peter ditugaskan kembali ke Yogyakarta sebagai Rektor Seminari Tinggi OMI hingga tahun 1996 saat Beliau dikirim kembali ke Jakarta untuk berkarya di Paroki Kalvari, Lubang Buaya. Selama masa karyanya di luar Cengkareng, Romo Peter masih cukup sering terlihat mampir di Cengkareng pada acara-acara khusus yang diadakan oleh Paroki. Pada September 2007, oleh Provinsial OMI Indonesia, Romo Peter ditugaskan kembali ke Cengkareng. “Wah... saya rasanya senang sekali. Saya punya banyak teman lama di sini, meski tidak berkarya di sini, saya masih terus mengikuti perkembangan Paroki Cengkareng. Saya senang karena begitu banyak saudara-saudari yang saya kenal dahulu hingga kini masih terlihat di gereja. Jadi saya datang ke tempat yang tidak begitu asing buat saya,” ujar Romo Peter yang sangat memperhatikan perkembangan iman kaum muda dan yang membawa masuk kegiatan pembinaan iman kaum muda, Antiokhia, ke Cengkareng ini.
Menurut Romo Peter, Paroki Cengkareng punya potensi yang besar sekali, “Saya melihat ada begitu banyak potensi dalam diri umat Cengkareng. Kita harus bersama-sama menggalinya. Di Paroki ini juga banyak terdapat keluarga muda. Melihat perkembangan zaman dengan segala masalahnya, juga dengan terjadinya krisis ekonomi global sekarang ini, saya pikir banyak keluarga di Paroki ini yang kena imbasnya. Mari bersama-sama kita bantu mereka yang berkesusahan. Saling menguatkan dalam menghadapi masa depan. Semangat menggereja umat yang luar biasa di Cengkareng ini dapat menjadi bekal untuk saling membantu sesama umat dalam menghadapi masalah. Tidak perlu menunggu Romo, umat pun dapat saling menguatkan dan memberi nasihat. Mungkin sekali tanpa sadar umat sudah melakukan hal demikian,” kata Romo Peter yang punya hobi berolahraga tenis lapangan ini.
Dengan motto tahbisan “All you priests praise the Lord” – Pujilah Tuhan, hai para imam Tuhan (Daniel 3:84), Romo Peter yang terus ingin menjadi seorang imam misioner yang melayani umat ini berharap: “Kita semua harus menjadi Paroki yang menghadapi masa depan. Memang ada beberapa peristiwa yang tidak bagus yang harus kita hadapi, tapi dengan potensi dan kemampuan luar biasa yang ada pada umat, kita bisa terus maju. Banyak tantangan ke depannya, kita harus dapat melupakan kekurangan masa lampau untuk bergerak maju ke depan supaya Paroki kita bisa menjadi Paroki besar di lingkup Keuskupan Agung Jakarta. Jangan kita nanti malah menjadi Paroki dengan persoalan-persoalan besar, tapi jadilah Paroki yang bisa menunjukkan kekuatan dan potensi yang ada di Gereja kita ini.”
Romo Gregorius Basir Karimanto, OMI
Lahir di Promasan, 21 Mei 1956 dan ditahbiskan di Cilacap, 27 Februari 1987 sebagai putera Indonesia pertama yang menjadi Imam Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI). Sebagai karya pertamanya, Romo Basir diutus berkarya di Paroki St. Stefanus, Cilacap (1987-1992). Beliau kemudian dikirim belajar di Saidi Centre, Filipina selama setahun (1992-1993) dan kemudian menjadi Magister Novis selama 6 tahun di Yogyakarta (1996-2000). Di pertengahan September 2000, Romo Basir mulai berkarya di Paroki Trinitas, Cengkareng, sebagai Romo Rekan hingga Agustus 2002 saat Beliau dipercaya menjadi Kepala Paroki Trinitas, Cengkareng (2002-2007). Romo Basir kemudian melanjutkan karya pelayanannya di Paroki St. Petrus dan Paulus, Dahor, Balikpapan mulai awal tahun 2007 hingga tahun 2009. Dalam Masa Sabatikal yang dijalaninya di tahun 2010, Romo Basir mengikuti kursus di Yerusalem dan Louven, Belgia. Sebelum kembali diutus untuk berkarya di Paroki Trinitas, Cengkareng mulai awal tahun 2012, Romo Basir sempat pula berkarya di Paroki St. Stephanus, Malinau, Kalimantan Timur, selama 1 tahun (2011-2012).
Romo Basir mengakui bahwa kembali berkarya di Paroki Trinitas, Cengkareng adalah seperti masuk ke tempat yang baru meski baru 5 tahun meninggalkan Cengkareng. "Banyak sekali perubahan, terutama cara-cara karya Paroki. Saya harus menyesuaikan lagi, harus banyak belajar lagi." Romo Basir berharap Beliau dapat bekerjasama dalam mengembangkan Paroki Trinitas. "Saya akan berharap sekuat tenaga untuk terus melayani umat. Banyak yang belum dikerjakan selama saya berkarya di Trinitas waktu lalu, banyak juga karya-karya yang diperlukan dalam kondisi umat yang semakin berkembang."
Romo Tarsisius Riswanta, OMI
Romo Tarci megnenal Paroki Trinitas, Cengkareng, sejak tahun 1978 saat masih sebagai Frater. Pada tahun 1989, Romo Tarci berkesempatan untuk berkarya di Trinitas selama 7 bulan. Pada saat itu memang belum ada gedung gereja. Pada tahun 1999, Beliau menjalani Masa Diakonat di Cengkareng. Meski kemudian berkarya lama di Paroki Purwokerto, Romo Tarci tidak "putus hubungan" dengan Trinitas, karena sering datang ke Cengkareng membantu karya pastoral para Oblat seperti pada saat menjelang Natal dan Paskah.
Lahir pada 30 Juli 1967, Romo Tarci menerima Tahbisan Imamat pada 06 Juli 1998. Pada tahun 1995, Romo Tarci sempat mengikuti Studi Spiritualitas di Roma, Italia, selama 1 tahun. Karya pertama Romo Tarci setelah menerima Tahbisan Imamatnya adalah di Stasi Sidareja, Paroki Cilacap (1998-2000). Kemudian Beliau menjadi Pastor Paroki Sta. Maria Imakulata, Tarakan, Kalimantan Timur sejak tahun 2000-2004. Pada tahun 2004, Romo Tarci menjadi Bendahara OMI Provinsi Indonesia dan berdomisili di Semarang. Tahun 2008, Beliau diutus untuk berkarya di Paroki Sta. Maria Imakulata, Banyumas, Purwokerto sambil juga menjabat sebagai Bendahara OMI Provinsi Indonesia. Di bulan Februari 2012, Romo Tarci bergabung bersama para Oblat yang ada di Cengkareng untuk memulai karya imamat selanjutnya. Dalam pandangan Romo Tarci, Paroki Trinitas, Cengkareng, bertumbuh dengan cepat. Pertumbuhan kuantitas umat yang pesat dan sangat luar biasa kiranya juga diikuti oleh pertumbuhan kualitas umat yang baik. "Cengkareng memang termasuk Paroki yang besar, umat pun sudah cukup mandiri dalam berkegiatan di Gereja. Ini terbukti dari umat yang dapat menjalankan karya-karya Gereja tanpa harus disuruh-suruh oleh Romonya, begitu juga ada tanggungjawab jelas dalam bidang masing-masing. Saya kagum akan hal ini. Saya memang lama berkarya di Paroki kecil dengan umat yang tidak banyak jumlahnya sehingga sulit untuk saya mencari sumber daya. Hal ini tidak saya temukan di Trinitas. Sumber daya - umat - yang siap melayani begitu melimpah. Saya merasa dapat lebih leluasa berkarya di Trinitas. Gereja adalah milik kita bersama, maka mari kita bekerjasama mengembangkan Trinitas supaya semakin mandiri."
Romo F.X. Rudi Rahkito Jati, OMI
( Romo baru )
Romo Petrus J. McLaughlin, OMI
Pernah bertugas di Paroki Trinitas, Cengkareng pada Agustus 1978 hingga Mei 1984, Romo Petrus - begitu Beliau biasa disapa - kemudian dipercaya untuk menjadi Rektor Seminari Tinggi OMI dan kemudian terpilih sebagai Provinsial OMI Provinsi Indonesia yang ke-2. Di masa karyanya di Cengkareng, Romo Petrus dikenal sebagai Romo yang halus tutur katanya yang dijuluki "Romo Peternak Ayam" karena Beliau mengusahakan peternakan ayam potong sebagai salah satu cara pengumpulan dana penunjang kegiatan Gereja. Romo Petrus juga pernah berkarya lama di Keuskupan Agung Jakarta sebagai Romo Kategorial Wartawan dan Artis, serta yang terakhir sebagai Romo Kategorial Dokter-Dokter se-KAJ.
Sejarah
1. Umat dalam Diaspora (Pengasingan)
Di awal tahun 1971, Mgr. Leo Soekoto, SJ, Uskup Agung Jakarta, menyerahkan Stasi Cengkareng dan Stasi Kapuk kepada Paroki Tangerang. Saat itu, Paroki Tangerang memang mempunyai banyak Stasi mengingat rentang wilayah pelayanannya yang meliputi Ciledug - Tigaraksa, Serpong - Tanjung Pasir/ Tanjung Kait. Sebelum Romo Anton Mulder, SJ yang mengepalai Paroki Tangerang diserahi tugas tersebut, kegiatan penggembalaan umat di areal kedua Stasi itu masih dilaksanakan oleh Romo H. Kemper, MSC, dari Paroki Grogol untuk Stasi Cengkareng dan Romo S. Sutopanitro, PR untuk Stasi Kapuk. Dengan surat No. 352/B.Tjk/1972 dan No. 353/ B.Tjk/1972 bertanggal 10 Juli 1972, Mgr. Leo Soekoto, SJ menugasi Bapak R.Y. Prabowo (yang saat itu masih bertugas sebagai seorang perwira TNI-AD dan membantu di Sekretariat Paroki Tangerang) dan Bapak V.A. Adiwahyanto (yang saat itu menjadi guru di SD Aloysius, Tangerang) untuk mengunjungi dan mendata umat di Stasi Cengkareng dan Kapuk guna mendapatkan data yang lebih rinci akan keberadaan mereka disamping juga untuk mengetahui jumlah umat di daerah ini serta kebutuhan akan sarana tempat beribadat.
Hampir setiap petang/malam hari atau hari Minggu, kedua utusan ini dengan antusias menjelajahi wilayah Cengkareng. Saat itu, jalan-jalan di Cengkareng masih belum beraspal kecuali Jalan Utama Raya yang penuh lubang. Jalan Sumur Bor dan Jalan Kamal beraspal hanya hingga depan Puskesmas. Jalan Cendrawasih belum berbentuk, masih merupakan tanah berumput. Cengkareng masih dibelah rawa dari barat ke timur. Tanah gereja yang sekarang ini termasuk pinggiran rawa bagian selatan.
Kedua sukarelawan mengunjungi alamat demi alamat ‘always by feet’ (selalu dengan berjalan kaki) dan mereka sering singgah di rumah Bapak Robertus A. Tjuk, yang dikenal baik oleh Romo Anton Mulder, SJ, untuk menanyakan daerah atau wilayah tertentu. Maka, jadilah rumah Pak Tjuk itu sebagai pusat semua kegiatan pendataan umat. Romo Anton sendiri yang menjelaskan kepada Bapak Tjuk tugas yang diemban oleh kedua utusan Gereja ini dan meminta kesediaan keluarga Bapak Tjuk untuk membantu karya pastoral ini.
Dalam pencarian umat per umat, kedua relawan ini sering menjumpai pengalaman unik, misalnya pada suatu sore dalam kelelahan mengayuh kaki, kedua utusan Gereja ini duduk di pembatas serambi rumah di Jalan Kincir Raya. Mereka menanti kedua pemilik rumah yang dipastikan sebagai Katolik. Tiba-tiba mereka didatangi Ketua RW dan beberapa orang lainnya. Mereka dituduh hendak berbuat jahat, diusir, bahkan diancam. Seorang dari mereka langsung pergi dengan perasaan tersinggung, sedang yang lainnya masih duduk dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Mendengar bentakan-bentakan be- Romo H. Kemper, MSC 14 Buku Kenangan 25 th Gereja Katolik Trinitas Perjalanan Sejarah ngis dan kasar, akhirnya keduanya pergi. Kelak diketahui, kedua pemilik rumah itu memang umat Katolik, yang seorang kini telah tiada, sedangkan yang seorang lagi sampai sekarang masih aktif berkarya di Cengkareng.
Begitulah, pendataan terus dijalani oleh kedua sukarelawan ini hingga akhir Oktober 1972, saat pendataan umat dianggap selesai dan hasilnya dilaporkan ke Keuskupan Agung Jakarta lewat Romo Anton Mulder, SJ.
Masa-masa itu memang umat Cengkareng benar- benar hidup dalam diaspora (terasingkan), bahkan mungkin sendirian. Umat bujangan tinggal di tengah anggota keluarga, kontrakan, pemondokan, atau asrama non-Katolik. Keluarga keluarga Katolik memang belum membentuk komunitas basis di tengah masyarakat yang seluruhnya non-Katolik. Memang, dalam suasana diaspora seolah tidak ada komunitas. Pertemuan 2-3 umat dalam jarak yang berjauhan akan dialami, dirasakan, dinikmati sebagai kesempatan, karunia, dan rahmat yang tak ternilai. Relasi iman akan erat terjalin, pertemuan sering diadakan sebagai salah satu wujud saling merindukan, saling menguatkan, saling peduli, saling mengasihi.
2. Kehidupan Beriman Umat Stasi Cengkareng dan Kapuk di Bawah Paroki Tangerang
a. Perayaan Ekaristi Bulanan
Sejak tahun 1868, umat di Kapuk (Cengkareng Utara) setiap bulan mengadakan sekali Perayaan Ekaristi yang dipimpim oleh Romo Letkol (Tit) S. Sutopanitro, PR di Sekolah Taniwan. Sejak Tahun 1969, Cengkareng Selatan menjadi Stasi Paroki St. Kristoforus, Grogol, yang waktu itu digembalakan oleh Romo H. Kemper, MSC. Di Cengkareng Selatan ini juga diadakan kegiatan Perayaan Ekaristi sebulan sekali di rumah Bapak Thomas Soenarya Winata, Jl. Beringin Raya, atau di rumah Bapak R. Sukamto, di Kompleks Imigrasi. Sejak tahun 1972, umat yang tinggal di Kompleks Kodam Jaya dan sekitarnya pun telah merayakan Ekaristi sekali dalam sebulan yang dipimpin oleh Romo Sutopanitro, PR, dan sejak akhir 1973, umat di Kompleks ini dapat merayakan Misa dua kali dalam sebulan. Sejak dibukanya Kompleks Permata (Cengkareng Timur) di tahun 1973, tercatat ada 15 keluarga Katolik yang dipimpin oleh Bapak Thomas Martubongs. di Kompleks ini umat juga berhimpun untuk beribadat. Walau hanya sedikit umat yang menghadiri Perayaan Ekaristi, namun benih-benih persekutuan telah lahir di komunitas-komunitas kecil ini. Inilah unsur cikal bakal Paroki Cengkareng.
b. Misa Arwah yang Bersejarah
Tiga peristiwa duka yang terjadi di Cengkareng dalam tahun 1973 dan 1974 mempunyai arti penting dalam kelahiran komunitas Cenkareng.
Pertama: Awal Mei 1973, MisaArwah yang diadakan di rumah Alm. Bapak E. Purnomo yang tinggal di Bedeng Timur. Umat sekitarnya berkumpul, tetapi saat Romo akan pulang sekitar pkl. 21.30, ditemukan semua ban mobil jeepnya tak berudara sama sekali. Untung ada umat yang memiliki pompa tangan. Di Daan Mogot, mobil yang sama hampir terbalik digasak truk besar panjang bermuatan besi.
Kedua: Agustus 1973. Misa Arwah 40 hari untuk putera Bapak Pieter H. Wiratmo yang tinggal di Jl. Utama Raya 38. Umat Cengkareng Selatan berkumpul dalam Misa ini dan bersepakat merayakan Ekaristi bersama di rumah ini.
Ketiga: Sekitar Juli 1974. Umat Cengkareng Indah (Lingkungan Ignatius yang sekarang) dipertemukan kala pegawal sipil TNI-AL yang menikah campur meninggal dunia.
Peristiwa-peristiwa duka itulah yang menancapkan tonggak sejarah Paroki Cengkareng, karena dalam peristiwa itu terjadi pertemuan dan kesempatan untuk saling kenal antar umat di bakal Stasi Cengkareng.
Sejak Misa Arwah di rumah Bapak P.H. Wiratmo (peristiwa duka ke-2), umat Cengkareng Selatan dapat merayakan Misa 2 kali sebulan di rumah itu, Jl. Utama Raya 38. Semangat kekeluargaan komunitas bakal stasi ini semakin terwujud. Kemudian, umat Cengkareng Selatan sesekali merrayakan Misa bersama di Kapel Kodam Jaya.
c. Berdirinya Sekolah-Sekolah Katolik
Pada tanggal 10 Oktober 1973, para tokoh Stasi Cengkareng membentuk Panitia Pembangunan Sekolah Strada yang disebut Panitia Sebelas. Berkat usaha mereka, sebidang tanah milik KAJ seluas 4.610m2 diperluas menjadi 7.000 m2 dan dipagari serta dijaga. Permohonan mendirikan gedung sekolah mendapat sambutan positif dari Pemda DKI, maka setahun kemudian, SD Strada dan SLTP Strada telah dibangun. Berfungsinya Sekolah Strada sejak September 1974 membuat umat daerah Pesing-Warung Gantung (batas DKI-Tangerang) dan Rawa Buaya/Kosambi-Kamal terhimpun dan saling bertemu secara informal setiap hari. Perluasan kerjasama antar-umat pun meningkat jenis dan ragamnya. Upaya untuk saling membantu berkembang dalam relasi/koneksi, pendidikan, perumahan, pekerjaan, dan bantuan karitatif. Kegiatan ini ternyata juga melebar ke masyarakat sekitar yang ditandai dengan santunan dan keringanan biaya sekolah bagi para klien Proyek Bina Kasih FHP (Familiar Helper Project) yang diketuai oleh Ibu C. Sumarsih. Sekitar tahun 1975, Bapa Uskup membangun aula di kompleks Yayasan Esti Bhakti/Sekolah Taniwan dengan dana AUSI (Asosiasi Alumni Siswi Santa Ursula). Tetapi pada Hari-Hari Raya, umat Kapuk lebih memilih pergi ke Gereja St. Kristoforus, Grogol daripada ke Cengkareng Selatan karena kendala transportasi.
3. Dinamika Kehidupan Beriman Umat Stasi Cengkareng
Pada bulan November 1974, Keuskupan Agung Jakarta menyerahkan Stasi Cengkareng kepada Kongregasi Oblat Maria Immaculata (OMI) untuk ditingkatkan menjadi Paroki. Beberapa imam OMI terlihat mengadakan survey ke Cengkareng Selatan bersama para Bapak umat perintis Gereja. Hingga Januari 1975, Perayaan Ekaristi masih dipimpin oleh Romo Anton Mulder, SJ. Februari 1975, Romo Patrick Moroney, OMI mendapat tugas di Cengkareng. Sejak saat itu, Misa yang masih dilaksanakan di rumah P.H. Wiratmo, Jalan Utama Raya 38, mulai dipimpin oleh Romo Pat yang tinggal di Paroki Tangerang atau Susteran Gembala Baik, Jatinegara.
Bulan Maret 1975, terbentuk kepengurusan Mudika bakal Paroki Cengkareng yang diketuai oleh Felix Wiratmo. Di bulan Mei 1975, Stasi Cengkareng secara administratif lepas sepenuhnya dari Paroki Tangerang. Dambaan terwujudnya sebuah Paroki semakin dekat di depan mata. Di tahun 1976, Keuskupan Agung Jakarta membeli tanah seluas 8.000 m2 dari Bapak Haji R.A. Nunung Mohamad Yunus dan beberapa pemilik tanah lainnya untuk lokasi gedung gereja.
Di bulan September 1975, sebuah rumah dikontrak dari Bapak Haji Nunung untuk digunakan sebagai pasturan dan sejak itulah Romo Pat bermukim di Cengkareng. Rumah yang cukup bagus itu hanya memiliki pompa air dengan air yang kuning lagi lengket. Air itulah yang digunakan untuk keperluan gembala pertama bakal Paroki Cengkareng. Umat lalu mengantar air yang lebih bagus untuk gembala yang mereka cintai dan lama mereka rindukan ini. Garasi pasturan yang sempit dengan halaman luas di samping kanan rumah kemudian diubah fungsinya menjadi tempat beribadat. Bapa Uskup Mgr. Leo Soekoto, SJ pernah berkunjung dan sempat merayakan Ekaristi di sini.
Sejak adanya pasturan dengan garasi yang dipakai sebagai gereja, maka kegiatan Perayaan Ekaristi di rumah Bapak P.H. Wiratmo pun dipindahkan ke tempat ini. Kehangatan dan sentuhan kasih sayang sangat dinikmati seluruh umat, selama dan seusai kegiatan beribadat. Para ibu sangat peduli pada umat yang umumnya datang dari tempat yang jauh. Ibu-ibu selalu menyediakan makanan dan minuman secara gratis. Inilah awal berkiprahnya para Wanita Paroki (WP).
Di bulan September 1975 itu pula wilayah Stasi Cengkareng dibagi menjadi 3 Mandala (istilah daerah operasi ABRI, karena kebetulan anggota TNI dan Kepolisian banyak berperan dalam melahirkan Paroki Cengkareng): Mandala Barat dengan Ketuanya Bapak J.B. Agus Supaat; Mandala Tengah dengan Ketuanya Bapak Robertus A. Tjuk; dan Mandala Timur dengan Ketuanya Bapak Thomas Maturbongs. Kesempatan ini pun digunakan untuk menandai dimulainya Perkumpulan Kematian St. Yusuf yang diketuai oleh Bapak Pieter H. Wiratmo.
Romo Pat yang murah senyum, ramah, muda lagi tampan ini memiliki kegemaran bergaul dengan siapa pun. Keahlian di bidang "public relations" ini membuat Beliau cepat dikenal bukan saja oleh umatnya, tetapi juga oleh para tokoh masyarakat Cengkareng. Terkadang Beliau bergadang dengan muda-mudi "jalanan" bagaikan semangat Santo Paulus (1 Korintus 9:22). Dalam tahun pertamanya berkarya di Cengkareng, sakit punggung yang dideritanya kambuh lagi dan sejak Juni 1976 Romo Pat harus menjalani perawatan intensif di luar negeri.
Sejak adanya perayaan Misa secara teratur, terbukalah kesempatan untuk membina kehidupan beragama dan beriman secara bersama-sama. Seusai Misa, umat masih lama berkumpul, berembuk, atau hanya berbincang-bincang. Kesempatan yang langka, jarang, dan dirindukan ini tidak mau dibiarkan hanya berlalu begitu saja. Itulah suasana yang senantiasa dominan. Maka, ibu-ibu pun serta merta memasak, menyiapkan makanan dan minuman. Perjumpaan iman dianggap sekaligus pesta dan kesempatan menjamu. Itulah suasana istimewa Stasi Cengkareng di tahun 1973-1976. Perasaan sehati, sejiwa, sepikir, dan satu keluarga untuk memecahkan roti rohani dan jasmani amat terasa. Dalam kesempatan seperti ini tetap tampak 'penampilan' anggota komunitas basis dari keluarga Katolik yang kondusif dan yang lainnya.
4. Terbentuknya Paroki Cengkareng
a. Awal Gereja Katolik Trinitas
Romo Pat yang penuh semangat digantikan oleh Romo David Shelton, OMI di bulan Juni 1976. Berbeda dengan pendahulunya, Romo David yang berperawakan gagah, tegas dan selalu gembira ini sedikit bicara dan berperangai keras. Tetapi hal ini membuahkan hasil yang positif. Untuk pertama kalinya Seksi Liturgi dibentuk yang dipercayakan kepada Bapak R.Y. Prabowo. Karena banyaknya peminat yang ingin belajar agama, maka lahirlah Seksi Katekese yang diketuai oleh Bapak V.A. Adiwahyanto. Rumah yang disewa dari Bapak Haji Nunung pun dirasa tidak memadai lagi, maka disewalah sebuah rumah masing-masing di Jln. Sakura No. 23 sebagai tempat beribadat dan di Jln. Pepaya V sebagai pasturan. Tahun berikutnya, pasturan kembali berpindah tempat ke Jln. Mesjid.
Di awal tahun 1978, Romo David beberapa kali mengumpulkan para tokoh umat untuk merundingkan nama bakal Paroki Cengkareng yang tak lama lagi akan dibentuk. Tiga nama dipertimbangkan saat itu, yaitu Trinitas, Santa Maria Immaculata, dan Santo Antonius. Akhirnya, atas restu Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ, pada tanggal 26 Mei 1978 diselenggarakan rapat yang memilih nama Paroki. Dari tiga nama yang diajukan, terpilihlah TRINITAS sebagai nama Gereja.
b. Dewan Paroki Pertama
Sebelum kepulangannya ke Australia, Romo David berhasil pula membentuk Dewan Paroki dan Pengurus Gereja Dana Papa (PGDP) yang pertama yang dilantik pada 11 Juni 1978 bertepatan dengan disahkannya nama Trinitas sebagai nama Gereja. Sejak saat itu, para Ketua Mandala ditetapkan pula sebagai Ketua Wilayah.
Romo Petrus J. McLaughlin, OMI menggantikan tempat Romo David dan meneruskan karya pelayanan para Oblat kepada umat Cengkareng. Pada 17 Agustus 1978, Seksi Koor dibentuk dengan dirigen pertamanya Bapak J. Djoko Sep. (saat itu masih Mudika, tinggal di Semanan). Sebulan kemudian, dibentuk pula Seksi Sosial Paroki (SSP) sebagai wadah nyata dari semua kegiatan sosial yang sebenarnya telah berjalan jauh sebelum terbentuknya Seksi ini.
5. Pengembangan Iman Umat Paroki Cengkareng
Seiring dengan berdirinya Dewan Paroki yang pertama, umat separoki pun digembalakan lewat para Pengurus Seksi, Kelompok Kategorial, Wilayah, Lingkungan dan Kelompok-Kelompok dalam Lingkungan.
Sejak sebelum Paroki Cengkareng terbentuk, beberapa umat telah dipersiapkan untuk mengikuti Penataran Dewan Paroki se-Keuskupan Agung Jakarta di Wisma Samadi, Klender. Bapak Robertus A. Tjuk, Bapak R.Y. Prabowo, dan Bapak Yoseph Walewangko dipersiapkan untuk menjadi penegak bakal Paroki ini. Setelah terbentuknya Dewan Paroki dan Kepengurusan Wilayah serta Lingkungan, maka 3 Mandala yang dibentuk sebelumnya kini disebut Wilayah dengan batas lokasi pelayanan sebagai berikut:
Wilayah Barat (Jl. Sumur Bor hingga Warung Gantung/perbatasan DKI-Tangerang) dengan ketuanya Bapak J.B. Agus Supaat. Wilayah yang cukup luas dengan umat yang masih terpencar ini dibiarkan tetap menjadi sebuah Wilayah;
Wilayah Tengah (Jl. Sumur Bor hingga persawahan di timur Lingkungan Agustinus sekarang) dengan ketuanya Bapak R.A. Tjuk dibagi menjadi 6 Lingkungan;
Wilayah Timur (batas Wilayah Tengah hingga Kalimati) diketuai oleh Bapak Thomas Maturbongs dibagi menjadi 5 Lingkungan.
Perumahan Bojong Indah saat itu masih menjadi bagian dari Paroki Cengkareng dan dibagi menjadi 2 Lingkungan. Untuk melayani umat Bojong Indah, sebulan dua kali diselenggarakan Ibadat Sabda di Sekolah Lamaholot.
Paroki Cengkareng yang memulai pelayanannya dengan sangat minimal sekali - yaitu Misa dan pelayanan pastoral - kini terus berangsur melengkapi diri dengan pelayanan pendidikan, sosial, liturgi, pewartaan, Mudika, dan koor. Pelayanan pendidikan dan pastoral sejak awal menjadi bagian penting dalam Gereja. Kedua pelayanan itu akan terus menjadi semakin penting dan perlu terus dikembangkan.
Dunia pendidikan Paroki Cengkareng yang bermula dengan Sekolah Strada yang diresmikan penggunaannya di tahun 1974 diwarnai pula dengan kedatangan para Suster Kongregasi Amal Kasih Darah Mulia (ADM) yang hadir di tahun 1980 untuk membantu umat lewat karya sosial, pastoral, kateketik, dan pendidikan dengan membuka Sekolah Seraphine Bakti Utama. Lima tahun berselang, hadir pula para Suster Kongregasi Jesus Maria Joseph (JMJ) untuk mendirikan dan menyelenggarakan karya pendidikan lewat Sekolah Bintang Kejora. Di tahun 1994, Paroki Grogol dengan Yayasan Diannanda mulai berkarya dalan bidang pendidikan lewat Sekolah Kristoforus II.
Pelayanan pastoral umat terlihat sangat mendesak dan senantiasa perlu menjadi perhatian segenap warga Gereja. Banyak umat 'miskin' secara rohani: luka batin, kesendirian, butuh sahabat (Sir 6:5 dst) dan masih banyak kemiskinan lain di samping kemiskinan materi. Berbagai Seksi dan Kelompok Kategorial terus mengembangkan diri semata-mata untuk menjadi wadah bagi umat yang membutuhkannya.
Sejalan dengan misi khusus para Oblat yaitu "Pelayanan Kepada Kaum Miskin", maka pelayanan itu sudah mulai dijalankan semenjak Paroki berstatus Stasi Cengkareng dan terus berlanjut hingga kini. Kepada kaum yang tertinggal secara ekonomi atau juga miskin harta, pelayanan telah dimulai dengan Proyek Kincir FHP (Familiar Helper Project) dan Pelita Kasih FHP yang bernaung dalam Yayasan Dharma Kasih yang didirikan pada 23 Februari 1981. Proyek yang bermula dengan 2 orang klien binaan dari sebuah keluarga di tahun 1974 kini telah meningkat menjadi 1.800 klien binaan. Kepada kaum yang 'miskin' kesehatan, telah diselenggarakan pelayanan kesehatan yang telah melayani puluhan ribu pasien. Bagi kaum yang 'miskin' sahabat, 'miskin' perdamaian, penuh luka batin, dan lainnya, pastoral umat senantiasa dibutuhkan sepanjang sejarah umat manusia. Kekayaan harta, kelimpahan wewenang dan kekuasaan ternyata belum menjadi jaminan kekayaan batin dan kedamaian.
Anggota komunitas Paroki Cengkareng sudah hampir 16.000 jiwa. Setiap Paskah dan Natal, gereja dipadati oleh umat. Dalam Perayaan Ekaristi mingguan, di Paroki dan Wilayah hanya hadir sekitar 5.000 hingga 6.000 umat. Salah satu perwujudan iman dalam kegiatan agama itu hanya dilakukan oleh 30-40% umat. Dari prosentase keaktifan umat ini, ada yang aktif dalam berbagai kegiatan gerejawi. Hampir setiap hari kompleks gereja dipenuhi kelompok umat untuk bermacam kegiatan gereja ini berarti sudah banyak umat yang telah mampu mewujudkan imannya dalam kehidupan nyata.
Masih banyak sarana dan wadah kegiatan beriman yang sudah ada di Paroki dan Wilayah, Lingkungan, Seksi, namun belum dimanfaatkan sebagian besar umat. Masih banyak pula wadah yang perlu diciptakan untuk memikat dan memberdayakan sebanyak mungkin umat. "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu." (Luk 10:2). Memang banyak umat yang dipanggil, diminta, dan diutus, tetapi……
6. Pemekaran Paroki
Luas wilayah Paroki tidak pernah bertambah, tetapi umat dan pemukiman baru senantiasa bertambah. Perubahan kependudukan dalam kaitannya dengan penyebaran tempat tinggal umat menyebabkan Paroki beberapa kali mengalami pemekaran dan bahkan masih merencanakan pemekaran selanjutnya.
Pada tahun 1981, Bapa Uskup memisahkan daerah bagian selatan Daan Mogot untuk menjadi Paroki sendiri. Hingga pertengahan 1982, Perayaan Ekaristi maupun Ibadat Sabda masih dilayani oleh Paroki Cengkareng. Di akhir tahun 1982, Gereja St. Thomas Rasul, Paroki Bojong terbentuk dengan gembalanya para Imam Praja.
Cengkareng yang semula terdiri dari 2 Stasi: Stasi Cengkareng dan Stasi Kapuk yang dibagi dalam 3 Mandala (kemudian disebut 3 Wilayah), di tahun 2009 sudah menjadi Paroki Cengkareng (Gereja Trinitas), Paroki Bojong, Paroki Kosambi Baru (pemekaran dari Paroki Bojong sejak tahun 2005) dan Paroki Kapuk. Paroki Cengkareng sendiri kini mempunyai 21 Wilayah dengan 126 Lingkungan.
Gereja St. Philipus Rasul, Paroki Kapuk berdiri tahun 1992 yang digembalakan oleh Imam Pasionis. Bagian timur Kanal Barat DKI (Cengkareng) seharusnya menjadi wilayah pelayanan Paroki Kapuk, tetapi Lingkungan St. Tarsisius dan Daniel ingin tetap menjadi bagian dari Paroki Cengkareng. Permohonan itu 'dikabulkan', maka hingga sekarang kedua Lingkungan itu tetap berada dalam gembalaan Paroki Cengkareng.
Di awal tahun 1999, Paroki Cengkareng telah membeli sebidang tanah seluas 8.710 m2 yang kini telah diurug dan dipagar di daerah perumahan Citra III dan V, Pegadungan. Tanah yang diperuntukkan bagi bangunan gereja ini akan menjadi bakal Paroki baru yang murni atas inisiatif Paroki Cengkareng sendiri. Pada tahun 2002, Paroki Cengkareng kembali membeli tanah seluas 2.950 m2 di daerah Taman Bandara. Tanah ini diperuntukkan bagi sarana beribadat umat Katolik/kapel di Wilayah itu. Kapel St. Vincentius Pallotti selesai dibangun di akhir tahun 2006. Maka sejak awal tahun 2007, umat Wilayah 23 (daerah Dadap dan sekitarnya) mulai menggunakan Kapel ini sebagai sarana tempat beribadah mereka. Pada 26 Agustus 2007, Kapel St. Vincentius Pallotti diberkati dan diresmikan penggunaannya oleh Bapa Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta, Romo Yohanes Subagyo, Pr.
Dalam rapat Dewan Harian pada 19 Februari 2003, Dewan Paroki telah menetapkan Pengurus Inti Panitia Pembangunan Gereja (PPG). PPG ini bertugas sejak tanggal pelantikan, yaitu 2 Maret 2003, hingga selesainya pembangunan gedung gereja baru dan kapel yang disebut di atas. Sejak pelantikannya, PPG telah melaksanakan beberapa langkah awal seperti penyusunan program kerja masing-masing seksi, pendekatan ke masyarakat/tokoh warga sekitar lokasi gereja baru oleh Seksi Human dan Perijinan, mempelajari segala surat yang dibutuhkan untuk mengurus perijinan sesuai Surat Keputusan Gubernur No. 137 tentang prosedur persetujuan pembangunan tempat-tempat ibadah.
II. DAN BERDIRILAH RUMAH ALLAH IMPIAN UMAT CENGKARENG
1. Perjuangan Panjang: Dari Sawah Menjadi Rumah Allah
a. Misa dari Rumah ke Rumah
Setelah daerah Cengkareng dinyatakan sebagai Stasi Cengkareng dan berada di bawah bimbingan Paroki Tangerang, umat Cengkareng praktis 'hanya' mendapat kesempatan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi saja. Seharusnya Ibadat Sabda dapat berlangsung juga, tetapi umat banyak menemui kendala. Itulah 'nasib' kebanyakan umat diaspora (tercerai-berai) yang juga dialami oleh umat Stasi Cengkareng. Saat itu, pewartaan dan pelajaran agama pun masih dipusatkan di Paroki Tangerang.
Pada masa-masa awal sebelum Paroki terbentuk, 15 keluarga Katolik yang bermukim terpencar di kawasan Cengkareng seringkali berkumpul untuk merayakan Ekaristi di rumah Keluarga Bapak R. Sukamto di kompleks Perumahan Ditjen Imigrasi. Pada bulan Juli 1973, Kompleks Kodam V Jaya mulai dihuni. Di dalam kompleks itu terdapat 13 keluarga Katolik dua kali sebulan merayakan Ekaristi di sebuah Kapel yang disediakan oleh Kodam Jaya. Di samping itu, Misa juga secara bergantian diadakan di rumah-rumah keluarga Katolik secara berpindah-pindah antara lain di rumah keluarga Bapak Alexander Nahan, keluarga Bapak Robertus A. Tjuk, dan keluarga Bapak Markus Husein. Hal ini berlangsung beberapa lama sampai pada saat diadakan Misa Arwah di kediaman keluarga Bapak P.H. Wiratmo yang kala itu kehilangan salah seorang anggota keluarganya karena kecelakaan. Saat itu muncullah sebuah gagasan yang memunculkan kesepakatan bersama untuk merayakan Ekaristi secara teratur satu bulan sekali di rumah Pak Wiratmo di Jl. Utama Raya no. 38. Perkembangan selanjutnya terjadi di sisi timur, yaitu dengan dihuninya Kompleks Permata yang mencatat ada 15 keluarga Katolik di dalamnya. Mereka pun berkumpul bersama untuk beribadat. Inilah sebuah awal, tiga titik kegiatan peribadatan di kawasan Cengkareng yang merupakan unsur cikal bakal Paroki Cengkareng. Mereka bernyayi bersama, berdoa bersama, dan memecah-mecah roti di rumah-rumah secara bergilir.
b. Gereja Darurat
Dengan terbentuknya Stasi Cengkareng yang secara administratif telah lepas dari Paroki Tangerang, maka umat Cengkareng mulai berjuang untuk dapat memiliki gedung gereja sendiri. Kedatangan Romo Patrick Moroney, OMI sebagai gembala Stasi Cengkareng menandai juga kemandirian umat Cengkareng, karena kini Perayaan Ekaristi dapat diadakan di rumah yang juga berfungsi sebagai pasturan yang terletak di Jl. Utama III no. 22. Rumah yang disewa dari Bapak Haji R.A. Nunung Mohamad Yunus ini mempunyai garasi yang berubah guna menjadi gereja di tiap hari Minggu. Dikarenakan jumlah umat yang kian hari kian bertambah, garasi itu dirasa tidak memadai lagi. Maka, disewalah sebuah rumah di Jl. Sakura no. 23 untuk digunakan sebagai sarana beribadat, sedangkan pasturan dipindahkan ke Jl. Pepaya V no. 18. Setahun kemudian pasturan kembali 'boyongan' ke Jl. Mesjid III dan akhirnya bermuara di Jl. Utama III no. 23 hingga sekarang. Keadaan umat yang kian hari kian bertambah jumlahnya membuat rumah di Jl. Sakura no. 23 tidak lagi dapat menampung mereka saat Misa diselenggarakan. Kembali Haji Nunung menawarkan gudangnya yang cukup besar yang kebetulan berseberangan dengan pasturan yang sekarang. Gudang pun disewa dan diubah fungsinya untuk menjadi tempat Perayaan Ekaristi di saat-saat tertentu seperti pada Paskah dan Natal agar dapat menampung setiap umat yang hadir. Kemudian, Dewan Paroki membeli sebuah rumah yang terletak di sebelah pasturan (sekarang disebut Aula Lama/Ruang St. Yohanes). Rumah itu 'disulap' menjadi Ruang Serba Guna tempat umat menyelenggarakan Ekaristi setiap minggunya.
c. Terwujudnya Gedung Gereja Idaman yang Permanen
Sebenarnya, sejak tahun 1976 Keuskupan Agung Jakarta telah membeli sebidang tanah seluas 8.000 m2 yang terletak di Jl. Bambu Kuning dari beberapa pemilik tanah sebagai persiapan untuk membangun gedung gereja. Impian umat Cengkareng untuk memiliki gedung gereja sendiri pun menjadi semakin nyata. Sejak saat itu, dimulailah sebuah lembaran perjuangan untuk membangun sebuah Rumah Allah yang memadai untuk dapat menampung umat yang semakin berkembang jumlahnya. Sebagai langkah awal, pengurukan tanah segera dilaksanakan di bulan Maret 1981 agar tanah tidak berupa sawah lagi dan dipagari. Bahu membahu dan pengertian dengan warga sekitarnya pun terjalin lewat usaha tak kenal lelah dari para tokoh warga sekitar dan dua tokoh perintis Paroki yaitu Bapak Leonardus Santana Wijaya dan Bapak Yoseph Walewangko.
Di bulan Juni 1979 Dewan Paroki menyelenggarakan sekali lagi sensus umat yang berupa pengumpulan tandatangan umat yang bermukim di Cengkareng. Hasil sensus itu dikirim ke Keuskupan, Walikota Jakarta Barat, Kecamatan dan Kelurahan Cengkareng guna membuktikan bahwa di Cengkareng memang ada banyak umat Katolik yang betul-betul membutuhkan gedung gereja sebagai sarana tempat beribadat. Saat itu tercatat di Wilayah Barat 67 kepala keluarga (KK), di Wilayah Tengah 519 KK, dan di Wilayah Timur 135 KK (total 721 KK).
Di pertengahan tahun 1982, Ketua Mudika mengerahkan anggotanya pergi ke bilangan Jelambar untuk mengangkuti besi bangunan dari tempat seorang donatur. Rencananya, besi-besi itu akan digunakan untuk membangun sebuah Gedung Serba Guna di atas lahan bakal gereja. Tampaknya mereka sangat tidak sabar dengan proses perijinan bangunan yang berlarut-larut. Kemudian, Keuskupan Agung Jakarta pada 2 Desember 1982 mengajukan surat permohonan ijin membangun Gedung Serba Guna di atas lahan bakal gereja kepada pihak yang berwenang kepada Gubernur DKI saat itu, Bapak Tjokropranolo. Ijin tersebut dikabulkan dengan catatan gedung tidak boleh digunakan untuk kegiatan agama. Jawaban ini menjadi pemacu bagi Bapa Uskup untuk langsung mengajukan permohonan ijin pembangunan gereja dengan surat tertanggal 3 Agustus 1984. Guna melengkapi permohonan ini, pada 21 Desember 1985 Panitia Pembangunan Gereja (PPG) mengajukan permohonan mendapatkan IMB kepada pihak berwenang. Akhirnya, Gubernur DKI Jakarta, Bapak Wiyogo Atmodarminto, mengeluarkan surat Ijin Pendahuluan Pembangunan Gereja bernomor 612/1.857.1 tertanggal 27 Januari 1987. Dengan Surat Ijin ini, PPG bergegas mengurus surat-surat tanah di Kantor Agraria dan mengajukan ijin mendirikan bangunan ke Dinas Tata Kota DKI Jakarta.
Surat Gubernur DKI Jakarta bernomor 12168/VI/1988 yang dikeluarkan pada 11 Juni 1988 memberikan ijin penunjukkan penggunaan tanah seluas 6.140 m2 dari 8.000 m2 luas tanah yang ada. Dengan berbekal surat ijin ini, maka pada 19 November 1988 dilaksanakan peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang dilakukan oleh Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ. Perjanjian kontrak kerja borongan pembangunan gedung gereja pun ditandatangani pada 27 Maret 1989 dengan kontraktor PT Murinda Iron Steel. Dengan diterimanya ijin pendahuluan IMB pada 3 Mei 1989, maka pembangunan gedung pun dimulai pada 21 Mei 1989. Sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur umat Cengkareng digelar pula acara syukuran dengan para pejabat Pemda setempat pada 29 Mei 1989.
Akhirnya, surat IMB bernomor 4425/IMB/1989 dari Gubernur DKI Jakarta pun tergenggam di tangan. Pembangunan gedung gereja berjalan dengan lancar hingga selesainya pada 31 Januari 1990. Panitia Peresmian dan Pemberkatan Gedung Gereja dibentuk dengan diketuai oleh Bapak R.Y. Prabowo. Pada 21 Februari 1990, gedung gereja diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Bapak Wiyogo Atmodarminto, dan langsung diberkati oleh Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ. Rumah Allah berdiri sudah, umat Cengkareng pun tersenyum gembira dan bersyukur akan hasil perjuangan panjang yang tak kenal lelah dalam mewujudkan impiannya selama ini. Dalam sambutan yang dimuat dalam Buku Kenangan Peresmian Gedung, Bapa Uskup antara lain menulis: "Pemberkatan gedung gereja Trinitas Cengkareng ini menjadi tonggak baru bagi seluruh umat. Gereja ini berhasil dibangun karena jerih payah dan partisipasi seluruh umat dan banyak dermawan lain. Seluruh lapisan umat, bahkan yang berkantong tipis pun terlibat dalam pembiayaan pembangunan gereja ini….. Pemberkatan gereja ini harus menjadi tanda yang menunjukkan pembangunan rohani umat. Sebab Gereja hidup bukan pertama-tama karena gedungnya, melainkan terutama karena umatnya yang hidup rukun, bersatu dalam menghayati iman serta mengamalkannya di tengah masyarakat. Gereja adalah rumah Allah, tempat kita dapat menimba kekuatan, memperoleh pengampunan dan melakukan ibadat. Manfaatkanlah gereja ini untuk secara teratur menerima kerahiman Allah lewat Sakramen Tobat…. Kami percaya bahwa gedung gereja yang baru ini benar-benar memberikan semangat baru kepada umat Trinitas. Kami harapkan agar seluruh umat semakin bersatu padu untuk saling membantu dalam pelayanan kepada masyarakat." Sedangkan Gubernur DKI Jakarta menulis: "… gedung gereja ini dibangun secara swadaya yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan dana dari umat. Oleh karenanya gedung gereja tersebut agar dimanfaatkan benar-benar oleh umat Katolik di sekitar Cengkareng ini sebagai tempat beribadat dan berbagai kegiatan yang menunjangnya. Sebagai tempat beribadat hendaknya dapat menjadi wahana memperdalam rasa keagamaan, memupuk rasa tanggungjawab terhadap sesama, dan menumbuhkan semangat berkorban untuk membangun masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan baik rohani maupun jasmani."
Dengan selesainya pembangunan gedung gereja, PPG masih terus bergiat kerja dalam mengusahakan berdirinya aula dan beberapa ruang pertemuan. Pembangunan aula yang kemudian diberi nama 'St. Eugenius de Mazenod' dan beberapa ruang kegiatan Gereja selesai di tahun 1997 dan diresmikan oleh Bapa Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ pada 11 Mei 1997. Masih ada rencana Dewan Paroki yang belum dilaksanakan, yaitu membangun pasturan yang layak dengan beberapa ruang kegiatan. Menyusul krisis ekonomi yang melanda Indonesia, maka kedua rencana ini belum dapat diwujudkan. Tetapi karena kebutuhan yang mendesak, maka pasturan dan Ruang Serba Guna yang telah ada pun direnovasi.
Berikut adalah data tempat-tempat Perayaan Ekaristi Stasi/Paroki Cengkareng hingga saat ini:
1969-1971: Rumah umat Jl. Beringin, Perum Imigrasi, Sekolah Taniwan (Kapuk).
1972-1975: Kapel Kodam Jaya, Jl. Beringin, Perum Imigrasi, Jl. Utama no. 38, Garasi pastoran, Sekolah Strada, Aula Esti Bahkti/Sekolah Taniwan.
1976-1987: Kapel Kodam Jaya, Jl. Sakura no. 23, Sekolah Strada, Sekolah Bintang Kejora, Ruang Serba Guna (sekarang disebut Ruang St. Yohanes), Susteran ADM di Cengkareng Indah.
1988-1990: Jl. Sakura no. 23, Ruang Serba Guna (sekarang disebut Ruang St. Yohanes), Kapel Kodam Jaya, Sekolah Strada, Sekolah Bintang Kejora, Susteran ADM.
1990-2003: Gereja Katolik Trinitas, Kapel Kodam Jaya, Sekolah Bintang Kejora/Sekolah Seraphine Bakti Utama, Susteran ADM, Sekolah Gapura Kasih Dadap (kemudian pindah ke sebuah gudang yang disebut Kapel Taman Bandara).
2004-2008: Gereja Katolik Trinitas, Kapel Kodam Jaya, Sekolah Bintang Kejora/Sekolah Seraphine Bakti Utama, Susteran ADM, Kapel Taman Bandara (di tahun 2006 mulai menggunakan bangunan baru, Kapel St. Vincentius Pallotti, Vila Taman Bandara).
2. Perencanaan Gedung Gereja: Bukan Sekedar Sebuah Gereja
Sejak adanya rencana membangun Gedung Serba Guna di tanah bakal gereja di tahun 1979, telah banyak gambar rencana bangunan yang dibuat. Ada yang memang akhirnya tidak dijalankan, ada juga rencana yang tidak disetujui oleh pihak-pihak terkait. Sebelum ijin diperoleh, Panitia Pembanguan Gereja (PPG) telah membentuk tim arsitek untuk mulai merancang bentuk bangunan gereja yang sesuai dengan karakter umat Cengkareng. Umat pun dimintai tanggapan beberapa kali atas bentuk bangunan yang diidamkan. Tujuan utama PPG adalah membangun gedung yang sederhana yang dapat menampung 800 umat. Tetapi umat berpendapat: "Jangan yang terlalu sederhana sampai hanya kelihatan seperti gudang," atau ada juga yang berkomentar, "Sebaiknya bagian atap dibuat sebuah bentuk yang khas." Akhirnya, setelah mondar-mandir ke Keuskupan dengan berbagai macam gambar, pada 6 Juni 1988 PPG memperoleh persetujuan gambar pra-rencana dari Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ.
Gambar yang disetujui setidaknya dapat memenuhi tuntutan Liturgi dan juga masukan yang didapat dari umat. PPG juga menyadari bahwa bangunan gereja ini nantinya harus tahan lama dan sesuai dengan 'wajah' Cengkareng yang sedang berubah. Ciri khasnya adalah bentuk kemah yang menunjukkan bahwa kita sebagai umat Allah masih dalam perjalanan menuju tanah terjanji. Ada 3 atap segitiga bersusun sebagai tampak muka gereja yang melambangkan Trinitas. Bentuk dalam gedung mengarahkan umat ke fokus utama, Meja Altar, agar seluruh umat yang hadir dapat merasa dekat dan terlibat dalam setiap Perayaan Ekaristi.
Selain gambar 14 Stasi Jalan Salib yang dipasang di dinding seputar gereja bagian dalam, umat juga dapat menikmati 12 lukisan kaca yang dibagi menjadi 2 seri yang menggambarkan sejarah/kisah penciptaan, karya Kristus di dunia, perkembangan Gereja hingga teakhir, gambar Monumen Nasional (Monas) yang menunjukkan keberadaan gedung gereja di wilayah kota Jakarta.
Kala berdiri di Pintu Utama gedung gereja dan menoleh sedikit ke arah kiri, akan terlihat 6 lukisan kaca seri pertama dengan tema "Allah Tritunggal Sang Pencipta" - "Yesus Dibaptis" - "Yesus Memanggil Para Rasul untuk MengikutiNya" - "Yesus Mengajar Para Rasul" - "Yesus Menyembuhkan Orang Sakit" - dan "Yesus Mengampuni Orang Berdosa".
Menoleh ke arah kanan akan kita dapati seri kedua dari 6 lukisan kaca lainnya. Lukisan-lukisan ini bertema "Yesus Bangkit" - "Pentakosta" yaitu saat Roh Kudus turun atas para Rasul, memberi kuasa dan kekuatan bagi mereka. Hal ini menunjukkan permulaan Gereja Kristus. - "Perkembangan Gereja" Santo Fransiskus Xaverius terlihat sedang mewartakan Kabar Baik kepada umat di Indonesia. Gereja terus melanjutkan karya penebusan Yesus di dunia ini lewat mereka yang terpanggil dan diutus olehNya. - "Perkembangan Gereja di Indonesia" Seorang Imam Indonesia sedang melanjutkan misi Gereja. - "Keadaan Gereja di Ibu Kota Jakarta" Gereja harus relevan dan harus berkarya di dunia ini. - "Gereja Katolik Trinitas, Paroki Cengkareng" Paroki Cengkareng tetap harus melanjutkan karya Trinitas yaitu memanggil lebih banyak orang untuk mengikuti Yesus, mengajar, menyembuhkan, mengampuni sesama manusia dan berkarya di tengah masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai kerajaan Allah yaitu keadilan, kebenaran, kedamaian, dan cinta kasih.
Di atas Pintu Utama gedung gereja akan kita dapati pula sebuah lukisan kaca berupa lambang kuno dari Trinitas. Pelukis gambar yang berasal dari Rusia dan hidup di abad ke-14 menggambarkan Trinitas sesuai dengan peristiwa yang diambil dari Kitab Kejadian 18:1-15. Gambar ini telah diberi beberapa judul, salah satunya adalah "Pertemuan Ilahi". Tiga orang duduk di sekitar meja, Mereka saling memandang yang menunjukkan kesatuanNya. Dalam Allah Tritunggal ada satu kekuasaan, satu kehendak, satu kesadaran diri, satu kegiatan ke luar. Dalam Allah ada komunitas penuh cinta kasih dan kesatuan. Dalam Kitab Suci diceritakan bahwa lewat kedatangan 3 'manusia' kepada Abraham, maka mulai nampaklah rencana keselamatan manusia. Pertemuan 'Mereka' melibatkan kita dalam karya keselamatan manusia. Judul lain dari gambar itu adalah "Perjamuan Penuh Persaudaraan". Setiap kali umat datang ke gereja, umat diingatkan kembali akan makna perjamuan penuh persaudaraan. Kita diundang Allah untuk ambil bagian dalam perjamuan Ilahi, yaitu Ekaristi. Lewat peranserta kita dalam Perjamuan Kudus ini, kita dipersatukan dan oleh karenanya menjadi lebih akrab dengan Allah Tritunggal dan dengan sesama.
Memandang lurus ke depan dari Pintu Utama akan kita jumpai Panti Imam, tempat Imam yang dibantu oleh Putra Altar, Lektor/Komentator, Prodiakon, dan yang lainnya memimpin umat dalam upacara-upacara liturgis/sakramental. Meja Altar di tengah-tengah Panti Imam dibuat lebih tinggi yang menggambarkan Gunung Kalvari, tempat Yesus dikurbankan. Meja ini telah diberkati oleh Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ. Tepat di tengah belakang Meja Altar kita dapati Salib Kristus yang telah diberkati oleh Bapa Sri Paus Yohanes Paulus II saat kunjungannya ke Indonesia di tahun 1989. (Sejarah salib ini akan ditampilkan kemudian.) Salib dan corpus (tubuh Yesus yang tergantung) mengingatkan kita akan cinta kasih Allah yang begitu besar hingga Ia rela mengorbankan diri, menderita dan wafat bagi kita dan akhirnya Dia bangkit bagi kita guna mengalahkan maut dan memberi hidup baru yang kekal. Tabernakel tempat menyimpan Hosti terletak di kiri Meja Altar dengan Kaki Dian (lampu merah menyala yang menandakan kehadiran Sakramen Maha Kudus). Lebih ke kiri dari posisi Tabernakel, dijumpai gong sebagai tanda peringatan yang dibunyikan saat Konsekrasi dalam Doa Syukur Agung dan sebuah bejana permandian yang disumbangkan oleh seorang Ibu dari Austrlia. Bejana yang berisi air suci ini hingga sekarang masih difungsikan sebulan sekali saat pembaptisan bayi/anak-anak. Di sebelah kiri Altar terdapat Mimbar Pewartaan Sabda Allah, tempat Kitab Suci dibacakan, Mazmur dilantunkan dan Homili dibawakan oleh Imam. Di sebelah kanan Altar terdapat 2 Mimbar: Mimbar Dirigen tempat dirigen memimpin koor dan nyanyian umat sebagai pujian permuliaan bagi Allah dan Mimbar Komentator tempat petugas membacakan pengantar Perayaan Ekaristi dan mengumandangkan pengumuman. Adapun Meja Altar, penyanggah Tabernakel, standar lilin Paskah dan Mimbar Pewartaan Sabda Allah kesemuanya mengambil bentuk segitiga yang sejalan dengan makna Trinitas. Tangan-tangan trampil dari Paguyuban Wilayah 32/3 yang menangani Sdr. Djoko Sep. dan Sdr. Johanes Noi (reconfirm dgn P. Prabowo - tulisan tangan kurang terbaca)
Dua kamar Pengakuan Dosa (Sakramen Tobat) dibuat sejajar dengan Pintu Utama. Sejalan dengan hasil-hasil Konsili Vatikan II, maka kamar pengakuan yang ada sekarang tidak lagi bersekat dinding, melainkan hanya disekat dengan sepotong kain tipis. Hal ini bertujuan agar umat merasa lebih dekat dengan Bapa Pengakuan dan lebih leluasa berkomunikasi. Sakristi, ruang persiapan Perjamuan Kudus dibuat setengah melingkar di belakang Panti Imam. Di ruang inilah Imam dan para pembantunya mempersiapkan diri sebelum Misa dimulai. Di ruang ini juga disimpan segala peralatan penunjang Ekaristi, seperti busana Liturgi, Piala, peralatan pendupaan, dan lainnya.
Untuk menampung umat yang kian hari kian membengkak jumlahnya, di tahun ….. gedung gereja telah diperluas dengan penambahan sayap kiri, kanan dan depan gedung. Sejak akhir tahun 2002, tenda permanen yang memakan lahan parkir sebelah kanan gereja pun telah terpasang. Tenda ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jumlah umat yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus yang selalu melimpah ruah di hari-hari raya Gereja seperti Natal, Pekan Suci, dan Paskah, disamping juga dapat digunakan manakala acara-acara Gereja membutuhkan tempat yang luas dan teduh.
3. Gedung Megah dengan Dana Swadaya Umat
Tak mudah mendapatkan dana untuk membangun sebuah gedung gereja. Pencarian dan pengumpulan dana tidak lepas dari keterlibatan seluruh umat yang tak kenal lelah guna mewujudkan impian memiliki sebuah gedung yang layak untuk sarana beribadah. Ini pula yang dialami oleh umat Cengkareng. Saat proses permohonan mendirikan gereja masih berlangsung, umat dengan giat mulai mengumpulkan Rupiah demi Rupiah untuk dana pembangunan gereja.
Dalam sebuah kesempatan, Bapak S. Dirgonomastu yang kala itu menjabat sebagai Ketua Seksi Dana di dalam Badan Pelaksana Pembangunan Gereja (BPPG) berkenan menyisihkan sedikit waktunya untuk mengenang kembali masa-masa pengumpulan dana itu sebagai berikut:
Sebesar 67% dana pembangunan gereja memang murni berasal dari umat yang berupa 'sumbangan wajib' per kepala keluarga setiap bulannya dalam waktu 3 tahun. Sumbangan yang ditentukan sendiri besarnya oleh keluarga umat Cengkareng ini terbukti mampu mengumpulkan dana lebih dari 50% anggaran pembangunan gedung. Sisanya, yaitu 33%, berasal dari para donatur baik yang tinggal di Paroki Cengkareng maupun luar Paroki dan beberapa kegiatan yang diadakan oleh BPPG. Sumbangan dari para donatur tidak melulu berupa dana siap pakai, tetapi juga berupa barang-barang keperluan pembangunan seperti semen, ubin, kaca, kayu, cat, peralatan listrik, marmer, pintu, dll, atau juga barang-barang pengisi gereja seperti salib, bangku gereja, lampu, dll. Sedangkan kegiatan ekstra yang diadakan BPPG adalah menyelenggarakan Operet Anak-Anak "Aku Cinta Rumah Idaman" di Balai Sidang Senayan, Operet Anak-Anak "Cinderella dan Sepatu Kaca" di Taman Ismail Marzuki, dan sumbangan berhadiah.
Ide penyelenggaraan Operet Anak-Anak ini awalnya muncul dalam rapat Dewan Paroki-BPPG. Mulanya, Depar-BPPG ingin menggelar Operet Natal, tetapi karena merasa Operet Natal lebih bersifat intern dan berskala sempit, maka Bapak Dirgono mengusulkan operet dengan skala nasional. Kebetulan Perserikatan Bangsa Bangsa telah mencanangkan tahun 1987 sebagai Tahun Papan Internasional, dan kebetulan juga Bapak Cosmas Batubara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat sangat mendukung ide ini. Begitulah, ide yang telah ada lalu dimatangkan dan ditunjuklah Sanggar Sangrila pimpinan Ibu Maria Tanzil untuk menyusun naskah pementasan yang disturadarainya bersama Bapak Drs. Sena Utoyo. Belakangan, pertunjukan ini pun didukung sepenuhnya oleh Keuskupan Agung Jakarta yang bertindak sebagai Pelindung Panitia.
Tiga kali pertunjukan digelar pada 17-18 Januari 1988, penonton cukup padat di dua pertunjukan pertama, dan membludag di pertunjukkan terakhir. Sukses Operet ini membawa kenangan tersendiri bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Bapak Cosmas Batubara sempat berujar: "Inilah kali pertama saya menjadi pemrakarsa acara yang mendukung pekerjaan saya sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat. Biasanya, orang meminta saya untuk membuka turnamen golf atau acara lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan pekerjaan saya yang sebenarnya." Bapak Dirgono pun mengenang sambil tertawa: "Waktu itu Pak Prabowo (maksudnya Bapak R.Y. Prabowo) dan saya menjadi orang terhormat, tidur dengan membayar Rp 4,5 juta semalam. Karena harus menjadi mandor orang-orang yang mendekor panggung dan memasang perlengkapan lainnya, kami akhirnya tidur di Balai Sidang Senayan yang sewa seharinya ya, itu tadi, Rp 4,5 juta." Penonton yang adalah undangan Kantor Mentri Negara Perumahan Rakyat pun kagum karena materi perumahan yang cukup serius dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak.
Dari penyelenggaraan dua operet tadi, BPPG mendapat dana sekitar Rp 44,7 juta, sedangkan dari program Sumbangan Berhadiah, BPPG mendapat masukan sekitar Rp 69 juta. Dari ketiga acara ini, ditambah dengan dana cair lainnya dan sumbangan wajib umat, akhirnya BPPG berhasil membangun sebuah gereja megah seharga + Rp 600 juta tanpa meninggalkan hutang ataupun kemelut dalam tubuh BPPG.
BPPG terus bekerja dan di tahun 1997 berhasil merampungkan Pembangunan Tahap II berupa Aula St. Eugenius de Mazenod dan beberapa ruang kegiatan Gereja dengan dana + Rp 450 juta yang berasal dari sisa dana pembangunan gereja terdahulu.
4. Salib Kristus di Panti Imam: Kenangan Kunjungan Sri Paus ke Indonesia
Saat memandang Salib Kristus yang besar yang tergantung di Panti Imam, apa yang pertama-tama menjadi kesan kita? "Koq bentuk salibnya aneh, tidak rapih!" komentar seorang anak. "Kenapa wajah Tuhan Yesus menoleh ke samping kiri, ya?" tanya seorang umat dewasa. "Ah, saya tidak mempermasalahkan bentuk-bentuk salib. Salib itu kan hanya untuk visualisasi kita, supaya kita bisa lebih menghayati sengsara Yesus demi penebusan kita," komentar umat lainnya. Tapi, berapa banyak dari umat Cengkareng yang tahu akan kenangan khusus Salib Kristus yang tergantung di atas Meja Altar Gereja Katolik Trinitas?
Tahun 1989 menorehkan sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Untuk kedua kalinya, Pemimpin Umat Katolik sedunia akan melakukan kunjungan. Setelah kunjungan Bapa Suci Paus Paulus VI di tahun 1970, 19 tahun kemudian Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II menyempatkan diri singgah di beberapa daerah di bumi Nusantara ini pada 9-14 Oktober 1989. Salah satu agenda kunjungan adalah mengadakan Misa Agung di Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno). Sepulang rapat di Keuskupan Agung Jakarta, Romo Peter sedikit bercerita kepada tokoh-tokoh umat tentang upaya Keuskupan mencari salib yang lumayan besar yang mungkin dimiliki oleh salah satu Paroki di KAJ guna dipakai dalam Perayaan Ekaristi Bapa Paus di Senayan. Cerita hanya sebatas cerita karena gedung gereja sedang dalam taraf pembangunan dan belum terpikir sama sekali untuk membuat salib yang akan ditaruh di Panti Imam. Tetapi kemudian timbul ide untuk membuat salib itu yang nantinya diberkati oleh Bapa Suci dan diletakkan di dekat Altar gedung gereja yang sedang dibangun ini.
Maka diutuslah Bapak Felix Wiratmo ke Keuskupan untuk mencari tahu masalah salib ini dan ternyata, Keuskupan menyerahkan pengadaan salib ini pada Paroki Cengkareng. Bermodalkan semangat yang tinggi, Romo Peter meminta Pak Felix pergi ke Bali untuk mencari pemahat yang bersedia mengerjakan proyek ini. Setibanya di Bali, Pak Felix dibawa oleh pengendara taksi ke Desa Mas dan bertemu dengan seorang pemahat yang mempunyai tim pemahat dan sanggup mengerjakan salib sesuai dengan keinginan Paroki Cengkareng dalam waktu hanya 40 hari. Bapak Felix sempat bingung, "Bagaimana mungkin sebuah salib dikerjakan beramai-ramai?" pikirnya. Pak Felix pun semakin ragu saat si pemahat bercerita kalau salib itu akan dikerjakan terpotong-potong, misalnya A akan mengerjakan tangan sebelah kiri, B akan mengerjakan kepala, dan seterusnya. "Jangan kuatir, kami mempunyai bakat alam, percayakan saja pada kami," begitulah jaminan si pemahat yang diamini oleh Pak Felix. Seminggu kemudian, Pak Felix kembali mengunjungi si pemahat bersama Romo Peter sambil membawa keterangan rinci buatan Bapak S. Dirgonomastu tentang salib yang akan dibuat.
4 hari menjelang Misa Agung yang dipimpin oleh Bapa Suci, rombongan pemahat Bali telah tiba di Cengkareng dengan mengendarai truk sarat bermuatan potongan-potongan salib. Ketatnya pengamanan Stadion menimbulkan masalah tersendiri, salib tidak bisa dibawa masuk Stadion begitu saja. Maka, menginaplah rombongan pemahat Bali itu di Ruang Serba Guna (kini Ruang St. Yohanes) selama 2 malam. Akhirnya, dengan bantuan KAJ, rombongan pemahat Bali dapat merangkai potongan-potongan salib itu di Senayan 2 hari sebelum Misa Agung digelar. 9 Oktober 1989, saat Bapa Suci menginjak panggung tempat Misa Agung diselenggarakan, Beliau memberkati salib yang terpancang megah dekat Meja Altar di panggung itu. Seusai Misa, salib itu pun dibongkar kembali oleh para pemahat dan dibawa ke Cengkareng untuk kembali di rangkai dan difurnis guna menjaga daya tahan kayunya.
Salib berharga sekitar Rp 10 juta ini akhirnya didanai dan disumbangkan kepada Paroki Cengkareng oleh seorang umat, Bapak Barin Setiawan, yang juga menyumbangkan bangku-bangku buatan Ligna Furniture yang diletakkan di dalam gedung gereja. Adakah makna atau arti khusus bentuk salib itu? Salib itu mengambil bentuk seperti salib pada tongkat gembala Bapa Suci. Wajah Yesus yang tersalib yang menoleh ke kiri diambil dari kutipan Injil Yohanes 19:26-27 ~ Ketika Yesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibuNya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kataNya kepada murid-muridNya: "Inilah ibumu!" Di dalam gereja, wajah Yesus memandang kita, para umatNya, dengan kasih yang begitu besar. Dia Sendiri yang menyerahkan kepada kita bundaNya supaya kita dilindungi.
Dalam sambutan Peresmian Gedung Gereja Katolik Trinitas, Duta Besar Vatican untuk Indonesia yang saat itu dijabat oleh Mgr. Francesco Canalini menulis: "Salib yang mulai hari ini akan dikagumi oleh umat di Paroki Cengkareng mengandung banyak arti di dalamnya. Salib ini, dalam bentuk hasil karya artistik, melambangkan Salib Penyelamat kita untuk kita arahkan doa-doa kita dan membuka hati kita. Salib inilah yang dipasang di Stadion Utama Senayan di bulan Oktober 1989, diberkati oleh Bapa Suci, saat Beliau membuka Perayaan Ekaristi yang dipimpinnya, Ekaristi yang mempunyai aspek nasional. Salib itu jugalah yang diliput banyak televisi di seluruh dunia. Kalau umat Cengkareng melihat salib ini sekarang di dalam gereja mereka sendiri, umat pasti merasakan dimensi setempat dan universal. Umat yang kokoh berakar dalam kasih Allah Bapa, lewat rahmat Kristus Sang Juruselamat, dan bersatu dalam Roh Kudus, akan menghirup nafas persekutuan dengan Bapa Suci, Sang Gembala Gereja universal. Mereka akan teringat pada kenangan indah di bulan Oktober 1989 di Jakarta dan mereka akan merasa setia kawan dengan komunitas-komunitas lainnya di Indonesia dan di dunia…"
Lihat Pula